Semua manusia pasti akan mati. Namun, mati dengan cara yang tidak biasa, tidak semua orang beruntung mendapatkannya – Costa Arditya.
Yosemite National Park, California.
Perempuan itu membalik tubuhnya hingga berada di atas. Kerlingan mata dan senyuman sensualnya amat menggoda. Jemarinyamengunci lengan Costa di atas kepala, lalu mengikatnya ke pinggiran ranjang dengan seutas dasi.
Erangan dan desahan lolos dari sela bibir Costa. Suara serak dan godaan lidah panas perempuan itu membakar gairahnya. Siluet tubuh perempuan itu meliuk-liuk e****s di keremangan, dan Costa hanya bisa memandanginya dengan tatapan lapar.
Costa tidak tahan lagi untuk menyatukan tubuh mereka, tetapi perempuan itu sengaja mempermainkan hasratnya. Jemarinya yang lentik menyusuri setiap inci kulit Costa dan sialnya itu semakin membakar hasratnya. Ia hanya bisa pasrah menikmati cumbuan s*****l yang membuatnya terus mendesah.
Ketika perempuan itu menyatukan milik mereka berdua, ia merasa terbang ke surga. Beberapa menit mereka mendaki kenikmatan bersama, sampai perempuan itu ambruk di pelukannya.
Costa melepaskan dasi longgar yang mengikat pergelangan tangannya, lalu membalik posisi. Giliran Costa yang memacu tubuhnya. Sebentar lagi ia akan berakhir dengan satu erangan panjang dan ....
“Costa!”
Sedikit lagi ....
“Hey, wake up, man!”
Costa tersentak. Matanya terbuka nyalang. Ia langsung terduduk, keringat bercucuran membasahi punggungnya. Saat memandang kesekelilingnya, ia menyadari hanya sendirian, ditemani setumpuk karabiner dan tali kernmantle. Lampu tidur portable yang tergantung di langit-langit tenda sudah meredup sinarnya.
“Yeah,” sahutnya memberitahukan nyawanya sudah terkumpul kembali di badan. Ia meremas rambutnya kasar. Kepalanya mengentak nyeri karena terkejut. Di bawah sana, ia merasa ada yang lengket di balik celana dalamnya.
Astaga, gue mimpi basah, lagi! batinnya kesal.
Sudah beberapa kali ia mengalami mimpi yang sama, dengan perempuan yang sama dan berbagai gaya b******a. Teman-temannya berseloroh ia terkena gangguan jin. Sayangnya ia tidak dapat melihat wajah perempuan itu dengan jelas. Pencahayaan dalam mimpinya buram. Hanya aroma tubuh perempuan itu yang terasa amat dekat dan lekat di indera penciumannya.
Costa membuka resleting pintu tenda, masih dengan sleeping bag menutupi hingga batas lehernya. Fajar mulai menyingsing. Sinar lembut kuning keemasan menampakkan diri di batas cakrawala. Kicauan burung dari bawah sana terdengar sayup-sayup sampai digendang telinganya.
Cuaca pagi itu lumayan dingin. Angin menghempas ke pinggiran tendanya dengan lembut. Ia mendapati Carl sedang menyeduh dua cangkir kopi di tenda sebelah sambil mengusap ponselnya.
“Berdoa saja supaya cuaca hari ini bersahabat,” celetuk Costa sambil menyeruput kopi panas yang dihidangkan oleh Carl. Sudah tiga hari mereka berada di Taman Nasional itu, tetapi masih belum mampu menaklukkan rute dengan tingkat kesulitan 5.9 C2 tersebut. Ditambah lagi kemarin gerimis menjelang sore sehingga mereka mengurungkan niat dan terpaksa menggantung tenda dome di pitch ke dua puluh tiga, lima pitch menjelang puncak.
“Aku lebih mempercayai ramalan cuaca daripada berdoa pada Tuhan. Useless.”
Costa tergelak dan tidak berkomentar apa pun lagi. Perkara pilihan Carl yang menjadi atheis bukanlah urusannya.
Ia sesekali mendongak memandangi tebing vertikal setinggi 2900 kaki dan tersisa sekitar 400 kaki lagi untuk didaki. Sinar matahari pagi menyasar sedikit puncaknya, El Capitan, si legenda dunia yang memiliki banyak rute, tetapi The Nose tetap menjadi yang paling populer dan menantang.
Costa memulai peregangan ringan di dalam tendanya. Carl merapikan tali kernmantle yang berserakan. Dua orang teman lainnya yang menunggu di dasar The Nose, mungkin juga sudah bangun.
“Aku baru sadar, kau terlihat lebih kurus dari biasanya,” komentar Carl saat menyuap sarapan pagi. Mereka membuat beberapa potong sandwich dengan isian kornet daging dan sayuran yang mulai layu.
“Aku diet ketat sebelum ke sini.” Costa tergelak mengatakan bobotnya yang berkurang nyaris sepuluh kilogram.
“Apakah The Nose masih membuatmu penasaran?”
“This is my last chance, dude. Jika aku gagal lagi,“ Costa mengembuskan napasnya, “itu sangat memalukan!”
Selesai sarapan, Costa mengenakan sepatu panjat dan memenuhi chalk bag di pinggangnya dengan bubuk magnesium. Carl membantunya mengaitkan setumpuk karabiner dan mengikat tali kernmantle dengan simpul delapan ke harness di pinggang Costa. Kemudian mereka saling memeriksa keamanan tali temali serta kesiapan masing-masing.
Berhubung pendakian itu adalah milik Costa, hanya dirinya yang akan memanjat sampai ke puncak. Sementara Carl adalah belayer, penjaga tali yang akan menemaninya sampai di pitch terakhir sebelum mereka rappelling kembali turun.
Costa hanya memiliki sedikit waktu sebelum kesibukan menyita perhatiannya di negerinya. Ayahnya sudah merengek minta pensiun sejak berbulan-bulan yang lalu. Itu artinya perusahaan akan jatuh ke tangannya. Tiada lagi waktu untuk bermain-main. The Nose adalah rute terakhir yang harus ditaklukkannya sebelum itu.
Ia tidak pernah bermimpi menjadi the next Alex 'no big deal' Honnold, seorang solo climber yang memanjat El Capitan tanpa pengaman, atau Adam Ondra, manusia pertama yang menaklukkan La Dura Dura, atau Chris Sharma yang malang melintang di dunia panjat tebing.
Ia juga tidak ingin berkelana sendirian dan mengalami nasib s**l seperti Aron Ralston yang tangannya terjepit di celah dinding batu selama 127 jam, seperti yang diceritakannya dalam bukunya, Between a Rock and a Hard Place.
Sewaktu ia masih kecil, ayahnya memperkenalkannya pada kegiatan wall climbing karena ia termasuk anak dengan energi berlebih, sering tantrum dan menyusahkan, itu kata ibunya dulu. Dengan adanya dinding yang bisa dipanjat kapan saja di belakang rumahnya, di sanalah ia melatih kesabaran, dengan bantuan seorang instruktur tentunya.
Belakangan ayahnya menyesal telah membelikan papan tersebut, takut bila ia terjatuh suatu hari dan pulang berstatus almarhumdengan tulang remuk di sekujur tubuhnya. Meskipun tali kernmantle dan karabiner sanggup menanggung beban sampai ribuan kilogram, masalah takdir, tak ada yang tahu, bukan?
Costa mulai jarang melakukan kegiatan tersebut ketika kuliah strata satu. Namun, kembali menggilainya saat mengambil gelar master di Berkeley, California. Ia bisa datang ke Yosemite kapan saja hingga mengabaikan pendidikannya dan hanya lulus dengan nilai rata-rata, atau kalau boleh dibilang, seadanya.
“Put your best effort, man, or you should pay me double!” kelakar Carl.
“You know what, Carl?” Costa berdecak pelan sambil mendongak memandangi rutenya, “I hate to fail, but I love to fall.”
“Lalu di dunia nyata, mana yang kau pilih?”
Costa tiba-tiba teringat kisah cintanya dengan sang pujaan hati yang terempas di tengah jalan. Mulutnya berkata lirih, sambil menatap partner-nya tersebut serius, “I hate both of it!”
Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam chalk bag dan melumurinya dengan bubuk magnesium. Napasnya berembus kasar saat meraih pegangan pertamanya di tebing itu, lalu mulai mengangkat tubuhnya. Ia menggunakan ujung jari-jari tangan sebagai pegangan dan jari kaki sebagai pijakan untuk menahan bobot tubuhnya.
Diperlukan kehati-hatian, perhitungan yang matang, kecepatan berpikir, kekuatan otot serta kelenturan anggota tubuh yang terlatih bertahun-tahun untuk mendaki tebing alami, bukan hanya dinding dengan pijakan dan pegangan artificial seperti dalam kebanyakan perlombaan panjat dinding. Free climbing di alam bebas adalah lain cerita. Seorang climber harus percaya sepenuhnya pada belayer-nya dan kekuatan peralatan adalah nyawanya.
Tiba di ketinggian tiga meter, ia mengamankan posisi pertama dengan mengaitkan karabiner dan tali ke hanger yang telah terpasang di dinding batu itu. Sementara di bawah sana, Carl terus mengulur tali sambil terus mendongak waspada. Posisinya sebagai belayer adalah menjaga dan mengunci tali secepat mungkin dengan belay device ketika Costa tergelincir.
Costa sesekali mengulang melumuri tangannya dengan bubuk magnesium. Gerimis yang kemarin membasahi bumi membuat celah-celah kecil di dinding itu sedikit licin dan berpasir.
Sembari memanjat, ia mendengarkan musik dari music player portable yang terselip di pinggangnya dan earbuds di telinganya. Bagi sebagian orang, musik dapat menimbulkan distraksi. Namun bagi Costa, musik membuatnya lupa bahwa jalurnya masih panjang. Terkadang tahu-tahu ia sudah sampai di tujuan.
Tiba di pitch point berikutnya, ia mengamankan posisinya ke anchor, lalu memberi kode agar Carl menyusul ke atas. Keduanya beristirahat sejenak, lalu mengulur tali dan rute selanjutnya kembali dimulai.
Setelah tiba di pitch ke dua puluh lima, Costa berhenti sejenak. Tiga meter di atas sana, ada sebuah rekahan dengan jarak lumayan lebar, yang membuatnya terus gagal, setidaknya dalam empat kali pemanjatan sebelumnya. Ia harus mengayun tubuhnya untuk menaklukkan rekahan tersebut. Ia telah berlatih dengan gigih di dinding artificial yang ia buat dengan jarak yang sama, tetapi sekali lagi, memanjat di tebing alami adalah lain cerita.
Bahkan tidak jarang seorang pemanjat menjepitkan sebelah kakinya di ceruk bebatuan sebagai penahan bobot tubuhnya yang menggantung terbalik bagaikan kelelawar. Posisi tersebut dinamakan foot jamming.
Ia menempel ke dinding di pijakan terakhir dan kembali melumuri tangannya dengan bubuk magnesium. Setelah itu, ia memejamkan mata beberapa detik, mereka-reka kekuatan dan kelenturan tubuhnya.
Costa mencoba peruntungan pertamanya. Ia sedikit membungkuk dan mengayun tubuhnya ke kanan sambil melompat, dan ... iatergelincir seperti biasa.
“Aarghhh!” pekiknya frustasi. Di bawah sana, Carl tersentak ke atas dan mengunci talinya secepat mungkin.
Costa menyumpah tak karuan. Titik tersebut belum bisa ia amankan. Ia kesal, kenapa leader yang dahulunya menambatkan rock piton, membuat jarak selebar itu. Namun, memang tidak ada pegangan lain karena tebing batu itu benar-benar mulus.
“Come on, Dude! Aku sudah siap menampung lima ribu dolarmu!”
Costa membalas dengan u*****n kasar dan Carl tertawa semakin keras.
Ia kembali ke titik terakhirnya, bertahan di sana lebih lama untuk mengumpulkan kekuatannya.
Costa mengulang kembali pergerakannya. Tiga kali mencoba, ia lagi-lagi gagal. Pekik frustrasinya membahana.
Ia membungkuk sedikit lebih rendah dan memaksa ayunan tubuhnya melayang lebih jauh agar jarinya dapat mencapai celah batu itu. Last effort at the last chance sebelum ia putus asa.
Tiba-tiba ….
“Wooohooo!” pekiknya senang saat jarinya berhasil menggapai celah tersebut lalu menggantung di sana. Ia segera mencari pijakan dan bertumpu dengan ujung sepatunya.
Seringaian senang tersungging di bibirnya. u*****n berganti dengan tawa lepas membahana. Sisa jalur menuju puncak adalah perkara mudah.
Keduanya dapat menyelesaikan pemanjatan dalam satu jam berikutnya. Setibanya di pitch terakhir, Costa menuju puncak sendirian.
“I've been there before,” tolak Carl saat Costa berbasa-basi mengajaknya ikut ke puncak.
Total sepuluh menit ia habiskan sebelum menginjakkan kaki di titik tertinggi El Capitan. Costa membaringkan tubuhnya di atas bebatuan sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Ia membuka pelindung kepala, tidak memedulikan sinar matahari memanggang kulitnya yang terbuka. Untung saja sebelum memanjat ia tidak lupa membalurkan sunblock sebanyak mungkin ke seluruh permukan kulitnya.
Ia meraih kalung yang terpasang di lehernya dan merenggutnya dalam satu kali sentak. Jarinya gemetar membuka mainan kalung tersebut. Tampak foto masa kecilnya yang tertawa lebar dengan gigi ompong, memeluk bahu bocah perempuan yang memasang tampang cemberut.
Costa tersenyum kecil. Itu adalah satu-satunya kenangan masa kecilnya bersama Liona, dan ia harus memanjat hampir tiga ribu kaki hanya untuk membuang kenangan mereka—sungguh perbuatan yang dramatis—sekaligus merelakan luka di hatinya yang entah kapan sembuhnya.
Ia melepas kalung tersebut dari tangannya hingga benda itu meluncur menyusuri ceruk bebatuan yang terbuka sampai tidak terlihat lagi.
Ia berharap waktu akan menghapus bayangan Liona. Rasanya sangat sakit. Di saat ia benar-benar jatuh cinta yang teramat dalam, cinta itu tidak kesampaian dan ia ketakutan untuk mencoba lagi.
Mungkin, status 'Bujang Tak Laku' seperti u*****n ibunya akan melekat seterusnya.
Ia menghirup napas dalam-dalam lalu berteriak pada Carl. Mereka bersiap memulai proses rappelling. Tiga jam berikutnya mereka sudah sampai di dasar El Capitan. Setelah itu, Costa bersiap-siap untuk pulang ke negerinya.