1. Intro

1284 Words
“Sayang, aku mohon!” “Sayang, sayang, gundulmu?!” “Sayang, aku serius. Aku masih cinta sama kamu.” “Tapi gue enggak, gimana dong?” “Please, Tha! Kasih kesempatan satu kali lagi saja. Aku nggak bakal ngecewain kamu.” “Bodo!” Thalia memasang tampang bersungut-sungut, lalu memblokir nomor pria bernama Bayu tersebut dari daftar kontak ponselnya. Baginya, seorang pria yang sudah berselingkuh tidak layak diberi kesempatan kedua. Berbeda dengan dirinya yang punya pacar silih berganti, tetapi tak pernah satu kali pun pasang dua. Perselingkuhan itu ibarat penyakit yang harus dibasmi sampai ke akarnya. Karena biasanya sang pelaku akan terus mengulanginya. Ketika masih pacaran saja sudah berani mendua, apalagi setelah menikah? Ia memergoki Bayu menggandeng perempuan lain, ketika mendapat tugas membeli makan malam tim bersama Hanum. Saat itu, ia tidak bisa menepati janjinya bertemu dengan Bayu karena ada lembur dadakan Detik itu juga Thalia mendatangi Bayu dan memutuskannya, tepat di hadapan pasangan kencannya. Ia tidak butuh pria yang tidak setia, walaupun Bayu tergolong mapan dan bergaji digit dua. Toh, hubungan mereka baru berjalan dua bulan dan Thalia belum kebelet kawin atau berada pada titik di mana orang-orang akan melabelinya sebagai perawan tua. Umurnya baru dua puluh lima tahun, sedang dalam masa produktif dalam meniti jenjang karier. Masih banyak waktu untuk menyaring pria-pria berkualitas di luar sana. Thalia menggerakkan tetikus kecil di tangannya. Pekerjaan sebagai drafter menjadi lebih mudah dengan tersedianya perangkat lunak komputer. Bayangkan pada zaman dahulu di mana teknologi masih seadanya. Para drafter harus menggambar rancangan bangunan yangnjelimet itu secara manual dan itu menghabiskan banyak waktu. Drafter dengan meja gambar masih sering ditemui. Buktinya, ia masih memakai meja gambar dengan pensil, pena, kompas, protaktor dan perangkat lainnya tersebut bila dibutuhkan. Mungkin, di dunia arsitektur sendiri nama drafter terdengar kurang seksi. Bahkan banyak orang awam yang bertanya-tanya, siapa itu drafter. Padahal, arsitek dan drafter adalah dua paket yang berjalan bersamaan. Tanpa drafter, seorang arsitek akan berjalan pincang, begitu pun sebaliknya. Kecuali, arsitek tersebut rangkap jabatan, seperti bosnya yang bisa melakukan keduanya sekaligus. Kariernya di kantor itu dimulai setelah lulus kuliah. Ia mendapat posisi sebagai seorang junior yang sering di-bully, bahkan tak jarang disuruh membuatkan kopi. Empat bulan pertama, hidupnya bak di neraka, seringkali melakukan tugas di luar job desk yang terpaksa iaterima dengan anggukan kepala. Suatu hari, tanpa sengaja Alfaraz melihat gambarnya. Ia disuruh menerjemahkan kemauan pria tersebut ke dalam sebuah sketsa yang dikerjakannya dengan cepat. Apalagi keahliannya sebagai drafter sudah diasah secara autodidak sejak menginjak bangku SMA. Thalia seketika mendapat nasib baik. Bulan depannya, posisinya merangkak naik. Tak tanggung-tanggung, langsung masuk ke dalam tim inti yang diisi oleh para profesional muda. Mendapat tugas sebagai juru gambar di bawah komando langsung Alfaraz, bisa dibilang anugerah sekaligus musibah. Ia dibayar dengan harga yang sepadan, dua kali lipat dari gajinya sebelumnya, ditambah bonus setiap kali proyek mereka selesai. Alfaraz memang bos yang perhitungan, tetapi tidak pelit berbagi pada anak buahnya. Hanya saja, mulut pedasnya sering membuat karyawannya tidak tahan. Hanya Thalia yang sanggup berlama-lama dengan Alfaraz. Pria itu pun seperti ketergantungan. Walaupun Thalia bermulut kurang ajar dan kerap membantah ucapannya, pekerjaannya tak pernah mengecewakan. Dahulu mereka sempat digosipkan memiliki hubungan khusus. Thalia digunjingkan di setiap jam makan siang oleh mulut-mulut usil, sampai ia harus membuat pengumuman dan mengklarifikasi bahwa hubungan mereka hanyalah sebatas atasan dan bawahan. Siapa juga yang tahan dengan bos tampan bermulut setan? Saat calon istrinya yang seksi bukan kepalang mendatanginya dan menuduhnya yang bukan-bukan, Thalia pun naik pitam. Thalia meluruskan punggung dan sesekali melirik jam tangannya. Pergerakan jarum panjang dan pendek itu tetap konsisten. Waktu seakan bergerak lambat. Padahal, ia sudah tidak sabar ingin pulang ke tempat kos dan tidur sampai pagi. “Tha, dipanggil Bos,” panggil Hanum, rekan bergibahnya yang bekerja sebagai staf administrasi. Gadis itu barusan bertemu dengan Dian—sekretaris Alfaraz yang memiliki rekor bertahan paling lama—dan dititipi pesan untuk memanggilnya. *** Al mengulurkan seperangkat coretan kasar kepada Thalia. “Arah angin dari sini. Pastikan sirkulasi udaranya bagus,” ocehnya menjelaskan desain kasar tersebut, ditambah penjelasan mengenai posisi matahari, sumber air, arah jalan dan sebagainya. Belum selesai Al bicara, ponsel di atas mejanya bergetar. Pria itu seketika tersenyum ceria. “Ya, Honey?” ... “Pukul lima? Oke.” ... “Bye, Sayang.” Thalia memutar bola matanya. Semenjak menikah, Alfaraz berubah seratus delapan puluh derajat menjadi makhluk paling menjijikkan di matanya. Pria yang biasanya tidak peka dan sering marah-marah itu seketika menjadi manusia dengan kadar romantis level kronis ketika kedapatan menelepon istrinya. Cinta terkadang membutakan dan mengubah sosok seseorang menjadi tidak biasa. Apalagi Alfaraz—seperti mereka semua tahu—jarang berurusan dengan wanita. Sekalinya jatuh cinta, sosok tersebut seolah menjadi remaja alay yang kebanyakan gaya. “Senang amat, Pak?” tegur Thalia seraya mengemasi rancangan kasar yang baru saja mereka diskusikan. “Kalau kamu sudah menikah nanti, kamu pasti tahu bagaimana rasanya,” jawab Al sombong. “Makanya, nikah sana, jangan ngerecokin saya melulu!” Thalia mencebik. “Dih, siapa yang ngerecokin? Lagian, saya nggak bisa nikah selama Bapak nggak ngeluarin izin belajar saya.” “Apa hubungannya?” “Saya nggak akan menikah sebelum lulus S2, Pak.” “Memangnya siapa yang melarangmu kuliah?” “Bapak sudah berubah pikiran?” Ia pernah meminta izin kepada Alfaraz untuk kuliah di akhir pekan, dan hanya memangkas hari kerjanya yaitu hari Jum'at, tetapi Al menolaknya mentah-mentah. “Nggak!” Thalia merengut. “Saya ganti rencana, Pak. Saya mau ambil kelas karyawan saja alias kuliah malam. Dengan catatan, saya tidak ikutan lembur ya, Pak.” “Saya nggak yakin kamu bisa kuliah sambil kerja, Tha. Jurusan teknik itu berat. Kamu bisa keteteran. Weekdays sibuk kerja, weekend sibuk ngerjain tugas. Mendingan kamu fokus kuliah dulu, paling-paling dua tahun sudah selesai. Setelah lulus nanti kamu balik kerja di sini lagi.” Sejujurnya, Al pun setengah hati melepas Thalia kuliah sepenuhnya, bahkan separuh waktu pun tak rela. Katakanlah ia egois. Potensi gadis itu sangat ia butuhkan. Bila Thalia pergi, butuh waktu lagi mencari drafter yang seirama dengannya. Thalia terdiam. Bila dipikir-pikir, Alfaraz benar juga. Kuliah di fakultas teknik tidak main-main. Untuk mencapai gelar sarjana saja, dulunya ia sering tidak tidur demi mengerjakan tugas. Bagaimana dengan pascasarjana? “Tapi, bukannya Bapak dulu juga bekerja sambil kuliah?” tanya Thalia mengklarifikasi. “Dulu saya fokusnya kuliah, Tha. Saya kerja sampingan sebagai junior dan tidak memegang proyek besar. Itu pun juga sering begadang.” Thalia menghela napas berat. Pupus sudah harapannya untuk melanjutkan studi sambil bekerja. Jika ia memaksa fokus kuliah saja, nanti ia harus makan apa? Tabungannya belum cukup untuk menanggung biaya hidupnya selama dua tahun ke depan, ditambah biaya kuliah yang tidak sedikit. Berbeda dengan Alfaraz yang ditanggung beasiswa. “Lagi pula, kuliah malam nggak cocok buat fisik kamu. Cungkring begini!” ledek Al meremehkan. “Body shaming, Pak!” tegur Thalia memelotot. “Biar jelek dan cungkring begini, saya laku lho, Pak. Pacar saya banyak,” tambahnya membanggakan rekor jumlah—mantan—pacarnya dalam beberapa tahun terakhir. “Mata pacarmu itu kelilipan kayaknya,” dengus Al ketus. Thalia diam saja. Meladeni Alfaraz tidak baik bagi kesehatan mentalnya. Pria itu tidak mau kalah bila berdebat. Bahkan dengan perempuan pun, tak akan sudi dia mundur. “Kalau saya nggak kerja dan fokus kuliah, saya makan apa, Pak?” sambung Thalia mengalihkan pembicaraan kembali. “Lalu maumu apa? Masa minta dibayarin kuliah sama saya?” Al menyilangkan tangan di perutnya. “Yah, kalau Bapak mau, sih.” “Enak saja! Memangnya kamu siapa? Saudara juga bukan!” Thalia membalas dengan entakan kaki. Matanya melotot kesal. Tampaknya ia harus mengibarkan bendera putih. Mungkin ia harus bersabar dan mengencangkan ikat pinggang terlebih dahulu sebelum melanjutkan kuliahnya yang tertunda. Alamak! Gini amat nasib jadi rakyat jelata, batinnya merana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD