‘Kenapa aku berada di sini?’
Satu pertanyaan yang terus Maya ulangi di dalam kepalanya.
Setelah melihat Richard yang mengantar Rudi turun, Maya segera ditarik Fauziah ke ruangan Direktur Utama bersama Vincent. Dalam keadaan bingung, hebatnya Maya bisa mendengar ucapan Fauziah dari A-Z dengan sangat jelas.
“Ini jadwal satu bulan ini hingga bulan depan Pak Rudi. Kamu bisa membahasnya dengan Pak Vincent. Siapa tahu dia ingin jadwal baru mengingat dia baru saja pindah kemari.” Fauziah menatap Maya yang terdiam. “... May?”
Maya mengerjap. Matanya yang tidak fokus tadi akhirnya mendapatkan fokusnya sebelum mengangguk. “Baik, Mbak.”
“Lalu, yang lainnya bagaimana? Masih ada yang kurang kamu mengerti?”
Maya menggeleng. “Saya sudah memahaminya.”
Fauziah melirik jam tangannya kemudian tersenyum puas. “Kita hanya menghabiskan seharian untuk mempelajari tugasmu. Aku pikir harus berhari-hari ternyata kamu orang yang cepat belajar ya, Maya.”
Maya hanya tersenyum.
“Kalau begitu saya akan turun ke bawah. Saya perlu pergi ke Departemen SDM.”
Maya segera berdiri. “Oh kalau begitu saya tidak akan menahan Mbak Fauziah terlalu lama. Dan terima kasih untuk bantuannya, Mbak. Ini semua benar-benar sangat membantu saya.”
Fauziah tersenyum sambil mengangguk. “Perlu diingat, jika ada yang masih belum kamu pahami atau lupa, hubungi saya. Kamu masih menyimpan nomor saya, kan?”
“Masih, Mbak. Sekali lagi terima kasih, Mbak Fauziah.”
“Iya, sama-sama Maya.”
Setelah Fauziah pergi, Maya tetap berada di mejanya. Memegang iPad di tangannya, ia menatap pintu Direktur Utama dalam diam. Di sana, Vincent tidak keluar sama sekali hingga sekarang.
Dia dalam keadaan dilema. Apakah harus mengetuk pintu atau membiarkan Vincent keluar sendiri barulah dia menunjukkan jadwal Pak Rudi. Tapi, bagaimana jika hingga jam pulang kantor Vincent tidak keluar?!
Berdecak pelan, akhirnya Maya berdiri. Toh, pembicaraan mereka sebelumnya belum selesai. Supaya tidak terlalu lama digantung, ada baiknya diselesaikan saat ini juga.
Berdiri di depan pintu berwarna cokelat, Maya mengetuk dengan pelan. Terdengar suara tegas dan lantang yang samar dari dalam menyuruhnya untuk masuk.
Membuka pintu, Maya bisa melihat Vincent yang sedang fokus meletakkan buku-bukunya di rak buku tinggi. Dia tidak bergerak. Apakah dia salah waktu?
“Apa yang kamu lakukan di sana? Masuklah cepat dan katakan.”
Mengerjapkan matanya, Maya segera tersadar. “Ah iya...”
Maya berhenti dengan jarak yang cukup jauh dari Vincent. Pria itu masih fokus melakukan pekerjaannya, membelakangi Maya. Di bawah kakinya banyak kotak kardus berisi barang pria itu mulai dari buku hingga kebutuhan pribadi. Karena ini pertama kalinya Maya menjadi sekretaris, belum lagi mengingat situasi mereka tadi malam, dia menjadi malu dan tidak tahu ingin melakukan apa.
Apakah dia harus menunggu Vincent selesai merapikan ruangannya? Maya melihat sekelilingnya yang sangat luas. Bukankah akan memakan waktu lama?
“Um, apa perlu saya bantu?”
“Tidak.” Jawaban singkat dari Vincent tidak Maya ambil pusing. Dia hanya mengangguk dalam diam.
Dan suasana kembali hening.
Maya yang berdiri terlalu lama mulai merasakan pegal. Apakah dia serius akan menunggu Vincent selesai berberes sebelum membahas tentang jadwal pria ini?! Maya rasa tidak. Dia memberanikan dirinya untuk berbicara, “Saya kemari untuk membahas mengenai jadwal Pak Rudi sebelumnya hingga bulan depan. Tapi mengingat Anda sibuk, saya akan kembali beberapa jam lagi.”
“Letakkan saja di sana.”
Maya melihat meja kerja Vincent lalu meletakkan iPad di sana. Dia menunduk sejenak sebelum berbalik. Ingin melangkah, dia berhenti. Berbalik kembali, dia menatap Vincent yang masih tampak sibuk. “Err, ada satu hal lagi yang ingin saya bicarakan...”
Tanpa menoleh, Vincent berkata, “Katakan.”
“Ini mengenai pembicaraan kita sebelumnya...”
Gerakan Vincent yang ingin mengambil buku dari kardus berhenti. Cukup singkat. Tangannya kembali bekerja di detik berikutnya. Dia tidak menyela Maya. Dia ingin mendengar ucapan Maya selanjutnya.
“Apakah Anda berjanji untuk melupakan tadi malam?”
Cengkraman Vincent pada buku sedikit mengencang sebelum ia meletakkannya di rak dengan sedikit kasar. Setelah itu, ia mengernyit kecil atas tingkah anehnya. Dia mendesah sebelum menjawab singkat. “Hmm.”
Jawaban pendek itu membuat Maya bernapas lega. Dan Vincent yang mencuri pandang ke arahnya menangkap tingkah Maya itu. Dia sedikit mengerutkan dahinya singkat.
Maya tersenyum cantik. Dia tidak lagi tertekan seperti sebelumnya. “Hebat. Kalau begitu saya akan kembali ke meja saya. Um, Anda yakin tidak membutuhkan bantuan saya?”
Vincent menghembuskan napas pelan. Kemudian berbicara dengan tenang, “Out.”
Maya segera menunduk kemudian keluar dengan perasaan bahagia. Setidaknya dia masih bisa bekerja dengan tenang di Perusahaan Adinata.
Mendengar pintu tertutup, Vincent dalam diam mengambil beberapa buku lainnya dari dalam kotak dus. Dengan bayangan wajah Maya yang tersenyum mempesona barusan kemudian ekspresi lega wanita itu, dia kembali meletakkan buku dengan kasar. Terdiam, Vincent menghela napas. Detik selanjutnya dia terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.
Dia mulai aneh sekarang.
***
Mengendarai mobilnya, Maya berhenti di rumah ibunya. Turun dari mobil, ia melihat kakaknya, Ian membuka pintu, bersedekap menghalangi jalan Maya untuk masuk ke dalam dengan wajah penuh tuntutan. Dengan tubuh besarnya dan berotot, sangat sulit untuk Maya melewatinya.
Oh jangan lagi... Maya mendesah lelah. Sikap kakaknya yang seperti ini sudah jelas apa yang ingin ia bicarakan.
“Ibu mengatakan kau baru pulang dalam keadaan kacau tadi pagi. Masuk ke rumah hanya untuk mandi dan berganti pakaian kerja sebelum pergi. Kau bahkan tidak memakan sarapanmu.”
“Oh please, apakah aku perlu mengulanginya lagi?” Bisik Maya kesal. Dia tidak ingin Ibu mereka mendengar obrolan sengit mereka. “Iris mengadakan pesta pernikahannya tadi malam dan kami semua menginap karena kelelahan.”
Well, tadi pagi Maya mengatakan itu pada ibunya.
“Kami?”
“Apa aku harus menjabarkan semua nama sahabat wanitaku, Ian?” Maya menatap langsung ke manik mata abangnya.
Dan Ian mendengus pelan. Kemudian memberi ruang untuk Maya masuk.
“Thank God. Kau membiarkan kakakku melakukan kebaikan kecil untuk adiknya.” Maya bergumam setengah kesal.
“Sudah lama kau tidak menginap di luar. Aku pikir kau sudah tidak ingin menjadi wanita malam.”
Menoleh ke belakang dan tercengang, Maya berteriak frustasi, “Oh seriously, Brother?”
“Jika aku menangkap basah kau menginap di rumah pria asing, aku bersumpah akan memukul kakimu dengan tanganku sendiri.”
Maya tertawa sambil mendengus. “Kenapa kau tidak mengawasiku malam ini? Untuk infomu, aku akan melakukannya dengan beberapa pria. Kau harus menyiapkan tanganmu untuk memukulku di depan mereka.”
Mendengar nada berani adiknya membuat wajah Ian menggelap. Dia maju mendekati adiknya, “Kau—”
“Kamu sudah pulang, May?” Ibu mereka, Nadin, menghentikan pertikaian diam-diam mereka.
Menatap kakaknya sekali lagi, mendengus, sebelum memeluk dan mencium pipi ibunya.
Nadin tersenyum. “Ya sudah, ganti pakaianmu. Kamu pasti lelah.”
Maya mengangguk sebelum menaiki tangga menuju kamarnya.
Mereka makan malam bertiga. Setelah selesai, Maya membantu ibunya mencuci piring dan membereskan dapur. Lalu dia mandi dan berakhir di kamarnya.
Menggunakan masker wajah, Maya duduk bersandar di tempat duduknya sambil bermain di ponsel. Hal yang ia lakukan adalah membuka obrolan grupnya bersama para wanita dan mengumumkan kebahagiaannya.
Maya: Aku menjadi sekretaris CEO baru kita. Mulai siang tadi.
Seperti yang Maya duga, detik selanjutnya para sahabatnya segera membalas dengan semangat.
Veronica: Kau pasti bercanda!
Jean: What?! Bagaimana bisa?
Iris: Jadi itu benar? Papi bilang Pak Rudi resmi pensiun hari ini.
Veronica: Kau tahu tentang Maya yang menjadi sekretaris, Iris?!
Iris: Nope. Aku hanya tahu mengenai Pak Vincent yang sudah duduk di posisinya hari ini. Mbak Fauziah akan dikirim ke kantor cabang menjadi Kepala Tim di sana. Hanya itu.
Jean: Aku bertaruh Maya tidak akan memanfaatkan satu haripun untuk bolos kerja. Melihat wajah tampan bos kita pasti menjadi asupan energinya ahahah!
Veronica: Itu tidak adil!
Maya berpikir sejenak sebelum membalas sambil menyeringai kecil: Tenang saja. Aku tidak akan menyia-nyiakan hariku untuk menatap Pak Vincent.
Maya ingin sekali menggoda teman-temannya. Dan terbukti, Jean dan Veronica mengirimkan sticker menangis dan ingin membunuh Maya. Maya tertawa pelan.
Ayumi: Kau menjadi sekretaris kedua setelah Mbak Fauziah, May? Wah, congrats, girl! Tapi bukankah Pak Rudi akan pensiun?
Jean: Oh jangan lagi, Ayumi....
Veronica: Lmao
Maya mencoba untuk tidak tersenyum lebar ketika membaca pesan-pesan tersebut.
Pesan berikutnya masuk lagi.
Iris: Well, seperti ucapan Ayumi.... Selamat, Babe. Aku sangat senang untukmu.
Jean: Yep congrats, my Dear!
Veronica: Selamat!!!! Kita harus merayakan ini!
Akhirnya Maya tidak bisa menutupi senyumannya ketika membalas: Thanks so much, my girls!
Beberapa saat berikutnya, pintu kamarnya diketuk sebelum dibuka perlahan. Dari ekor matanya, Maya melihat kakaknya bersandar di pintunya. Maya pura-pura tidak melihatnya.
“Bolehkah aku masuk?” tanya kakaknya pelan.
Dengan suara samar, Maya menjawab, “Hmm.”
Ian bergerak menuju kursi kecil di depan meja riasnya lalu memutarnya untuk menghadap Maya. Ian adalah seorang Marinir. Dia lebih tua 6 tahun dari Maya. Ada kalanya dia menjadi keras, dan kadang bersikap lembut. Seperti saat ini, dia mencoba menjadi baik hanya supaya Maya mendengarnya. “Maafkan aku mengenai tadi... Aku menyadari bahwa aku sedikit berlebihan tadi. Kau tahu bukan, Ibu hanya memiliki kita berdua.”
Maya terdiam. Semenjak kepergian ayah mereka 2 tahun lalu, Ian menjadi lebih dewasa dibandingkan dia. Maya tahu ini. Dia menjadi tidak nyaman dan merasa bersalah.
“Aku tahu kau sudah dewasa. Kau bisa melihat mana yang baik atau buruk untukmu. Hanya... aku hanya minta padamu untuk mengabariku.”
Maya membasahi bibirnya. Menunduk. Dan semakin bersalah. “Aku juga minta maaf.”
Ian menggeleng. “Tidak, kau tidak salah.”
Melihat kakaknya yang menyalahkan diri pria itu sendiri membuat Maya semakin buruk. Dia merasa sedih. “Aku salah, Kak.”
“Tidak, May. Aku sangat menyayangimu makanya aku terlalu berlebihan—”
Maya menarik masker wajahnya. “Sudah kubilang aku salah! Aku berbohong padamu mengenai menginap bersama sahabat-sahabatku! Aku sebenarnya—”
Secepat itu Maya yang tidak sabaran menyela, secepat itu juga ucapannya berhenti di udara. Ia mematung, tidak berani menatap Ian. Dari suasana yang mencekam dan dinginnya punggungnya, ia bisa merasakan amarah Ian.
Ah sial.... Ian pasti akan membunuhku... Batin Maya.