Begitu menginjakkan kaki di luar kantor sore itu, Thalia lagi-lagi harus merelakan bahwa di sisa harinya, mood–nya memburuk setelah melihat seseorang menunggunya di luar.
Mau kabur pun rasanya tidak mungkin. Pria itu sudah telanjur melihatnya dan menyunggingkan senyuman kaku di bibirnya.
“Apa kabar, Nak?”
“Papa ngapain ke sini?” sahut Thalia ketus.
Pria itu kembali tersenyum. “Masih belum mau bicara dengan Papa?”
“Nggak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Pa. Tidak akan mengubah apa pun.”
Hening sejenak. Pria itu menatapnya penuh kerinduan. “Kamu dan Attar—”
“Kami baik-baik saja,” potong Thalia cepat.
“Look, Athalia. Tolong dengarkan Papa, sekali ini saja. Setelah itu, Papa mempersilakanmu untuk memutuskan. Papa kangen putri Papa. Rumah kita masih menunggumu pulang,” ucapnya sendu.
Mata Thalia memanas tiba-tiba dan ia berjuang keras agar ayahnya tidak melihat gelagat bagaimana rapuhnya ia hidup sendirian. Ya, ia memang merindukan rumahnya. Namun, rumah tersebut berubah menjadi neraka sejak ayahnya menikah lagi, hingga ia yang harus tersingkir, atau lebih tepatnya mengasingkan diri.
“Ya ampun, laptopku ketinggalan!” serunya seraya memukul keningnya, lalu berbalik lagi ke dalam.
Pria itu menghela napas berat. Sekian tahun berlalu, putrinya masih belum bisa ditaklukkan. Ia pasrah masuk kembali ke mobilnya dan berlalu dari sana dengan sekeping rindu yang tak terlerai. Mungkin, anaknya hanya butuh waktu sedikit lebih lama, demi meredam ego yang terluka
Sementara di dalam sana, Thalia mengintip dari balik tembok dengan air mata bercucuran. Bibirnya bergetar menahan isak. Ia ingin sekali berlari ke pelukan ayahnya yang sudah tujuh tahun ia rindukan. Rasanya begitu sakit, seolah hatinya ditusuk sebilah pisau berkarat.
Orang-orang hanya tahu, ia adalah gadis yang ceria dan bertingkah lepas seolah tanpa beban hidup. Dengan rapi ia menyembunyikan luka yang menganga atas pengkhianatan ayahnya.
Hampir sepuluh menit lamanya Thalia berdiam diri di sana, mengabaikan para karyawan yang menatapnya heran. Setelah itu, ia mengintip lagi ke luar dan buru-buru menghapus air matanya dengan sehelai tisu saat melihat sebuah sedan hitam telah menunggu.
“Hai,” Attar mengedipkan sebelah mata saat pintu mobilnya terbuka.
Thalia tertawa. Hanya Attar yang mampu membuatnya mengubah ekspresi secepat kilat agar laki-laki yang ia perkenalkan sebagai 'teman tapi mesra' kepada semua orang itu tidak banyak bertanya. Hanya saja, butuh akting yang super mumpuni untuk menyembunyikannya, karena Attar sangatlah peka.
“Are you okay?”
“Habis dimarahin si bos,” sahut Thalia berbohong. Semoga Tuhan mengampuni dosanya yang telah memfitnah Alfaraz.
“Really? Again?” sahut Attar kurang yakin dengan jawaban Thalia. Kedua alisnya terangkat naik.
Thalia mengangguk sembari membuang muka.
“Kamu cari kerjaan di perusahaan lain aja kenapa, sih?”
“Tapi di sini gajinya paling gede.”
Attar berdecak gusar. Thalia sering menceritakan perangai bosnya yang angin-anginan, tetapi tidak mau mencoba pekerjaan di tempat lain karena telanjur nyaman dengan gaji dan bonus yang ditawarkan.
“Kita mau ke mana?” tanya Attar mengalihkan pembicaraan.
“Dealer motor.”
“Kamu mau beli motor?”
“Hmm.”
“Kenapa nggak beli mobil saja?”
“Duitnya nggak ada.”
Attar mendengus tidak yakin. “Masa? Aku bisa beliin.”
“Nanti duitmu habis.”
“Tinggal minta sama Papa.”
“Cih, dasar anak Papa!” Thalia mencibir. “Ngomong-ngomong, kamu nggak jadi keluar dari rumah sakit?” sambungnya saat teringatdengan pesan Attar terakhir kali.
“Rugi besar kalau aku keluar.”
“Kenapa?”
“Aku nggak mau, ya, nanti warisan dari Papa malah jatuh ke tangan si Arik. Enak saja!” gerutunya.
Thalia hanya menjawab dengan kekehan kecil. Takdir macam apa yang mempertemukan dirinya, Attar dan Alarik dalam lingkaran yang sama, sehingga ia harus rela mengubur perasaannya dalam-dalam.
Ia berusaha melupakan Alarik, tetapi tak pernah bisa. Belasan pacar yang ia miliki di sepanjang hidupnya hanyalah pelarian semata. Dan bodohnya lagi, perasaannya pada pria itu hanya bertepuk sebelah tangan.
***
“Yaaaay! Motor baru!” seru Thalia kegirangan. Ia mengelus-elus body motor matic yang masih mengkilat tersebut dengan senyuman merekah. Tangannya merobek plastik pembungkus dengan penuh penghayatan, seolah benda itu adalah kaca tipis yang bisa retak sewaktu-waktu.
Attar geleng-geleng kepala melihat tingkah norak Thalia. “Padahal dari dulu kamu sudah bisa beli motor, lho!” katanya gemas.
“Dulu, kan, duitnya belum cukup. Gimana sih?” sahut Thalia sebal. Ia paling anti berutang, apalagi untuk membeli motor kreditan. Kepalanya bisa pusing tujuh tanjakan saat tidak punya uang untuk membayar cicilan.
“Kan, aku bisa beliin!” jawab Attar memberengut.
“Aku mau beli pakai duitku sendiri, bukan duit orang lain!” Thalia menaiki motornya dan menghidupkan mesinnya.
“Kamu anggap aku orang lain?” jawab Attar gusar. Nada suaranya naik secara signifikan.
Thalia meneguk ludah. “Bukan begitu. Kamu tetap kesayanganku,” bujuknya sambil mengecup pipi Attar demi meredam amarahnya.
Attar mau tidak mau tersenyum. “Ya sudah, pulang dulu, gih. Aku anterin sampai ke kosan, ya.”
“Nggak usah, nanti kamu kemalaman.”
“Yakin?”
“Hmm.”
“Kamu belum punya SIM.”
“Siapa bilang?” Sebelum membeli motor, Thalia telah mengurus SIM–nya terlebih dahulu sejak berminggu-minggu yang lalu.
Setibanya di luar, Attar mencegat Thalia yang hendak menaiki motornya. “Hmm, Tha ....”
“Ya?”
Attar terlihat ragu-ragu sebelum melanjutkan. “Besok, aku dikirim Papa ke Surabaya. Tiga bulan.”
Thalia mengangkat kepala. “Oh, ya? Kenapa?”
“Papa bilang aku harus banyak belajar dengan Om Robert.” Attar mengembuskan napas kasar. Rasanya kesal sekali saat ayahnya mengirimnya ke Surabaya pasca tindak tanduknya tempo hari, dengan alasan ia harus banyak belajar adik ayahnya yang mengelola salah satu cabang rumah sakit di sana. Ketika ia ngotot mempertanyakan alasan yang sebenarnya, jawaban ayahnya klise saja, ia harus belajar mengendalikan emosinya yang meledak-ledak dan bertingkah layaknya pria berpendidikan.
“I see.” Thalia tersenyum maklum.
“So,“ Attar menahan ucapannya, “jaga dirimu baik-baik.”
Thalia mengangguk.
“Kamu hati-hati pulangnya,” kata dokter muda tersebut seraya mengacak-acak rambut Thalia, lalu mengecup puncak kepalanya. Tak lama kemudian, Attar berlalu dengan kendaraan roda empatnya.
Thalia menatap kepergian Attar dengan sedih. Ia menunduk menyembunyikan air mata. Hatinya iri sekali dengan Attar yang bisa memiliki apa pun, bukan seperti dirinya yang untuk membeli sebuah motor saja, harus menabung berbulan-bulan lamanya. Ditambah lagi dengan tak tahu malu memalak bos songongnya. Untung saja saat itu ia tidak dipecat secara tidak hormat.
Duh, Tuhan, kapan gue punya mobil kayak gitu? batinnya pilu.
Thalia menyampirkan tas selempangnya dan menstarter motor yang masih belum punya plat resmi tersebut pulang menuju indekosnya.
Memiliki mobil hanyalah sebatas mimpi, walaupun uang di salah satu rekeningnya mungkin saja sudah cukup untuk itu. Ia terlalu gengsi memakai dana kiriman ayahnya setelah nekat keluar dari rumah. Thalia bertekad berdiri tegak di atas kakinya sendiri, menunjukkan pada dunia bahwa ia bisa mandiri, meski dengan cara melewati perjuangan yang berdarah-darah.
Sejumlah dana yang terkumpul itu hanya akan dipakai saat terdesak saja. Misalnya, bila ia amit-amit terkena penyakit berat, atau bila suatu hari tanpa sengaja menabrak sapi di jalan dan si pemiliknya minta ganti rugi dua kali lipat.
***
Costa menggigiti kukunya. Sebelah tangannya mengendalikan roda kemudi. Dalam sepuluh menit, ia sudah harus sampai di tempat pertermuan dengan seorang perempuan—anak teman arisan ibunya—yang digadang-gadang sebagai calon istri yang pantas untuknya.
Salsa. Nama tersebut seolah akrab di telinga dan ia berharap semoga Salsa yang menunggunya itu, bukanlah Salsa yang berasal darimasa lalunya.
Ia adalah seorang pria dengan standar kelayakan di atas rata-rata. Namun, nasibnya di bidang asmara seringkali s**l. Liona yang ia cintai tidak sedikit pun memasukkannya dalam daftar pilihan jodohnya.
Tak ada seorang pun perempuan yang ia bawa ke hadapan orang tuanya berakhir di pelaminan. Semua ditolak oleh ibunya yang memasang target terlalu tinggi. Atau memang benar kata ibunya, itu hanya keisengan semata gara-gara terlalu frustrasi dengan tuntutan, hingga ia membawa perempuan mana saja demi memuaskan keinginan ibunya untuk sementara.
Dan wanita yang sangat ia hormati itu, terus saja merengek memintanya segera menikah karena sudah kebelet ingin menimang cucu, seolah membuat anak sesederhana membuat adonan donat.
Tatapannya fokus ke depan, tetapi pikirannya melantur ke mana-mana. Ia tidak sadar, di depan sana sebuah motor melambat sambil menyalakan lampu sein tanda akan berbelok ke kiri.
BRAKK!!!
Costa tak mampu mengelak di detik terakhir. Ia membanting setir ke kiri dan mobil mewah itu menabrak trotoar.
Wajahnya berubah pucat pasi. Tungkainya menggigil. Melalui kaca dashboard, ia melihat massa mulai berkerumun.
Apa sebaiknya gue kabur saja, ya?
Namun, hatinya menolak untuk lari seperti pengecut, meskipun ia tidak meragukan kemampuan mobilnya. Lagi pula, mau ditaruh di mana mukanya nanti bila media massa mencium kelakuannya?
Costa bergegas keluar dari mobilnya. Beberapa orang berteriak sambil membopong seorang gadis. Gadis itu tidak sadarkan diri. Bercak darah menghiasi kemeja putihnya.
Syukurlah tiada drama seperti dalam kebanyakan kasus kecelakaan di jalanan, di mana si penabrak harus berakhir dikeroyok massa. Mungkin saja mereka warga yang berpendidikan sehingga tidak nekat main hakim sendiri.
“Bawa kerumah sakit!” teriak salah seorang warga yang membawa gadis itu ke mobil Costa.
Costa yang panik membiarkan saja pria tersebut membuka pintunya dan ikut masuk. Dua orang yang lain mengulurkan tas si gadis.
“Ayo jalan, Mas!” perintahnya.
“Hah?” Costa tersadar. “I–iya,” katanya tergagap masuk ke mobilnya.
***
Thalia terbangun dengan kepala pusing. Ia mengerjap dan langsung memicing, menyesuaikan cahaya yang masuk ke lensa matanya. Hidungnya mencium bau etanol yang menguar tajam.
Ia mengangkat tubuhnya hendak duduk, tapi urung sebab bahunya kirinya nyeri sekali. Ia berusaha menggali ingatannya. Yang teringat olehnya adalah suara nyaring, lalu tubuhnya terlempar. Setelah itu, ia tidak ingat apa pun lagi.
“Anda sudah sadar, Bu?”
Thalia menoleh ke samping dan mendapati seorang pria berjas putih berusia kira-kira empat puluhan tengah menatapnya.
Ia mengangguk lemah. “Saya kenapa? Ini di mana?” tanyanya beruntun.
“Anda mengalami kecelakaan. Tapi secara umum, kondisi Anda baik-baik saja.”
Thalia mengernyit. Ia berusaha menggerakkan kakinya. Anehnya, hanya kaki kanannya yang merespons perintah otaknya.
“Kaki saya kenapa?” Wajahnya mendadak pias saat kaki kirinya seolah mati rasa. Ia melirik ke bawah lewat sudut mata dan terbelalakmelihat balutan perban dengan bercak darah di lututnya.
“Kaki Anda—”
“Kaki saya kenapa?!” pekiknya panik. Belum sempat dokter menjawab pertanyaannya, ia meraung histeris macam orang gila. “KAKI SAYA KENAPA?!!!”
Bagaimana ia bisa berjalan jika kaki kirinya hanya tersisa separuh saja?
“Tenang, Bu.” Seorang perawat membantu dokter tersebut memegangi tangan Thalia.
Hitungan detik kemudian, seorang pria gagah muncul dengan tampang bersalah di hadapan mereka.
“Maafkan saya, Nona. Saya yang—”
“Anda yang menabrak saya?” potong Thalia secepat mungkin.
Pria itu mengangguk lemah. “Maaf.”
Thalia meradang, urat lehernya menegang menahan geram. Ketampanan paripurna yang bak dewa dan tubuh tinggi menjulang itu seakan tidak berharga di matanya. Padahal di hari-hari biasa, ia mungkin saja sudah pingsan ketika bertemu langsung dengan pria yang sering muncul di majalah bisnis dan properti itu.
“Saya akan bertanggung jawab.”
Thalia tidak mendengarkan basa-basi murahan ala sinetron tersebut. Matanya memelotot. Ia mengabaikan norma kesopanan dan kembali berteriak nyaring sampai pria itu terlonjak. “Heh, Tuan Gagal Kawin Dua Kali, BALIKIN KAKI GUEEE!!!”
Dan seketika pria itu merasa jadi makhluk paling s**l sedunia. Ia baru saja menemukan toa berjalan berikutnya.