CHL - Chapter 12

1530 Words
“Argh crap...” Maya membaringkan tubuhnya kembali dengan posisi meringkuk seperti janin. Dia menarik rambutnya dengan frustasi dan menggeram kecil. Dia lebih dari kata konyol. Untung saja Vincent tidak ada di kamar. Atau, apakah dia sudah pergi kerja lebih dulu? Bicara tentang Vincent, bagaimana ini? Vincent pasti jijik dengannya. Vincent pasti muak dan menginginkan dia kembali ke rumahnya. Kembali duduk dengan cepat, Maya berbisik pada dirinya lagi, “Oke berpikir, M. Pikirkan cara bersikap tidak ada yang terjadi tadi malam. Ayo, acting acting acting....” 1 detik hingga 5 detik berlalu. Maya mengerang. “Ergh! Itu terlalu sulit...” Dia mengingat semuanya dengan jelas. Dia tidak bisa melupakan aksinya begitu saja! Dia benar-benar malu! Tapi tunggu. Jam berapa sekarang? Maya melihat jam di atas nakas. Ia kembali mengutuk kecil, “Sialan.” Selesai mandi cepat dan menggunakan pakaian kerja yang sederhana, Maya menuruni tangga. Ketika menuruni anak tangga, ia melihat Vincent yang sedang mengeluarkan kotak sereal. Maya berhenti melangkah. Vincent mendongak tanpa berhenti melakukan pekerjaan tangannya. “Kamu sudah bangun?” ‘Bertindak biasa-biasa saja, Nona Ashley.’ Maya berkata dalam hati. Dia membersihkan tenggorokannya, dan berjalan mendekati Vincent di mini bar. “Hmm.” Vincent menunjuk kursi bar di depannya. “Duduklah.” Dan Maya memandang pria itu sejenak sebelum duduk. Sedikit mengejutkan Maya. Sikap Vincent sangat tenang dan santai setelah kejadian tadi malam. Maya jadi lega. Setidaknya Vincent tidak seperti yang ia bayangkan, membuangnya dan muak padanya. Lebih baiknya lagi, pria itu tidak membicarakan kejadian tadi malam. Maya tidak tahu lagi bagaimana mengekspresikan rasa leganya. “You okay?” Awalnya Maya hendak mengangguk pelan. Akan tetapi ketika Vincent mengetuk dahi pria itu, Maya secara naluriah menyentuh dahinya sendiri. Ada benjolan kecil di sana membuat Maya menunduk agak malu. Pantas saja terasa perih dan sangat pusing. Ini pasti ia dapatkan dari membenturkan keningnya di dinding tadi malam. “Sarapan dulu sebelum minum obat.” Vincent mendorong semangkuk sereal, satu buah aspirin dan segelas air mineral ke arah Maya. Memegang sendok, Maya berterima kasih sambil berbisik dan menggigit bibir bawahnya. “Thanks.” Maya tidak berani mendongak. Sebelum bisa mengambil suapan pertama, keberadaan Vincent di depannya yang tidak berpindah tempat membuat Maya melirik pria itu lewat tirai bulu matanya yang lentik. Vincent dengan kedua tangan memegang pinggiran meja mini bar dan memiliki wajah santai bertanya, “ Ada apa? Tante butuh sesuatu?” Kepala Maya tersentak kecil ke belakang. Kedua pipinya mulai memiliki rona merah muda. Pria ini menggodanya! Menunduk kembali, Maya menjawab singkat “Nope.” Maya mengaduk serealnya tanpa minat. Tiba-tiba saja satu cup ice cream dimasukkan ke mangkuknya. Maya kembali mengangkat wajahnya memandang Vincent. “Extra cream untuk Tante tersayang dari anak baik yang tampan.” Tidak hanya pipinya, sekarang seluruh wajah Maya berubah merah gelap seperti tomat busuk. Dia benar-benar ingin menangis. Oke, Maya menarik kembali ucapannya tentang Vincent. Pria ini tidak sebaik yang ia kira! *** Menggemaskan. Satu kata yang selalu Vincent gunakan tiap kali melihat Maya seperti itu. Seperti memiliki dua kepribadian, Maya saat malam dan pagi sangat