CHL - Chapter 6

1710 Words
Dua jam berikutnya, Vincent kembali. Seperti biasa, Maya berdiri dan sedikit membungkuk ke arah Vincent. Setelah Vincent masuk ke dalam ruangan pria itu, Maya segera membuatkan kopi hitam untuk Vincent. Membawanya, tak lupa ia mengambil berkas di mejanya sebelum mengetuk pintu. Membuka pintu, Maya melihat Vincent yang tengah menggantung jasnya di stand hanger sebelum duduk di kursi kebesarannya sambil menggulung lengan kemejanya, yang mana melihatkan tangannya yang keras. Ia segera meletakkan cangkir di sisi kanan meja kemudian meletakkan berkas di depan Vincent. “Pak Vincent, ini laporan keuangan di kuartal ke-dua tahun ini. Total laba bersih mencapai 662,2 milyar rupiah yang mana naik 17,8% dibandingkan kuartal kedua tahun lalu. Sebagian besar pendapatan berasal dari pemasukan bulanan pusat perbelanjaan dan juga pembukaan pusat perbelanjaan baru di Makassar dengan gerai yang disewa bersih sebagaimana disebutkan dipoin 2.p halaman 41.” Sambil mendengarkan, Vincent membalikkan halaman demi halaman dan membacanya dalam diam. “Saya juga sudah mengirimkan file ke email Bapak.” Vincent mengangguk. “Saya akan menandatanginya setelah membaca seluruhnya. Kamu bisa kembali.” Maya membungkuk sejenak sebelum berbalik. Sebelum dia bisa melangkah, Vincent memanggilnya. “Maya.” Maya membalikkan tubuhnya. “Ada yang Anda butuhkan, Pak?” Vincent menatapnya sangat lama. Tidak mengatakan apapun hingga Maya memiringkan kepalanya bingung. Memejamkan matanya, Vincent menggeleng pelan. “Kembali ke mejamu.” Maya segera mengangguk tanpa banyak bertanya dan berjalan keluar. Namun tepat di ambang pintu, Maya kembali berjalan mendekati meja Vincent. Dan Vincent menatapnya, menunggu Maya mengatakan isi pikirannya. “Begini,” Maya memainkan kedua jemari tangannya dan membasahi bibirnya. “Saya selalu ingin menanyakan hal ini tapi saya takut jika Anda atau—” “Katakan,” sela Vincent. “Baiklah.” Maya menanggapi secepat yang ia bisa. Menelan salivanya, ia bertanya, “Kenapa Anda memilih saya untuk menjadi sekretaris Anda?” Setelah jeda yang panjang dan Vincent tidak menjawab. Pria itu hanya menatap Maya tanpa ekspresi membuat Maya gugup. Maya melanjutkan bicaranya, “Dengan segala hormat, Pak Vincent Evans. Bukan maksud saya tidak menyukai atau membenci ini semua, saya hanya penasaran. Kenapa Anda memilih saya begitu saja alih-alih menyuruh HRD mencari calon kandidat atau rekan di departemen ini... Apakah Anda yakin mempercayai saya untuk bekerja pada Anda secara langsung?” Vincent menghirup udara kemudian melepaskannya dengan amat perlahan. Kedua tangannya bertumpu di meja di depannya ketika menatap Maya. “Apakah kamu merasa terbebani dengan posisi yang saya berikan begitu saja?” “Ya, sedikit.... Mungkin jika saya tahu alasannya, saya jadi tahu apa yang harus saya lakukan setelahnya,” aku Maya. Dia memang merasa terbebani. Dia merasa bahwa Sarah membencinya karena mendapatkan posisi ini berkat Vincent begitu saja. Dan Maya yakin, tidak hanya Sarah yang membencinya. Yang lain juga pasti begitu, walau harus berbisik di belakang Maya. Maya menyadari itu. “Yang harus kamu lakukan setelahnya...” Vincent mengulangi ucapan Maya dengan lambat. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan jika saya secara acak memilihmu karena kamu orang yang saya kenal pertama di sini.” Maya sedikit tersentak namun dia dengan cepat menormalkan ekspresinya. “Bukankah .... itu terlalu beresiko untuk perusahaan?” Vincent mengangguk setuju. “Benar. Maka dari itu saya tidak memilihmu dengan acak. Apa kau masih ingat obrolan kita ketika berkeliling di lantai ini? Kamu menjelaskan tidak hanya rangka perusahaan, tapi juga organnya. Kesehatan perusahaan, perkembangan, hingga prediksi ke depannya.” “Tapi, saya rasa itu masih belum cu—” “Dan saya bukan orang ceroboh, Maya. Saya memang berani mengambil resiko, tapi bukan berarti saya tidak mempelajarinya terlebih dahulu. Saya yakin kamu orang yang kompeten. Itu yang membuat saya berani memilih kamu. Apakah ini cukup?” Satu kata: Kompeten. Cukup untuk Maya. Mengangguk, Maya menjawab. “Yes, Sir.” “Jadi, setelah mendengar penjelasan saya, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?” “Saya akan membuktikan diri saya bisa berguna dan kompeten seperti yang Anda sebutkan tadi.” Vincent terdiam sejenak sebelum mengangguk pendek. “Kalau begitu saya akan undur diri, Pak. Maaf sebelumnya atas kelancangan saya.” Lagi, Vincent memberi jeda sebelum bergumam, “... Hmm.” Begitu Maya keluar, Vincent jadi tidak habis pikir. Vincent mengusap wajahnya dengan kasar. Ada apa dengan wanita itu? Dia benar-benar bingung. Sungguh. Baru kali ini Vincent bertemu wanita yang setelah menghabis malam panjang bersama, di hari berikutnya dia menjadi sopan seolah menganggapnya pria asing. Apakah sebegitu parahnya Vincent tidak bisa memuaskan dia makanya Maya menjadi menjaga jarak dengannya? Jika Vincent ingat kembali, dia sudah melakukan yang terbaik malam itu hingga Maya mencapai kepuasannya berkali-kali. Atau, apakah Vincent tertidur lebih dulu sedangkan Maya masih ingin melakukannya? Vincent berusaha keras mengingat bagian akhir itu. Detik berikutnya dia menggeleng. Dia masih ingat Maya segera terlelap ketika dia melepaskan pengaman di anggota bawah tubuhnya. Atau, apalagi? Vincent bersandar di kursi sambil berdecak. Kesal? Tentu saja. Dia tidak tahu alasan wanita ini lega karena Vincent berjanji untuk tidak mengungkit malam itu. Dan juga, setelah Vincent menjanjikannya, Maya tidak pernah mengungkit malam mereka lagi. Bukankah seharusnya Vincent yang lega? Bukan Maya. Demi Tuhan, dia predator di sini. Bukan Maya. Tapi kenapa... Menatap layar komputer yang hitam, Vincent bertanya dalam hati. Kenapa hal ini menganggunya terus-menerus, berbanding terbalik dengan Maya. Kenapa setelah malam itu, dia selalu memikirkan tubuh telanjang mereka yang bersatu. Kenapa juga dia selalu mengingat kali pertama mereka bertemu di bar. Di mana seperti video yang diperlambat, jari ramping Maya memainkan buah zaitun di gelas martininya dengan amat perlahan. Wanita itu mengedipkan mata indahnya sebelum menoleh ke arah Vincent, melirik Vincent di sela-sela bulu matanya yang lentik. Berkat kaset rusak itu di dalam kepalanya, Vincent selalu berakhir sesak di bawah. Contohnya saja saat ini tubuhnya melakukannya lagi. Membetulkan letak duduknya, Vincent berbisik pelan, “Dammit.” Dia segera mengambil cangkir dan membaca laporan keuangan tadi seraya memikirkan Maya yang menggunakan gaun abu-abu yang sangat mengagumkan di tubuhnya yang ramping. Vincent masih ingat mata Maya berwarna cokelat gelap namun bercahaya. Bibirnya juga berkilau. Tampak lembab dan basah. Mengingat lebih jauh, apakah Maya menggunakan lipstick saat itu? Warnanya seperti warna bibir alami. Ah sial, Evans... Vincent menggelengkan kepalanya kasar. “Fokus.” Coba kita lihat, pendapatan neto perusahaan dalam 3 bulan mencapai 2 triliun rupiah lebih. Berarti ada sekitar 1,3 triliun untuk pembayaran segala macam beban dan.... Apakah tubuhnya membebani Maya malam itu ketika dia bergerak? Apakah dia berat? Oh, Vincent ingat Maya menggunakan lipgloss rasa buah-buahan. Vincent merasakannya ketika dia mencium bibir— Crap, Vincent Evans! Supaya lebih fokus, Vincent menghabiskan kopinya yang masih lumayan panas. Oke... Bagaimana dengan... Vincent melihat acak angka 3 pada bilangan 3,75. Membuat dia kembali mengingat pagi itu. Di mana Maya meletakkan 300 ribu di nakas kamarnya. “Pembayaran martiniku dan ambil kembaliannya.” Vincent memejamkan matanya erat sebelum membukanya. Ia membalikkan belasan lembar halaman berikutnya sekaligus dan melihat tulisan Grey di sana. Tanpa sadar dia kembali mengingat malam panas itu bagaimana Maya menjerit sambil terengah-engah, “Oh my God, Dark Grey—” Menghempaskan kertas tebal di tangannya ke meja dengan kasar, Vincent berdiri dan berteriak kasar, “For God’s sake!” Dia menatap ke depan. Dinding bagian depan ruangannya menggunakan kaca dua arah yang mana dia bisa melihat apa yang terjadi di luar sedangkan pihak luar tidak bisa melihatnya. Dan di sana, dia melihat Maya yang tengah berdiri, membungkuk untuk menulis sesuatu di mejanya. Kedua tangannya bertumpu di pinggiran meja. Dan dia terkekeh pelan. Ya Tuhan, ada apa dengan dirinya? *** Sudah seminggu. Dan Maya semakin baik menjadi sekretarisnya. Semakin baik menjaga jarak, semakin baik bersikap sopan, semakin baik menghormatinya seperti pria tua. Vincent semakin penasaran dan kebingungan karenanya. Terlebih lagi melihat gerak gerik Maya ketika dia tanpa sengaja mengangkat kepalanya semakin menyiksanya. Hasilnya, dia selalu menyelesaikan segala pekerjaannya setelah Maya pulang dan berakhir hingga larut malam sampai senja. Dia ingin Maya tidak berada di mejanya untuk waktu yang sangat lama. Setidaknya biarkan dia tenang dan fokus dalam pekerjaan. Dan hari itu datang juga. Yaitu sekarang. Maya tidak ada di mejanya lebih dari 1 jam dan dia sendiri yang sedikit panik dan penasaran. Ke mana wanita itu pergi? Bukannya kembali ke pekerjaan, Vincent hanya duduk diam seraya melirik meja sekretarisnya dari ruangannya. Dan setelah beberapa saat, akhirnya wanita itu kembali dengan membawa dokumen di tangannya. Setelah melihatnya, Vincent tidak menyadari bahwa dia bernapas lega. Dia baru saja ingin kembali bekerja tepat ketika melihat seorang pria mendekati Maya. Vincent memperhatikan dengan wajah tenang bagaimana pria itu tersenyum pada Maya dan memberikan mug untuk Maya yang tersenyum juga— Oh sial. Tanpa Vincent sadari, dia berjalan menuju pintu dan membukanya mendadak membuat Maya dan pria itu menoleh serempak. Meletakkan mug di meja, Maya menatap Vincent. “Ada yang Anda perlukan, Sir?” Bukannya menjawab, Vincent malah menatap pria itu dengan tenang. Dan Maya melirik rekannya itu. Ia dengan cepat berkata, “Terima kasih, Ki. Untung kamu bawakan minuman saya.” Pria itu tersenyum singkat. “Lain kali jangan lupa lagi.” Ia lalu menunduk singkat pada Vincent. “Saya permisi, Pak.” Sebelum dia benar-benar pergi, dia memberikan senyuman lagi untuk Maya. Dan Maya membalas senyumannya. Kembali ke Vincent, Maya masih berdiri menunggu perintah dari Vincent. “Saya akan keluar sebentar.” Hanya itu yang Vincent katakan dengan tenang sebelum keluar. *** Bukannya menggunakan lift, Vincent malah turun menggunakan tangga darurat. Baru saja membuka pintu, ia melihat sepasang kekasih yang sedang berpegangan tangan. Ketika mereka melihat Vincent, mereka berdua sangat terkejut dan takut. Buru-buru mereka menunduk dan menjelaskan apapun dengan panik. “I—ini salah paham, Pak. Kami tidak pacaran.” “I—iya, Pak.” Tidak ingin mengurusi urusan mereka, Vincent hanya melewati mereka begitu saja. Turun ke lantai berikutnya, dia melihat hal yang kurang lebih sama. Sepasang kekasih yang lainnya lagi duduk di anak tangga sambil makan dari kotak bekal bersama. Ketika mendengar suara sepatu, mereka pun mendongak ke belakang. Dan seperti pasangan yang sebelumnya, pasangan kali ini pun berdiri dengan panik dan ketakutan. Dan jangan lupakan cara bicara mereka yang mengatakan kesalahpahaman. Vincent mulai mengernyit kecil. Ada apa dengan karyawan-karyawan di sini? Dengan tidak yakin, Vincent menunduk untuk melihat ke bawah dan dia menangkap basah pasangan lainnya di seberang tangga. “Aduh, apa ini ada razia?” “Tenang dulu. Jangan terlalu panik.” Bisikan pasangan di belakang Vincent membuat Vincent tidak bergerak sejenak. Dia mendadak berpikir. Apakah jangan-jangan...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD