Maya terkejut.
Beberapa saat yang menggantung akhirnya menghilang saat Vincent mendengar suara tawa kecil yang indah dari Maya.
“Serius?” Maya tanpa sadar melihat gelas wine miliknya yang masih utuh. Well, dia masih sadar sekarang. “Itu lelucon yang buruk, Vincent.”
Berdiri, Maya mengambil tasnya. Dia tersenyum tipis. “Kita sudah selesai makan. Sudah waktunya aku pulang.”
Dan Vincent tidak menahannya.
***
Di dalam lift tidak hanya mereka berdua. Ada juga sepasang kekasih yang sedang berpelukan di depan mereka. Berbeda dengan Vincent yang tenang seolah tidak ada apapun di depannya, Maya berusaha untuk menunduk atau mengalihkan wajahnya daripada harus menatap pemandangan canggung di depannya. Karena ajakan Vincent sebelumnya semakin membuat Maya menjadi canggung.
Melihat lift yang terbuka di lantai 5 lalu disusul pasangan tadi keluar, Maya menghela napas lega diam-diam.
Dan begitu pintu lift tertutup menyisakan hanya Maya bersama Vincent saja, pria itu segera menarik Maya menuju sudut kabin lift tempat titik buta CCTV.
Menangkup wajah kecil Maya, Vincent mulai menurunkan kepalanya dan menyentuh bibir Maya.
Maya bukan main kagetnya. Saking kagetnya, ia bahkan tidak menyadari dari diamnya dia ketika Vincent mendorong lidahnya ke dalam menjadi mulai menyeimbangi permainan lidah Vincent. Dia bahkan mengerang kecil di ciuman Vincent dan memegang kedua tangan kekar pria di depannya.
Hingga Maya membutuhkan udara, barulah Vincent membebaskan bibir Maya. Bernapas bersama-sama, Vincent menyatukan dahinya di dahi Maya. Tangannya mengusap wajah Maya yang memejamkan matanya.
“Aku serius, M.” Vincent berbisik lembut. Tidak melepaskan sentuhan tanganya pada permukaan lembut wajah Maya. “Aku serius mengenai penthouse-ku.”
Maya seketika membuka matanya. Dalam pikirannya saat ini adalah: Oke, di mana ponselnya? Dia harus memberitahu Ibunya jika dia lembur kerja.
***
Pintu lift sebuah penthouse yang gelap terbuka dari luar setelah bunyi kecil. Vincent dan Maya masuk tanpa melepaskan pergulatan bibir mereka.
Membawa Maya ke dinding sedikit kasar dia membuat tanda di leher Maya. Vincent mencari ritsleting gaun kantor Maya yang hanya selutut dan menurunkannya dari kaki wanita itu. Dia menenggelamkan wajahnya di antara bukit kembar yang menggoda tersebut.
Dan Maya membusungkan dadanya ketika mengerang kecil. Menyentuh rahang tegas Vincent, Maya membawanya mendekati bibirnya dan menciumnya keras.
Berjalan masuk lebih ke dalam dan tidak melepaskan tautan bibir mereka, mereka kembali berhenti. Menempel di dinding lainnya, Maya melihat bagaimana Vincent berjongkok tanpa melepaskan pandangannya pada Maya.
Hanya perlu menggeser hal kecil yang menghalangi dengan jarinya yang besar dan kasar, Vincent membenamkan wajahnya di sana.
“Oh my God...” desah Maya. Bagai dialiri listrik, kepalanya tersentak ke belakang dan tangannya yang frustasi meremas rambut pendek Vincent. Sedangkan tangannya yang bebas ia bawa untuk menyentuh dinding di atas kepalanya, berharap bisa menahan tubuhnya agar tidak jatuh ketika kakinya yang sudah seperti jelly, di tambah lagi ia belum sempat melepaskan sepasang high heels bertali tipis berwarna nude.
“Ya Tuhan, rasamu sangat nikmat, M.” Vincent berbisik setelah beberapa saat berikutnya berdiri.
Beralih ke lemari hias setinggi pinggangnya yang penuh bingkai foto dan hiasan patung kecil di atasnya, dengan sebelah tangannya ia membuang segalanya. Ia mengangkat Maya dan mendudukkannya di atas sana. Vincent kembali mendorong lidahnya masuk ke dalam mulut Maya. Lidah mereka menari bersama dan menyecap berirama. Membusungkan dadanya, Maya mengalungkan kakinya di pinggul Vincent, menggoda pria itu. Sedangkan kedua tangannya bekerja melepaskan dasi dan kancing kemeja kerja Vincent.
Membawa jarinya menggoda tubuh bagian bawah Maya, Vincent juga menggoda daun telinga Maya dengan mulutnya. Sedangkan Maya yang mendapatkan perlakuan berlebihan itu menggenggam kerah kemeja Vincent sangat erat. Bibirnya terbuka dan dia menjerit tertahan.
Vincent menjatuhkan kemejanya ke lantai. Ia tidak repot-repot menghidupkan lampu. Seakan sudah hapal dengan tempat tinggalnya, dia membawa tangannya menjaga bokongnya Maya, satunya lagi ia bawa untuk menahan punggung Maya. Dengan posisi itu, Vincent mulai menggendong Maya dan kembali menciumnya sambil berjalan masuk lebih dalam. Tiba di ruangan berikutnya, mereka kembali berhenti di sofa panjang. Vincent duduk di sana dengan Maya yang berada di atasnya, menghadap pria itu. Memberi jarak di antara mereka, Maya mulai melepaskan sabuk di celana pria itu.
“Seharusnya aku membawamu ke kamar.” Vincent berbisik kasar.
“Akan memakan banyak waktu,” balas Maya berbisik.
“M, tunggu, pengaman...”
Maya kembali berbisik, dia terdengar tergesa-gesa. “Kau bisa mengeluarkannya di dalamku.”
Dengan bantuan Vincent, memudahkan Maya untuk menurunkan celana pria itu. Berdiri dengan lututnya di sofa, Maya mulai memposisikan tubuh Vincent dengan tubuhnya. Dan di saat ia menurunkan tubuhnya perlahan, mereka sama-sama mengerang.
***
Dia melakukannya dalam keadaan sadar. Maya masih ingat anggurnya yang sama sekali tidak ia sentuh. Itu cukup menjelaskan perbuatannya tadi malam. Dia menyetujui ajakan Vincent begitu saja hanya karena ciuman gila pria itu...
Tidak... Bukan hanya itu. Seperti ada magnet transparan, Maya seolah ditarik untuk mengikuti Vincent kemari. Pria itu, Vincent Evans, atasannya di kantor, terlalu menggoda. Akan sia-sia jika dia melepaskannya begitu saja.
Dan satu hal lagi...
Merasakan sisi tempat tidur yang kosong, Vincent mengerut. Menyipitkan matanya, ia melihat seorang wanita dalam balutan kemejanya berdiri di teras kamar membelakanginya. Dengan kemeja besar tersebut, tubuh langsing Maya seolah tenggelam.
Vincent melirik jam yang baru saja pukul 6 kurang 15 menit. Lalu menatap Maya lagi. Sejak kapan dia berdiri di sana?
Dia beranjak dari tempat tidur dan mendekati Maya sambil mengucek matanya. Memeluk Maya dari belakang, Maya tersenyum ketika menyandarkan kepalanya ke dadanya Vincent yang bidang.
“Morning, Boss.” Maya sedikit mendongak dan mendapatkan kecupan singkat dari Vincent. Rambut Vincent terlihat berantakan karena baru bangun tidur yang mana terlihat lebih menggoda.
“Terlalu pagi. Kita masih memiliki waktu.” Menggendong Maya dari depan seperti malam sebelumnya, berciuman, dan membawa Maya kembali ke tempat tidur.
Di saat Vincent membaringkan Maya dengan lembut, pria itu mengunci manik mata Maya sambil melepaskan satu persatu kancing kemejanya.
Berbaring nyaman, mendapatkan perlakuan khusus dari Vincent sebelum mereka bersatu, Maya menyadari satu hal lagi.
Dia mulai tertarik pada Vincent Evans. Bukan di saat ia mabuk, melainkan ketika dalam keadaan sadar 100%.
***
“Bolehkah aku bertanya padamu?”
Tubuh Maya menghadap mini bar, di tangannya memegang donat. Sedangkan Vincent duduk di sampingnya, memposisikan tubuhnya menghadap Maya. Ia mengangkat sebelah alisnya.
Saat ini mereka sedang duduk di depan mini bar. Sarapan bersama dengan pesan antar.
Setelah percintaan cepat mereka tadi pagi, Maya hanya bisa melihat pakaian kerjanya teronggok di lantai dengan menyedihkan. Dia bahkan melihat kekacauan yang mereka berdua buat mulai dari ruang tamu hingga ke ruang tengah. Semuanya kacau. Barang berjatuhan, pakaian di mana-mana, hingga sofa yang bergeser. Membuktikan betapa menggebu-gebunya mereka tadi malam.
Berusaha terlihat keren, Maya tidak ingin membahas malam sebelumnya. Dia tidak ingin melihat lagi kekacauan yang belum dibersihkan di luar. Dia benar-benar malu saat ini.
“Tanyakan saja.”
Mencubit sedikit donatnya kemudian memasukkan potongan kecil itu ke dalam mulutnya, Maya kemudian bertanya, “Sudah berapa banyak wanita yang menginap di sini?”
“Hanya satu.” Vincent menjawab tenang dan Maya berhenti mengunyah.
Ternyata ada wanita lain sebelum Maya. Dan itu membuat Maya sedikit lesu. Jika Vincent mengatakan banyak, artinya semua wanita sama saja di mata pria itu. Tapi, dia mengatakan satu. Artinya sangat berbeda. Bisa dikatakan wanita itu pasti sangat spesial di hati Vincent. Maya menunduk semakin dalam. Memainkan donat di tangan dan mengambil potongan kecil lainnya yang mulai terasa hambar di mulutnya.
Vincent menatapnya. “Kamu tidak ingin bertanya siapa wanita itu?”
“Bukan urusanku.” Maya mencoba tersenyum.
“Kamu tidak peduli?”
“Itu urusan pribadimu.” Maya memberi jeda sebentar. “Tapi jika kamu ingin mengatakannya aku tidak masa—”
“Itu kamu.” Vincent memotongnya dengan suara lembut.
Sontak saja Maya menatapnya cepat.
Pria itu memberikan senyum lembut saat mengulurkan tangannya membawa anak rambut Maya ke belakang telinganya sebelum mengusap pipinya yang terasa dingin.
“Kamu adalah wanita pertama yang aku bawa ke penthouse ini, M.”
Tampilan mesra dari Vincent membuat Maya berdesir. Pria itu mulai mendekatkan tubuhnya ke arah Maya, dia tahu apa yang akan Vincent lakukan. Jadi, Maya sedikit mendongakkan wajahnya dan memejamkan matanya.
Hanya sebuah sapuan lembut bibir Vincent di bibirnya, namun cukup menggelitik hati Maya. Hidung mereka bergesekkan dan Maya tertawa kecil setelah Vincent melepaskannya.
Dia hampir terganggu sebelumnya. Dan setelah mendengar jawaban dari Vincent, Maya kembali cerah.
“... M?” Maya mengangkat sebelah alisnya.
“Kenapa? kamu tidak menyukainya? Tapi aku suka memanggilmu begitu.”
Setelah diingat-ingat, Vincent mulai memanggilnya seperti itu saat di lift setelah makan malam. Suara Vincent terdengar malas ketika mengatakan panggilan itu namun dilain sisi terdengar menyenangkan dan sedikit hangat. Harus Maya akui, dia menyukai panggilan itu, M...
Kembali makan, Maya memperhatikan kemeja Vincent yang ia gunakan. Dia cemberut. “Tidak lucu jika aku menggunakan pakaianku kemarin ke kantor. Aku harus kembali ke rumahku segera.”
“Sebentar lagi pakaianmu akan tiba.” Vincent menjawab dan Maya mengangguk.
“Apa kamu turun ke bawah untuk mengambil makanan ini?”
“Staff di sini yang membawanya kemari. Sekalian membersihkan kekacauan tadi malam.”
Secara naluriah Maya menoleh. Wajahnya memiliki rona merah muda yang tipis.
Sangat menggemaskan memandang wajah malu-malu Maya. Berbanding terbalik dengan Maya yang liar tadi malam, Maya di pagi hari terlihat sangat manis dan imut. Vincent mengacak rambut Maya dan mengecup bibirnya cepat. “Room service. Mereka selalu datang tiap pagi. Tidak usah khawatir, mereka sebentar lagi akan pergi setelah membersihkan seluruh unit.”
“Tuan Evans...”
Suara di belakang mereka membuat Vincent menatap seorang pelayan, karyawan di gedung tersebut. Sedangkan Maya tidak berani membalikkan tubuhnya. Wanita tua itu memegang satu buah paper bag besar, dan satu lagi yang berukuran sedang.
Vincent mengangguk pendek dan pelayan membawanya ke lantai atas, kamar utama. Kembali menatap Maya, wanita itu baru saja menghabiskan sarapannya. Dia menjilat kesepuluh jarinya kemudian menghabiskan segelas soy milk yang dihangatkan.
“Sudah?”
Maya mengangguk.
Meneguk kopi yang masih sisa setengah, Vincent kemudian berdiri. “Come on. Let’s go. Ganti pakaianmu di kamar.”
Menggenggam telapak tangan Maya yang lebih kecil dari tangannya, dia mengajak Maya menuju lantai atas. Menaiki anak tangga, mereka tidak melepaskan genggaman mereka. Sesekali mereka akan saling pandang dan tersenyum.
***
Mama: Makan siang dengan Mama siang ini.
Vincent membaca sekali lagi pesan ibunya sebelum memasukkan ke dalam saku celananya. Dari ruang kerjanya, ia melihat Maya yang sedang berkutat pada komputer sambil berdiri.
Wanita itu terlihat serius ketika membaca di layar komputer. Bahkan dia hanya membungkuk ketika mengetik panjang. Seolah jika dia duduk barang sedetik saja, akan memakan waktu yang sangat lama untuknya mengerjakan hal lainnya.
Mau tidak mau Vincent mengingat satu jam sebelumnya. Maya bersikeras ingin diturunkan tidak jauh dari perusahaan. Tentu saja Vincent menolaknya dan mengatakan pendapatnya bahwa dia bisa saja dicurigai dan ketahuan. Jika mereka datang bersama sampai ke perusahaan, sebagian besar karyawan lainnya akan berpikir itu normal, mengingat Maya adalah sekretarisnya.
Ketika Maya kembali berdiri tegap dan berjalan menuju ruangan Vincent, Vincent segera mengambil jas di stand hanger dan memakainya.
Suara ketukan terdengar sebelum pintu terbuka. “Pak Vincent, rapat akan dimulai 5 menit lagi.”
Mengangguk singkat, Vincent berjalan duluan dan disusul Maya di belakangnya yang membawa notulen dalam dekapannya