2. Verse

776 Words
Sepulang dari kantor, Hanum dan Thalia mampir ke pusat perbelanjaan, istilahnya nge-mall atau cuci mata. Mereka memelototi barang-barang kece yang harganya menguras kantong, tetapi tak terbeli karena harus menunggu tanggal gajian. Hilang sudah niat Thalia untuk segera pulang ke indekos dan tidur sampai pagi. Apalagi mengingat kondisi kamarnya yang semrawut seperti kandang babi. Memang benar kata orang, malas adalah penyakit yang tidak ada obatnya. Hanum memelototi koleksi tas kain dengan berbagai model. Gadis itu menyukai pernak-pernik yang berbau handmade dengan alasan barang tersebut tidak diproduksi secara massal, hingga memperkecil kemungkinan bertemu barang kembaran. Setelah dari lantai berisi pakaian dan aksesoris wanita, Thalia menyeret Hanum ke lantai yang menjual alat-alat pertukangan. Ia memeriksa rak barang satu persatu, lalu mengambil satu set obeng nirkabel dan membawanya ke meja kasir. “Selera lo aneh,” gerutu Hanum. Thalia tampak tidak berminat cuci mata di bagian yang biasanya dipelototi kaum perempuan, malah ngiler berat dengan sebuah mesin penghalus kayu raksasa. Thalia hanya nyengir lebar sembari mengulurkan kartu anggota agar kasir memotong depositnya. “Nggak ada diskon lagi, Mbak?” tanyanya pada karyawan tersebut. “Harga pas, Kak. Baru bulan kemarin ada diskon sepuluh persen,” jawab si gadis sambil membungkus belanjaan Thalia. Thalia mengerang. Potongan sepuluh persen cukup untuk membeli seporsi makan siang di warteg di belakang kompleks kantornya. Selepas dari sana, Hanum mengajaknya menonton ke bioskop. *** Sekeluarnya dari bioskop, mereka mampir sebentar ke kamar mandi. Thalia melirik jam tangannya setelah membereskan make up-nya. “Langsung pulang, ya,” katanya kepada Hanum. Baru beberapa langkah berjalan, Thalia mematung ketika matanya bersirobok dengan seorang pria. Darahnya berdesir. “Mas Arik?” gumamnya lirih.  “Tha ....” Pria bernama Arik itu ikut membeku di tempatnya berdiri, dua langkah di depan Thalia. Tatapan Thalia pindah sedikit ke samping dan menemukan seorang perempuan bergelayut manja di lengan Alarik. Hatinya seketika perih. Thalia cepat-cepat menguasai diri. Ia menyeret Hanum dan bergegas pergi, meninggalkan Alarik yang menatapnya pedih. “Lo kenapa, Tha? Dia siapa, sih? Mantan lo?” Hanum memberondongnya dengan pertanyaan setelah sampai di luar. Thalia bungkam. Ia tidak mungkin jujur pada Hanum bahwa Alarik adalah mantan gebetan yang tidak kesampaian. Lebih sialnya lagi, Thalia masih menyimpan nama pria itu di dalam hatinya, meski sudah hitungan tahun berlalu sejak keretakan hubungan mereka, dan deretan pacar Thalia sudah seperti patah tumbuh hilang berganti. Hidupnya memang selucu itu! *** Menjadi seorang dokter mungkin terdengar 'wow' dan bergengsi bagi kebanyakan orang. Tetapi percayalah, untuk mencapai gelar yang jurusannya memiliki passing grade tertinggi di universitas itu, tidaklah semudah kelihatannya. Seseorang menghabiskan waktu empat tahun untuk kuliah, dua tahun mengikuti koass dan satu tahun menjalani program internship sebelum bisa bekerja sebagai dokter umum. Attar mendapatkan gelar dokternya enam bulan sebelum ia genap berusia dua puluh lima tahun. Di saat sebagian besar sarjana sudah meniti karir, bahkan tidak jarang sudah nyaman di berbagai posisi, ia justru baru menyelesaikan pendidikan. Saat teman-temannya sudah bergelar master, ia baru merangkak memulai karier. Sebelum melanjutkan ke program spesialis yang diminati, ia harus sabar menunggu pengalaman kerja setidaknya satu tahun terlebih dahulu. Langkahnya mengayun gontai seusai visite dari kamar pasien terakhir sore itu. Seorang remaja laki-laki datang ke rumah sakit dengan kaki membengkak kehijauan setelah bermain-main dengan reptil berbisa demi konten di layanan video streaming. Untung saja mereka punya stok antivenom sehingga nyawa remaja itu bisa terselamatkan. Begitu sampai di depan ruangan direktur utama sekaligus kantor ayahnya, telinganya samar-samar mendengar dua orang pria bicara dari dalam melalui celah pintu yang terbuka. “Saya memintamu menggantikan saya sebagai direktur di sini.” “Tapi, Om—” “Hanya satu tahun, sebelum kamu mengambil spesialis. Rumah sakit kita yang baru butuh perhatian khusus, setidaknya sampai semuanya sudah set dan bisa ditinggalkan.” “Ada Attar yang lebih pantas, Om.”  Attar mendengar ayahnya terdiam sejenak, lalu kembali bicara. “Attar masih sangat muda. Dia baru selesai internship. Hanya untuk satu tahun. Lagi pula, kalau kamu menemui kendala, kita masih bisa berdiskusi kapan saja.” Attar tidak tahan lagi. Ia menguak pintu di depannya dan masuk ke dalam lalu menghempaskan sebuah map ke atas meja kerja ayahnya. Ayahnya melotot melihat kelakuan anaknya. “Bersikaplah yang sopan—” Attar mendengus. “Bersikap sopan pada seorang ayah yang lebih mementingkan orang lain ketimbang anak sendiri?” “Attaruna!” bentak ayahnya marah, tetapi malah disambut decakan malas oleh Attar. “Jaga sikapmu!” “Ya-ya-ya! Terserah Papa sajalah!” Ia keluar dari ruangan tersebut setelah menghempaskan pintu dengan kasar. Setibanya di luar, Attar menyumpah-nyumpah karena merasa diperlakukan tidak adil. Ia meraih ponsel dari dalam sakunya, lalu mengirimkan pesan pada seseorang yang paling disayanginya di muka bumi selain ibunya. “I'm tired. I quit!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD