Duduk di belakang meja kerjanya, Maya yang masih linglung dan kaget harus mendengar gosip dari sesama rekan kerjanya.
“Kau lihat wajahnya tadi? Ya Tuhan dia sangat berkharisma!” Wanita itu berbisik. Tapi bisikannya masih bisa didengar Maya.
“Kau benar! Dia bahkan tersenyum padaku tadi!”
“Siapa yang kalian berdua bicarakan?” wanita lainnya bertanya dengan penasaran.
“Itu lho, pria baru yang bersama Pak Richard. Aku melihatnya di lobi. Dan mereka masuk ke dalam lift bersama.”
“Oh pria itu!” Serunya sebelum mencondongkan tubuhnya dengan bangga. “Aku dengar dia yang akan menggantikan Pak Rudi.”
“Benarkah?” seru yang lainnya serempak kaget.
Sedangkan Maya, dari tempat duduknya dia menegang.
Pak Rudi adalah Direktur Utama di sini atau bisa dibilang CEO di perusahaan Adinata. Kabar itu memang benar adanya. Dua hari lalu satu perusahaan mengadakan acara makan-makan untuk Pak Rudi. Tetapi yang membuatnya terkejut adalah pria itu yang akan menggantikan Pak Rudi? Jadi, dia benar-benar akan menggantikan Pak Rudi?!
“Oh Tuhan, dia terlihat masih muda!”
“Kau benar!”
Tidak ingin mendengar obrolan rekannya di departemennya, dia segera berdiri ingin mencari udara segar. Di saat keluar dari ruangan, Maya mendadak berhenti. Karena di depannya, si Dark Grey sedang berjalan santai di lorong luas tersebut.
Kaget, Maya berbalik sangat cepat. Belum sampai dia melangkah kembali ke ruang departemennya, pria itu memanggilnya dengan cara aneh.
“Ms. Grey”
Memejamkan matanya, Maya berdesis dalam hati, “Damn...” Dia mulai membenci panggilan itu.
“My bad. Warna atasan Anda biru saat ini, bukan abu-abu.” Vincent sudah berdiri di belakangnya.
Karena tidak bisa melarikan diri dengan cepat, Maya akhirnya kembali berbalik. Dia tersenyum sopan. “Anda bicara dengan saya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?”
Hanya ini pegangan terakhir Maya. Dia berharap pria ini berpikir jika dia salah orang. Dengan begitu Maya dapat bekerja hingga masa pensiunnya!
Merasa tertarik, sudut bibir Vincent terangkat sedikit. “Saya ingin melihat-lihat gedung ini,” Vincent melihat tanda pengenal yang di kalungkan di leher Maya. “Maya Ashley.”
Ketika pria itu menyebutkan nama lengkap Maya dengan suara seksinya, dadanya Maya segera berdesir. “O-oh, sebentar. Saya akan panggil—”
Sebelum Maya bisa melewati Vincent, pria itu sudah lebih dulu bicara kembali membuat Maya berhenti. “Temani aku.”
“... A-apa?”
“Ayo, tunjukkan jalannya.” Dengan kedua tangan ke belakang tubuhnya, Vincent berjalan lebih dulu.
Maya melihat punggung lebar pria itu sejenak. Pikiran nakalnya ingin kembali ke dalam ruang departemennya tepat saat pria itu bicara, “Aku tahu yang ingin kamu lakukan.” Menoleh sedikit membuat Maya tersentak, dia menambahkan ucapannya, “Bukankah banyak hal yang harus aku ketahui? Kamu ingin membuatku menunggu?”
‘Ketahui apa?!’ Jerit Maya ingin menangis di dalam hati. Ia berpikir positif, bahwa pria itu tidak akan membahas tadi malam. Karena, itulah yang para pria lakukan, benar? Para pria akan bersikap baik dan manis sebelum mengatakan pada wanita bahwa itu hanya satu malam. Dan lalu meminta wanita tersebut untuk melupakannya.... Pria ini, si Dark Grey ini ... Termasuk ke dalam golongan pria seperti itu, iya kan?
Oh sial, Maya bahkan tidak yakin dengan pernyataannya sendiri. Bagaimana jika pria ini menginginkan Maya dipecat? Mengingat dia yang memberi pria ini uang sebelum keluar dari sebuah penthouse. Dia pasti menaruh dendam pada Maya.
Dengan hati sedih, dia melangkahkan kakinya yang berat. Membuntuti pria itu dengan jarak yang cukup jauh.
Di lantai tersebut, Maya mulai menjelaskan ruangan-ruangan di sana yang sebenarnya tidak begitu penting untuk pengganti Pak Rudi. Dan anehnya, bukannya melihat ruangan-ruangan yang Maya tunjuk sambil menjabarkannya, pria itu malah menatap Maya sambil tersenyum. Maya sedikit tidak nyaman.
“Betapa leganya aku melihat kamu pulang dengan selamat—”
Sebelum Vincent bisa mengeluarkan pembahasan yang bisa mencurigai orang yang mencuri dengar, Maya dengan sigap memotongnya, “Ini adalah ruang santai. Ada permainan untuk menghilangkan kepenatan saat bekerja.”
Di sana, ada beberapa karyawan yang memang sedang bersantai sambil menyesap kopi mereka.
Vincent tersenyum tipis.
Maya kembali berjalan cepat di lorong dan giliran Vincent yang membuntutinya.
Tiba di depan lift, Maya terdiam sejenak. Ada 41 lantai neraka di gedung ini. Apakah dia serius ingin melihat-lihat semua lantai?! Maya yang sudah bekerja di sini saja tidak pernah mengunjungi seluruh lantai!
Dia sudah mengenalkan dari ruangan Komisaris, ruangan yang akan pria ini gunakan hingga departemen yang berada di lantai ini. Maya berpikir keras. Ruangan apa lagi yang akan dilalui Direktur Utama? Di lorong yang sepi tersebut, Maya melirik pria di sebelahnya.
Diamnya Maya tentu saja dipahami Vincent. Namun dia dengan sabar menunggu Maya bicara.
Membasahi bibirnya, Maya bertanya, “Apakah Anda sudah tahu letak ruang rapat?”
Vincent menggeleng pelan membuat Maya mengangguk pelan.
“Oke, baiklah...” Maya kembali menjelaskan. “Jadi, tadi kita sudah melihat satu ruang rapat di lantai ini. Tapi biasanya digunakan untuk rapat bersama tamu penting. Rapat Umum Pemegang Saham, Rapat Dewan dan lainnya menggunakan lantai 39 atau 15. Tidak harus di dalam kantor, biasanya akan diadakan di luar kantor juga. Selain dua lantai tersebut, tiap departemen memiliki ruang rapat pribadi mereka juga di ruangan mereka. Masing-masing. Lalu untuk kantin...”
Mendapatkan tatapan intens dari pihak seberang, Maya menjadi gugup. Ia segera mengalihkan wajahnya dan membersihkan tenggorokannya. “Maaf, saya hanya bisa mengatakan ini saja karena saya sendiri tidak terlalu hapal struktur ruangan di perusahaan. Untuk lebih jelasnya, sekretaris atau wakil direktur Anda—”
“Mau sampai kapan kamu pura-pura diam mengenai tadi malam?”
Refleks, Maya mendongak. Bibirnya terbuka sedikit.
“Bahkan tadi malam kita mengobrol santai.” Vincent melangkah dengan sangat perlahan dan secara naluriah Maya mundur sedikit panik hingga menyentuh dinding di belakangnya.
Mencoba tersenyum sopan, Maya berbicara, “Apa yang sedang Anda bicarakan? Maaf, tapi saya tidak mengerti.”
“Oh begitu...” Vincent bergumam.
“Iya.” Maya menanggapi sangat sopan. Lalu melirik ke kanan dengan mata panik. Bisakah dia lari sekarang?
Mendadak, Vincent menurunkan tubuhnya dan wajahnya berhenti di sisi telinga Maya. Pergerakan tiba-tiba itu membuat Maya mematung tidak bergerak.
“Perlukah aku mengingatkanmu kembali apa yang kita lakukan?”
Bisikan Vincent membuat Maya bergetar. Matanya terbelalak. Maya dengan cepat menatap ke depan sebelum menegang. Saat itulah, bibir mereka nyaris saja bersentuhan. Maya berusaha untuk tidak bernapas dan membuat gerakan kecil yang bisa saja menjadi bencana untuknya.
“Sangat tidak adil jika hanya aku yang mengingat tadi malam.”
“Maaf, saya rasa Anda salah orang—”
“Kita mengobrol di bar dengan menyenangkan. Kamu masih tidak ingat?”
Maya menggeleng cepat. “Saya masih ingat tadi malam saya menghabiskan waktu untuk menonton Netflix di rumah.”
“Tidak. kamu pergi ke pernikahan temanmu lalu ke bar.”
Maya menggeleng. “Tidak. Saya hanya berada di kamar saya dan menonton sepanjang malam.”
“Tapi aku yakin itu kamu. Aku tidak bisa melupakan wajah wanita tadi malam.”
Maya tertawa aneh. “Wajah saya ini sangat pasaran, Pak.”
“Omong kosong. Wajah cantikmu tidak bisa disamakan dengan orang lain. Bahkan tahi lalat di bawah mata juga sama—”
“Pak, saya sudah menyelesaikan tugas saya, saya akan kembali ke ruangan saya.” Maya menyelanya segera. Ia yakin wajahnya memerah. Sambil mengatakan itu, dia bergeser ke samping untuk memberi ruang di antara mereka. Dia dengan cepat membelakangi Vincent dan berjalan cepat dengan wajah frustasi yang menyedihkan. Kali ini dia serius ingin menangis.
Melihat wanita yang sangat jelas menghindarinya, Vincent memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Dengan tubuh santai, dia berkata lantang, “Apa perlu aku mengingatkanmu tentang malam membara ki—”
Sontak saja Maya berbalik, berlari menujunya dan menutup mulutnya. Melihat mata wanita itu yang berkilau karena basah dan jernih, Vincent tidak bisa mengalihkan tatapannya. Dia bahkan tidak menepis tangan Maya di bibirnya. Dan saat wanita itu menoleh ke belakang dengan waspada, baru saat itulah pandangan Vincent beralih pada salah satu telinganya yang memiliki 2 buah anting-anting kecil, alis yang rapi, turun ke hidungnya yang kecil. Ketika Maya kembali mendongak untuk menatapnya dengan kerutan halus di ruang antara alisnya, Vincent semakin terhibur. Dia mulai suka ketika wanita di depannya mengernyit menggemaskan seperti itu.
Maya menarik tangannya dan mundur selangkah. Dia kembali melirik ke segala penjuru arah yang sangat sepi sejenak sebelum berbicara dengan nada menyerah. “Baiklah, itu saya.”
Vincent tersenyum puas. Akhirnya wanita ini tidak bermain lagi.
“Saya mohon untuk tidak mengatakan hal itu pada siapapun. Jangan sampai berita tentang kita yang hanya mengalami satu malam menyebar. Saya yakin, Anda pasti tidak senang. Begitu juga saya, saya sangat mencintai pekerjaan saya sekarang. Maka dari itu, mari bekerja sama dan lupakan kejadian tadi malam. Oke, Pak?”
Ini sungguh lucu bagi Maya. Awalnya ia pikir pria ini yang akan masuk ke golongan pria yang meminta wanita untuk melupakan malam sebelumnya, namun nyatanya Maya sendirilah yang lebih dulu masuk ke golongan itu. Well, untuk kali ini dia memang harus melakukannya.
Di lain sisi, bagi Vincent ucapan Maya terdengar bahwa wanita itu tidak senang dengan apa yang mereka lakukan tadi malam. Itu sedikit mengganggu Vincent. Apakah dia gagal memuaskan Maya? Mata Vincent berubah redup.
“Apa yang kalian lakukan di sini?”
Maya menoleh cepat. Di sana ada Pak Rudi bersama Pak Richard. Dan di belakang mereka ada sekretaris Rudi membawa kotak. Dia dengan tangkas menyapa kedua pria itu dengan sopan.
“Maya menemani saya melihat kantor.” Vincent berkata dan Richard mengangguk.
“Apakah kalian sudah saling bertemu tadi?” Richard menepuk punggung Rudi.
Vincent menggeleng. “Saya hanya melihat saja dari luar. Saya takut jika mengganggu Pak Rudi yang sedang bekerja.”
Rudi tertawa. “Aku sedang membersihkan mejaku tadi. Tapi sekretarisku sudah mengatakannya.”
Richard tersenyum. “Nah, karena kamu sudah tiba, Pak Rudi berkata dia bisa mengosongkan ruangannya sekarang untuk kamu gunakan. Pak Rudi ini ingin cepat-cepat pensiun supaya bisa bermain badminton seharian.”
Rudi kembali tertawa. “Oh jangan lagi. Punggungku sudah tua. Aku tidak bisa lari ke sana kemari seperti anak muda lagi.”
Sontak saja Richard tertawa. Dan Maya tertawa pelan, bertingkah sopan.
“Oh ya, ini adalah sekretaris saya sebelumnya.” Rudi menoleh pada wanita paruh baya yang berpenampilan cerdas. “Jika kamu belum mendapatkan sekretaris, dia bisa bekerja padamu. Dia sangat kompeten. Kamu bisa mengandalkannya.”
Vincent tersenyum kemudian menolak dengan sopan, “Terima kasih sebelumnya, Pak Rudi. Tapi mohon maaf, saya sudah mendapatkan sekretaris pribadi untuk saya sendiri.”
Sebelum Rudi bisa mempertanyakan posisi sekretarisnya, Richard sudah lebih dulu bersuara, “Tidak masalah. Fauziah akan ditransfer ke kantong cabang. Kebetulan di sana juga sedang membutuhkan Kepala tim.”
Naik jabatan untuk sekretarisnya membuat Rudi bernapas lega. Dia mengangguk puas.
“Lalu, siapa orang itu, Vincent? Apakah kamu memilihnya dari berkas departemen SDM?”
Vincent.... Maya mengingat nama pria ini diam-diam.
Vincent menggeleng pelan kemudian menatap Maya di sebelahnya. “Nona Maya yang akan menjadi sekretaris saya.”
“Apa?” Tidak hanya Richard yang terkejut, Maya juga terkejut. Dia dengan cepat menatap pria itu yang kembali menatap Richard.
“Apakah tidak masalah, Pak Richard?” bukannya menjelaskan alasannya memilih Maya, Vincent malah bertanya seperti itu.
Richard menatap Maya sejenak, agak tidak yakin sebelum akhirnya mengangguk. “Oke kalau begitu. Fauziah akan membantumu untuk beberapa hari ke depan.”
Maya yang belum pulih dari keterkejutannya hanya bisa mengangguk linglung ketika Richard mengajaknya bicara. Demi Bumi dan langit, dia tidak tahu apa yang sebenarnya baru saja ia dengar.