Di zaman yang sudah modern ini, setiap orang seakan tak bisa lepas dari gadget. Hal serupa terjadi pada seluruh mahasiswa di sebuah kelas. Masing-masing dari mereka tengah sibuk memainkan gadget. Ada yang tengah memainkan tablet, laptop ataupun smartphone mereka.
Di depan kelas, tak ada satu pun dosen yang terlihat melainkan sebuah layar projector yang menampilkan hologram seseorang sedang menjelaskan beberapa tugas yang harus dikerjakan mahasiswa di kelas tersebut.
Semua mahasiswa tampak fokus mengerjakan tugas tersebut dengan gadget mereka masing-masing. Tidak ada istilah menulis dengan tangan seperti layaknya sekolah di zaman dulu, semua dikerjakan dengan gadget canggih mereka.
“Haah... akhirnya selesai juga.” Irene bergumam seraya menguap lebar. Dia pun merenggangkan sendi-sendi tubuhnya yang terasa pegal karena terlalu lama menunduk mengerjakan tugasnya.
“Gila ya Pak Anwar, udah sering bolos, sekalinya ngasih tugas ampe seabrek gini. Pinter banget cara nyiksa mahasiswanya,” tambahnya. Ririn yang duduk di kursi sebelahnya mengangguk, menyetujui. Apa mau dikata sang dosen yang dibicarakan oleh Irene memang sering sekali bolos jadi wajar saja bukan jika para mahasiswanya kesal dengan kelakukan dosen mereka tersebut?
“Oh iya Rin, ntar nonton yuk. Ada film seru di bioskop,” ajak Irene antusias, yang dibalas respon antusias pula oleh Ririn.
“Serius, emang ada film apa? Jangan bilang film horor?” Ririn menyipitkan kedua matanya ketika mendapati sahabat yang mengajaknya nonton sedang cengengesan tak jelas sembari menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.
“Hm, iya bener film horor. Lo emang sahabat baik gue, tahu aja film kesukaan gue,” sahutnya, masih dengan cengiran lebar menghiasi wajahnya.
“Iyalah, gue tahu. Film kesukaan lo kan cuma film horor. Udah gitu mending kalau horornya tentang hantu-hantu gitu. Gue masih bisalah nikmatinnya. Tapi horor yang lo suka kan horor bunuh-bunuhan, sadis lagi. Lama-lama lo bisa jadi psikopat karena keseringan nonton film kayak gitu.”
“Hahaha... gak mungkinlah. Itu kan cuma film. Gue gak bakalan kepengaruh.”
“Haah, gue gak yakin. Oh iya, ngomong-ngomong game GHO sukses juga ya? Adek gue aja seneng banget tuh tiap hari log in. Udah kayak orang pingsan aja dia kalau lagi log in.” Ririn bercerita tentang adiknya yang gila main game online, dengan memasang ekspresi sebal. Sesekali dia mendesah lelah seolah tak suka dengan kebiasaan adiknya yang seorang penggila game online.
“Ya iyalah, adek lo kayak orang pingsan. Pikiran dia kan lagi berpetualang tuh di dunia GHO. Raga di dunia nyata tapi pikirannya lagi berkelana di dunia lain. Gue juga heran apa asyiknya maen game itu ampe orang-orang pada demam mainin GHO,” jawab Irene, seraya mengedikkan bahunya.
“ Lah seharusnya kan lo seneng, Ren. Lo kan yang promosiin game itu. Udah gitu lo pastinya makin terkenal sekarang soalnya lo model ambassadornya GHO.” Irene mendesah lelah sambil memutar bola matanya kentara sekali dia tidak setuju dengan perkataan Ririn.
“Ya, gue emang makin terkenal tapi gue juga jadi makin sibuk kerja. Capek gue. Hari ini gue lagi senggang, makanya temenin gue nonton ya. Please... ya... ya...”
“Emangnya gue bisa nolak lo? Boleh emang gue nolak?”
“Nggak.” Irene cengengesan lagi melihat sang sahabat yang akhirnya mengalah dan bersedia menemaninya pergi nonton film horor thriller kesukaannya di bioskop.
“Ren, ada yang nyariin lo.” Atensi dua gadis itu teralihkan, mereka menatap ke arah seorang pria yang baru saja menghampiri mereka.
“Siapa yang nyari gue?”
“Tuh dia nunggu lo di luar,” sahut sang pria sembari menunjuk dengan dagunya ke arah seorang pria yang sedang berdiri di dekat pintu kelas.
“Oh OK, Thanks ya.” Pria itu mengangguk, lalu melenggang pergi dari sana.
“Ren, bukannya dia itu Mr. Gamer belagu ya? Ngapain dia nyariin lo?” tanya Ririn, sambil memandang Irene lalu beralih memandang ke arah Reiki yang masih berdiri menunggu Irene.
“Tahu tuh dia mau apa. Sebentar gue samperin dulu.” Tanpa menunggu respon Ririn, Irene beranjak bangun dari duduknya. Dia bergegas menghampiri Reiki.
“Kenapa lo nyariin gue?” tanyanya dengan ketus. Reiki mengerutkan kedua alisnya tampak tak suka dengan nada bicara Irene. Tapi ekspresinya itu tak bertahan lama, dengan segera dia kembali memasang wajah datarnya.
“Bunda udah ngirim pesan kan sama lo? Kita harus ke butik buat pilih baju pengantin.”
“Haah... pesan yang mana? Gak ada tuh pesan dari nyokap lo.”
“Coba lo periksa lagi, gak mungkinlah bunda bohongin gue. Dia bilang udah ngirim pesan sama lo.” Irene menggeram kesal, namun pada akhirnya dia mengambil smartphone-nya, memeriksa benarkah ada pesan yang masuk dari calon ibu mertuanya. Dia mendesah lelah ketika membaca pesan yang memang benar masuk ke smartphone-nya sejak 30 menit yang lalu.
“Ada kan pesannya?” tanya Reiki.
“Ya, ya, ada. Emangnya gak bisa ya hari lain aja kita pergi ke butiknya?”
“Gak bisa, bunda udah bilang ke pemilik butiknya kita mau dateng hari ini.”
“Haah... ya udah deh. Lo tunggu aja di depan gerbang.”
“Gak apa-apa gue tunggu di sini aja,” sahut Reiki, sembari memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.
“Nggak, lo tunggu aja di depan gerbang. Udah deh jangan bikin gue kesel. Lo turutin aja apa yang gue bilang.” Wajah Irene memerah tampak kesal karena Reiki tidak mau mengikuti keinginannya. Sebenarnya jika boleh jujur, Irene masih sangat kesal pada Reiki semenjak kejadian di makan malam keluarga tempo hari. Dia kesal setengah mati karena Reiki bukannya menolak perjodohan mereka, tapi pemuda maniak game itu justru menyetujuinya.
“Ya udahlah, terserah lo,” ujar Irene sambil menghentakan kaki, dia pun kembali melangkah memasuki kelasnya. Kini kekesalannya sudah naik ke level murka karena lagi-lagi Reiki menolak keinginannya.
“Ren, lo kenapa? Kok wajah lo jelek banget, cemberut gitu?” tanya Ririn, tampak heran melihat raut sahabatnya yang berubah 180 derajat dari sebelum bertemu dengan Reiki dan sesudah bertemu dengannya. Tadi wajahnya secerah matahari terbit hingga mengajak Ririn menonton di bioskop dengan penuh semangat, sekarang wajah Irene berubah bagai langit mendung yang siap melepaskan guntur beserta kilat, seram.
“Mr. Gamer belagu berulah lagi, ya?” tambahnya. Dia semakin heran ketika melihat Irene hanya terdiam sambil memasukan barang-barangnya yang berserakan di atas meja, ke dalam tasnya.
“Ya, kapan sih dia gak bikin gue kesel, Rin?”
“Emang kenapa? Kok tumben sih dia nyamperin lo?” Irene sudah membuka mulutnya hendak menceritakan kejadian buruk yang menimpanya, namun dia urungkan. Dia pikir saat ini bukan saat yang tepat menceritakan hal itu, mengingat di kelasnya masih banyak mahasiswa yang masih berada di dalam kelas karena belum menyelesaikan tugasnya.
“Nanti gue pasti ceritain ke lo. Tapi sekarang gue harus pergi dulu.”
“Lo pergi sama Mr.Gamer belagu?” Irene mengangguk tanpa bersuara.
“Terus acara nonton kita?”
“Sori Rin, nontonnya batal. Ya udah ya, gue pergi dulu.” Irene melenggang pergi, mengabaikan Ririn yang terus memanggil namanya, dia terlihat penasaran dengan alasan Irene mau pergi bersama pria yang paling dibencinya di muka bumi.
“Jadi kita mau pergi ke butiknya naek apa? Naek taksi?” tanya Irene ketus, setelah kini dia sudah berdiri di hadapan Reiki.
“Naek mobil gue, gue bawa mobil kok.” Irene terenyak sejenak, dia berdeham lalu kembali memasang raut kesal di wajahnya.
“Ya udah, gue tunggu lo di depan gerbang.”
“Lo ikut aja ke parkiran.”
“Lo gila, ya? Nggaklah, ntar ada yang liat gue masuk ke mobil lo. Bisa-bisa mereka gosipin kita lagi.” Setelah mengatakan itu dengan penuh emosi, Irene melenggang pergi. Dia melangkah cepat terutama ketika orang-orang mulai memperhatikannya yang berdiri bersama Reiki. Dia tak suka, dia benci jika sampai ada gosip yang tidak-tidak tentang dirinya dan Reiki di kampus mereka.
Irene menunggu dengan gusar di pinggir jalan karena Reiki belum juga muncul. Sesekali dia mengumpat kesal pada Reiki. Dia tidak habis pikir kenapa nasibnya seburuk ini karena harus menerima perjodohan bodohnya dengan Reiki. Padahal, jangankan menikah sekadar berinteraksi dengan pemuda itu saja sudah membuatnya enggan. Tapi apa daya, pernikahan mereka bahkan tinggal beberapa hari lagi, menolak pun sudah tidak ada gunanya.
Tin... Tin... Tin
Terlalu banyak melamun, Irene tidak menyadari bahwa sejak tadi sebuah sedan hitam sudah terparkir di depannya. Dia membuka pintu mobil ketika dilihatnya Reikilah yang mengemudikan mobil tersebut. Sebelum masuk ke dalam mobil, Irene memastikan bahwa tak ada satu orang pun yang melihatnya. Ingat, dia tidak mau muncul gosip antara dirinya dan Reiki di kampus ini.
Sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan di antara mereka. Baik Irene maupun Reiki tampaknya tak tertarik memecah keheningan di antara mereka berdua.
Irene yang sejak tadi menatap ke arah jendela, mulai memalingkan tatapannya. Kini dia sedang menatap Reiki yang tengah fokus menyetir.
“Rei, bisa nggak lo berhentiin dulu mobilnya. Gue mau ngomong sesuatu yang penting sama lo,” pinta Irene. Awalnya Reiki ingin menolak karena mereka sedang berada di jalan raya. Namun melihat raut serius di wajah Irene, akhirnya Reiki mengalah dan memilih menuruti keinginan Irene. Dia meminggirkan mobilnya di bahu jalan, setelah dirasa aman, dia pun menghentikan laju mobilnya.
“Kenapa? Lo mau ngomong apa?” tanyanya malas, tanpa menatap ke arah Irene.
“Gue pengin tanya, lo kenapa sih gak nolak perjodohan ini waktu kita makan malam di Restauran malam itu? Padahal kan lo juga gak mau nikah sama gue.” Irene berucap tanpa basa-basi. Dia memang penasaran dengan sikap Reiki yang sangat menyebalkan malam itu.
“Gue nggak mau egois. Perjodohan ini udah direncanain sama ortu kita sebelum kita lahir. Mereka kayaknya pengin banget lihat kita nikah. Gue gak mau ngecewain ortu kita.”
“Terus, gak masalah gitu buat lo, ngorbanin kebahagiaan lo sendiri? Lo kan gak cinta sama gue, gue juga gak cinta sama lo.”
“Gue percaya kok, cinta datang karena terbiasa. Mungkin kalau kita udah nikah, gue bisa cinta sama lo.”
“Mungkin lo bisa, tapi gue gak bakalan bisa cinta sama lo!” sahut Irene dengan sedikit membentak. Kedua matanya sudah berkaca-kaca menahan tangis.
“Gue gak cinta sama lo. Asal lo tahu, gue udah punya seseorang yang gue cinta.” Reiki yang sejak tadi menatap lurus ke depan, kini menoleh menatap tepat ke kedua mata Irene yang sudah meneteskan air matanya.
“Gue pengin nikah sama cowok yang gue cinta, cowok pilihan gue sendiri,” tambah Irene, sambil terisak.
“Ya udah, lo bilang aja ke ortu kita kalau lo udah punya pacar jadi lo gak bisa nerima perjodohan ini,” jawab Reiki, akhirnya kembali bersuara setelah terdiam untuk sesaat.
“Gue kan udah bilang, gue gak bisa nolak soalnya perjodohan ini wasiat terakhir dari bokap gue. Maka dari itu gue minta bantuan lo. Gue mohon, lo tolak perjodohan ini. Belum terlambat kok buat nolak.” Irene kembali memohon, dia bahkan menangkupkan kedua tangannya di depan d**a. Kali ini dia tak peduli meski harga dirinya jatuh di depan Reiki. Dia harus berhasil meyakinkan pemuda itu untuk membatalkan perjodohan mereka.
“Please, Rei, bantu gue. Kalau kita maksain nikah. Pasti kita gak bakalan bahagia nantinya,” tambahnya dengan suara lembut, masih berusaha membujuk Reiki.
“Sori Ren, tapi gue gak bisa. Gue gak mau ngecewain ortu gue.”
“Lo gak peduli walau nanti kita berdua menderita karena pernikahan bodoh ini?”
“Ya, gue gak peduli,” jawab Reiki mantap, tak terlihat keraguan sedikit pun di kedua matanya ketika mengatakan ini.
Irene menghapus jejak air matanya dengan kasar, menggunakan jari-jari tangannya. Dia menyesal sudah merendahkan harga dirinya di depan pemuda tak peka macam Reiki. Dia menyadari orang yang selalu membawa kesialan untuknya, memang tidak akan pernah bisa membantunya dalam hal apa pun.
“OK, jadi mau gak mau, kita emang bakal tetep nikah, kan?” Reiki mengangguk.
“Kalau gitu gue punya tiga syarat. Kalau lo bisa terima syarat dari gue, gue gak bakalan nolak lagi.” Reiki tertegun, bibirnya tetap terkatup rapat. Namun kentara dari kedua matanya dia sedang berpikir sekarang. Butuh beberapa menit hingga akhirnya dia bereaksi merespon perkataan Irene.
“Emangnya apa syarat dari lo?” Irene menghela napas panjang sebelum dia mulai mengutarakan ketiga syarat yang dimaksudnya.
“Syarat pertama, gue gak mau orang-orang tahu tentang hubungan kita walaupun kita udah nikah. Terutama di kampus, gue gak mau ada satu pun orang di kampus kita yang tahu kalau kita udah nikah. Jadi, karena gue gak mau orang-orang tahu kita udah nikah makanya pernikahan kita nanti gak usah diramein. Gak usah pake resepsi segala, yang penting kita syah jadi suami-istri itu udah cukup bagi gue. Acara nikahan kita cukup keluarga kita aja yang tahu.” Irene menjeda perkataannya, sedangkan Reiki masih memasang wajah datarnya menunggu Irene kembali melanjutkan ucapannya.
“Syarat kedua, setelah kita nikah, gue larang lo buat ngatur hidup gue. Jadi lo gak berhak larang-larang gue ngelakuin apa pun yang gue suka. Gue pengin tetep bebas meski udah jadi istri lo. Tentu aja bebas yang gue maksud termasuk gue bebas pacaran sama cowok mana pun yang gue suka. Lo tenang aja, lo juga bebas kok pacaran sama cewek laen. Gue gak bakalan larang-larang lo. Intinya walaupun kita udah nikah tapi kita tetep hidup masing-masing. Kita gak berhak ikut campur urusan masing-masing. Gimana, lo setuju?”
“Tadi lo bilang ada tiga syarat, kan? Lo baru nyebutin dua syarat, jadi lo sebutin aja syarat ketiganya.”
“OK, syarat ketiga, walaupun kita udah nikah nanti. Gue gak mau ada kontak fisik di antara kita berdua. Lo gak boleh nyentuh gue karena gue gak mau berhubungan badan sama lo. Gue juga gak mau ngelakuin kerjaan rumah tangga kayak masak, cuci baju, ngepel lantai atau apa pun itu yang termasuk kerjaan rumah tangga. Lo kan tahu gue ini model, gue sibuk jadi gue gak punya waktu buat ngurusin kerjaan rumah tangga. Jadi lo jangan pernah minta hak lo sebagai suami sama gue. Lo tenang aja, gue juga gak bakalan minta apa pun dari lo kok. Itu aja syarat dari gue. Gimana, lo setuju?” Reiki tersenyum tipis seolah tak terkejut sedikit pun mendengar ketiga syarat yang diutarakan Irene.
“Gue bakalan setuju sama ketiga syarat lo kalau lo juga mau terima syarat dari gue.”
“Lo punya syarat juga? Baguslah, jadinya adil, kan? Ya udah, bilang aja apa syarat lo,” timpal Irene, dia senang karena bukan hanya dirinya yang mengutarakan sebuah syarat.
“Gue gak bakalan larang-larang lo meskipun gue udah jadi suami lo. Tapi satu yang gue minta, tolong lo jaga nama baik keluarga kita nanti. Jangan bikin ortu kita malu. Lo boleh pacaran sama cowok laen tapi jangan lupa batasan karena lo cewek yang udah bersuami. Satu lagi, jangan pernah lo minta cerai dari gue sebenci apa pun lo sama gue. Gue gak bakalan pernah ceraiin lo karena alasan apa pun. Gue gak mau bikin ortu kita kecewa. Gue setuju soal ngerahasiain hubungan kita ke orang lain tapi gue minta di depan ortu kita, kita harus pura-pura bahagia. Cuma ini syarat dari gue, jangan pernah kecewain ortu kita. Gimana, lo setuju?” Irene seolah kehilangan kata-kata, dia tidak menyangka pria seperti Reiki lebih mementingkan perasaan orangtuanya dibandingkan apa pun, bahkan dibandingkan kebahagiaan dirinya sendiri.
“OK, gue setuju,” sahut Irene, mantap dan penuh keyakinan.
“Kalau gitu, gue juga setuju semua syarat lo tadi.”
Irene tersenyum lebar, dia senang karena sepertinya pernikahannya nanti tak akan seburuk yang dia bayangkan. Dia tetap akan mendapatkan kebebasannya.