Eric, mantannya yang terbaru. Mantan pacarnya yang pernah berjanji akan menikahinya. Mantan pacarnya yang pernah berjanji ingin membangun rumah tangga dengannya. Dan mantan pacarnya yang sering kali berkata menjadikan Maya satu-satunya wanita di dalam hatinya.
Namun yang terjadi adalah, Eric, mantan pacarnya yang berengsek ini telah menggoreskan luka yang teramat dalam di hati Maya hingga sekarang.
Dulu, mereka bersama-sama menabung untuk membeli sebuah unit luas apartemen untuk kelak mereka tinggali ketika mereka sudah menikah. Itu sudah lebih dari cukup menandakan seberapa seriusnya Eric pada Maya. Maya selalu memberikan sebagian gajinya pada Eric sehingga membiarkan Eric mengurusi pembayarannya.
Tapi beberapa bulan berikutnya, ia baru mengetahui kebusukan Eric. Seorang agen real estate menghubungi Maya karena tidak bisa menghubungi Eric. Dia mengatakan bahwa unitnya sudah bisa ditempati karena sudah dibayar penuh. Bukankah masih ada beberapa bulan lagi, pikir Maya. Maya yang kebingungan segera bertanya pada agen tersebut. Dan semuanya terbongkar. Unit yang mereka cicil ternyata tidak semahal yang Eric katakan. Dan lebih mengenaskannya, ternyata Maya membayar cicilan perbulannya sebanyak dua per tiga lebih banyak dari Eric.
Marah karena telah dibohongi, Maya tidak menghubungi pria itu selama beberapa hari. Saat Eric menghubunginya, Maya tidak mengangkatnya. Dan hari ketiga setelah mendiamkan Eric, Maya menuju apartemen tersebut sangat pagi. Dalam perjalanannya ia mencoba untuk memaafkan Eric. Toh hubungan mereka sudah sangat matang dan itu hanyalah angka. Mungkin saja Eric memiliki kondisi keuangan yang buruk pada saat itu makanya dia tidak ingin membuat Maya mengkhawatirkannya. Bahkan Maya ingin Eric menemui Ibunya secepatnya. Maka dari itu ia berniat ingin menjernihkan pikirannya di unit tersebut dan mencoba mengalah dan bersikap dewasa.
Akan tetapi, setelah membuka pintu kamar utama dan melihat prianya masih tidur tanpa busana dengan wanita lain, Maya benar-benar mengamuk.
Persetan dengan semua janji manis pria itu. Persetan dengan sikapnya yang menyayangi Maya sebelumnya. Dan persetan dengan Eric, pria yang mengesahkan tempat tidur mereka nantinya, dengan wanita lain!
Mereka bertengkar hebat dengan Maya yang menginginkan uangnya kembali. Sedangkan Eric menolak. Dia beralasan uang mereka akan dipotong sangat banyak.
Jika disuruh memilih, menikah dengannya atau menjadi lajang seumur hidup, Maya yang sekarang akan memilih menjadi lajang. Maya tidak akan pernah bisa memaafkan Eric sampai pria ini mengembalikan uangnya!
“Ibumu pasti sudah mengatakan alasan Tante kemari. Tapi tetap saja, Tante harus menanyakannya kepadamu, Maya.”
Suara Risma menyadarkan Maya dari tenggelamnya dia dalam kobaran kemarahannya yang kembali datang.
Mereka sedang berada di meja makan. Setelah mengetahui bahwa teman Ibunya adalah Ibu Eric, Maya merasa sedikit menyesal telah membantu Ibunya menyiapkan makanan untuk pria itu. Untuk Tante Risma, tidak masalah. Untuk Eric si sumber masalah, Maya akan membuang semua hidangan di atas meja.
“Apa kamu membolehkan Ibumu ikut Tante dengan teman-teman Tante ke Pantai?” Risma melanjutkan perkataannya.
Maya tersenyum tipis. “Iya, Tante.”
Wajah Risma terlihat cerah. Begitu juga Nadin. “Kalau begitu sudah dipastikan kamu bisa ikut bersama kami.”
“Iya.” Nadin mengangguk sambil tertawa. “Sekarang kerja di mana, Nak Eric?” tanya Nadin tiba-tiba karena topik tentang Pantai sudah beres.
“Dia sudah 5 tahun kerja di Manajemen Investasi.” Risma, teman Nadin mewakili anaknya ketika berbicara.
“Oh perusahaan investasi ternyata...” Nadin bergumam ketika menatap Maya.
“Dia ini ahli saham. Dia sangat hebat menganalisa kesehatan perusahaan di masa mendatang. Semua investor pemula yang menggunakan jasanya sangat berterima kasih padanya.”
“Oh...” Nadin berseru sambil mengangguk sebelum kembali menatap anaknya, “Eric hebat ya, Nak?”
Maya menatap ibunya datar. Jika saja Ibunya tahu seperti apa Eric yang sebenarnya.
Dan juga, Eric sepertinya tidak berniat untuk mengatakan bahwa mereka pernah berpacaran. Dan Maya bisa dengan sangat jelas mengetahui bahwa Eric takut. Jika dia mengatakannya, Maya pasti mengungkapkan kebusukannya dengan rinci. Dia pasti tidak ingin membuat keluarga pria itu malu.
“Maya memang diam, tapi aku tahu dia memuji anakmu, Risma.”
Risma tertawa. “Tante dengar kamu menjadi sekretaris ya, Maya?”
Maya mengangguk pelan. “Iya, Tante.”
“Kamu pasti lelah ya, Nak?”
Demi Tuhan, Maya bergidik ketika Tante Risma memanggilnya dengan sebutan itu. Dia membetulkan posisi bokongnya sebelum menjawab, “Saya menyukai pekerjaan saya.”
Risma mengangguk. “Sama seperti Eric. Anak Tante ini menyukai pekerjaannya saat ini.”
Saat itulah Nadin kembali menatap Eric yang tidak menyentuh makanannya. “Eh, Nak Eric. Ayo dimakan. Ini semua masakan Maya, lho!”
Eric tersenyum. Sedangkan Maya menunduk pada piringnya dan memutar matanya. Akhirnya Ibunya mengatakan kebohongan kecil itu.
Oh Tuhan, Maya mengerang dalam hati. Ia berharap ini akan cepat selesai dan dia bisa kembali ke kamarnya.
Beberapa menit berikutnya mereka selesai makan. Nadin mengajak para tamu ke ruang tamu. Dan Maya menuci semua piring kotor.
Dari tempatnya dia bisa merasakan seseorang mendekatinya. Dia bertanya tanpa berbalik, “Teman Ibu sudah pulang?”
Tidak mendapati jawaban namun Ibunya masih di belakangnya menyebabkan Maya menoleh. Di sana, tidak ada Nadin tetapi Eric. Pria itu berdiri tidak jauh darinya. Raut wajah marah yang Maya coba tahan sedari tadi akhirnya lepas. Dia mencuci tangannya yang berbusa lalu menatap Eric sambil menyilangkan tangannya di depan dadanya.
“Mau apa kau ke sini?”
“Maya—”
“Bukankah aku menyuruhmu untuk tidak menemuiku? Bukankah aku sudah bilang, hanya satu hal yang bisa membuat kita bertemu yaitu kau yang mengembalikan semua uangku. Dan setelah itu kita akan menjadi orang asing.”
Eric menggeleng. “Tapi aku tidak ingin itu.”
“Kenapa tidak bisa? Oh aku tahu, kau pasti tidak bisa melepaskan unit itu begitu saja. Unit itu sangat besar. Kau pasti semakin sering membawa wanita acak ke sana dan memamerkannya ke teman-temanmu. Oh, apa mereka tahu bawa aku adalah orang yang memiliki andil paling besar membelikanmu unit?”
“May—”
“Dengar, Eric... Ini terakhir kalinya kau kemari. Walaupun Ibuku dan Ibumu berteman, aku tidak akan mengizinkanmu datang ke sini ke depannya. Dan pertahankan sikap asingmu.”
“Maya, aku sedang berusaha untuk berubah.” Eric berkata cepat sambil melangkah maju. Ketika ia ingin menyentuh Maya, Maya dengan sigap mundur. Tidak ingin menerima sentuhannya. Mata pria itu terlihat terluka namun Maya tidak peduli. Hanya itu tidak membuatnya luluh jika dibandingkan banyak hal yang pria ini lakukan pada hati Maya.
“Aku ingin berubah.” Eric mengulangi ucapannya. “Aku selalu menghubungimu tapi kamu tidak pernah mengangkat panggilanku. Terakhir kali aku menghubungimu, kamu memblokir nomorku. Aku pikir harapanku pupus, tapi ketika Mamaku mengatakan dia memiliki teman baru yaitu Tante Nadin, ibumu dan Mamaku menunjukkan fotomu. Aku tahu ini takdir kita. Aku yakin aku memiliki kesempatan. Kumohon, May. Beri aku kesempatan satu kali lagi. Demi kita berdua. Kamu lihat kan kedua ibu kita berteman bahkan ingin menjodohkan ki—”
“Okay, enough.” Maya mulai sakit kepala.
“Kamu.... Mau beri aku kesempatan ‘kan?” tanya Eric pelan. Matanya penuh dengan harapan.
Dengan tegas Maya menolak menyebabkan bahu pria itu merosot. “Aku tidak menyukaimu lagi, Eric. Aku hanya ingin uangku kembali dan kau pergi jauh dari hidupku.”
“Tapi, May—”
“Di sini rupanya kamu, Eric. Sudah selesai dari toilet? Mamamu menanyakanmu kenapa belum kembali.” Nadin datang pada waktu yang tepat bagi Maya.
Secara naluriah Maya kembali mencuci piring sambil berbicara dengan tenang, “Dia baru saja keluar, Bu.”
Eric dengan terpaksa tersenyum pada Nadin.
“Bukannya Anda bilang ingin pulang cepat karena ada urusan?”
Baik Eric maupun Nadin menatap Maya. Kemudian Nadin menatap Eric kembali. “Apa benar, Nak Eric?”
“Um—”
Sebelum Eric bisa menjawab, Maya menyelanya, “Dia barusan mendapatkan panggilan. Sepertinya itu dari perusahaannya. Apa saya benar?”
Kali ini, Eric mengangguk terpaksa setelah menatap Maya sebentar. Dia memandang Nadin. “Maafkan saya, Tante. Saya harus pergi.”
“Sangat disayangkan... Padahal ini weekend.” Nadin mendesah sedih namun tetap saja mengangguk.
“Ada apa?” Risma datang menyusul Nadin ke dapur.
Eric segera mendekati Ibunya. “Ma, Eric ada urusan mendadak. Kita pulang sekarang, ya?”
Risma segera menatap Nadin. “Kalau begitu kami pulang ya. Kapan-kapan aku kemari lagi. Oh ya, minggu depan jangan lupa, Nadin!”
“Oke!”
Nadin keluar, melihat kepergian Eric bersama Ibunya. Sedangkan Maya tetap di dapur menyibukkan dirinya.
***
Setelah hari itu, weekend yang panjang bagi Maya dan Vincent berakhir dengan cepat.
Maya memeluk Ibunya cukup lama. Begitu pula Nadin.
Wanita paruh baya itu berkata setelah memberi jarak untuk mereka. “Jangan lupa makan dan istirahat yang cukup.”
Maya mengangguk patuh. “Jika Maya kemari, Maya akan menghubungi Ibu.”
“Hmm.” Nadin bergumam lembut.
Di luar rumah Nadin tidak melihat satu kendaraan pun di depan rumahnya membuat dia menatap anaknya dengan bertanya. “Kamu pulang menggunakan apa, Nak?”
“Oh, err taksi pesanan Maya di depan jalur, Bu. Maya pergi dulu, Bu.” Sebelum Ibunya bisa bicara kembali, Maya buru-buru pergi sambil melambaikan tangannya.
“Hati-hati, Nak!” Seru Nadin sebelum masuk ke dalam rumahnya.
Dari jauh, Maya bisa melihat mobil mewah di malam hari. Walaupun temaram, mobil itu sangat menarik perhatian. Maya segera berlari dengan high heels setinggi 9cm. Pria yang berada di dalam mobil keluar saat itu juga. Pria itu baru saja mengitari mobil tepat ketika Maya melompat ke dalam pelukannya. Maya menempelkan bibirnya pada bibir pria itu dan mengalungkan kedua tangannya di leher Vincent.
Dengan sigap, Vincent menahan tubuh Maya agar tidak jatuh dan membalas ciumannya. Mereka berciuman sangat menggebu-gebu, kuat, keras dan intens. Tanpa Maya sadari, Vincent membuka pintu mobil dengan tangannya yang bebas lalu memasukkan Maya yang terkikik ke dalam.
“Langsung pulang, Tante?”
Maya menggeleng. “Ayo kita ke bar. Tante akan membelikanmu pakaian jika Tante puas.”
Sontak saja Vincent tertawa terbahak-bahak begitu juga Maya. “As you say, Ma’am!”
Vincent mengitari mobil dan menyalakannya.
Tanpa Vincent dan Maya sadari, di belakang mereka, tidak jauh dari di mana Vincent memarkirkan mobilnya tadi, Eric memandang segalanya dengan jelas di dalam mobilnya. Cengkramannya pada kemudi mulai mengencang dan dadanya terbakar penuh amarah.
***
Di sore hari, ponsel Maya bergetar terus-menerus tanda pesan masuk. Melewati banyaknya obrolan grup kantor, dia segera membuka ruang obrolan grup para sahabatnya. Di sana, Iris mengajak mereka ke Department store untuk membeli gaun bersama wanita gila bernama Tiffany. Ya Tuhan, kenapa wanita jahat sepertinya memiliki nama yang cantik?!
Maya membalas dengan senang sejenak sebelum kembali pada pekerjaannya. Dia harus menyelesaikan tugasnya secepatnya agar bisa pulang cepat.
Oh! Maya hampir lupa.... Dia segera berdiri dan memasuki ruangan Vincent. Ketika membuka pintu, dia melihat Vincent yang tengah melakukan panggilan telepon. Ketika tatapan mereka bertemu, Maya segera mengeluarkan raut wajah menyesal sebelum menutup pintu dengan pelan.
Ia baru saja ingin duduk di kursinya tepat ketika pintu ruangan Vincent terbuka. Maya mendongak. Pria itu tidak memegang ponselnya. Apakah mereka sudah selesai berbicara?
“Kenapa tidak jadi masuk?” tanya Vincent.
“Aku pikir kamu sibuk dengan kolega... Lagi pula apa yang ingin aku katakan tidak terlalu mendesak.”
“Oh ya? Katakan.”
“Aku akan pulang malam. Aku ingin pergi bersama temanku.”
Vincent mengangguk pelan. Tanpa berpikir dia segera setuju. “Oke.”