Penerbangannya saat transit dari Singapura menuju Jakarta mengalami delay selama dua jam. Selepas mendarat di bandara, Costa pulang ke rumah orang tuanya dan baru sampai di sana pukul sebelas malam.
Ia memutar kunci dan menutup pintu dengan gerakan sepelan mungkin. Untung saja tidak ada ART yang memergokinya. Saat pintu itu sedikit berderit, ia memejamkan matanya.
Kemudian, ia berjalan mengendap-endap seperti maling, menghindari terpergok oleh ibunya yang kalau marah-marah sudah macam toa berjalan, merepet tak karuan. Bisa kacau jadinya bila ia ketahuan. Sudah pasti ia akan diinterogasi bermenit-menit lamanya, sedangkan tubuhnya sudah letih ingin segera berbaring di peraduan.
“Dari mana saja kamu?”
Costa sontak berhenti. Jantungnya seakan mau copot dari rongga dadanya.
Ia membalikkan badan dan mendapati seorang perempuan cantik sedang berkacak pinggang. Namun, kecantikan wajahnya yang bagai bidadari tersebut mendadak berubah seram seperti kuntilanak. Ditambah oleh remang-remang cahaya yang menembus jendela karena lampu ruang tamu tidak dinyalakan.
“Untung saja aku nggak punya riwayat penyakit jantung, Ma,” keluh Costa mengalihkan fokus ibunya. “Mama mau anak Mama satu-satunya ini menghadap Tuhan lebih cepat?”
“Nggak usah sok dramatis! Dari mana kamu?”
“Bukankah dua minggu lalu aku pamit ke Amerika?”
Niken mendelik mendengar jawaban Costa. Memang benar Costa pamit ke Amerika, tetapi tidak mengatakan apa tujuannya secara spesifik.
“Kemarikan tanganmu,” pintanya curiga.
Costa terpaksa memperlihatkan kedua tangannya dan mengaduh nyaring ketika ibunya memukulnya keras-keras. “Aduh!”
“Habis manjat lagi, hah?!”
Costa menggaruk hidungnya salah tingkah. Ibunya sering marah bila ia ketahuan memanjat tebing, apalagi setelah usianya semakin bertambah. Bukan hanya takut nyawanya melayang tiba-tiba, tetapi juga bila ia menderita osteoarthritis di usia muda pada jari-jari tangannya. Padahal tidak ada hubungannya antara osteoarthritis dengan kegiatan panjat tebing. Hal tersebut belum dapat dibuktikan secara ilmiah.
Memanjat tidak buruk untuk jari-jari, setidaknya jika dilakukan dengan benar. Teknik yang tidak tepat dapat menyebabkan cedera, tetapi pendakian yang tepat memperkuat tendon di tangan dan jari dalam jangka waktu yang lama. Kecuali bila seseorang memang rentan terhadap radang sendi sebelumnya, maka harus berhati-hati melakukan pemanasan dengan benar dan melatih fleksibilitas jari-jarinya.
Wanita memang selalu mengedepankan estetika di atas segalanya. Padahal bila dikaji lebih dalam, dunia para lelaki cenderung lebih kejam, tidak sekadar merisaukan wajah yang tak lagi cantik dan kulit yang tak lagi mulus, seperti kulit telapak tangannya yang kasar layaknya kulit biawak.
“Panjat tebing saja terus. Kalau kamu mati di sana, gimana?”
“Ya, dikuburlah. Dimakan cacing.”
“Mama nggak sudi, ya, menjemput mayatmu sejauh itu.”
“Ya sudah, biarkan saja di situ, dimakan beruang.”
“Mana ada beruang mau makan manusia kayak kamu? Dagingmu alot, pahit!”
Costa diam saja dan terus berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Ransel di punggungnya terasa semakin berat.
Namun, ibunya seakan belum puas dan terus mengekori langkahnya. “Kalau kamu mati, siapa yang merawat ibu dan ayahmu di masa tua nanti, Nak?”
Costa mengerang lemah. “Duit Mama, kan, banyak? Bayar panti jompo aja, beres!”
“Durhaka kamu!” Perempuan itu memelotot sambil menyentak tangan Costa dari belakang.
Costa berbalik dan memutar bola matanya. Sudah acap kali ratu drama di depannya mengucapkan hal yang sama. Ia sampai hapal dialognya di luar kepala.
Niken mengabaikan ucapan anak kurang ajarnya barusan, bisa-bisa tensinya naik. “Lalu, kapan kamu mau memanjat anak gadis orang?”
Costa terperangah. “Astaga, Ma, apa nggak ada bahasa yang lebih sopan?”
Niken mendengus. “Percuma ngomong sopan sama kamu. Mama mau cucu, Costa, cu–cu!”
“Bukankah Mama nggak pernah menyukai perempuan mana pun yang kubawa ke sini?”
“Bagaimana Mama bisa suka? Kamu membawa sekretarismu, perempuan bayaran, pelayan café untuk jadi calon istrimu, yang mana bahkan tidak hapal dengan tanggal lahirmu. Itu yang kamu sebut calon menantu?”
“Dari mana Mama tahu?” Costa mengernyit bingung. Rupanya, trik yang ia mainkan telah ketahuan.
“Ibumu ini pintar, tahu?”
Costa menghela napas berat. Saking kesalnya dengan ibunya yang terus merepet minta cucu, ia sampai membayar para perempuan untuk diperkenalkan sebagai menantu.
Bukan karena ia tidak laku. Namun, mencari seorang perempuan yang klik di hatinya, ia memang belum mampu. Jujur saja, ia masih berusaha menghapus nama Liona yang mana itu bukanlah hal yang mudah.
Kebanyakan perempuan yang ditemuinya adalah tipe penggila harta dan pemuja wajah tampan. Bukankah itu sudah terlalu mainstream dan membosankan?
Mungkin ia harus menyamar sebagai tukang ojek online terlebih dahulu agar ada perempuan yang mau menerimanya dengan tulus. Tetapi, wajahnya sudah kadung pasaran, tiap sebentar keluar di media massa apalagi majalah bisnis.
“Apa salahnya, Ma? Toh, Mama maunya seorang cucu, bukan menantu. Setelah mereka melahirkan, ceraikan dan ambil anaknya.”
Niken memelotot sambil berkacak pinggang. Wajahnya merah padam. “Heh, kau kira harga kami perempuan ini hanya sebatas beranak saja, hah?! Percuma Ibu Kartini mengangkat derajat kami bila hanya untuk ditindas oleh kaum berburung tunggal seperti kau itu!”
Costa jengah sekali melihat tingkah ibunya yang merepet dengan logat Batak ala nenek moyangnya. Ia masuk ke kamarnya dan mengunci pintu dari dalam.
Buk buk buk!
“Woi, Costa! Kau dengarlah Mamak kau ini bicara! Jangan durhaka, menyesal kau nanti! Mau kusantet jadi lele kau, hah?!”
Costa bergeming. Walaupun pintu tersebut digedor dengan seribu kekuatan ninja pun, tak akan pernah ia membukanya. Karena begitu kepalanya menyentuh bantal, ia langsung terlelap ke alam mimpi.
***
“Hai, Cantik. Sekretaris baru, ya? Pak Handoko ada?” sapanya genit pada seorang sekretaris yang berada di luar ruangan direktur utama perusahaan partner bisnisnya. Perempuan itu sepertinya baru bekerja di sana. Minggu lalu ia masih menemui sekretaris yang lama.
“Beliau sedang ada tamu, Pak,” sahut perempuan itu malu-malu.
“Jangan panggil Bapak, dong, Sayang,” rajuknya. “Masih lama nggak?”
“Mungkin sekitar sepuluh menit lagi.”
“Oke, saya tunggu.”
“Tapi, Pak,” perempuan itu mendadak salah tingkah, “Setelah ini, Bapak masih punya tamu yang lain. Jadi, Ba–eh, Mas harus menunggu giliran.”
Costa mengulurkan tangannya. “Saya Costa. Masa kamu nggak bisa menggeser jadwalnya, sih?” Ia melirik jam tangannya. Satu jam lagi, ia harus kembali ke kantor karena ada janji menemani ayahnya check up tahunan ke rumah sakit.
Perempuan itu terlihat tidak enak hati. Tampang memelas Costa dan kedipan matanya, amat menggoda imannya.
“Baiklah, Mas,” ia akhirnya mengalah dan menyelipkan nama Costa di urutan pertama dalam daftar tamu tersebut.
Costa berseru senang, “That's my girl!” Ia mengambil sebuah post it note dari atas meja sekretaris itu dan menuliskan nomor ponselnya di sana. “Hubungi saya nanti. Saya traktir kamu makan siang.”
Tiada yang bisa mengabaikan pesona Costa. Apalagi ketika ia mulai mengandalkan tampang babyface-nya dan menggoda perempuan dengan rayuan maut demi memuluskan kepentingannya. Namun, siapa yang menyangka, beberapa jam kemudian, para perempuan itu hanya akan menelan kecewa.
***
“Mas, bagaimana dengan makan siangnya?”
Costa berdecak kesal saat membaca pesan tersebut, kemudian membalasnya agar perempuan itu menunggu sebentar.
Jemarinya bergegas membuka aplikasi ojek online lalu memesan makanan di sebuah restoran dan mengalamatkannya ke kantor perempuan itu. Setelah itu, ia langsung memblokir nomornya.
“Maaf, Pak, Anda sudah ditunggu Pak Direktur,” kata Mila, sekretarisnya.
“OK, tunggu sebentar.”
Costa membereskan sisa pekerjaannya, lalu keluar menuju ruangan ayahnya. Setelah itu, mereka berangkat bersama ke rumah sakit, menyambung kembali pemeriksaan yang belum selesai hari kemarin.
***
“Hasil MCU Bapak keluar besok,” kata seorang petugas kepada Costa dan ayahnya.
Costa mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih.”
Mereka berjalan bersisian keluar dari rumah sakit, ditambah seorang pengawal mengiringi dari belakang. Terkadang Costa merasa ayahnya berlebihan, tetapi mengingat posisinya sebagai orang penting di perusahaan, keselamatan adalah yang nomor satu.
Setibanya di lobi, tiba-tiba ayahnya menghentikan langkahnya, kemudian berbelok ke bagian informasi. Ia menyapa seseorang yang berdiri di dekat meja. Pria itu menunduk menatap ponselnya.
“Bima?” panggilnya tidak yakin sambil menyipitkan matanya. “Kamu … Bimantara Gunardi, kan?”
“Hamdan?!” Pria itu ikut berseru dengan ekspresi yang sama.
Tak lama kemudian, keduanya berpelukan dan saling menepuk bahu masing-masing lawan bicaranya.
“Apa kabarmu? Sudah lama kita tidak bertemu,” kata Hamdan.
Bima mengedikkan bahu. “Ya, beginilah. Getting older day by day.”
Hamdan memanggil Costa. “Ini Costa, kamu masih ingat?”
Costa menyalami pria itu dengan sopan sambil memperkenalkan dirinya.
“Costa? Seingat saya, dulu dia masih bocah berumur enam atau tujuh tahun,” jawabnya setelah menggali ingatannya sejenak. Saatanaknya baru lahir, Costa datang bersama Hamdan dan Niken untuk membesuk.
Hamdan terkekeh. “Bagaimana kabar anak dan istrimu?”
Pria itu tertegun sejenak sebelum menjawab, “Mereka baik-baik saja.”
Bima tanpa sengaja melihat Attar berjalan ke arah pintu ke luar, diiringi oleh seorang di belakangnya. Ia memanggil keduanya dan memperkenalkannya pada Costa dan ayahnya.
“Nah, ini anak-anak saya, Arik dan Attar.”
Mereka bersalaman dan berbasa-basi sebentar sebelum Costa dan Hamdan harus pamit karena sudah terlalu sore.
Mobil mewah itu perlahan berlari membelah jalanan ibu kota. Hamdan terlihat berpikir keras dengan kening berkerut-kerut.
“Papa mikirin apa?” celetuk Costa.
“Seingat Papa, Bima hanya punya satu putra. Kenapa tadi ada dua?” katanya penasaran, mengingat Attar dan Arik terlihat hampir seumuran.
“Mungkin anak haramnya,” jawab Costa seenaknya. Ia mengaduh nyaring saat ayahnya memelotot sambil memukul bahunya kuat-kuat. “Apaan sih, Pa!”
“Hati-hati kalau ngomong! Tidak mungkin Bima seperti itu!” Hamdan menceritakan lurusnya pergaulan Bima dan cintanya kepada istrinya, Astrid. Tidak mungkin rasanya Bima punya anak di luar nikah atau anak dari pernikahan yang lain. Bima dan Astrid dahulu dikenal sebagai couple goals dan diidolakan para warga kampus tahun delapan puluhan.
“Ya, siapa tahu, kan, Pa? Zaman sekarang, orang sebaik apa pun bisa saja tergoda perempuan lain. Apalagi tadi Papa sendiri yang bilang, Om Bima itu mapan dan kaya dari lahir, pemilik belasan cabang rumah sakit swasta di pulau Jawa.”
Hamdan mengibaskan tangannya tanda tidak mengindahkan spekulasi Costa. Namun, hal tersebut tak dipungkiri mengganggu pikirannya.
“Lagi pula, bagaimana bisa seorang laki-laki dan perempuan bersama selama puluhan tahun tanpa merasa bosan? Papa dan Mama contohnya.”
“Tergantung bersama siapa kamu menghabiskan hidupmu. Tiada yang lebih mencintai Papa dibandingkan dengan ibumu. Meskipun kamu tahu, ibumu itu cerewetnya minta ampun.”
“Sangat cerewet,” kata Costa membenarkan. “Apa Papa tahu, Papa sering digosipkan para karyawan kita sebagai suami takut istri?” ledeknya menambahkan.
Hamdan hanya terkekeh. “Tidak apa-apa. Memang kenyataannya begitu, kok.”
“Kenapa Papa malah senang? Gengsi, dong, Pa!”
“Buat apa gengsi? Ibumu cerewet karena peduli. Dulu, ibumu adalah idola kampus. Cantiknya bukan main, tapi malah menikah dengan lelaki bulukan dan kere seperti Papa. Ibumu rela hidup susah, makan hanya dua kali sehari, itu pun terkadang dengan seporsi mie instan dibagi dua. Kalau bukan karena cinta, lalu menurutmu karena apa?
“Dengar, Nak. Ada banyak perempuan yang berlomba mendekatimu saat kamu memiliki segalanya, tetapi hanya ada satu perempuanyang selalu setia kepadamu di saat kamu susah, yaitu istrimu. Maka dari itu, selagi kamu jaga hati pasanganmu baik-baik, ketenangan dunia akhirat ada bersamamu.”
Costa tertegun mendengar nasihat dari ayahnya yang selalu menekankan agar ia jangan sekali-kali bermain perempuan. Saat ia jatuh dalam jebakan Jennifer, adik tiri Liona, yang tergila-gila kepadanya, ayahnyalah yang paling kecewa.
Matanya memelotot saat ayahnya mengejeknya. “Ah, percuma saja Papa menasehatimu. Dasar, Bujang Tak Laku!”