berbeda. Satu sisi liar dan ganas seperti singa, di sisi lain seperti anak kucing yang menyedihkan. “Baiklah Tante kaya, pasang sabukmu.” Di dalam mobil, Maya menatapnya kesal dan Vincent menyeringai kecil. “Demi Tuhan, berhentilah mengejekku, Vincent!” “Mana bisa aku berhenti. Aku ingin menyenangkan Tanteku.” Marah bercampur malu, Maya segera membuang wajahnya dan mendengus kasar. Sepanjang perjalanan mereka menuju kantor, Maya merajuk. Dia tidak ingin menatap Vincent. Tiap kali Vincent baru saja mengeluarkan satu kata, wanita itu secepat kikat membungkam mulut Vincent dan menatap Vincent dengan tajam. Tiba di parkiran, sebelum Vincent bisa keluar, wanita itu sudah lebih dulu membukanya dan masuk ke dalam dengan langkah lebar. Menatap kepergian Maya hingga wanita itu menghilang dari pandangannya, dia menghela nafas. Maya benar-benar marah. Vincent mendekati meja Maya. “May—” “File proyek sedang saya kirim ke surel Bapak. Pagi ini Pak Vincent memiliki agenda rapat dengan seluruh Kepala Departemen hingga sore.” “M—” “Apakah Bapak ingin mengambil jam istirahat untuk pergi ke luar atau tetap melanjutkan rapat?” Vincent terdiam lama. Dia hanya menatap Maya. Begitu juga Maya membalas tatapan Bosnya. Ya, saat ini Vincent adalah Bosnya. Dia tidak boleh mencampur adukkan masalah pribadi ketika masih jam kerja. Tapi kenapa Maya merasa bahwa dia terlalu berlebihan sekarang? Well, Maya tidak peduli jika dia berlebihan. “Pagi, Pak Vincent.” Suara seorang wanita mengganggu keheningan mereka. Vincent dan Maya memandang siapa yang datang. Sarah. Wanita itu tersenyum manis pada Vincent. Dia terlihat bersinar pagi ini. Maya bahkan bisa mencium aroma parfum yang sangat kuat dari mejanya membuat dia mengerucutkan hidungnya. “Ini berkas yang kemarin. Perlu tanda tangan Bapak.” Sarah yang memiliki suara lembut berbicara seraya menyerahkan dokumen dengan kedua tangannya. Vincent mengambilnya dan tersenyum tipis. “Oke. Lain kali tolong kerjakan tepat waktu ya, Sarah.” Ketika Vincent menyebut namanya, mata Sarah berbinar lebar. Sedangkan Maya hanya menatapnya datar. “Baik, Pak Vincent.” Sarah membawa rambut hitamnya ke belakang telinganya. “Oh iya siang ini saya dan teman lainnya ingin makan di luar. Kami berharap Pak Vincent mau ikut.” “Saya sangat menyesal menolaknya. Sekretaris saya mengatakan bahwa saya memiliki rapat hingga sore.” Setelah Vincent membawa posisi Maya di percakapan mereka, baru saat itulah Sarah menatap Maya. “Ah begitu... Pak Vincent masih sibuk ternyata...” Sarah segera menyapa Maya tak kalah lembut ketika menyapa Vincent. “Pagi, Maya.” Sebagai balasan, Maya hanya tersenyum singkat tak sampai ke mata. Detik berikutnya suasana di antara 3 orang itu mulai berubah menjadi hening dan canggung. Maya dan Vincent menatap Sarah dalam diam dan sabar. Dengan otak Sarah yang sangat lambat merespon segalanya, dia membutuhkan hampir satu menit untuk sadar. Wajahnya memerah karena malu dan menunduk. “Um, kalau begitu saya kembali ke meja saya, Pak Vincent.” Sepeninggalan Sarah, Maya berkata, “Apakah kita pergi sekarang, Pak?” Vincent kembali terdiam beberapa saat. Yang hanya bisa dia lakukan adalah mendesah pelan. Tanpa berbicara, dia mulai memimpin jalan menuju ruang rapat. Karena mereka tidak bicara dan hanya suara sepatu mereka yang terdengar di lorong yang luas tersebut, Vincent tidak betah. Dia baru saja membuka mulutnya, ketika Maya mengeluarkan ponselnya dan menghubungi restoran terdekat. Entah karena Maya yang sangat sangat sangat kompeten atau karena ingin menghindari percakapan pribadi mereka, Vincent tidak bisa tidak meringis dalam hati. Maya benar. Rapat yang berlangsung berjalan hingga sore. Dan selama rapat dari pagi sampai sore itu Maya sama sekali tidak menatapnya. Di saat karyawannya menjelaskan di depan, Maya akan menatap orang itu dengan fokus. Dan ketika Vincent mencoba berbicara panjang lebar dan menoleh ke belakangnya, wanita itu sama sekali tidak menatapnya. Dia tampak menyibukkan dirinya mencatat apapun yang penting. Duduk dengan jarak yang dekat, namun terasa jauh membuat Vincent tersiksa. Dan bayangkan saja selama lebih dari 7 jam Maya mempertahankan sikapnya seperti itu. Itu sungguh menyebalkan. Akhirnya rapat berjalan mulus dan selesai tepat waktu, setengah lima sore. Vincent dengan Maya yang berjalan di belakangnya kembali ke ruangan mereka. Maya baru saja ingin duduk di kursinya tepat ketika Vincent berkata, “Ke ruanganku.” Menatap pintu ruang kerja Vincent yang baru saja tertutup, Maya mendesah. Dia tahu, dia tidak bisa menghindar selamanya. Namun dia tidak pernah terpikirkan jika waktunya sangat cepat. Dia pikir akan memakan waktu Setidaknya berhari-hari. Namun sepertinya Vincent tidak bisa menunggu selama itu. Dia mengetuk pintu pelan sebelum masuk. Vincent sudah melepaskan jasnya. Di saat Maya berhenti tidak jauh dari meja pria itu, Vincent sedang mengendurkan dasinya. Vincent tidak mendekat. Dia hanya menatap Maya dari tempatnya. “Apakah godaanku terlalu berlebihan untukmu, M?” Maya tidak menjawab. Dia bahkan tidak menatapnya. “Aku tidak mengejekmu. Aku malah menyukainya. Aku suka ketika kamu menjadi anak kucing. Pemalu, manis, lucu, dan aktif.” Maya menatap Vincent perlahan. “Aku juga suka ketika kamu menjadi Tante kaya raya yang liar.” Maya memejamkan matanya dengan gigi terkatup. “Vincent—” “Dengarkan aku dulu.” Vincent menyelanya. “Kamu membuatku panas.” Vincent mulai berjalan mendekati Maya. “Kamu membuatku bersemangat, M. Harus kuakui, aku merindukan Tante kayaku sekarang. Seandainya malam ini dia tidak menginap di rumah Ibunya, mungkin aku bisa mengajaknya kembali ke bar. Kita bisa memesan presidential suite dan aku akan memuaskanmu sampai pagi.” Maya tidak bisa berkata-kata. Perutnya mulai terasa seperti ada banyak bunga yang mulai tumbuh dan menjadi kebun. Vincent berhenti di depan Maya. Ujung sepatunya menyentuh ujung high heels Maya. Dia memegang kedua lengan atas Maya, memberi remasan lembut di sana. Dia menunduk dan mengusap ujung hidungnya pada hidung Maya. “Jadi ku mohon. Jangan marah dan merajuk lagi, M. Tadi malam kamu mengobarkan apiku tapi kamu tertidur. Dan aku sangat tersiksa sepanjang malam, kamu tahu?” Napas mereka mulai bersahutan. Bibir Vincent sesekali akan menyentuh bibir Maya, menggodanya secara halus. Namun tidak sampai benar-benar menciumnya. “Dan tolong kembalilah Minggu sore agar kita bisa pergi ke bar dan bercinta di manapun kamu mau.” Maya mengigit bibir bawahnya ketika dadanya berdesir. Jantungnya berdebar-debar terasa aneh namun menyenangkan. Kalimat itu terdengar sangat menggiurkan untuk Maya. Tuhan pun tahu, permohonan semacam itu sangat sulit Maya tolak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD