8. Money Talks

1997 Words
BLAMM!!! Thalia membanting pintu keras-keras di hadapan Costa. Mukanya merah padam. Pria itu ternganga saat memperhatikan isi rumah kosnya yang sudah dua minggu lebih tidak dibersihkan. Gulungan kertas dan alat tulis berserakan di atas meja tamu. Pakaian kotor dan sepatu berceceran di lantai, kursi, bahkan ada yang tersangkut di atas televisi. Di salah satu kursi kayu, tersandar sebuah gitar berwarna cokelat. Yang jadi masalah bukanlah gitarnya, melainkan sebuah b*a merah marun bertengger cantik di atasnya. Ia meringis dan merutuki diri dalam hati. Begitulah nasib jadi b***k korporat yang sering lembur. Saat tiba di rumah ia sudah kelelahan. Di hari libur pun kadang ia tidak sempat berbenah karena harus mengejar pesanan untuk menambah pundi-pundi uangnya, sekaligus menyalurkan hobinya bermain dengan kerajinan kayu, resin dan kaca. Sedangkan di luar sana, Costa berdiri tegak tepat di depan pintu. Matanya mengerjap lambat. Gadis itu ajaib sekali. Bukan hanya mulutnya yang tak punya sopan santun, tetapi sikapnya juga keterlaluan. Mimpi apa dirinya, sehingga nasibnya harus s**l berkepanjangan. Apalagi gadis itu bukan tipe kebanyakan gadis yang gampang tergiur oleh wajah tampan. Alih-alih menatapnya dengan tatapan memuja, gadis itu menatapnya dengan sarat permusuhan. Ia seketika tidak punya harga di mata kaum hawa. Atau apakah ia hanya terlalu percaya diri mengira dirinya adalah segalanya? Costa mengangkat bahunya. Ia sudah terbiasa menghadapi tingkah ibunya yang angin-anginan dan tidak ambil pusing dengan kelakuan gadis itu. Lagi pula, ia dapat memakluminya. Gadis itu sedang syok. Hingga delapan minggu kedepan pergerakannya jadi serba terbatas. Untung saja kondisinya tidak terlalu parah hingga Costa bisa bernapas lega. Ia mengambil langkah mundur dan berbalik menuju mobilnya. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat jika pintu itu terbuka dan ia bisa menanyakan identitas gadis itu. Costa membutuhkan identitas gadis itu untuk membantu mengurus kartu identitas dan t***k bengeknya nanti lewat tangan pengacaranya. Sedangkan di rumah sakit, ia tidak tahu nama siapa yang didaftarkan oleh Andre sebagai pasien. Ia tidak mau memikirkannya. Bukankah itu gunanya membayar pengacara? Setelah beberapa menit berdiam diri dalam mobilnya, ponselnya kembali bergetar. Ia mengangkat telepon tersebut dan menjauhkannya dari telinga kala suara di seberang sana mulai meracau. “Ya, Ma?” “Andre bilang, kamu kecelakaan?” “Hmm.” “Masih hidup kamu?” “Sudah mati, Ma! Ini arwahnya yang lagi ngomong! Keren, kan, hantu bisa pegang ponsel?!” jawabnya kesal lalu memutuskan sambungan telepon tersebut. Ia memacu mobilnya menuju apartemen, menghindari rumah orang tuanya yang dalam sekejap bisa berubah menjadi kandang singa. *** Keesokan harinya, Thalia terbangun dengan kondisi tubuh remuk redam. Persendiannya nyeri di sekujur badan. Rasanya seperti sudah lama tidak berolahraga, lalu tiba-tiba melakukan lari sprint seribu meter tanpa pemanasan. Ia tertatih-tatih bangkit ke kamar mandi. Isi kantong kemihnya sudah meronta minta dikeluarkan. Bahu kirinya nyeri luar biasa saatdipaksa menyangga kruk di ketiaknya. Untung saja toiletnya adalah toilet duduk. Bekas luka di lututnya terasa sakit saat ia sedikit menekuk kakinya. Tidak lama setelah mencuci muka, terdengar suara pintu diketuk dari luar. Thalia lagi-lagi menggerutu. “Selamat pagi,” sapa seorang pria paruh baya sambil tersenyum ramah kepadanya. “Anda yang semalam kecelakaan?” Thalia mengangguk. “Perkenalkan, saya Diman. Saya disuruh Pak Costa ke sini.” Pria itu mengulurkan tangannya yang disambut oleh Thalia dengan mulut bungkam. Tidak lama setelah itu, pria itu mengulurkan sebuah paper bag ke tangan Thalia. “Apa ini, Pak?” Kening Thalia berkerut sebelum mengambil barang tersebut. “Sarapan Anda, Bu. Nanti siang saya akan ke sini lagi mengantarkan makan siang.” Thalia menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Tiba-tiba ia merasa tak enak hati, mengingat sikapnya semalam sangat keterlaluan kepada Costa. Ternyata pria itu ikut bertanggung jawab dengan urusan perutnya. Setelah mengambil makanan tersebut dan mengucapkan terima kasih, ia kembali masuk. Namun sebelum itu, Pak Diman mencegatnya. “Maaf, Bu, Pak Costa minta identitas dan nomor ponsel Anda.” Thalia mengernyit. “Untuk apa?” “Katanya untuk mengurus KTP atau apa, gitu, Bu. Saya kurang paham.” “Oh.” Thalia seketika mengerti. Bagaimana mungkin pria itu bisa membantu mengurus KTP-nya yang hilang jika sebatas nama pun dia tak punya. Ia tertatih mengambil selembar kertas dan mencatat identitas lengkapnya di sana, lalu memberikannya pada Pak Diman. “Hmm ..., Pak,” panggilnya ragu-ragu sebelum Pak Diman melangkah pergi. “Ya, Bu?” “Bapak punya ponsel?” “Oh, ada. Buat apa, Bu?” “Saya boleh pinjam sebentar?” Pria itu mengambil sebuah ponsel lipat dari dalam sakunya lalu memberikannya kepada Thalia. Thalia segera mengambilnya dan menekan sebuah nomor yang sudah ia hapal dalam kepala, saking seringnya nomor tersebut menampakkan diri di layar ponselnya. “Maaf, Pak. Saya minta izin libur ya, Pak. Saya nggak enak badan,” katanya memelas dengan nada lemas yang dibuat-buat. ... “Terima kasih atas pengertiannya, Pak.” ... Thalia mengembalikan ponsel itu kepada Pak Diman. “Makasih, ya, Pak. Tagihan pulsanya tolong minta sama juragan Bapak saja, ya.” Pria itu mengangguk bingung. Juragannya sempat berpesan agar ia berhati-hati pada gadis yang akan ditemuinya, karena galaknya minta ampun. Namun, yang ia temui adalah gadis yang cukup sopan dan manis. Aneh, cantik begini, kok, dibilang horor? *** Thalia memaksakan diri membersihkan tempat tinggalnya. Ia tertatih-tatih bergerak ke sana kemari, menyapu, mengumpulkan pakaian kotor ke sebuah keranjang untuk dibawa ke binatu yang berada tidak jauh dari rumah kosnya. Biasanya, ia mencuci pakaiannya sendiri, kecuali selimut yang tidak muat di mesin cuci mininya. Sore hari, saat ia tengah bersantai menonton drama Korea di laptopnya, pintunya kembali diketuk dari luar. “Selamat sore,” sapa pria itu ramah begitu daun pintu terbuka. Sebelumnya, Costa ingin menyuruh Andre menyelesaikan sisa urusan dengan gadis bernama Athalia tersebut. Namun, Andre berkilah ada janji dengan istrinya ke dokter kandungan. Hal baik lainnya adalah, pekerjaannya tidak terlalu menyita perhatiannya. Melihat siapa yang datang, Thalia kembali merasa kesal. “Ada apa?” Costa mengangkat paper bag  di tangannya. “Ponselmu.” “Oh,” Thalia terpaksa mempersilakan Costa masuk. Costa duduk di sebuah kursi kayu. Ia memperhatikan keadaan sekelilingnya yang terlihat lebih rapi. Gitar cokelat itu masih bersandar di tempatnya. Hanya saja, benda keramat yang sempat ia lihat semalam, tak lagi ada di sana. Ia mengulum senyum. Matanya melirik Thalia. Rambut pendek Thalia dikuncir berantakan. Gadis itu mengenakan celana olahraga dan baju kaus berwarna orange yang membuat Costa tiba-tiba teringat dengan warna seragam anggota tim SAR. “Ehem ... ini ponselmu.” Ia mengulurkan paper bag pertama ke hadapan Thalia. Tidak lama setelah itu, ia  mengulurkan paper bag kedua. “Dan ini, makan malammu.” Thalia mengambil paper bag yang pertama dan mengeluarkan isinya. Mulutnya seketika menganga melihat kotak yang masih tersegel rapi, berisikan ponsel keluaran teranyar dengan logo apel tergigit. Biasanya ponsel itu hanya bisa ia pelototi di berbagai situs marketplace, tetapi nasibnya berakhir di keranjang belanja saja karena ia tidak sanggup membayarnya. “Ini beneran?” “Maaf, saya nggak tahu seleramu. Seri ponselmu yang semalam, sepertinya sudah tidak keluar lagi.” “Tapi, ini mahal banget, Pak. Saya nggak harus mencicil selisih harganya setiap bulan, kan? Gaji saya nggak banyak, lho, Pak. Cukup buat makan tiga kali sehari saja sudah syukur, boro-boro buat beli ponsel mahal!” cerocosnya setengah menyindir. Costa lagi-lagi menghela napas sabar. Tampaknya untuk delapan minggu ke depan adalah cobaan berat untuknya. “Motor saya mana?”  “Belum saya beli.” “Oh,” Thalia mengangguk maklum, “mau nabung dulu, ya, Pak?” “Saya bisa membelikan motormu saat ini juga.” “Ck, dasar orang kaya!” Costa tidak mengindahkan nada sinis dalam suara Thalia. Sepertinya Thalia adalah tipe manusia yang gemar menyalahkan orang lain atas ketidakmampuannya berada di strata yang sama dengan orang yang disindirnya. Ia bisa maklum, sebab sudah banyak menemui tipe orang seperti itu. Kebanyakan dari mereka seolah menganggap menjadi kaya raya adalah kesalahan dan aib. Entah karena iri, merasa tak berdaya, atau insecure, Costa tidak ambil pusing. “Kakimu belum sembuh. Lagi pula, mau ditaruh di mana motornya? Kamu mau motormu digondol maling karena kamu tidak bisa menjaganya dengan baik?”  “Saya begini juga gara-gara Bapak!” sindir Thalia sambil menimang-nimang ponsel baru tersebut. Costa mengeluarkan sebuah KTP baru dari dalam dompetnya. “Kartu ATM–mu sedang diurus oleh pengacara saya.” Thalia membelalakkan mata. Ia takjub dengan ajaibnya uang dan kekuasaan bekerja. Dahulu, demi kartu sakti tersebut ia harus antri selama beberapa bulan, bahkan meminta izin dari kantor, karena untuk mengambilnya, membutuhkan kehadiran yang bersangkutan. Money talks and bullshit walks. What we know matters but who are matters more. Sekian lama terdiam, Thalia lagi-lagi menggerutu saat suara seorang gadis mampir di telinganya.  “Mbak, boleh aku pinjam piring?” kata gadis bernama Mega tersebut. “Memangnya piringmu ke mana?” Gadis tersebut seringkali meminjam barang kepada para penghuni rumah kos dan Thalia ikut risihdengan kelakuannya. “Minggat, Mbak,” sahut Mega sekenanya. Begitu matanya melihat si tuan rumah tengah memiliki tamu berwajah tampan, matanya seketika berbinar. “Aduh, maaf. Lagi ada tamu ya, Mbak?” Kontradiktif sekali. Bukannya sungkan dan undur diri, Mega malah ikut duduk di samping Thalia. “Perkenalkan, saya Mega, tetangganya Mbak Thalia,” ujarnya genit seraya memperkenalkan diri kepada Costa. Thalia risih dengan penampilan Mega. Mahasiswi semester empat itu hanya mengenakan tanktop dan hotpants super pendek. Costa mengangguk lalu berpura-pura menyibukkan diri dengan ponselnya. “Ga, di tempatmu ada kopi, nggak?” tanya Thalia. “Ada, Mbak. Kenapa?” “Kamu bisa tolong buatin kopi buat Mas ini?” Costa sontak mengangkat kepala. “Nggak—” “Oh, bisa, Mbak. Sebentar ya, Mas.” Mega bergerak cepat-cepat menuju tempat kosnya. Thalia beralih menatap Costa. “Bapak sudah nggak ada kepentingan lagi, kan?” “Ah, ya.” Costa melirik jam tangannya. “Saya permisi kalau begitu.” Ia mengambil dompet dan mengeluarkan kartu namanya dari sana. “Hubungi saya kalau kamu butuh apa-apa. Seminggu lagi, saya akan mengirim dokter ke sini untuk memeriksa kakimu.” “Kemarin di dalam dompet saya ada uang cash dua ratus ribu,” celetuk Thalia. Ia sama sekali tidak memegang uang tunai. Walaupun Costa bertanggung jawab dengan mengirimkan ransum makanan tiga kali sehari, bagaimana kalau di depan rumah kosnya lewat tukang bakso, cireng, cilok atau jajanan lain? Ia juga belum sempat mengambil gajinya ke ATM terdekat. Sementara untuk membeli motor, ia hanya menggesek kartu debitnya. Costa menghentikan langkahnya. Ia mengambil beberapa lembar uang tunai dari dalam dompetnya, lalu memberikannya pada Thalia. “Kebanyakan, Pak,” Thalia hanya mengambil dua lembar dan mengembalikan sisanya kepada Costa. “Saya nggak mau punya utang.” “Ya, sudah,” jawab Costa sabar dan bergegas pergi sebelum gadis itu berubah pikiran. *** “Lho, Mas yang tadi mana, Mbak?” tanya Mega celingukan. Ia berharap, pria itu sedang menumpang ke kamar mandi. Sebelum kembali ke sana, ia mengoleskan sedikit parfum ke leher dan lengannya. “Udah pergi. Kamu kelamaan, sih,” sahut Thalia mengambil kopi dari tangan Mega. “Yah,” Sorot mata Mega berubah kecewa. “Aku balik aja, deh, Mbak.” “Eh, Ga. Sini!” panggil Thalia lagi. “Ya, Mbak?” “Kamu tahu nggak, aku punya bakat membaca garis nasib dan peruntungan, lho. Kamu, kan, mahasiswi, nih. Pastinya punya potensi terpendam, dong?” Mega mengangkat kedua alisnya. “Masa, sih?” “Mau coba?” “Boleh, Mbak.” Mega ragu-ragu mengulurkan tangannya. Thalia menyusuri garis telapak tangan Mega dengan roman muka serius. Mulutnya komat-kamit seperti dukun sedang membaca mantra. “Aku bisa membaca dengan jelas di sini, kamu punya bakat dan potensi besar. Tapi—” “Tapi apa, Mbak?” potong Mega penasaran. “Aduh, gimana, ya. Aku nggak enak ngomongnya.”  “Nggak apa-apa, Mbak. Siapa tahu bakatku ini berguna buat masa depanku.” “Hmm, gitu ya? Kamu beneran mau tahu?” Gadis itu mengangguk antusias. “Beneran, Mbak.” “Hmm,“ Thalia menggaruk pelipisnya sejenak lalu kembali bicara serius, “kamu punya bakat jadi ... pelakor!” Tubuh gadis itu seketika menegang. Wajahnya merah padam. Ia buru-buru menarik tangannya dan mengemasi cangkir kopi dari atas meja, lalu keluar secepat mungkin. Thalia nyengir lebar. Mampus lo!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD