CHL - Chapter 9

2239 Words
Jam istirahat, Maya berkumpul dengan teman-temannya di kantin kantor tanpa Iris. Vincent pernah berkata Iris sedang mengawasi gedung baru yang akan dijadikan pabrik dan gudang pembuatan produk terbaru dari Adinata. Suasana kantin sama seperti kantin kantor pada umumnya. Berisik dan sedikit sesak ketika mengantre. Makanya lebih banyak dari mereka yang makan di luar perusahaan. Setelah mendapatkan meja, Maya akhirnya bisa menghela napas. Mulai makan, Jane bertanya, “Apa kau lembur tadi malam? Aku melihat mobilmu masih di parkiran tadi malam.” Maya dengan cepat menatap Jane di seberangnya. “Ah iya, rekan di departemenku bilang melihat kau turun dari mobil Pak Vincent pagi ini.” Veronica, di sebelahnya menambahkan menyebabkan Maya mulai panik. Ayumi yang polos bertanya, “Apakah mobilmu baik-baik saja?” “Ya?” Maya mengerjap cepat. “Ya... Maksudku, tidak. Sebenarnya, tadi malam aku menemani Pak Vincent makan bersama koleganya. Ya kau tahu, membahas kerja sama. Saat kami kembali ke perusahaan, mesin mobilku tidak menyala. Jadi Pak Vincent mengantarku pulang. Tapi tenang saja. Mobilku sudah tidak apa-apa. Karena sangat larut sekali tadi malam, sudah diperbaiki. Jasa perbaikan mobilnya menghubungiku.” Menutupi kesalahannya karena berbohong lancar, Maya berdeham pelan lalu meminum minumannya. “Untung saja Pak Vincent orang yang baik. Dia mau mengantar jemputmu.” Jane berseru membuat Ayumi mengangguk setuju. “Pak Vincent orang yang ramah. Dia selalu tersenyum tiap kali karyawannya menyapa dia.” “Benar.” Veronica ikut setuju. “Dia sama seperti Pak Rudi. CEO Adinata sebelumnya.” Dan Maya hanya tersenyum pendek, tidak sampai ke mata dan kembali makan. “Ngomong-ngomong Pak Vincent tidak pernah makan di sini ya?” Menjawab Veronica, Maya menggeleng pelan. “Dia selalu makan siang di luar.” Sebelum teman-temannya menanyakan hal lain, Maya dengan lihai mengalihkan topik mereka. “Oh ya, apa kalian tahu kalau Iris memiliki proyek sendiri?” “Apa itu? Kenapa aku tidak tahu?” “Aku juga tidak tahu...” “Hei, ceritakan!” Dalam hati, Maya menghela napas lega. *** Vincent menatap layar ponselnya yang tidak memiliki notifikasi selain masalah pekerjaan dan itu membuat Amanda, ibunya menatapnya penasaran dari seberang meja. “Nak, ada pekerjaan?” Sebelum menggeleng, Vincent menyimpan ponselnya ke dalam jas bagian dalam. “Bagaimana kabar Mama akhir-akhir ini?” Amanda mendesah. “Ya, seperti sebelumnya... Tidak ada yang spesial. Bagaimana juga kamu?” “Mulai sibuk.” “Itu bagus. Papamu sudah lama mengenal Richard. Kamu pasti bisa bertahan di sana untuk waktu yang lama. Tapi jangan lupa untuk makan yang teratur. Jangan sampai kamu sakit akibat terlalu banyak beban pekerjaan.” Vincent hanya tersenyum sebelum meminum air mineral. “Mama baru saja mampir dari rumah teman Mama.” “.... Sosialita itu?” Setelah Vincent kembali ke Indonesia, Mamanya tidak berhenti menceritakan temannya pada Vincent. Dan lucunya, hanya satu orang yang dibicarakan Amanda. “Hmm.” Amanda bergumam malas. “Apa Mama sudah bilang jika dia memiliki anak peremp—” Tepat saat itu, ponsel milik Vincent berbunyi. Mengambilnya, Vincent menatap ibunya dengan wajah menyesal lalu berdiri dan mengangkat panggilan itu. Di kursinya, Amanda menatap punggung anaknya dengan sabar. Dan ketika Vincent kembali, Amanda mulai melanjutkan pembicaraan mereka yang tertunda. “Mengenai pembicaraan tadi, Mama dan teman Mama—” “Ma, maaf. Vincent harus kembali ke kantor segera.” Walaupun tidak puas, Amanda tetap tersenyum. “Hmm kembalilah. Pekerjaan lebih utama.” “Sekali lagi maaf, Ma. Vincent akan mengantar Mama pulang. Ayo.” ”Tidak perlu. Mama akan menggunakan taksi.” Di bawah, setelah melihat taksi yang membawa ibunya pergi, barulah Vincent berjalan menuju mobilnya. Di dalam mobil, dia tidak segera menyalakannya. Vincent memijat pelipisnya. Apa yang tidak ia inginkan akhirnya tiba. Ibunya mulai menjodohkannya dengan perempuan asing. Untung saja Vincent bisa menghindar tadi karena panggilan masuk dari temannya dari Singapura. Well, untuk saat ini dia bisa menghindar. *** Maya baru saja selesai merapikan meja kerjanya. Dia mengetuk tiga kali sebelum membuka pintu Vincent. “Pak Vincent, pekerjaan saya sudah selesai.” Tanpa melarikan pandangannya pada layar komputer, Vincent mengangguk. 10 detik berlalu dan dia bisa merasakan Maya masih di dalam ruangannya. Dia mendongak. “Bisakah saya izin pulang awal, Pak?” “Kenapa?” Vincent tanpa sadar bertanya. “Saya....” Maya membasahi bibirnya. “Bu Iris memanggil kami untuk membicarakan tentang produk baru. Dia ingin kami menjadi penguji produk.” “Kenapa Iris tidak menghubungi saya dulu?” Vincent bersandar di belakang kursi melihat arlojinya masih setengah empat sore. “Ya sudah, kamu bisa pulang.” Maya menunduk sejenak sebelum keluar. “Terima kasih, Pak.” Ketika Maya berbalik, Vincent kembali mengetik. Begitu pintu tertutup, gerakan jari-jari besar Vincent berhenti seketika. Dia melarikan pandangannya pada pintu dalam diam. Tidak ada ekspresi di wajahnya untuk beberapa menit ke depan. Dan dia kembali melanjutkan pekerjaannya dengan fokus. Berdiri di depan pintu, wajah Maya sedikit sedih. Namun ia dengan cepat mengubah raut wajahnya menjadi tenang seperti biasa lagi. Berbalik, Maya dengan cepat berjalan menuju lift. *** Apa yang Maya harapkan untuk hubungan mereka? Maya tahu konsekuensinya jika dia melanjutkannya. Untung saja Vincent kembali menjadi kepribadian yang biasanya setelah mereka keluar dari mobilnya pagi ini. Dan untung saja Maya tidak terlalu berharap banyak untuk mereka. Namun, entah kenapa Maya sedikit kecewa. Bukan pada Vincent yang menggunakannya untuk satu malam. Tapi pada dirinya yang mau saja menerima tawaran pria itu. “Ini semua karena kharisma sialannya...” gerutu Maya kesal. “Apa yang kau bicarakan?” Suara Iris yang baru saja datang membuat Maya tersentak kaget dari lamunannya. “Kau sudah datang.” Iris mengangguk lalu duduk. “Aku pikir aku yang paling awal datang.” Maya bisa melihat wajah tertekan yang coba Iris tutupi. Ini pasti karena proyek besar yang ia tangani, pikir Maya. “Pak Vincent membolehkanku pulang awal karena pekerjaanku sudah selesai.” “Senang mendengarnya. Apakah dia marah? Jujur, aku lupa meminta izin padanya.” “Tidak apa-apa. Dia tidak akan marah.” Wajah cantik Iris bernapas lega. “Syukurlah. Aku akan meminta maaf padanya nanti. Begitu juga dengan atasan Ayumi dan Jane. Aku benar-benar lupa dengan mereka, sungguh. Karena ini adalah proyek pertamaku dan aku yang mengawasinya secara langsung, aku jadi tidak sampai pada hal itu.” “Sudahlah. Kau tidak perlu memikirkannya. Toh mereka akan memahaminya juga nanti.” Iris mengangguk. “Jadi, di mana yang lainnya?” “Mereka belum bisa keluar tadi.” Maya menatap jam tangannya. “Tapi sebentar lagi juga...” Pintu café terbuka. Jane dan yang lainnya masuk segera berlari menuju meja Maya. “Bu Mikhail, kalau mau ngajak makan siang itu di jam 12 ya. Ini sudah jam 5 sore. Bukan makan siang lagi namanya.” Veronica mengomel dan Iris tertawa lebar. “Iya nih. Bisa-bisanya telat makan siang. Mau sakit?” Jane menatapnya tajam. “Maaf mendadak... Habisnya dari pagi aku sibuk di lapangan sampai lupa waktu.” “Jadi, bagaimana gedung barunya? Aku dengar kau akan menangani produk kecantikan perusahaan?” Tanya Maya. Iris mengangguk. Dia mulai menjawab semua pertanyaan dari Maya dan yang lainnya. Seperti yang wanita itu katakan di obrolan grup mereka, dia memberikan produk untuk Maya, Jane, Veronica dan Ayumi. Semuanya bahagia begitu juga Maya. Namun, melihat Iris yang tidak terlalu bersemangat membuat Maya tidak bisa berhenti penasaran. Lidahnya sangat gatal untuk tidak berdecak dan menanyainya. Setidaknya, dia ingin membantu sahabatnya ini jika pekerjaannya terlalu berat untuk seorang wanita seperti Iris. “.... Ngomong-ngomong, Tiffany merindukan kalian.” Pengalihan pembicaraan yang tiba-tiba membuat meja mereka dalam keadaan hening yang panjang. Tiffany Mikhail. Maya membenci nama itu. Tuhan bahkan tahu itu. Wanita yang bermuka dua. Dan yang lebih membuat Maya benci adalah Iris yang tidak melihat kebusukan Tiffany. Maya sangat sensitif jika itu menyangkut sahabatnya. Jadi, hanya memperhatikan bagaimana Iris yang seperti tidak ingin membicarakan Tiffany, Maya mulai memahami apa yang membuat Iris tidak bersemangat. Beberapa menit berikutnya, teman-teman mereka mulai pulang menyisakan Iris dan Maya. Maya tiba-tiba bertanya dengan suara pelan, “How is everything?” *** Dalam perjalan pulang, Maya masih memikirkan Iris. Rumah tangganya dengan Tiffany berada di tengah-tengah mereka. Dia membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menghibur Iris yang menangis. Menangis... Bagi Maya, itu wajar. Dikecewakan, dibohongi, bahkan dipermainkan. Untuk wanita indah yang terlihat rapuh seperti Iris, dia bahkan masih terlihat cantik ketika menangis. Jika Maya menjadi Iris, dia juga pasti akan menangis —Dia tahu dia tidak akan secantik Iris ketika menangis— tapi tetap saja, dia juga pasti hancur. Tapi untung saja Iris tidak melihat pergulatan Tiffany dengan suaminya. Atau melihat mereka tanpa busana di atas tempat tidur. Tidak seperti Maya, dia harus melihat mantannya bersama wanita lain di tempat tidur di apartemen yang akan mereka tempati bersama-sama untuk masa depan mereka. Dan sangat baik untuk Maya mengetahuinya sebelum mereka menikah. Makanya, Maya sangat sedih untuk Iris. Dibandingkan Maya, Iris lebih menderita. Karena itu juga, Maya tidak bisa menceritakan masalahnya. Maya tidak ingin membebani Iris. Wanita malang itu sudah menyedihkan, dia tidak ingin membuat Iris ikut memikirkannya. Jika dipikir-pikir lagi, Maya memang tidak harus menceritakan hubungan malam singkatnya dengan Vincent. Toh, tidak akan ada yang terjadi di antara dia dan Vincent ke depannya. Mobil Maya berhenti di depan rumah Ibunya. Dia segera membuka pintu dan memeluk ibunya terlebih dahulu sebelum naik ke atas, ke kamarnya. Selesai mandi, Maya menuju dapur dan membuka lemari es mengambil minuman. Melihat gelas-gelas dan piring kotor yang belum di cuci di wastafel, Maya bertanya, “Ada tamu tadi, Bu?” “Hmm.” Nadin menjawab, “Ibu bertemu teman lama di mini market. Jadi, Ibu mengajaknya ke rumah. Kami banyak mengobrol tadi.” Jarak dari mini market ke rumah mereka cukup dekat. Dan sudah kebiasaan Nadin untuk mengundang orang yang dia kenal ke rumah mereka. Nadin menyandarkan tangannya di kursi makan. “Kamu tahu, dia memiliki anak laki-laki. Hanya beda beberapa tahun dari kamu.” “Oh...” Maya menanggapi dengan malas. Dia menutup lemari es. “Anaknya juga tampan. Ibu lihat wajahnya dari ponsel teman Ibu.” “Hmm begitu...” “Dia lulusan dari universitas bergengsi di Indonesia.” “Dan?” Maya segera menyadari tujuan pembicaraan mereka. “Sekarang dia bekerja dengan posisi yang lumayan tinggi,” seru Nadin mulai semangat. Maya mengikuti gerakan Ibunya. Menumpukan kedua tangannya di kepala kursi makan, berseberangan dengan Ibunya. “Ibu tidak menanyakan apakah dia memiliki anak perempuan?” Nadin menatapnya bingung. “Kenapa?” “Dari pada memikirkan pasangan Maya, kenapa Ibu tidak memikirkan nasib Kakak?” Nadin tertawa. “Ibu hanya mengatakan itu, bukan berarti Ibu mau menjodohkanmu dengan paksa. Jika kamu tidak berminat, Ibu tidak akan membahasnya lagi.” “Thanks.” Maya tersenyum. “Ada kabar dari Kakak?” Nadin menggeleng. “Dia sedang bekerja. Sudah hal biasa baginya untuk fokus pada pekerjaan dari pada menghubungi Ibunya. Itulah kenapa sudah berumur 31 tahun dia belum juga menikah.” “Dia yang lebih mengerti dirinya sendiri, Bu. Biarkan dia.” Nadin mengangguk.“Sudah larut. Kamu besok masih kerja, bukan?” “Iya, Bu. Maya akan mengunci pintu luar sebelum tidur.” Maya mendekati Ibunya dan memeluk ibunya sebentar. “Hmm.” *** Paginya, mengikuti jadwal keseharian Maya, dia melakukan yoga selama setengah jam sebelum sarapan dan mandi. Kemudian membawa mobilnya ke kantor. Di kantor, seperti biasa Maya terlihat sibuk dengan pekerjaan barunya itu. Dia pergi ke sana kemari dengan langkah yang lebar. Siangnya, dia akan istirahat bersama teman-temannya. Dan sorenya, dia berada di ruangan Vincent untuk membahas tentang pembatalan dan pengaturan ulang rapat berikutnya hingga jadwal penerbangan Vincent. Tidak ada yang terjadi. Tidak ada yang spesial. Segalanya dilakukan seperti biasa. Mereka saling bersikap profesional saat bekerja. Dan itu baik untuk kesehatan Maya, menurutnya pribadi. Dan pembahasan mereka memakan waktu hingga melebihi jam kerja. “Apa kamu baik-baik saja pulang telat?” Vincent bertanya karena di tengah-tengah mereka masih banyak tumpukan kertas. Maya mengangguk. “Tidak masalah, Pak. Sebelumnya saya sering lembur ketika mendekati akhir bulan atau akhir tahun.” Ini bukan permainan, ini adalah pekerjaan. Maya memahami itu. Dan dia selalu serius jika itu menyangkut pekerjaan. “Jangan bicara formal.” Secara naluriah Maya mengangkat wajahnya. Di dalam hati, dia merapalkan ucapan, ‘Ingat Maya Ashley, pria ini adalah atasanmu!’ “Ini sudah lewat jam kantor,” tambah Vincent menyebabkan Maya tertawa miris kecil dalam hati. Hampir saja.... Hampir saja Maya diberi kesempatan memikirkan hubungan mereka yang sama sekali tidak ada. Maya mengangguk sebelum kembali membicarakan pekerjaan. Satu jam berikutnya mereka sudah selesai. Memakai jasnya, Vincent menoleh ke belakang. Di sofa tamu, Maya sedang merapikan dokumen setelah membawa cangkir mereka ke pantry kantor. “Kamu langsung pulang?” “Ya.” Maya memberi jeda sebentar. “Apa .... ada pekerjaan lainnya?” “Tidak—” “Jika memang ada, katakan padaku. Aku bisa menyelesaikannya malam ini juga.” “Tidak ada yang mendesak, M.” Panggilan itu menyebabkan Maya tidak bisa bebicara untuk beberapa saat. “... Oh oke...” Maya berbisik pelan meletakkan tali tasnya ke bahu. “Mau pulang ke penthouse-ku?” Maya yang berusaha menyibukkan dirinya dengan tasnya, mendadak mengangkat wajahnya. Ajakan itu menjadi ketiga kalinya Maya dengar. Dan dia masih saja terkejut. Pria ini... Refleks Maya menoleh ke pintu yang tertutup sebelum menatap Vincent cepat. Sungguh, dia benar-benar bingung dengan jalan pikiran Vincent. Vincent mendekat. Menangkup wajah kecil Maya. Mendongakkan wajah Maya dan mencium bibir Maya dengan lembut. Sepanjang ia melakukannya, Maya tidak berpikir untuk mundur dan menghindari Vincent. Ketika ciuman ringan itu berakhir, suara serak pria itu bergumam di bibir Maya. “Ayo, ke penthouse-ku, M.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD