Kuliah (part 2)

1255 Words
Akhirnya tugas-tugasku mendapatkan pencerahan juga. Dari 3 tugas mata kuliah yang harus kukumpulkan besok, selesai 2. Masih ada 1 lagi yang harus kuselesaikan. Untungnya sudah sempat dicicil dan sudah asistensi juga. Jadi hanya perlu revisi sedikit lalu selesai semua. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Saat aku tersadar, Clark masih ada bahkan tertidur di sofa. Ica pun masih belum pulang. Aku langsung menghubunginya. ‘Tut tut tut’ Kutunggu beberapa lama nada sambung masih belum diangkat juga oleh Ica. Aku mulai khawatir. Mau membangunkan Clark tapi dia terlelap nyenyak sekali. Kasihan rasanya jika membangunkan karena kekhawatiranku yang belum terbukti. “Ca kamu dimana? Kok udah jam segini belum pulang? Kamu nginep atau mau kutunggu?” Akhirnya aku memutuskan mengirimkan pesan singkat padanya. Mungkin saja Ica masih sibuk rapat lalu melanjutkan kerja tugas di kost-an temannya. Aku mencoba berpikir positif. Lalu mulai mengerjakan tugasku yang terakhir untuk besok. Aku memang menyuruh Clark untuk pulang setelah dia makan, tetapi ada dia disini membuatku merasa lebih nyaman. Walaupun Clark tertidur, rasanya aku tidak sendirian. Ruang tamu ini sudah mulai panas, aku memutuskan untuk menyalakan AC lalu menyelimuti Clark. “Hnghhh” “Ah, maaf saya malah membuatmu terbangun ya?” “It’s okay Na. Gue suka kok diperhatiin sama lo” Clark mencoba membuat ekspresi wajahnya semanis mungkin sambil menatap mata Meena. “Iyalah, sahabat saya kan hanya ada 3. Masa gak saya perhatiin sih” “Yah gue friend zone dong” “Emm, family zone deh, kamu sama Ica saya anggap keluarga. Lebih dari sahabat dong berati” “Oh my Na, itu lebih parah daripada friend zone” wajah Clark mulai memelas. Sebagian wajahnya ditutupi selimut yang tadi kupakaikan. “Pahadal kan gue maunya-“ “Padahal di kampus banyak yang ngefans, kalo saya beramah tamah sama temen seangkatan pasti udah banyak yang nitipin hadiah buat kamu. Btw mau saya ambilin minum apa? Saya mau bikin hot chocolate,” Saat aku berdiri, Clark sontak menarik tanganku. Aku terjatuh ke sofa, perish di dekapan Clark. Membuat wajahku panas dan salah tingkah. “Kamu ngapain Cal?“ aku buru-buru mau berdiri kembali. Lagi-lagi Clark mencegahku. Menarik tanganku dan aku terduduk. “Clark! Bercandanya keterlaluan” perasaanku menjadi campur aduk, kesal dan malu. Wajahku terasa semakin panas. Tiba-tiba Clark duduk dan merangkulku dari belakang. Kedua tangannya melingkari leherku. Memelukku dari belakang. Pertama kalinya aku mendapat perlakuan seperti ini. Aku bingung harus bersikap seperti apa. Apakah persahabatan pria dan wanita memang seperti ini? Aku yang dulu tidak pernah mempunyai waktu untuk bersama sahabat bahkan aku tidak mempunyai teman. Managerku satu-satunya yang kuanggap teman. Itupun jika dia menganggapku begitu. “Meena Tarani, tapi aku mau lebih dari sekedar teman atau keluarga. Aku mau menjadi orang yang kamu andalkan. Aku mau menjaga kamu selalu. Aku mau nemenin kamu disaat kamu sendirian. Aku gak akan ninggalin kamu” Suara Clark terdengar begitu lembut. Baru kali ini aku menerima pernyataan cinta yang mendalam seperti ini. Saat kami masih terhanyut dalam suasana itu, tiba-tiba Ica pulang. Menjadi penyelamatku saat momen ackward ini “Meena gue bawain cake kesukaan lo nih! Loh, ada Clark. Hei ngapain lo sampe malem? Lagi ngapain si lo berdua? Diem-dieman aja,” “Oh, nggak” sahutku dan Clark bersamaan. “Eum, I-ini a-aku mau bikinin minuman, kamu mau apa Ca? Sekalian mau bikin hot chocolate nih. Mau?” “Thanks na, gue mau mandi terus tidur. Lelah abis. Kuenya gue taro kulkas ya” “Good night Ca” “Lo jangan balik malem-malem Cal! Meena mau ngerjain tugas jangan lo gangguin ya. Awas lo!” “Iya bu.. Iya.. Meena nya saya pijitin abis ini. Bu Ica mau dipijitin juga?” “Males, dah ah lelah gue. Syuh syuh” Ica melambai-lambaikan tangannya. Bergaya seperti mengusir kucing kecil. Clark membalasnya dengan ekspresinya yang tak kalah meledek Ica. Aku hanya memperhatikan keduanya sambil tertawa kecil. Aku tidak ingin kehilangan kedua sahabatku ini. “Kamu gak jadi pulang Cal? Gak ada eum tugas?” aku menjadi kikuk. Bingung harus bersikap seperti apa. “Meena, tadi itu gue serius. Kalau lo belom siap, gue akan tetap bersikap seperti biasa. Tapi please, jangan pura-pura gak sadar sama perasaan gue.” “Kenapa ke saya? Kamu kan baru kenal saya belum lama tapi udah ngomong kayak tadi. Mungkin kamu hanya kebawa suasana aja. Kamu cuma salah paham sama perasaan kamu” “Mungkin lo nggak inget kejadian waktu kita masih kecil. Tapi dulu kita satu sekolah pas masih SD,” “Kamu juga SD di sekolah T?” “Dulu gue sempet nyariin kabar lo pas kelulusan SMP, tapi gak ketemu. Sampe akhirnya pas SMA Ica ngepost foto kalian di Stargram. Aku langsung yakin kamu itu anak kecil yang dulu aku kenal.” ***** Malam itu aku tidak bisa berkonsentrasi dengan tugas yang kukerjakan. Untung sudah sempat direvisi jadi aku hanya perlu finishing tugasku yang memakan waktu hingga jam 3 subuh itu. Hari ini pun kelasku seharian dari jam 10 pagi sampai jam 4 sore. Maklum jumlah SKS nya banyak, salah satu mata kuliah inti dalam jurusan ini. AKu merasa sedikit pusing. Kurang tidur dan kejadian semalam masih mengganggu pikiranku. ‘Siapa sebenarnya Clark? Kenapa dia mengenalku semenjak SD? Sebenarnyaberapa banyak kejadian yang aku lupakan saat masa kecilku itu. Atau jangan-jangan yang dimaksud Clark adalah kenangannya bersama Meena yang asli?’ “Hoy, Na! Bengong aja? Udah dipanggil absen sama dosen tuh Na,” “Oh, hadir bu!” Ucapan Rani menyadarkanku bahwa saat ini aku sudah berada di tengah perkuliahan. Seharusnya aku bisa fokus. “Tumben Na, lo gak fokus banget?” “Iya aku kurang tidur, kepalanya agak pusing. Semalem nyelesain sisa tugas yang dikumpul hari ini semua,” “Mau gue anterin ke klinik aja?” “Jangan Ran, thanks. Matkul (mata kuliah) ini penting, aku gak mau ngulang,” suaraku terasa berat dan badanku memang terasa lemas. “Habis ini gue beliin makanan sama obat ya?” “Thanks a lot Ran” “Oh, tadi Clark nanya kalo kita udah di kelas kedua atau belum. Minta di ambilin kursi di sebelah gue katanya. Tolong ya Na,” “Oke” sahutku singkat. Mendengar itu, aku jadi teringat dan merasa bersalah. Pasalnya Rani, gadis cantik itu menaruh perasaan kepada Clark. Dan aku sudah mengetahuinya tapi perasaanku seperti bingung dan terombang ambing. Aku merasa mengkhianati sahabatku. “Na, Meena, lo kenapa? Tumben tidur di kelas? Kayaknya lo demam deh?” “Oh, udah dateng Clark. Nggak kok badan saya hangat karena habis ketiduran aja. Saya tau kondisi badan saya.” Lalu aku menepis tangan Clark yang menempel di dahiku. Takut Rani atau teman-teman lain di kelas ini menyadari ada perhatian lebih dari Clark padaku. “Ck!” Rani yang baru saja sampai berdecak melihat Clark dan Meena yang sedang ngobrol. “Ini Na, obat sama makanannya. Eh tumben Clark lo gak dateng telat. Padahal udah diambilin kursi,” “Lagi semangat aja kuliah gue. Mau jadi anak teladan,” disambut tawa Rani sambil menepuk tangan Clark. “Thanks Ran. Kamu juga udah makan belom? Kita makan berdua aja,” “Gak usah Na, gue udah nyemil tadi sembari jalan. Lagi males makan,” “Yaudah makan berdua gue aja Na. Gue kebetulan belom nyarap nih,” “Kan lo emang s***p!” tawa mereka kembali pecah memenuhi ruangan kelas. Setidaknya membuat suasana antara aku dan Clark tidak canggung. “By the way Na, nanti mau ngeprint tugasnya bareng gue gak?” “Iya Ran, kayaknya aku besok deh baru print. Kamu mau hari ini?” “Gak apa gue nungguin lo besok aja. Masih buat lusa juga kan tugasnya. Gue ada yang belom kelar dikit lagi.” ***** Badanku masih terasa panas. Selesai kelas aku langsung pulang dan memilih untuk tidur. Tapi rasanya ada hal yang lebih mengganjal dibandingkan demamku. Aku perlahan membuka ponselku dan mengecek rekening tabunganku. Ternyata berkuliah desain lebih mahal dari yang kukira. Memang aku mendapatkan beasiswa penuh hingga aku lulus. Tetapi untuk mengerjakan tugas ternyata banyak juga bahan dan peralatan yang harus dibeli. Belum lagi kalau harus print tugas-tugas. Biayanya tidaklah murah. Aku berbohong kepada Ica dan Clark soal Papa Mama yang meninggalkan uang cukup banyak untukku. Saat kematian mereka lewat 30 hari, saudara ayah datang dan menagih seluruh hutang-hutang ayah yang katanya dipinjam beberapa tahun lalu untuk membeli rumah kami. Uang yang tersisa benar-benar pas untuk keseharianku saja. Aku harus mencari cara tanpa perlu merepotkan Ica maupun Clark. Bagi mereka, membantuku bukanlah uang yang berarti. Tapi aku tidak mau itu. Aku merasa harga diriku terjun bebas jika aku seperti itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD