Menaiki dua anak tangga sekaligus, Vincent dengan cepat mencapai lantai ruangannya kembali. Dia tidak mempedulikan wajah pucat karyawannya di tangga darurat tadi. Dia hanya ingin kembali ke meja kerjanya sekarang! Dia bahkan tidak mempedulikan wajah kaget dan bingung Maya yang melihat kedatangannya yang sangat cepat.
Duduk di kursinya, Vincent mulai mencari file di komputer. File yang berisi peraturan di Perusahaan Adinata. Membaca dengan sangat cepat poin-poinnya, ia tiba-tiba berhenti pada poin 21.
21. Dilarang memiliki hubungan romansa sesama karyawan.
Vincent menatap satu kalimat pendek tersebut sebanyak tiga kali sebelum mendenguskan tawa menggelikan.
Astaga... Selama ini ia pikir Maya meminta melupakan malam itu karena stamina buruk Vincent. Ternyata karena peraturan sialan ini.
Vincent bersandar di kursi dan mengusap wajah hingga rambutnya. Dia benar-benar lega. Akhirnya dia tahu, staminanya tidak buruk. Dia berhasil menyenangkan Maya malam itu sebagaimana Maya melakukannya untuknya.
Merapikan dokumen terakhir, Maya melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 8 malam. Dia menatap pintu ruangan Vincent. Apakah Maya pulang lagi sebelum Vincent pulang? Padahal dia sudah mengurangi beberapa pekerjaan yang belum membutuhkan perhatiannya untuk saat ini. Tapi tetap saja Vincent selalu lembur.
Menghela napas, Maya mengambil tas tangannya. Ia berjalan menuju pintu ingin mengetuk pintu tersebut bertepatan dengan pintu yang terbuka dari dalam.
Vincent keluar sambil memakai jasnya. Maya lega, akhirnya pria ini tidak berkeinginan lembur lagi malam ini. Kasihan dia sudah lembur dari hari pertamanya bekerja.
“Kamu ingin pulang?”
Maya mengangguk. “Saya pamit, Pak.”
Maya baru saja berbalik tepat ketika merasakan sesuatu yang menahannya. Sebuah tangan yang besar yang menggenggam pergelangan tangannya yang kecil dan kurus. Tidak terlalu erat tapi tidak juga longgar. Genggaman yang pas. Maya melirik ke bawah, ke tangannya sebelum menatap si pemilik tangan di belakangnya.
“... Pak?”
“Temani aku makan.”
Maya mengerjapkan matanya bangun dari lamunannya sebelum mundur sambil menarik tangannya. Dia segera membuka ponselnya dengan sibuk.
Dan Vincent bertanya, “Kamu memiliki agenda lain?”
Bukannya menjawab, Maya malah berujar, “Saya tidak tahu jika Anda memiliki jadwal makan malam dengan kolega. Saya juga tidak mencatatnya. Maafkan saya, Pak. Saya—”
“Maya.” Vincent memotongnya dengan sabar.
“Ya?”
“Ayo.”
Vincent melangkah terlebih dahulu. Dan Maya segera menyusulnya dari belakang.
Menggunakan mobil Vincent, mereka tiba di restoran di salah satu hotel mewah di Ibu Kota. Memesan ruang pribadi, Vincent dan Maya duduk berseberangan.
Maya dengan bingung mengedarkan pandangannya sebelum menatap Vincent. “Pak, apa kita akan menemui tamu dari luar? Bukankah ada baiknya saya pergi ke luar untuk melihatnya?”
Vincent tidak menjawab karena pintu terbuka dan beberapa pelayan datang membawa hidangan lezat untuk mereka. Dan setelah kepergian para pelayan menyisakan mereka berdua, Vincent berkata, “Ada hal yang harus kita bahas.”
“Hal?”
“Hmm.” Vincent mengiris steik dan mengunyahnya. Melihat Maya yang tidak menyentuh makanannya sama sekali membuat Vincent bertanya, “Kamu tidak ingin makan?”
“Hm? Hmm ya.” Maya mengerjap cepat.
Sambil makan, Vincent memperhatikan Maya yang makan dalam diam. Dia tahu Maya saat ini sedang berpikir keras. Wanita ini bahkan tidak menyentuh wine, hanya meminum air mineral saja.
“Kamu tidak menyukai wine?”
Maya mengangkat wajahnya.
“Wine.” Vincent menunjuk gelas anggur Maya dengan gerakan kepalanya. “Mau aku panggilkan pelayan untuk mengganti martini?”
‘Takk.’
Garpu makan Maya yang terlepas dari tangannya menimbulkan bunyi pelan di ruangan yang sunyi tersebut. Dengan wajah bersemu, Maya menatap Vincent.
Oh Tuhan, kenapa dia mengingat minuman yang Maya pesan malam itu?!
Vincent tahu Maya terganggu. Tidak hanya wanita ini, dia pun ikut terganggu. Jadi dia meletakkan pisau dan garpu lalu menatap Maya dengan serius.
“Kamu menyuruhku untuk tidak membahas malam itu, apakah karena peraturan perusahaan?”
Dengan santainya Maya menjawab, “Tentu saja. Memangnya apa lagi? Tapi, Anda sudah berjanji untuk tidak membahas itu lagi dan mengatakannya kepada Pak Richard.”
“Aku masih ingat, aku tidak pernah berjanji untuk mengatakan itu semua kepada Pak Richard.”
Jadi, dia ingin mengadukan hal ini ke Pak Richard? Sekarang, wajah Maya seperti ingin menangis. Dia memikirkan nasibnya di perusahaan. Dengan lesu, Maya menunduk. Makanan di depannya terlihat menggugah. Tapi nafsu makannya hilang.
“Katakan padaku. Apa yang kamu pikirkan ketika menyuruhku untuk menutup mulutku.”
“Saya meminta tolong pada Anda. Bukan menyuruh.” Maya menjawab. “Anda seorang Bos. Sedangkan saya hanya bawahan Anda. Dibandingkan Anda, saya bisa dengan mudah dipecat. Padahal, perusahaan Adinata adalah tempat berkumpulnya teman-teman saya. Saya juga sudah mencintai tempat kerja saya. Sangat menyedihkan hanya karena satu malam, saya harus membuat surat pengunduran diri.”
Saat kata ‘hanya karena satu malam’ keluar dari mulut Maya, jari Vincent bergerak kecil. Dia menyesap wine dengan tidak senang.
“Tenang saja, aku bukan orang yang suka mengumbar kehidupan pribadiku kepada orang lain. Kamu tidak perlu sedih.”
Mendengar itu, Maya kembali mendongak dengan lambat. Vincent .... tidak akan mengatakannya kepada Pak Richard, iya kan? Itu yang bisa Maya simpulkan.
Melihat Vincent yang tersenyum, Maya jadi ikutan tersenyum. Sungguh melegakan untuknya.
“Kamu serius tidak ingin meminum wine? Perlu aku—”
“Oh tidak tidak.” Maya menggeleng cepat. “Saya hanya... Saya tidak kuat minum alkohol.”
Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyentuh minuman itu. Apalagi jika sedang bersama seorang pria.
Vincent tidak lagi membahas wine. Memanggil pelayan untuk mendapatkan garpu baru dan memberikannya kepada Maya, dia mengajak Maya kembali makan.
“Di luar kantor, jangan terlalu formal.”
Maya menatap Vincent sejenak sebelum mengangguk. “Baik.”
Vincent mengangkat sebelah alisnya dan Maya tertawa pelan. Tawa yang membuat Vincent tersenyum tipis.
“Oke.”
Mengangguk puas, Vincent memasukkan potongan steik lainnya ke dalam mulutnya. Dia mulai membuka obrolan biasa. “Sejak kapan kamu bekerja di Perusahaan Adinata?”
“Baru dua tahun lebih...”
Dan obrolan mereka mengalir begitu saja. Sama seperti malam di bar saat itu. Tertawa bersama, tersenyum bersama. Satu bertanya, satu akan menjawab. Satu bercerita, satunya akan menjadi pendengar yang baik dengan sesekali menanggapinya. Tidak ada kecanggungan. Tidak ada kesopanan antara atasan dan bawahan. Tidak ada dinding yang menahan mereka seperti seminggu terakhir ini. Tidak ada pembatas.
“No way...” Maya menggeleng pelan masih tertawa dengan mata basah.
“Aku bersumpah. Aku menangkap basah mereka di tangga darurat. Lucunya lagi, mereka berpasangan tiap satu deretan tangga. Kamu harus melihat wajah mereka ketika aku tiba tadi.”
Maya tertawa terbahak-bahak. Seolah dia sudah membayangkan bagaimana wajah karyawan lainnya. “Uh oh... Bos baru kami mengetahui tempat rahasia karyawannya.”
Vincent tertawa pelan. “Aku bersumpah tidak akan ke sana lagi seumur hidupku. Aku tidak ingin melihat mereka lagi.”
Maya mengedikkan bahunya. “Mungkin, mereka yang tidak ingin berduaan di sana lagi. Kau sudah mengetahui tempat rahasia mereka. Mereka pasti mencari tempat baru mulai besok.”
Vincent menatap Maya yang masih memiliki sisa-sisa tawa. Di saat Maya berhenti tertawa dan membalas tatapan Vincent, Maya terdiam.
Pria itu tersenyum, namun bukan senyuman seperti sebelumnya. Dia memberikan senyuman intens dengan percikan api kecil di mata pria itu, cukup membuat perut Maya melilit kecil. Tanpa ia minta, bibirnya ikut menyunggingkan senyuman. Senyuman lembut ketika menatap Vincent dalam keheningan yang mereka buat tiba-tiba.
Namun, senyuman yang Maya berikan mendadak menghilang tepat ketika Vincent yang tiba-tiba berkata, “Ingin ke penthouse-ku?”