BAB 3

472 Words
“Dan, kamu beneran nggak mau makan?” Mama membawa nampan berisi nasi goreng seafood dan s**u cokelat rendah kalori kesukaan Ardan.  Sudah kesekian kalinya mama bolak-balik membawa makanan, namun tetap saja Ardan menolak mentah-mentah makanan yang di bawa Mamanya. “Nggak! Ardan mogok makan.” Suara Ardan terdengar dari dalam. “Yakin kamu nggak mau makan? Dari kemarin sore kamu belun makan lho.” Mama mencoba membujuk Ardan untuk makan. Sebagai seorang ibu ia sangat khawatir bila anaknya tak mau makan. Apalagi Ardan tipe lelaki yang suka makan. “Nggak!” Tolak Ardan sekali lagi. Mama menghela nafas berat. “Makanannya mama taruh di depan pintu ya, nanti kalau kamu makan tinggal kamu ambil aja.” *** “Mama! Perut Ardan sakit, Ma!” Teriakan Ardan terdengar hingga lantai bawah. Mama yang sedang membersihkan dapur seketika berlari saat mendengar teriakan Ardan. Tanpa basa - basi Mama segera membuka pintu kamar Ardan. Ia menemukan anaknya terbaring di lantai dengan tangan yang mencengkram perut erat. “Kamu kenapa? Apa yang sakit?” Mama bertanya panik. “Perut Ardan, Ma!” Ucap Ardan dengan suara tertahan. Wajahnya memerah menahan sakit yang teramat. Mulutnya tak henti mengeluarkan ringisan kesakitan “Maag kamu kumat lagi?” Mama mengusap perut bagian kiri atas Ardan. “Kayaknya, aduh...” Ardan mengaduh kesakitan. Perutnya terasa perih seperti dihujam dengan ribuan jarum. “Aaahhh! Sakit, Ma.” Ardan mencengkeram tangan Mamanya yang dengan sengaja menekan lambungnya. “Dibilangin ngeyel sih. Sok-sokan nggak mau makan. Sana, terus-terusin aja ngambekmu itu!” Mama menepuk keras lambung Ardan, yang otomatis mendapat teriakan protes sebagai balasannya. “Ma, perut Ardan beneran sakit. Tega banget jadi emak.” Ucapnya sembari sesekali meringis. “Salah siapa kayak gini, ha? Kamu kira dengan kamu ngambek, kamu bakalan kelihatan keren, gitu?” Sewot mamanya. Ardan memberengut, “Ardan yang salah.” “Kalau tau salah kenapa dilakuin?” Mama menatap Ardan tajam. Nada suaranya mendingin, yang mampu membuat siapapun merinding. “Ardan khilaf.” Jawabnya lemas. “Khilaf-khilaf pala kau. Kamu kira khilaf bisa dijadiin alasan, hah?” Mama menepuk perut Ardan keras. “Aduh-aduh, Ma. Iya-iya. Maafin Ardan.” Untuk kesekian kalinya Ardan menjerit. Sejujurnya Ardan merasa sangat gondok. Kali ini perutnya benar-benar terasa perih. Bukannya ditolong, lelaki itu malah kena semprot. Ck! Benar-benar tipe emak-emak negara ber-flower. “Yaudah, ke rumah sakit aja.” Putus mama. Mata Ardan terbelalak, “Ke-rumah-sakit, Ma?” Ucapnya terputus-putus. “Iya. Kenapa?” “Nggak usah-“ Belum selesai Ardan berbicara, mamanya sudah terlebih dahulu memotongnya. “Terus kamu mau sakit kaya gini terus? Nggak ingat tahun kemarin kamu ngeyel nggak mau ke rumah sakit dan akhirnya berakhir muntah darah? Pengin kayak gitu lagi?” Seru mamanya dengan nada tinggi. “Kamu nggak usah sok-sokan nolak. Ingat! Surgamu ada di mama, kalau kamu lupa.” Tandas mamanya. Tamat riwayatmu, Ardan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD