Mobil mewah Vincent berhenti di depan rumah Ibu Maya. Dia melirik Maya di sampingnya yang sedang melepaskan seat belt sebentar sebelum menatap rumah di depannya.
Maya mencondongkan tubuhnya dan mengecup cepat bibir Vincent sebelum membuka pintu mobil.
“Hubungi aku jika kamu ingin kembali.” Vincent berujar sebelum Maya bisa keluar.
”Yes, Sir!”
Maya mundur beberapa langkah dan menunggu hingga mobil Vincent menghilang dalam kegelapan malam. Dia mendorong pagar rumah Ibunya dan masuk.
Sebelum Maya bisa menekan bel, pintu rumah sudah dibuka dari dalam. Nadin melirik ke belakang Maya sebelum menatap anaknya. “Ayo, masuk.”
Begitu Maya masuk, Nadin berbicara, “Ibu pikir kamu bersama seseorang.”
Maya berhenti berjalan, sedikit tersentak. “.... Hm?”
Nadin tertawa kecil sambil mengibaskan tangannya. “Ibu rasa Ibu berhalusinasi. Dari dalam Ibu mendengar suara raungan mesin mobil yang asing. Taksi mana mungkin menggunakan supercar, iya kan?”
Maya membuka mulutnya sedikit, memberi jeda sebelum tertawa aneh. Mobil Vincent sepertinya cukup mencolok di sini. “Milik tetangga mungkin?”
Nadin mengangguk. “Hm, mungkin... Kamu sudah makan, Sayang?”
Dengan wajah menggemaskan Maya menggeleng. “Maya mau mengajak Ibu makan di luar.”
“Kebetulan Ibu juga belum masak makan malam. Rencananya Ibu akan memesan makan malam untuk kita berdua.”
Maya mengalungkan tangannya di lengan Ibunya. “Jadi tunggu apa lagi? Ayo kita pergi kencan! Maya mau makan bakso di depan jalur sebelah.”
Sontak saja Nadin tertawa. “Ayo. Ibu juga ingin makan bakso.”
***
Pagi berikutnya, Maya melakukan yoga di halaman belakang rumahnya. Ibunya memiliki halaman belakang yang tidak bisa dikatakan luas namun sangat terawat dengan banyaknya tanaman kesukaan Nadin. Hal itu jugalah yang membuat Maya suka melakukan yoga rutin di sana tiap pagi.
Pose terakhir yang ia lakukan akhirnya selesai. Tubuhnya sudah berkeringat banyak ketika dia mengemasi matrasnya.
Masuk ke dalam rumah, dia melihat Ibunya sedang berbicara di telepon.
“Ya?” Nadin tertawa. “Datang saja ke rumah saya .... Boleh kok. Kebetulan anak saya juga ada di rumah...”
“Siapa?” tanya Maya tanpa suara.
“Teman Ibu.” Nadin menjawab tanpa suara juga.
Tidak ingin mengganggu Ibunya, Maya hanya mengangguk lalu menaiki anak tangga ke kamarnya.
2 jam Maya butuhkan untuk mandi dan berpakaian, dan melakukan perawatan rutin paginya. Maya kemudian turun ke bawah dan mencari Ibunya di ruang santai.
“Teman Ibu mau datang?”
Nadin mengangguk. “Sore ini. Kami berencana mau ke Pantai minggu depan. Dengan teman arisan Ibu yang lain.” Melihat bagaimana anaknya menggoda dia dengan raut wajahnya ketika menyebutkan arisan, Nadin ingin memukul Maya namun tidak jadi karena Maya sudah menghindar lebih dulu. “Karena kamu ada di sini, dia juga mau ke sini. Mau minta izin sama kamu.”
Maya tersenyum. “Pergi saja, Bu. Jangan khawatirkan Maya.
Teman Nadin membawa banyak perubahan untuk Nadin. Harus Maya akui dia berterima kasih pada wanita yang belum pernah ia lihat. Dia sangat senang karena Ibunya tidak harus berada di dalam rumah terus menerus. Sebelum-sebelumnya, Ibunya hanya keluar untuk belanja kebutuhan bulanan atau mengobrol dengan tetangga. Hal itu membuat Maya agak sedih. Jadi, dia kerap kali mengajak Ibunya makan di luar hanya untuk mencari udara segar. Ia melakukanya sebelum dia tinggal di penthouse Vincent.
“Oh iya Ibu hampir lupa. Kita harus belanja bahan makanan sekarang.”
Maya menatap Ibunya. “Belanjaan kemarin kan masih cukup, Bu.”
Wajah Nadin bercahaya ketika berbicara, “Dia bilang akan membawa anak laki-lakinya kemari.”
***
Vincent baru saja selesai mandi ketika mendengar bunyi ponselnya di atas nakas sebelah tempat tidur yang besar. Mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil, ia mengambil ponselnya. Dia menatap layar ponsel, ternyata itu adalah Ibunya. Vincent pun mengangkatnya.
“Ya, Ma?”
“Temani Mama sore ini.”
Vincent mengerut kecil. “Mama mau belanja?”
“Bukan. Mama mau bertemu teman Mama.”
“Sopir pribadi ke mana, Ma?”
“Mama suruh dia kembali ke kampungnya. Anaknya sakit. Jadi, kamu harus mengantar Mama.” Sebelum Vincent bisa menolak, Amanda segera menambahkan ucapannya, “Mama tidak menerima penolakan dari anak Mama satu-satunya. Kamu mau ya ya ya...”
Vincent menghela napas. “... Oke.”
***
Sepertinya Nadin memang tidak main-main ketika berkata ingin berbelanja. Dia menjadi gelap mata ketika mengumpulkan bahan makanan ke dalam keranjang belanjaannya. Maya tahu jika Ibunya hanya ingin melakukan yang terbaik untuk para tamunya tapi bukankah terlalu berlebihan? Jangan sampai Ibunya kembali ingin menjodohkannya lagi dengan anak teman Ibunya.
Jika itu benar, Maya tahu bagaimana drama tersebut berlangsung; ‘Ini semua masakan anakku, lho! Dia bisa begini begitu....’ yang intinya seperti memasarkan anaknya.
Oh lord.... jangan sampai.... Maya memijit pelipisnya. Dia jadi memiliki keinginan untuk mempertemukan Vincent dengan Ibunya secepatnya agar niat Nadin yang ingin menjodohkannya segera pupus.
Tiba di rumah, Maya membantu Ibunya memasak. Dan berjalannya waktu tidak terasa sudah sore saja. Dia kembali ke kamarnya untuk mengecek ponselnya untuk membalas pesan teman-temannya.
Sebelumnya, dia mengirimkan pesan pada Vincent menanyakan apa yang dia lakukan sekarang dan pria itu sudah membalasnya beberapa menit yang lalu. Namun, sebelum dia bisa membukanya, pintu kamar Maya terbuka. Dia menoleh ke pintu.
“Ayo turun, Sayang. Teman Ibu sudah datang.”
“Iya, Bu.” Maya meletakkan ponselnya di tempat tidur. Beranjak dari tempat tidur, dia kemudian menutup pintu kamarnya dengan bunyi pelan.
Meninggalkan satu pesan Vincent yang bertuliskan: ‘Aku menemani Ibuku.’
Dari anak tangga, Maya bisa mendengar suara ketawa Ibunya dan wanita lain. Tanpa Maya lihat, Maya bisa menebak bahwa itu adalah suara teman Ibunya.
Kedua sudut bibirnya ia tarik ke atas untuk membentuk senyum sopan sebelum memasuki ruang tamu. Dan ketika ia melihat ada seorang wanita paruh baya seumuran Ibunya, senyumnya berubah ramah.
Maya menatap lekat teman Ibunya. Dalam hati, dia berterima kasih karena beliau ingin berteman dengan Ibunya.
“Ini anak kamu, Nadin?”
“Benar.” Nadin mengangguk. “Kemari, Nak. Ini adalah teman Ibu.”
“Halo Tante. Saya Maya," sapa Maya sopan.
“Wah, anakmu cantik dan sopan, Nadin!” serunya berlebihan. Dia tampak menyukai Maya hanya dengan sapaan Maya.
Sedari tari ekor mata Maya menangkap orang lain di sana namun ia terlalu fokus menatap wajah lembut teman Ibunya. Dan dengan perlahan pendangannya bergeser sedikit. Saat ia memandang pria di samping teman Ibunya, senyum ramah Maya seketika membeku kaget sebelum dengan perlahan menghilang.
Menyadari siapa yang Maya lihat, teman Ibunya segera memperkenalkan anaknya. “Maya, ini adalah anak Tante. Namanya Eric.”
Pria itu tersenyum. “Hai...”
Kenapa.... Demi bumi, dewa dewi dan langit, kenapa bisa Eric ada di sini?
***
Duduk di sebelah Ibunya, Vincent melirik jam tangannya. Amanda yang melihat itu segera menarik tangan anaknya ke bawah.
“Jangan tidak sopan begitu.” Amanda berbisik.
“Mereka belum datang.”
“Tetap saja, jangan begitu.”
“Jam berapa mereka tiba?”
“Sebentar lagi.”
Ruangan pribadi restoran mewah itu terbuka. Amanda dan Vincent berdiri ketika dua orang wanita masuk ke dalam.
“Aku harap kamu tidak menunggu terlalu lama, Amanda.” Seorang wanita paruh baya menghampiri Amanda dengan tergesa-gesa dan segera memeluk Amanda. “Kamu tahu bagaimana anak muda zaman sekarang ketika memilih pakaian dan merias dirinya. Sangat lama!”
“Mah!” Suara merdu yang lembut terdengar di belakang wanita itu.
Amanda tertawa. “Kita pernah merasa muda, Lindsay. Sangat wajar para wanita menghabiskam berjam-jam untuk mempercantik diri.” Amanda kemudian memegang lengan anaknya. “Ini dia anakku. Namanya Vincent.”
Lindsay memandang Vincent dari atas ke bawah dengan tatapan menilai sebelum mengangguk puas. Sedangkan Vincent yang ditatap intens oleh teman Ibunya tidak merasa terganggu. Dia hanya berdiri dengan tenang tanpa menyela para wanita.
“Ah ini anakku.” Lindsay mengamit anaknya ke sampingnya dengan bangga. “Namanya Sandara. Dia baru berusia 20 tahun ini.”
“Wah muda sekali. Kamu juga cantik seperti ibumu.”
Sandara tersenyum malu-malu. “Terima kasih, Tante Amanda.” Dia kemudian menatap Vincent. Namun pria itu hanya melirik Amanda.
“Ma.” Vincent memanggil Amanda pelan. Dia mulai jengah melihat para ibu yang masih berdiri sambil berbicara.
“Oh ya, ayo duduk!” Amanda menunjuk kursi di depan mereka. “Kami sudah memesan makanan untuk kita. Aku harap kalian berdua menyukainya.”
“Kami bukan pemilih, tenang saja.” Lindsay tertawa dan Amanda ikut tertawa.
Makanan mereka tiba dengan cepat. Lindsay dan Amanda tidak berhenti mengobrol seolah mereka baru saja bertemu setelah sekian lamanya. Sandara selalu menatap siapapun yang bicara seolah menjadi pendengar yang baik dengan sesekali mengangguk dan ikut tertawa. Sedangkan Vincent hanya menunduk dan makan dalam diam.
“Tante dengar kamu menjadi Direktur Utama di Adinata ya, Vincent?”
Obrolan para Ibu tiba-tiba mengarah pada Vincent. Namun Vincent tidak terlihat terkejut atau marah. Dia dengan tenang mengangguk.
Melihat pasifnya anaknya membuat Amanda turun tangan. Dengan sayang dia menyentuh lengan anaknya. “Dia ini lulusan dari Singapura. Awalnya ingin membuka bisnis baru tapi Papa Vincent menyuruh Vincent bekerja di perusahaan teman Papanya.”
“Ya ampun, kamu memiliki anak yang berbakti ya, Amanda. Selain tampan dan cerdas, Nak Vincent ternyata sangat patuh pada orang tuanya. Aku masih terkejut, sungguh. Ternyata dia memang benar Direktur Utama di Adinata. Kalau anak muda sekarang bilangnya CEO, iya kan? Kamu pasti bangga pada anakmu. Aku jadi iri...”
Amanda tertawa elegan dengan satu tangan menyembunyikan mulutnya yang terbuka. Tampak jelas bahwa dia bahagia mendengar pujian itu. “Kamu berlebihan. Anakku belum sebulan bekerja di sana. Dia masih perlu banyak belajar di Adinata sebagai CEO baru. Di awal-awal masuk kerja saja dia sangat sibuk. Banyak pertemuan yang harus dia lakukan sampai-sampai tidak bisa menemui orang tuanya.”
Dalam hati, Vincent menggelengkan kepalanya. Ibunya baru saja menjabarkan definisi rendah hati dengan sombong.
“Nak Sandara, apa yang kamu lakukan sekarang?” Amanda bertanya pada wanita muda di sebelah Lindsay. Suaranya sangat lembut.
Mendengar nama lain selain Lindsay, Vincent melirik seseorang di depannya. Baru sekarang dia melihat wanita yang sangat muda itu. Sebelumnya dia bahkan tidak tertarik siapa-siapa saja yang ada di meja mereka.
Vincent tidak bodoh. Dari awal dia tahu pertemuan apa ini. Namun, bukankah wanita ini terlalu muda untuk dijodohkan?
Sandara yang selalu menatap Vincent sembunyi-sembunyi segera membeku ketika pria itu akhirnya menatapnya. Pipinya yang pucat segera memiliki warna alami. Dia menunduk dengan patuh sebelum menjawab dengan suara yang halus. “Sandara masih kuliah, Tante Amanda.”
Seperti Ibu yang bangga dan suka memamerkan anaknya, Lindsay segera berbicara dengan menggebu-gebu, “Dara ini kuliah di kampus kita dulu, lho!”
Amanda terkejut. “Benarkah?”
Lindsay mengangguk antusias. “Katanya dia mau melanjutkan pendidikannya di tempat Ibunya menempuh pendidikan. Dia mengambil jurusan manajemen bisnis. Dia tidak hanya aktif di bidang akademik, Dara juga aktif di organisasi di kampusnya. Tahun depan, dia akan wisuda.”
“Serius? Wah, cepat juga!” Kemudian Amanda menatap anaknya. “Sandara anak yang berprestasi ternyata...”
Amanda masih menatap anaknya, namun Vincent tampak biasa-biasa saja.
Lindsay membusungkan dadanya ketika tertawa sebentar. “Kudengar Vincent bahkan memiliki gelar PhD.”
Amanda mengangguk lembut. “Setelah lulus SMA, Vincent langsung kuliah di Singapura. Mengambil gelar Magister di Amerika selama 1 tahun. Lalu program doktoral di Singapura lagi selama 3 tahun.”
“Kamu pasti bangga. Tidak seperti anakku. Dara bilang hanya cukup sampai S1. Dia tidak mau melanjutkan pendidikannya dan hanya ingin membuka ‘beberapa yayasan kecil’ di Indonesia.” Lindsay sengaja menekankan tiga kata itu.
“Membuka Yayasan katanya, Nak.” Amanda berbicara pelan pada Vincent. Dan pria itu hanya menatap Ibunya dalam diam.
Lindsay mendesah. “Kau harus tahu, Amanda, anak perempuanku satu-satunya ini sangat tegas dengan pilihannya. Sampai-sampai aku tidak bisa mengganggu pemikirannya.”
Vincent menghela nafas dalam-dalam. Sepertinya Amanda mendapatkan teman yang memiliki sifat yang sama dengannya.
“Mah!” Sandara kembali memanggil Ibunya dengan nada lembut. Wajahnya bersemu malu karena Ibunya yang terlalu membanggakan dia.
Amanda menggeleng. “Tidak. Seharusnya kamu bangga pada Sandara. Dengan pemikiran Sandara yang seperti itu, itu menandakan bahwa dia memiliki wawasan yang luas dalam kesejahteraan masyarakat dan dia adalah calon orang-orang yang dermawan. Aku yakin, kelak dia akan menjadi wanita yang dipuja para pria!”
Pipi Sandara semakin bersemu. “Terima kasih, Tante Amanda.”
Amanda menggangguk puas. Lalu menatap anaknya dengan alis terangkat, seolah bertanya, ‘Bagaimana? Dia wanita yang cocok, kan?”
Pura-pura tidak mengerti maksud dari Ibunya, Vincent memeriksa ponselnya. Karena tidak ada pesan masuk dari Maya, dia menyimpannya kembali ke dalam saku.
“Apakah Sandara memiliki pacar?” Amanda bertanya.
Sandara menggeleng pelan. “Belum ada, Tante Amanda.”
“Pas sekali!” Amanda berseru antusias. “Anak Tante juga tidak punya pacar! Kalian bisa pergi berdua jika ada waktu.”
Sandara maupun Vincent menatap Amanda. Akhirnya, Ibunya menyampaikan tujuannya.