5. A Good Day

907 Words
Thalia dan Hanum kembali ke kantor setelah membeli makan siang dari sebuah warung nasi padang. Mereka duduk berhadap-hadapan dibatasi oleh sebuah meja, lalu mereka membuka bungkusan tersebut. “Astagfirullah, Tha! Lo mau jadi kambing? Sayurnya banyak amat!” Hanum terperangah memandangi permukaan nasi yang ditutupi sayur daun singkong. “Ada jengkol segala! Lo nggak takut bau mulut?” Thalia memulai suapan pertamanya. Mulutnya penuh saat menjawab, “Di sanalah seninya makan jengkol.” “Lo nggak malu?” “Ngapain malu? Memangnya gue maling? Jengkol itu makanan sejuta umat, Num. Tinggal minum air hangat dan makan permen, beres!” Thalia mengibaskan tangan kirinya. “Sudahlah, kita ini rakyat jelata, makan saja apa yang ada.” Hanum menghela napas sabar. Mendengar ocehan Thalia adalah makanannya sehari-hari. Kadang ia heran sendiri, kenapa bisa betah berteman dengan si pipa bocor itu. Mungkin banyak yang bertanya-tanya, apa hubungannya antara jengkol dengan daun singkong. Apalagi di kebanyakan rumah makan padang, dua menu tersebut seakan tidak terpisahkan. Sewaktu kuliah dulu, Thalia memiliki ibu kos yang menanam pohon jengkol di belakang rumahnya. Setiap kali panen, anak-anak kos kebagian masing-masing satu kantong kresek ukuran sedang. Thalia yang awalnya tidak menyukai makanan berbau tersebut, lama kelamaan menyukainya. Katakanlah gara-gara kepepet, tidak punya cukup uang untuk membeli lauk yang layak di akhir bulan, dan daripada terus menerus mengkonsumsi mie instan. Ia pernah menderita jengkolan, suatu penyakit yang ditandai dengan sakit pinggang luar biasa serta kesulitan buang air kecil. Ibukosnya membuatkan obat dari air remasan daun singkong untuk menetralkan kadar asam jengkolat yang telanjur berkelana di tubuhnya. Itulah sebabnya jengkol dan daun singkong bersifat komplementer. Daun singkong berfungsi sebagai penetralisir asam jengkolatsehingga jengkol tidak lagi membahayakan penggemarnya. Tetapi tetap saja, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. *** Thalia menarik setumpuk kartu debit dari celah lipatan dompetnya. Kartu-kartu tersebut berisi dana untuk berbagai kepentingan, diantaranya biaya nikah, biaya kuliah, biaya hidup sehari-hari, biaya hobi dan pengembangan diri, serta biaya untuk membeli kendaraan. Ia membuka aplikasi mobile banking dan bersorak tatkala gaji dan bonusnya bulan itu sudah mendarat mulus di rekeningnya. Dalam hitungan menit berikutnya, Thalia mentransfer sejumlah uang ke masing-masing rekening yang telah disiapkan. Sejurus kemudian, ia lagi-lagi tersenyum puas kala dua di antara rekening itu telah menunjukkan angka yang cukup; untuk membeli kendaraan dan membiayai kuliahnya. Sepertinya, ia harus merayu bos songongnya sekali lagi agar diizinkan kuliah malam dan tidak diikutsertakan dalam lembur dadakan. Thalia mengetuk pintu ruang kerja Alfaraz dan mendorongnya ketika suara di dalam mempersilakannya masuk. “Kamu lagi, kamu lagi! Saya sampai bosan melihat wajahmu!” gerutu Alfaraz masam. “Itu kan derita Bapak,” jawab Thalia seadanya. Aneh, padahal ia hampir setiap hari berlalu lalang di sana. “Ada apa?” “Minta izin, Pak.” “Izin apa? Pacaran?” “Ih, Bapak, mah, gitu. Nggak usah ngiri, dong, Pak.” “Siapa yang iri?” Al mengangkat alisnya. “Apa gunanya punya banyak pacar, kalau nanti yang jadi suamimu hanya satu.” “Namanya juga fit and proper test, Pak, uji kelayakan.” Alfaraz membalas dengan decakan malas, heran dengan pola pikir anak muda zaman sekarang. Thalia berdehem, “Saya minta diizinkan kuliah malam, Pak.” Al menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Kamu nggak punya permintaan lain?” “Tapi ini demi kepentingan kantor juga, Pak. Kalau saya kuliah lagi, skill saya pasti bertambah. Bapak juga yang diuntungkan.” “Bukannya saya sudah bilang, sebaiknya kamu fokus kuliah dulu?” “Ya, kalau Bapak tega melihat saya makan pasir sama batu.” Al diam sejenak untuk berpikir. Tampaknya ia harus mengalah pada Thalia. Daripada gadis itu minta resign, urusannya akan lebih gawat lagi. Bila ia mengizinkan Thalia fokus kuliah penuh waktu pun, ia masih bisa memanfaatkan keahlian Thalia sebagai drafter freelance. “Kapan kamu mulai kuliah?” “Semester depan, Pak. Kalau Bapak mengizinkan, saya siap-siap daftar dari sekarang.” “Yakin sanggup?” “Yakin, Pak.” “Baiklah. Separuh dari biaya kuliahmu akan ditanggung oleh kantor. Dengan syarat, dua tahun setelah itu kamu tidak boleh resign, atau kamu harus mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan dua kali lipat. Deal?” Thalia terbelalak. Rasanya seperti mimpi. Demi apa pria songong itu mengabulkan keinginannya, bahkan menanggung biaya kuliah malam yang lebih mahal dari kelas reguler. “Tumben Bapak baik?”  “Kamu mau nggak?!” “Makasih, Pak!” Ia bergegas menyalami Alfaraz sebelum pria itu berubah pikiran. “Saya doakan rezeki Bapak lancar, jadi miliarder dan cepat dapat momongan. Aamiin!” *** Menjelang sore, perasaannya berubah tidak enak. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal, seperti ada kerikil dalam sepatu, dan ia sibuk memikirkan apa yang telah ia lewatkan itu. Lima menit berikutnya, ia terlonjak saat menyadari sesuatu. Ia meminta izin kuliah dengan harapan tidak diikutsertakan dalam lembur malam, tetapi bosnya malah memberikan keringanan biaya. Bukankah itu tidak relevan? Thalia bergegas kembali ke ruangan Alfaraz. Setibanya di depan ruangan tersebut, ia tidak mendapati Dian, sekretaris bosnya. Ianekat mendorong pintu dengan asumsi lima menit lagi sudah jam pulang kantor sehingga bosnya tidak dalam keadaan sibuk. “Kyaaaaa!” Baru saja tiba di dalam, ia memekik nyaring dan buru-buru keluar lagi. Wajahnya pucat pasi seperti habis bertemu hantu di siang bolong. Dalam hati ia berharap, semoga saja ia tidak dipecat gara-gara kelancangannya masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. “Kenapa lo, Tha?” tanya Hanum saat Thalia melewati kubikelnya dengan kepala menunduk. Thalia mendekat pada Hanum dan menjawab dengan bisikan, “Pak bos sama istrinya lagi m*sum!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD