PART 9 - MARTIN VS BIMA.

1674 Words
PART 9 – MARTIN VS BIMA. Martin jelas penasaran apa yang terjadi di depannya. Ia bahkan tak bisa melihat wajah Clarisa saat ini, karena terhalang tubuh tegap lelaki itu. Tapi melihat bagaimana kepala lelaki itu tertunduk, sesuatu dalam otaknya membunyikan alarm. Ia tetap tak percaya dengan apa yang dilihat, bagaimana Clarisa berlari dan melompat ke pelukan lelaki itu. Demi Tuhan, Clarisa tidak pernah begitu terhadapnya. Jadi daripada penasaran dan banyak menduga-duga. Martin melangkah mendekati keduanya Seketika keluar umpatan sekeras-kerasnya, saat melihat lelaki tak ia kenal sedang menyambar bibir Clarisa. Sementara Clarisa diam mematung demi mencerna apa yang tengah ia alami. "Brengsekkkkk!!!!!" Martin meraih tubuh Bima dari belakang, hingga terlepas dari tubuh Clarisa. Seolah tidak cukup puas, ia melayangkan pukulan sekeras-kerasnnya pada Bima. Bima yang tak bersiap, langsung terhuyung menerima pukulan Martin. Tapi ia langsung bersiap lagi, ketika Martin dengan kalapnya kembali menerjangnya. Bima menangkis pukulan Martin, dan memberi pukulan balasan pada Martin. Jadilah mereka berdua saling berkelahi. Martin bahkan terus mengumpat di sela pukulannya. Anggita berlari ke samping Clarisa, sementara sahabatnya masih mematung, seolah apa yang terjadi di depan matanya sebuah pertunjukan gratisan. "STOPPPPP!" Lengkingan suara Anggita membahana. Membuat dua orang lelaki yang hendak saling memukul terdiam. "Kalian kenapa berkelahi!!" teriak Anggita bingung sebingung-bingungnya. "b******k lho! Berani-beraninya cium cewek gue!" teriak Martin tak terima. Mata Anggita membola demi mendengar tuduhan Martin. Sontak ia menoleh ke arah Clarisa, dan makin heran melihat Clarisa masih menjadi patung. Bima cium Clarisa? Cium apanya? Serius mereka ciuman?Kok gak ada adegan tamparan dari Clarisa? Bima mengusap sudut bibirnya, yang mengeluarkan darah karena hantaman Martin. Begitupun Martin, tiada beda. "Siapa yang kamu maksud cewek kamu, dia sekarang kekasih saya." Bima tak mau kalah. Suara terkesiap keluar dari mulut Anggita. Astaga, lama-lama dia jantungan ada di kampung ini. "Jangan sembarangan lo. Gue gak terima lo sosor cewek gue!" Bima mengangkat alisnya. "Kamu gak lihat, Clarisa yang berlari ke arah saya?" Martin mendengkus. Lelaki ini benar, jelas-jelas Clarisa yang menghambur ke pelukan lelaki ini. "Bersikaplah layaknya seorang lelaki. Jika memang hubungan kalian putus, jangan memaksakan kehendak," tutur Bima. Anggita menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat bagaimana dua lelaki ini saling adu bicara. Dengan menahan emosi tingkat tinggi, Martin berbalik pergi. Jelas ia kalah telak hari ini. Anggita menghela napas panjang. Syukurlah Martin pergi. Lalu ia teringat sahabatnya, dan Anggita pun menoleh ke belakang. Terlihat Clarisa masih mematung. Nyaris seperti orang shock. "Ris, risa?" Anggita bahkan menggoyangkan telapak tangan di depan wajah Clarisa. Namun, jiwa Clarisa seolah terbang entah kemana, dan lupa kembali masuk ke dalam jasadnya. Bima menoleh dan terkejut melihat Clarisa masih berdiri di tempatnya. Jentikan jari Bima di depan wajah Clarisa menyadarkan gadis itu dari sikap mematungnya. "Ya ampun Ris, gue kira lho kenapa." Anggita kembali menghela napas. Ia takut sahabatnya amnesia mendadak. "Kita pulang." Kembali Anggita melongo melihat Clarisa berjalan ke arah pulang tanpa menoleh lagi, seolah dia dan Bima makhluk tak kasat mata. Ini Clarisa kenapa ya? "Clarisa, tunggu gue!" teriak Anggita dengan langkah cepat. Sempat menoleh sedikit ke arah Bima, sebelum berlari mengejar Clarisa yang entah kenapa langkahnya cepat sekali. Sementara Bima menatap kepergian keduanya, dengan bibir tersungging. Lalu ia menyentuh bibirnya. Manis. ** Nisa yang sedang duduk di teras terkejut melihat pemuda yang tadi izin akan ke sungai kini kembali dengan wajah yang bisa dibilang sudah berubah bentuk. Dengan kata lain, wajah yang semula tersenyum penuh bahagia untuk bertemu Clarisa, tapi kembali dengan wajah menahan emosi dan terlihat seperti orang yang habis berkelahi. Semoga bukan Clarisa pelakunya yang membuat wajah Martin menjadi seperti sekarang. Lagipula dengan apa, Clarisa membuat lebam di sudut bibir lelaki ini, hingga telihat jejak darah di ujung bibir Martin. Astaga! Nisa tak bisa membayangkan jika anak gadisnya melemparkan batu dikali pada lelaki ini. Karena panik menguasai pikirannya, Nisa berteriak memanggil sang suami. "Yah, ayah. Cepat kemari!" Firman yang duduk membaca koran di ruang tengah, sontak bangkit mendengar teriakan istrinya. Ia sempat menggeleng, kenapa sejak di desa ini, sering sekali mendengar teriakan istrinya? "Nak Martin kenapa?" Nisa bertanya dengan khawatir. Firman pun terkejut melihat penampakan lelaki ini. "Maaf Om, Tante. Sampai kapanpun saya tidak akan melepaskan Clarisa pada lelaki itu. Cinta saya sudah menggunung pada Clarisa, dan tak akan padam hingga kapanpun." Nisa dan Firman berpandangan. "Lelaki itu? Lelaki yang mana?" tanya Firman kebingungan. "Lelaki yang kini menjadi kekasih Clarisa," ketus Martin dengan menahan kesal. Tangannya masih mengepal erat, rahangnya pun mengetat. Belum lagi napasnya yang memburu. Naik turun, seolah berlomba dengan emosi yang ia redam sekuat-kuatnya. Sial, bagaimana bisa lelaki itu mendapatkan bibir Clarisa tanpa tamparan dari gadis itu. "Kekasih Clarisa?" Kini Nisa angkat bicara. Dengan penuh keheranan Martin memandang keduanya. "Jadi Om dan Tante tidak tahu jika Clarisa memiliki kekasih di sini?" Nisa menggeleng, diikuti Firman. Ya ampun Clarisa, kamu berbuat apalagi sekarang? Nisa memijit kepalanya, pening mendadak menderanya. Putrinya bahkan baru beberapa hari di desa ini, dan sudah memiliki kekasih? Tunggu, jangan-jangan Martin berkelahi dengan orang yang disebut kekasih anaknya itu? Sepertinya Nisa perlu mengajak putrinya bicara. Belum reda, pening yang mendera kepala Nisa, tampak putrinya pulang dengan wajah yang bisa dikatakan siap memangsa siapapun yang menghalangi langkah kakinya. "Lo masih ada disini?" bentak Clarisa tanpa memperdulikan kehadiran kedua orang tuanya. "Ris, kamu gak bisa kaya gini, aku gak mau putus dari kamu." Martin kembali menghiba. "Gue gak mau tahu! Pokoknya lo minggat dari sini dan gak usah temui gue lagi. KITA PUTUSS!!!" Suara Clarisa bahkan melengking tinggi. Masih dengan kesal, entah pada siapa, Clarisa berjalan melewati semua orang. Lalu memasuki kamarnya dan menutup pintu dengan sekeras-kerasnya, hingga membuat semua yang hadir terkejut bukan kepalang. Nisa dan Firman saling pandang. Lalu keduanya menggeleng. "Om, Tante. Saya pamit pulang dulu. Tapi saya tidak akan patah semangat. Saya akan kembali berjuang untuk cinta saya." Martin tak lupa mencium kedua telapak tangan Nisa dan Firman. Lalu ketika matanya bertemu dengan Anggita, ia melotot. Anggita yang tak terima, langsung mendelik. "Kenapa lo liat-liat?" tantang Anggita. Martin berdecak, lalu melangkah pergi. Nisa menoleh pada Anggita. "Anggi, sebenarnya ada apa? Itu Martin kenapa jadi begitu?" Anggita mengerjap. "Ng ... mmm ...." Ditatap intens kedua orang tua Clarisa yang jelas membutuhkan jawaban, membuat Anggita serba salah. Kalau dia salah bicara bisa repot urusannya, sedang dia saja masih belum mampu berpikir apa yang sebenarnya terjadi antara Clarisa dan Bima. Bahkan Anggita sempat berpikir, jika sahabatnya itu kemasukan jin penunggu sungai, hingga berbuat nekat. "Kalau mengenai itu, mending tanya Clarisa saja ya, a-aku mau ke kamar mandi, kebelet." Menghindar, jalan yang terbaik yang Anggita pilih. Nisa mendudukkan tubuhnya di kursi. Bulan lalu dia pusing memikirkan putri semata wayangnya yang tak jua membawa satu orang pun ke rumah untuk dikenalkan sebagai kekasih, diusia yang bahkan sudah cocok untuk berumah tangga. Kini, hari ini ia kembali dipusingkan dengan hadirnya lelaki yang mengaku sebagai kekasih Clarisa, dan satu orang lagi yang disebut kekasih putrinya yang entah siapa. ** Bima baru saja melangkah kedalam rumah, ketika sepasang anak berlari ke arahnya. "Papa!" Senyumnya terbit ketika melihat wajah bahagia terlihat pada dua bocah yang tampak menggemaskan. "Ikannya mana Pa?" si cantik yang bernama Adelia bertanya sambil mengerjapkan matanya. Bima menghela napas. "Papa gagal mendapatkan ikan sayang?" "Memang ikannya gak muncul saat papa mancing?" Kini Adelio yang bertanya. Senyum terbit di sudut bibir Bima. Yang muncul bukan ikan, tapi bidadari. "Besok papa akan coba mancing lagi ya," janji Bima pada keduanya. "Yeeeey!!" terdengar sorakan dari keduanya. Bima menundukkan tubuhnya, merenggangkan kedua tangannya. Kode supaya si kembar mendekat. Dan ketika mereka mendekat, tubuh keduanya digendong Bima, di kanan dan kiri. Sesekali melayangkan kecupan pada wajah keduanya, membuat Adelia dan Adelio tergelak karena gesekan rambut halus di rahang Bima. Sesosok wanita cantik keluar dari dalam rumah, karena mendengar tawa dari si kembar. "Lho Bim, sudah kembali?" tanyanya heran, karena biasanya lelaki ini suka lama menghabiskan waktu di sungai. Walau jujur, ia harus kecewa karena kedatangan lelaki ini kemari hanya karena si kembar. "Ya, lagi malas saja berlama-lama di sana." Bidadarinya keburu terbang lagi. Dan dia lupa mendapatkan selendang. Bima menurunkan si kembar yang kemudian berlari melanjutkan mainnya. "Kamu mau makan? Nanti aku siapkan." Bima menatap wajah wanita yang pernah bertahta di hatinya, dulu. "Nanti saja. Kalau mau aku pasti ambil sendiri. Gak perlu disiapkan segala." Tak lama terdengar suara dari si kembar. "Mama, lio merusak mainanku," keluh Adelia. Mitha segera menghampiri. "Lio, gak boleh dong sayang. Mainnya bareng-bareng ya." Bima menatap interaksi ketiganya. Andai semua tak pernah terjadi, mungkin hatinya bahagia ketika menatap mereka. Sayangnya mereka bukan milik Bima. Ponsel Bima bergetar. Bima melihat sekilas siapa yang menghubunginya. Senyumnya terbit. Ternyata Hendra, salah satu sahabatnya sejak masih di bangku SMA. "Hallo Hendra, ada angin apa nih sampai seorang bos repot-repot menghubungi rakyat jelata." Terdengar kekehan dari seberang sana. "Hallo Bima. Aku pikir kamu sudah tertelan bumi, nyaris tanpa kabar." Bima ikutan tertawa. "Ya ngerti dah yang baru jadi seorang ayah, pasti repot." "Bima, Bima. Makanya jangan jomblo kelamaan. Nanti keburu lupa kamu, bagaimana rasanya suka sama lawan jenis." "Ngomong-ngomong ada perlu apa nih, tumbenan telpone. Lagi gak nyari musuh kan?" Bima mendengar helaan napas. "Kamu ada waktu gak?" Sepertinya ada yang serius sama Hendra. "Aku kan pengangguran, waktu banyak bro." Hendra berdecak. "Ada masalah sama program internet di kantorku. Jadi aku mau pakai punyamu saja." Kening Bima mengernyit. "Gak coba pake punya Ganda?" tawarnya sambil mendudukkan tubuhnya di kursi. "Aku gak tahu ya, hubungi kalian berdua tuh susahnya minta ampun. Ganda mungkin sedang sibuk memperluas usahanya hingga keluar pulau. Sudahlah aku pakai milikmu saja." "Yakin nih?" tanya Bima tak percaya. "Kalau gak yakin, untuk apa aku repot-repot menghubungimu. Kapan kira-kira kamu bisa berkunjung?" Jari Bima mengetuk meja di hadapannya. Pasalnya ia sedang liburan, sebelum menyelesaikan semua urusannya. "Nanti aku cek agenda kerjaku dulu ya. Secepatnya aku kabari." "Oke, secepatnya, karena semua programku menggunakan internet. Kalau bisa dalam minggu-minggu ini. Oke?" "Oke," jawab Bima, lalu hubungan pembicaraan mereka terputus. Mitha yang sejak tadi melihat bagaimana senyum Bima terus berkembang, ikutan tersenyum. Bima memang tidak berubah, tetap tampan seperti dulu. Sayang, ia melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Ramaikan kolom komentar ya. Jangan lupa TEKAN LOVE UNGU dan FOLLOW AKUN. Semoga suka ya. Love Herni. Jakarta 21 Juli 2021
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD