CHL - Chapter 1

1505 Words
Cahaya yang menyilaukan menerpa wajah Maya. Merasa terganggu, wanita cantik itu memiliki kerutan halus di ruang antara alisnya yang rapi. Tepat saat itu juga, alarm ponselnya berbunyi memekakan telinga semakin membuat kerutannya lebih dalam. Maya mencoba meregangkan tubuhnya namun ia tidak bisa bergerak. Ia baru sadar ada sesuatu yang memberatkan tubuhnya. Membuka kedua kelopak matanya sedikit, ia perlu menyipitkan matanya sejenak untuk membiasakan bias cahaya mentari pagi yang melewati dinding penuh kaca transparan dari ujung ke ujung. Setelah beberapa saat kemudian barulah ia menolehkan kepalanya ke belakang di mana seorang pria yang tidak ia kenal masih tertidur pulas sambil memeluknya. Saking pulasnya bibir pria itu terbuka sedikit. Maya mengerjapkan matanya sekali. Wajahnya yang baru bangun tidur terlihat agak linglung. Ia menutupi kedua matanya lagi sebelum membukanya. Dan, pria yang tidak menggunakan atasan itu masih di tempat tidurnya. Tidak, ini bukan tempat tidur Maya.... Tunggu sebentar .... Beri waktu untuk Maya bernapas dulu... Oh sial. Melihat pria asing tanpa busana sekali lagi tidak dapat membantu Maya untuk bernapas normal. Oke, baiklah. Sebenarnya hal sialan apa yang terjadi semalam?! Bisa merasakan tubuhnya mulai menegang, Maya mencoba mengatur nafasnya dan menenangkan dirinya. Dia mulai memikirkan apa yang terjadi tadi malam.... *** Seorang bartender meletakkan sebuah es batu ke dalam gelas martini dan membiarkannya sejenak. Kemudian ia mengambil botol gin dan vermouth dan meracik minuman yang sangat sempurna di dalam gelas bar. Tak lupa juga ia menuangkan es batu kemudian mengaduknya dengan sendok bar dengan handle yang panjang. Beberapa menit kemudian, ia membuang es batu yang berada di gelas martini. Meletakkan penyaring dan menuangkan minumannya ke dalam gelas martini. Dengan penyaring yang berguna menyaring es batu agar tidak ikut tertuang ke dalam gelas martini. Sebagai pelengkap, tiga buah zaitun yang ditusuk dengan bambu halus berada di dalam gelas martini tersebut. Selesai, ia mendorongnya ke depan di mana seorang wanita berambut panjang hitam yang halus dan lurus sudah duduk manis di kursi bar. “Untuk wanita tercantik di sini.” Bartender itu mengedipkan sebelah matanya kepada wanita itu. Maya Ashley. Wanita yang mengenakan gaun elegan berwarna abu-abu awan yang terlihat sangat menarik melihat jumlah buah zaitun kemudian berseru manis. “Aww... Kau sangat manis, J.” Jay, atau yang akrab dipanggil J adalah seorang bartender di satu-satunya bar favorit Maya. Pria itu sangat ramah dan beberapa kali akan memberi Maya masukkan yang.... Well, ada yang bijak ada juga yang tidak masuk akal, kadang. Sudut bibir J terangkat. “Perlu aku mengurangi satu buah zaitunnya?” Maya menatap tajam J. “Percayalah aku akan melempar minuman ini ke wajahmu setelah aku meludahinya dan tidak akan pernah datang kemari lagi.” Bukannya marah, J malah tertawa pelan. Sambil mengobrol dengan Maya, ia tetap meracik minuman lainnya untuk pengunjung lain. “Kau terlihat sedih malam ini.” “Salah satu temanku mengadakan pesta pernikahan hari ini.” “Oh Iris? Kau pernah menceritakan wanita itu minggu lalu.” Lihat? Inilah alasan Maya menjadikan bar ini sebagai bar favoritnya. J adalah seorang pendengar yang baik. Dia selalu mengingat pembicaraannya dengan pengunjung bar. Bayangkan saja, selain Maya ada berapa orang lagi yang bercerita padanya? “Yepp. Dia.” “Lalu, kenapa kau sangat murung?” Menyesap sedikit dan menggigit buah zaitun, Maya kembali berbicara. “Entahlah .... Mungkin aku akan kesepian.” “Bukankah akan ada waktunya untukmu?” “What do you mean?” “Fokus pada keluarga. Suami, anak-anak...” “Oh please....” Maya memutar matanya seraya terkekeh. “Kakakku saja belum menikah.” “Apakah harus menunggu kakakmu menikah baru kau mencari calon?” Maya terdiam. “Kau tahu itu bukanlah alasan, Cantik. Bukankah kau menginginkannya juga?” Maya menunduk dan memainkan tusukan bambu di gelasnya. “Butuh masukkan dariku?” “No. Di tanggal tua aku tidak memiliki uang lebih.” J tertawa karena Maya membicarakan uang tip namun tetap saja ia berbicara setelah memposisikan tubuhnya condong ke depan Maya dengan kedua tangan bertumpu di pinggiran meja bar. Wajahnya terlihat serius. “Berhenti memikirkan mantan. Tatap ke depan. Jalani hubungan serius dengan satu pria saja. Dan bercinta setelah menikah.” “Darn, J!” seru Maya membuat J tertawa. ”I’m 24!” “And still single.” “Aku baru saja putus, Godammit!” “Tiga bulan yang lalu.” Sontak saja Maya melarikan wajahnya sambil mendengus sebal membuat J mendesah. “Orang lain di umur 19 atau 20 sudah menikah.” Maya menatap horor J. “Oke, itu terdengar mengerikan. I mean, zaman sekarang siapa yang masih menikah di umur segitu?!” “Orang-orang yang saling mencintai.” J menatapnya dengan penuh perhatian. “Contohnya temanmu, Iris.” “Dia 23 tahun.” J mengerjap sekali ketika dia salah. “Bagaimana dengan orang lainnya lagi?” “Kau yakin bukan perjodohan?” “Entahlah. Bisa jadi.” J memberikan gelas lainnya ke pengunjung lain. “So, kau tidak akan menikah dalam waktu dekat? Tidak ingin menjadi wanita yang paling bahagia seperti temanmu yang sudah menikah?” “Jika pria itu ada di depanku malam ini aku akan menikahinya segera.” Melihat senyum aneh di wajah J membuat Maya kembali mengerang. “You know what, forget it. You are full of shit.” “Ouch.” J kembali tertawa. Dia kembali menatap Maya. Kali ini wajahnya terlihat hangat dan serius. “Lupakan si berengsek itu dan hidup bahagia, Maya. Aku yang lebih tahu dari siapapun tentang kau yang menginginkan itu secepatnya. Aku yakin, kau akan mendapatkan hari bahagia itu segera.” Tepat saat itu pintu bar terbuka dan masuk pengunjung lain. J melihat orang itu berjalan menuju kursi bar dan seketika terkejut. “Kau kembali, Bung?” Karena perhatian Jay sudah berpindah ke orang lain, Maya mulai fokus pada martininya. “Hm.” Gumaman seksi datang di belakang Maya. Orang itu duduk di jejeran kursi bar dan menyisakan satu kursi kosong di antara dia dan Maya. “Seperti biasa?” tanya J. “Ya.” suara seksi yang dalam itu terdengar lagi. “Sudah lama, kau tahu? Kapan kau kembali?” tanya J. “Tiga hari yang lalu.” Dia menjawab. “Dan untuk apa itu?” “Mengurusi bisnis orang lain.” J terkekeh. “Aku pikir kau akan membuka bisnis sendiri.” “Itu rencanaku. Tepat sebulan yang lalu ketika orang tuaku menyuruhku kembali. Ayahku bilang temannya hanya memiliki anak tunggal dan itu wanita. Lebih kerennya lagi, dia akan menikah dengan anak dari keluarga pebisnis lain. So, di sinilah aku sekarang.” Memegang gelasnya dengan malas, mau tidak mau Maya bisa mendengar pembicaraan mereka. Dan mau tidak mau Maya harus mendengar lebih banyak suara seksi pria yang terpisah satu kursi dengannya itu. “Setidaknya kau tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membangun bisnis sendiri.” Dari ujung matanya Maya bisa melihat J meletakkan wiski di depan pria itu. “Pretty yep.” “Kuharap kau menyukai pekerjaanmu yang sekarang.” “Tentu saja.” Tangan kekar dan besar pria bersuara seksi tadi diulurkan dan memegang gelas wiski yang mana tidak lepas dari lirikan Maya. Pria itu mengenakan setelan jas berwarna abu-abu gelap dengan sebuah jam tangan keluaran Swiss di pergelangan tangannya yang lebar. “Aku menyukainya.” J menyeringai kecil sebelum mendekati pengunjung lainnya. Ponsel Maya berdering saat itu. Ia melihat sebuah nama yang sudah menghantuinya beberapa bulan ini dan wajahnya seketika suram. Tidak menjawab panggilan tersebut, Maya menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas malamnya. Saat ia ingin menyesap martininya, ponselnya kembali berdering membuat dia mengutuk pelan sambil mematikan ponselnya. “Sepertinya panggilan penting.” Suara di sebelahnya membuat Maya cukup lama memproses bahwa pria itu tengah berbicara dengannya. Tanpa menoleh, Maya menjawab, “Hanya panggilan sampah.” Pria itu mengulurkan tangannya lagi dan menyesap wiski miliknya. “Aku iri. Aku tidak pernah memiliki panggilan sampah.” Maya membatin, ‘Siapa yang mau dihubungi mantannya terus menerus?!’ “Sepertinya kau baru pulang dari sebuah acara.” Pria itu kembali membuka obrolan. Dan Maya bergerak menolehkan kepalanya. Ia membalas tatapan iris hitam pria tampan itu. Dan untuk sesaat Maya terpesona dengan tatapan dalam pria itu. “... Temanku mengadakan pesta pernikahan hari ini.” “I see.” Pria itu mengangguk singkat. Tanpa melepaskan tatapannya, dia membawa gelas ke mulutnya dan meneguknya hingga habis. “Tapi, kau terlihat murung, Ms. Grey.” Aku iri. Dan masih berkabung. Apakah Maya perlu mengatakannya kepada pria asing yang akan ia lupakan setelah pergi sebentar lagi? Terlepas dari itu, mendengar panggilan dari pria yang terpisah satu kursi bar dengannya membuat Maya mengeluarkan suara tawa kecil. Ia cukup terhibur. Mendengar tawanya yang pelan, pria itu tanpa sadar menyunggingkan senyuman tipis. “Aku tidak tahu namamu. Tidak masalah bukan jika aku menggunakan warna gaunmu untuk namamu?” Cara yang aneh untuk menanyai namanya. Maya menggeleng pelan. “Tidak. Itu baik-baik saja,” Maya menatap jas yang digunakan pria di sebelahnya. “Mr. Dark Grey.” Tuan Dark Grey mengangkat sebelah alisnya dan menyeringai. Postur tubuh yang awalnya menghadap meja bar segera beralih menghadap Maya. “Aku suka panggilan itu....”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD