LEVEL 2

2039 Words
“Reiki, j-jadi ....” Irene masih tergagap dengan kedua matanya yang menatap intens ke arah Reiki yang masih berdiri di hadapannya. Penampilan Reiki hari ini sangat mengagumkan. Dia mengenakan kemeja biru muda lengkap dengan jasnya berwarna navy, serta celana bahan berwarna hitam. Terlihat rapi, berbeda sekali dengan penampilan biasanya yang sering dilihat Irene. Biasanya pemuda itu hanya mengenakan celana jeans dan kaos santai.  Jika diperhatikan dengan seksama, sebenarnya Reiki sosok pemuda yang tampan dengan tubuh tinggi dan atletisnya. Satu-satunya alasan yang membuat penampilannya culun bagi Irene adalah kacamata yang dikenakannya. Reiki selalu menutupi iris onyx gelapnya dengan sebuah kaca mata bulat, besar dan tebal. Selain itu rasa benci Irene yang berlebihan, membuatnya gelap mata dan tidak menyadari pesona sesungguhnya dari seorang Reiki. Itulah sebabnya hari ini Irene begitu terkejut melihat penampilan Reiki yang sangat berbeda dari yang biasa dilihatnya. Seandainya kacamata tebalnya tidak bertengger manis menutupi kedua matanya, pasti penampilan pemuda itu sempurna hari ini. “Kalian udah saling kenal, ya?” tanya Adrian seraya bergantian menatap ke arah Irene yang masih terbelalak kaget, lalu menatap Reiki yang masih berdiri dengan wajah datarnya. Kemudian Reiki duduk di kursinya, tepat berhadap-hadapan dengan Irene. “Kami satu kampus, Yah,” jawab Reiki dengan suara baritonenya. “Kok kamu nggak pernah cerita sama bunda kalau kamu satu kampus sama Irene?” Santy mengerucutkan bibirnya, tampak kesal karena sang putra merahasiakan hal ini darinya. Reiki merupakan putra tunggal dari sepasang suami istri itu, karena itulah Santy selalu kesal jika putranya menyembunyikan sesuatu darinya. Dia tipe ibu posesif yang selalu ingin tahu semua urusan yang menyangkut putra kesayangannya.  “Nanti juga bunda akan tahu sendiri, lagian gak penting aku satu kampus sama Irene atau nggak, soalnya kami beda jurusan,” jawab Reiki begitu santainya seolah tidak menyadari tatapan sebal dari ibunya. “Irene... kamu liat kan, Reiki ini anaknya cuek banget? Jadi tante harap setelah kalian nikah nanti. Kamu bisa ubah sifat Reiki yang nyebelin ini ya.” Irene gelagapan mendengar perkataan Santy. Dia masih belum bisa menormalkan detak jantungnya yang tiba-tiba menggila karena mengetahui calon suaminya adalah pria yang sangat dibencinya. Sekarang calon ibu mertuanya justru memintanya merubah sifat Reiki, jelas dia belum siap akan hal ini.  “Sudah sejak kapan kalian saling mengenal?” Kali ini Ratna, ibu Irene yang bertanya. Dia juga cukup terkejut mengetahui putrinya ternyata sudah mengenal calon suaminya sebelum pertemuan ini. Reiki tidak menjawabnya, dia justru dengan santainya menyantap hidangan yang tersaji di depannya seolah dia tak mendengar calon ibu mertuanya baru saja melontarkan pertanyaan. Irene mendengus kesal, padahal dia berharap Reikilah yang akan menjawabnya. “Sejak SMA, Ma. Aku sama Reiki, satu sekolah dulu. Malah tiga tahun kami satu kelas.” Ketiga pasang mata orang-orang paruh baya itu membulat sempurna. Mereka terkejut putra-putri yang sudah lama mereka jodohkan ternyata sudah saling mengenal sejak lama tanpa sepengetahuan mereka.  “Waah, bagus dong kalau kalian udah saling kenal. Berarti kalian gak perlu tahaf perkenalan lagi. Kalian bisa langsung nikah.” Irene menyemburkan air putih yang baru saja diminumnya. Entah sudah berapa kali dia dibuat kaget hari ini, dan perkataan Adrian barusan kembali membuatnya gelagapan. Dia menatap ke arah Reiki penuh harap agar pemuda itu mengeluarkan suaranya,  dia yakin Reiki juga pasti sama terkejutnya dengan dirinya. Jujur saja Irene begitu berharap Reiki akan menuturkan penolakannya. Tapi melihat pemuda itu bersikap begitu tenang dan tampak begitu menikmati makanannya, membuat beberapa urat marah bermunculan di kening Irene.  “Rei, kita bisa ngomong sebentar gak?” Reiki mendongak, lalu mengernyitkan dahinya mendengar untuk pertama kalinya Irene berbicara padanya dengan nada lembut karena biasanya gadis itu selalu bicara sambil membentaknya.  “Ya udah ngomong aja.” “Maksudnya cuma kita berdua, ngomong empat mata,” sahut Irene. Dia bangkit berdiri. Tersenyum ramah pada orangtua Reiki sebelum melangkah pergi mendahului Reiki.   “Kenapa? Lo mau ngomong apa?” tanya Reiki ketika kini mereka berdua sudah berdiri di sebuah taman yang berada tepat di depan Restauran. “Lo masih nanya? Udah jelas kan, gue pengen ngomongin masalah perjodohan konyol ini. Gue nggak mau nikah sama lo.” Irene berucap dengan menggebu-gebu, dia tidak sanggup lagi menahan rasa kesalnya yang sudah dia tahan sejak tadi. “Ya udah lo tolak aja.” Irene mengerling, dahinya berkerut dengan mulutnya yang sedikit terbuka. Dia tidak menyangka Reiki akan bereaksi sesantai ini. “Gue pengen banget nolak tapi perjodohan ini permintaan terakhir bokap gue sebelum meninggal. Gue gak bisa nolak. Jadi lo yang harus nolak.” “Kok gue, kan yang gak setuju sama perjodohan ini elo?” “Emangnya lo setuju nikah sama gue? Gue yakin lo juga pasti gak setuju, kan?” “Jelas gue nggak setuju, mana mau gue nikah sama cewek kasar kayak lo.” Irene mengepalkan tangannya erat hingga buku jarinya memutih. Dia kesal Reiki menyebutnya wanita kasar padahal selama ini dia selalu menjaga sikapnya di depan orang lain. Dia seorang model, tentu dia harus menjaga sikapnya di depan umum. Sejauh ini yang dia tahu, orang lain menganggapnya wanita yang cantik, ramah dan baik tentunya.  “Makanya itu, harus lo yang nolak perjodohan ini.” “Lo aja sendiri yang nolak. Ngomong aja sekarang mumpung ortu kita ada di sini.” Irene menggeram marah, betapa kesalnya dia pada pria yang sedang berdiri di hadapannya itu. “Lo masih gak ngerti ya? Gue kan udah jelasin tadi, gue gak bisa nolak soalnya perjodohan ini permintaan terakhir bokap gue. Ortu lo kan masih ada, jadi gak masalah kan kalau lo yang nolak?” Reiki terdiam, dia menatap lurus ke arah wajah Irene yang memerah karena emosinya yang tengah memuncak.  Lalu tiba-tiba dia melenggang pergi tanpa mengatakan apa pun, Irene mendengus semakin murka melihatnya, jika ini bukan di tempat umum rasa-rasanya ingin sekali dia menghajar wajah Reiki yang selalu tampak datar.  “Hei, lo mau kemana?” tanya Irene seraya mencekal tangan Reiki. “Balik ke dalam, lagian udah gak ada lagi yang mau lo omongin, kan?” “Jadi, gimana? Lo ngerti kan maksud gue tadi?” “Iya, lo tenang aja. Gue ngerti banget maksud lo.” “Berarti lo yang bakalan nolak perjodohan ini? Lo bakalan ngomong di dalam kan ke ortu kita? Pokoknya gue nggak mau nikah sama lo.” Reiki tersenyum tipis seraya menghentakan tangannya dari cekalan Irene. Lalu melangkahkan kakinya tanpa sepatah kata pun.  “Huuuh, nyebelin banget sih dia. Kenapa juga harus dia yang dijodohin sama gue?” gerutunya pelan, sebelum dia pun mengikuti Reiki kembali masuk ke dalam Restauran.   Di dalam Restauran, mereka menikmati acara makan malam dengan disertai canda tawa dari Adrian, Santy dan Ratna. Ketiga orang itu tengah asyik mengenang masa lalu mereka bersama mendiang ayah Irene. Banyak hal yang mereka bicarakan yang sebenarnya membuat Irene muak mendengarnya. Dia tidak tertarik sedikit pun mendengar obrolan orangtuanya, dia lebih ingin pergi secepatnya dari Restauran dan tidur di kasur empuknya. Dia lelah dengan semua yang terjadi hari ini. Sedangkan Reiki hanya duduk tenang di kursinya dengan kesepuluh jarinya yang sibuk memainkan smartphone-nya. Irene mendengus kesal untuk yang kesekian kalinya melihat tingkahlaku Reiki. Dia yakin sekali, pemuda itu sedang bermain game sekarang.  ‘Dasar Mr. Gamer belagu. Lagi acara ngumpul keluarga gini, masih sempet-sempetnya dia maen game,’ gerutunya dalam hati.  Irene yang tengah memperhatikan Reiki terenyak kaget ketika ibunya tiba-tiba menyentuh tangannya. Irene menoleh dan mendapati ibunya sedang menatapnya intens saat ini.  “Tadi apa yang kalian omongin?” tanya Ratna, tampak penasaran. Hal serupa dialami Adrian dan Santy, karena kini mereka berdua pun sedang menunggu jawaban Irene.  “Hm, bukan apa-apa kok, Ma. Iya, kan, Rei?” Reiki memasukan kembali smartphone miliknya ke dalam saku jasnya, dia pun memberikan respon dengan sebuah anggukan.  “Tadi waktu kalian ngobrol, di sini juga kami sama-sama ngobrol, ngebahas tentang pernikahan kalian nanti. Kita udah sepakat pernikahan kalian akan dilangsungkan bulan depan. Gimana menurut kalian? Kalian setuju, kan?” Irene tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa karena saat ini tidak ada kata-kata yang mampu menggambarkan betapa terkejutnya dia mendengar penuturan Adrian. Belum sempat dia mengatakan penolakannya tapi orangtua mereka justru telah menentukan waktu pernikahan  mereka. Parahnya lagi mereka menentukan hari pernikahan bulan depan, itu terlalu cepat dan terburu-buru menurut Irene.  “Tapi Om, seharusnya sebelum menentukan hari pernikahan kami, kalian tanyakan dulu sama kami berdua. Mungkin aja kan di antara aku dan Reiki, ada yang nggak setuju sama perjodohan ini,” sahut Irene cepat, dia melirik ke arah Reiki memberikan isyarat padanya bahwa inilah saat yang tepat untuk mengutarakan penolakannya. Rasanya Irene gemas sekali ingin mencubit Reiki yang justru diam tanpa mengatakan apa pun sekarang, seolah dia tidak mengerti pada isyarat yang diberikan Irene padanya.  Irene ingin menyahut lagi, dia bahkan sudah membuka mulutnya lebar. Namun diurungkannya ketika ibunya meremas tangannya. Ratna tampaknya menyadari apa gerangan yang akan dikatakan putrinya itu.  “Memangnya kenapa? Bukannya kalian udah setuju nerima perjodohan ini? Kamu setuju kan, Ren?” Santy bertanya dengan raut khawatir menghiasi wajah anggunnya. Irene gelagapan, dia masih melirik ke arah Reiki, berharap pemuda itu melakukan tindakan. Bukankah ini saat yang tepat untuk mengutarakan ketidaksetujuan mereka? Tapi entah mengapa pemuda itu masih diam dengan tenangnya seolah tak ada apa pun yang mengganjal di hatinya. Bukan hanya gemas, Irene sudah jengkel setengah mati pada Reiki.  Irene ingin mengutarakan penolakannya jika saja sang ibu tidak meremas tangannya semakin erat di bawah meja. “A-aku... setuju kok, Tan. Tapi mungkin Reiki yang nggak setuju,” jawab Irene akhirnya, dia sadar ibunya meremas tangannya sebagai isyarat bahwa dia tidak boleh menolak perjodohan itu. Kini harapannya tinggal satu yaitu jawaban dari Reiki.  “Terus kamu gimana, Rei? Kamu setuju kan nikah sama Irene?” Kini Santy bertanya pada Reiki. Pemuda itu tak terlihat gusar ataupun gelisah. Dia masih betah memasang wajah datarnya. Tanpa diketahuinya, Irene sedang berdoa di dalam hatinya semoga Reiki mengatakan penolakannya saat ini juga. “Aku nggak keberatan kok nikah sama Irene.” Pupus sudah harapan Irene, dia merasa lututnya sangat lemas dan sekujur tubuhnya seolah kehilangan tenaganya. Dia menatap nyalang pada Reiki, seandainya di sini tidak ada Adrian, Santy maupun Ratna, pasti sudah dia bentak Reiki habis-habisan. Namun, sayang keberadaan ketiga orang itu, membuat Irene tak mampu melakukan apa pun selain mendesah pelan sekaligus merutuki nasib buruknya.  “Jadi gak ada masalah, kan? Toh kalian berdua udah sama-sama setuju. Berarti bulan depan kalian akan menikah,” ujar Adrian mantap. Ratna dan Santy tersenyum senang sembari mengangguk penuh semangat.  “Tapi Om, aku dan Reiki kan masih kuliah. Apa tidak nunggu aja sampai kami lulus kuliah?” Irene kembali mencoba peruntungan. Dia pikir jika memang dia tidak bisa menolak perjodohan ini, setidaknya dia ingin mengulur waktu. Dia belum siap menikah di usianya yang masih terbilang sangat muda.  “Lho di Zaman sekarang ini kan udah gak ada larangan anak kuliah untuk menikah, yang penting udah cukup umur, kalian udah boleh nikah. Lagian umur kalian kan udah 20 tahun, udah cocok banget buat nikah,” sahut Adrian yakin.  “Tapi aku belum siap Om buat nikah.” “Ren, semua pasangan yang belum pernah nikah pasti belum siap soalnya belum ngejalanin. Tapi kalau kalian udah ngejalanin pasti lama kelamaan kalian terbiasa kok.” Kini gantian Santy yang menjelaskan. “Tapi aku... aku masih pengen fokus ke karir aku, Tan. Karir aku lagi bagus-bagusnya.” “Ren, kamu kan masih tetep bisa jadi model. Mama yakin Reiki juga pasti ngizinin kamu tetep jadi model. Iya kan nak Reiki?” “Iya tante, aku ngizinin kok Irene tetep jadi model.” Reiki akhirnya buka suara, menyahuti pertanyaan calon ibu mertuanya.  “T-Tapi... aku...” “Ren ....” Irene berhenti mengutarakan penolakannya ketika Adrian tiba-tiba menyela dan menggenggam tangannya. Adrian juga tengah menatap serius ke arahnya, mau tak mau membuat Irene akhirnya terdiam.  “Om sama papa kamu udah jodohin kalian dari kalian belum lahir. Dulu kami sahabat yang udah kayak saudara. Om udah janji sama papa kamu bakalan gantiin dia jagain kamu. Kalau kamu nikah sama Reiki, artinya kamu juga jadi anaknya Om. Om pengin gantiin mendiang papa kamu buat jagain kamu. Selain Om, Reiki sebagai suami kamu juga bakalan jagain kamu nantinya. Papa kamu pasti tenang lihatnya.” Adrian menjeda ucapannya, dia bisa melihat keraguan masih menyelimuti tatapan Irene.  “Om mohon kamu jangan nolak pernikahan ini. Om udah janji sama papa kamu bakalan jagain kamu. Om sama papa kamu pengen banget liat anak-anak kami berumah tangga supaya kita bisa bener-bener jadi keluarga. Om mohon sama kamu, Ren.” Irene tidak bisa berkata-kata lagi, terutama ketika dilihatnya wajah sendu Adrian yang sedang menatapnya. “Aku nggak nolak pernikahan ini kok, Om. Aku cuma ngerasa waktunya buru-buru banget. Kenapa nggak nunggu sebentar lagi? Reiki juga pasti sepemikiran sama aku, ya kan, Rei?” Lagi-lagi Irene hanya bisa berharap pada Reiki. Dia sungguh mengharapkan kali ini pemuda itu mendukung keinginannya.  “Aku nggak keberatan kok. Aku serahin masalah pernikahan ini ke ortu kita sepenuhnya.” Dan lagi-lagi Irene harus kecewa mendengar jawaban Reiki yang tak sesuai harapannya.  “Tuh kan, Reiki aja setuju. Jadi, kamu juga setuju kan, kalian nikah bulan depan?” Irene mengembuskan napas pelan, hingga akhirnya dia mengangguk pasrah. Adrian tersenyum semringah. Santy dan Ratna pun tak kalah senangnya. Sedangkan Reiki tetap memasang wajah datarnya seolah tak merasa iba sedikitpun pada Irene yang telah dibuatnya berkali-kali kecewa malam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD