“Jadi, kau berbohong tentang menginap bersama sahabatmu...”
Damn... Mulutnya ini....!
Suara tanpa riak Ian menyebabkan Maya semakin mengecilkan tubuhnya. Dia bergeser ke pinggir tempat tidur dengan amat perlahan.
“Angkat kepalamu dan jawab aku, Maya Ashley...” Ian mengatupkan giginya.
Dengan sangat lambat, Maya mendongak. Melihat kakaknya yang tengah bersedekap dengan rahang mengeras dan mata yang menyipit, Manya hanya bisa terkekeh tanpa dosa.
Sikapnya itu membuat Ian berdiri dari kursinya dengan marah. Dan Maya berusaha keras untuk menjelaskan dengan cepat sambil berdiri dari tempat tidur, menjauhi Ian.
“Tadi malam aku hanya menumpang tidur, aku serius.” Melihat tatapan Ian semakin meredup jelas tahu Maya berbohong, dia segera memperbaiki ucapannya sambil berlari menuju pintu, “Maksudku, tadi malah sudah larut dan tidak baik untuk wanita lemah sepertiku pulang sendiri jadi aku— Astaga, Ian!!!”
Padahal kamar Maya cukup sempit yang seharusnya menguntungkan Maya. Tapi malah yang terjadi sebaliknya. Seberapapun kuatnya keinginan Maya untuk lari dari Ian, pria itu dengan langkah lebar dan gerakan lincahnya yang berbanding terbalik dengan tubuh berototnya yang besar, dia berhasil meraih Maya.
Ah... Tidak. Melihat bagaimana dia menangkap Maya dari belakang menggunakan satu tangan seperti sedang mencekik tengkuk leher Maya, ini bukan meraihnya dalam artian yang baik.
“Serius, Ian? Kau ingin membunuh adikmu?!” teriak Maya. Tidak berani menoleh ke belakang.
“Kali ini pria acak mana yang kau temui?”
Apa?! Kenapa pertanyaan Ian terdengar seolah Maya sudah sering menemui pria asing yang berbeda tiap malamnya?!
Well, ya, tadi malam dia memang bersama pria acak yang mana berubah menjadi bosnya dalam waktu kurang dari 24 jam. Tapi baru satu kali dan itu karena campuran antara martini dan kharisma bosnya. Sisanya dia selalu bersama dengan kekasih-kekasihnya yang berubah menjadi mantan sekarang —apapun itu. Kembali ke topik, Maya tidak terima dengan ucapan abangnya.
Marah, Maya menepis tangan Ian lalu membalikkan tubuhnya. Menghadap Ian sambil berkacak pinggang. “Really?! Kau benar-benar berpikir aku akan menghabiskan malam-malamku bersama pria acak?”
“Jadi, hanya tadi malam saja? Buat aku percaya padamu.”
Maya menggelengkan kepalanya dan mendenguskan tawa. “Oh shit.”
“Your language.” Ian menatap Maya dengan penuh peringatan.
Menghembuskan napas kasar, Maya menatap kakaknya dengan berani. “Aku hanya melakukannya dengan orang yang aku sukai dan menggunakan pengaman. Apakah itu cukup untukmu?!”
Belum sempat Ian membuka mulutnya, Maya kembali berbicara, “Dengar, Kak. Aku sudah dewasa. Aku bisa mengurusi diriku sendiri, percayalah. Aku tahu mana yang baik untukku. Hanya,” Maya membasahi bibirnya. “Cukup sayangi aku dan mendukung pekerjaanku. Itu saja. Jangan terlalu masuk ke dalam urusan pribadiku sebagaimana aku tidak mengurusi kehidupan pribadimu... Kumohon.”
Semakin akhir suara Maya semakin mengecil dengan nada permohonan menyebabkan Ian tidak bisa berkata-kata untuk waktu yang lama. Mereka terdiam bersama dan saling menatap hingga Ian yang lebih dulu mengalihkan wajahnya.
Ian berkata pelan, “Lusa aku harus berangkat. Aku tidak ingin kau terlalu sering menginap di luar dan membiarkan Ibu tinggal sendiri di sini.”
“Aku tidak akan melakukannya lagi.” Maya berujar pelan. Dia juga menjanjikan pada dirinya sendiri. Dia tidak ingin kejadian tadi malam terulang kembali. Well, dia harus bermusuhan dengan alkohol ke depannya.
Ian menatapnya sejenak sebelum mendengus pelan. “... Aku tidak akan memegang ucapanmu yang ini. Jika aku melakukannya dan kau ketahuan, hanya Tuhan yang tahu apa yang akan aku lakukan padamu di hari itu juga.”
Secara naluriah Maya mengangguk kaku karena bergidik. Diam-diam dia berterima kasih karena Ian memberinya kelonggaran untuknya yang bisa saja membuat kesalahan lagi kedepannya tanpa Maya sendiri sadari.
Karena sudah mendapatkan jawaban yang sebenarnya tentang tadi malam, dia tahu tidak ada hal lagi yang perlu ia bicarakan dengan adiknya. Mengusap wajahnya kasar, Ian kemudian berjalan menuju pintu. Berhenti di ambang pintu, dia menoleh pada Maya, “Apa kau yakin kau tahu hal baik dan buruk untuk dirimu sendiri?”
Bibir Maya terbuka sedikit. Bagai video yang diputar cepat kejadian tadi malam hingga pagi ini di kepalanya, Maya tahu jawabannya. Tapi, dengan ini setidaknya menjadi pelajaran untuknya pribadi. Dia mengangguk pelan kemudian berbisik, “... Ya.” Dia akan berusaha untuk tidak membiarkan kesalahan terulang kembali. Dia memberi jeda sebentar lalu mengumumkan, “Aku naik jabatan pagi ini. Menjadi sekretaris Direktur Utama.”
Tampak jelas kakaknya terkejut sebelum mengangguk pelan. “Selamat. Aku sangat bangga padamu.”
“Thanks. Aku juga akan mengatakan pada Ibu besok pagi.”
Ian menatap adiknya sekali lagi sebelum mengangguk. “Sleep well, little sist.”
Dengan begitu Ian menutup pintu kamar Maya dengan pelan, meninggalkan Maya yang masih berdiri di tempatnya. Beberapa detik berikutnya, Maya menghembuskan napas lelah sambil memejamkan matanya dan memijit pelipisnya.
Melihat tubuhnya dari standing mirror, Maya terdiam. Melihat wajah tirusnya, Maya berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengulangi hal yang sama. Dia juga akan percaya pada Vincent, bos barunya yang berjanji untuk tidak mengungkit tadi malam. Setidaknya jabatannya saat ini aman untuknya. Dan untuk mempertahankan pekerjaannya ke depannya, Maya harus mematuhi peraturan kantor.
***
Apakah Maya terlalu banyak berpikir beberapa hari ini? Well, sepertinya benar. Walaupun dia mengatakan untuk melupakan kejadian malam itu pada dirinya sendiri, tapi tetap saja tiap kali dia berada di kantor dia selalu waspada, takut dan tegang. Dia takut jika Vincent mengatakan hubungan satu malam mereka kepada Pak Richard, dia akan mengemasi mejanya saat itu juga. Namun anehnya sudah beberapa hari menjadi sekretaris Vincent, ketakutannya tidak terjadi.
Vincent Evans, bosnya, atasannya, Direktur Utama atau biasa mereka panggil CEO perusahaan Adinata; membatasi hubungan mereka, sedikit dingin berbanding terbalik ketika dia bersama karyawan wanita lainnya. Intinya, Vincent sangat profesional. Dan itu cukup melegakan untuk Maya.
Karena masih terlalu dini, Maya mengalami hal yang sama seperti karyawan baru. Tugas jabatannya sebelumnya tidak berbeda jauh dengan sekarang, hanya banyak penambahan. Seperti mengurus Vincent, mengatur jadwal Vincent, merencanakan, mengatur dan mencatat hasil rapat, selalu mempertahankan komunikasi tidak hanya satu departemen melainkan seluruh departemen perusahaan dan di luar perusahaan seperti contoh pemegang saham dan Mitra bisnis, mengumpulkan informasi dan lain sebagainya. 3 hari pertama, tentu saja Maya bingung. Dia bahkan menghubungi Fauziah 5 kali dalam sehari. Alhasil, banyak catatan tempel di komputer hingga mejanya tentang tugas dan cara mengerjakannya.
Sempat berpikir untuk kembali ke jabatan sebelumnya. Walau hanya karyawan biasa, tapi dia sangat hapal di luar kepala tugasnya. Tapi mengingat kembali pendapatan yang akan ia dapatkan, Maya tidak bisa menyerah begitu saja. Dia selalu menggumamkan kata ‘maklum’ untuk dirinya. Setiap karyawan baru yang baru saja mendapatkan pekerjaan yang tidak ia ketahui, pasti mengalami hal ini. Well, Maya menganggapnya belajar hal baru untuk dirinya.
Dan hari ini, dia belum menghubungi Fauziah. Dan Maya cukup bangga pada dirinya sendiri.
Merapikan sebagian laporan yang baru saja ia selesaikan, ia melihat Iris —sahabatnya yang juga anak satu-satunya Pak Richard— datang ke ruangannya sambil melamun.
Maya mengangkat sebelah alisnya menatap Iris. Tidak seperti Iris yang biasanya membuat ia penasaran. Apakah wanita ini memiliki masalah? Ini pertanyaan Maya. Namun ia tidak pernah sekalipun memaksa Iris untuk mengatakannya.
Karena Iris belum sadar dari lamunannya bahkan setelah berdiri di depan meja Maya, Maya jadi ingin menggodanya. “Jika Bu Iris datang kemari hanya ingin mencuci mata, harap kembali ke ruangan Bu Iris sekarang juga.”
Wanita itu mengerjapkan matanya seolah bangun dari lamunannya kemudian memukul Maya dengan gemas. Tentu saja Maya mengadu pelan.
“Pak Vincent ada di dalam, May?”
“Tunggu sebentar, Ma’am.” Maya mendekati pintu kayu yang besar di sana dan mengetuknya. Mendengar suara seksi yang menyuruhnya masuk, Maya hanya membuka pintu dan berbicara dari tempatnya berdiri, “Bu Iris ingin bertemu Bapak.”
Tanpa menoleh dari berkas di mejanya, Vincent memberi perintah, “Suruh dia masuk.”
Mengangguk, Maya segera menoleh pada Iris. Setelah Iris masuk, Maya kemudian menutup pintu bosnya dan kembali ke mejanya, kembali menyelesaikan pekerjaannya.
Beberapa menit berikutnya, Iris bersama Vincent keluar. Secara naluriah Maya berdiri.
“Saya akan makan siang bersama Pak Richard dan Bu Iris. Kamu bisa istirahat setelah ini,” ucap Vincent tenang dan sedikit dingin. Biarpun begitu, tetap saja tidak menghilangkan suara seksinya yang khas.
Maya menunduk hormat. “Baik, Pak.”
***
Jam istirahat, Maya bersama Veronica, Ayumi dan Jean duduk di salah satu meja di kafetaria kantor.
“Masih tidak bisa mengurusi segalanya?” Tanya Veronica.
Maya mengedikkan bahunya singkat. “Tidak terlalu seperti di hari pertama hingga ketiga. Sekarang aku mulai terbiasa.”
“Itu pasti karena kekuatan wajah Pak Vincent.” Jean berseru membuat Veronica mengangguk setuju.
“Itu benar. Wajah Pak Vincent tidak ada tandingannya di kantor ini. Kau benar-benar beruntung, May.”
“Aku iri padamu...” Ayumi mengerucutkan bibirnya. “Kau tahu, melihat pria tampan di pagi hari seperti kafein untuk mata kita.”
Veronica dan Jean mengangguk bersamaan. Dan Maya segera membusungkan dadanya dengan sombong sambil mengibaskan rambutnya ke belakang. Lalu detik berikutnya mereka terkikik geli bersama.
Well, mereka tahu membuat hiburan dikala stress akibat kerjaan. Bukan berarti ucapannya mereka tentang Vincent bohong. Mereka mengatakannya dengan jujur. Hanya saja mereka tidak akan memilikinya, begitu juga Maya.
“Kau terbiasa dengan rekan di sana?” tanya Jean.
Ketika Maya mendongak, matanya menangkap seorang wanita yang memiliki wajah sinis ketika menggulung rambutnya dengan jarinya. Ketika wanita itu juga menatap Maya, dia segera memutar matanya, mengalihkan wajahnya kembali berbicara dengan teman di seberangnya.
Menjawab pertanyaan Jean, Maya mengangguk pelan. “Mereka baik. Lagipula tidak akan ada yang berani menggangguku.”
“Ah benar juga. Kau kan tangan kanan CEO. Mana mungkin ada yang berani mengganggumu.”
Dan mereka kembali makan lagi.
10 menit sebelum jam istirahat habis, Maya sudah duduk di belakang mejanya setelah merapikan riasannya di kamar kecil wanita. Ia memasukkan tas kecil make upnya ke dalam tas kerja tepat ketika seseorang datang dan meletakkan dokumen dengan sedikit kasar di meja kerjanya. Maya hanya melirik dari ekor matanya, melihat wanita yang ia perhatikan sejenak di kantin kantor tadi.
“Laporan yang Anda minta tadi pagi. Apa ada hal lain?”
Siapapun akan tahu, termasuk Maya, dari nada asingnya yang tidak bersahabat, wanita ini tidak menyukai Maya.
Sarah, karyawan lama di departemen yang berhubungan langsung dengan Direktur Utama setelah sekretaris. Dia sudah berada di departemen ini semenjak Pak Rudi menjabat. Maya tidak tahu apakah dia memang selalu ketus ketika dengan orang asing atau ada alasan lain. Yang jelas, sikapnya pada Maya dan rekannya yang lain berbeda jauh.
“Saya akan menemuimu jika membutuhkan dokumen lainnya. Terima kasih.”
Tidak menjawab, Sarah hanya mendengus pelan kemudian berbalik.
Dan Maya hanya menatapnya dalam diam. Sarah selalu seperti itu tiap kali Maya meminta laporan yang merupakan sudah menjadi tugas wanita itu. Dia hanya bisa mencoba sabar dengan perilaku Sarah.
Tidak ingin terlalu memikirkan Sarah, Maya mulai membaca dan menyusun laporan di mejanya sebelum memberikannya kepada Vincent nanti.