9. You Again?

1491 Words
“Gimana cewek yang kemarin? Aman?” cerocos Andre dua hari kemudian begitu sampai di apartemen Costa. Andre mengenyakkan bokongnya di sebelah pria berambut ikal itu. Costa diam saja. Ia melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai kemarin sore, menandatangani beberapa berkas dan laporan evaluasi dari divisi keuangan. Posisi direktur utama akan diserahkan kepadanya dalam hitungan minggu. Untuk itu, ayahnya mulai menyiksanya dengan beban pekerjaan agar ia tidak terlalu kaget nantinya. Urusan Thalia ia serahkan kepada Pak Diman. “Gue dipalakin,” jawab Costa tak lama kemudian. Bila dihitung-hitung, justru dirinyalah yang rugi banyak atas kecelakaan tersebut. Belum lagi harus memperbaiki bumper mobilnya yang rusak. “Kena berapa?” “Dua ratus ribu.” “Halah! Duit segitu anggap aja sedekah,” Andre mencebik. Costa termenung bertopang dagu. “Heran, kok ada, ya, perempuan yang begitu?” “Begitu gimana?” “Kayak nggak ada segan-segannya sama gue. Jutek melulu bawaannya.” “Dia nggak naksir sama lo, ya?” Costa berdecak. “Boro-boro naksir, melihat gue aja tampangnya seram.” “Kayaknya ilmu pengasihan lo mulai luntur.” “k*****t! Sejak kapan gue pakai ilmu begituan?” Costa memelotot. Andre tertawa terbahak-bahak. Memang ajaib jika ada perempuan yang tidak tertarik sama sekali kepada Costa. Costa dikenal sebagai perayu ulung. Mulutnya manis seperti madu. Costa gemar memanfaatkan banyak perempuan demi kepentingan pribadinya. Entah itu perempuan dari kelas menengah ataupun kelas atas, semua disikatnya tanpa ampun. Namun, perbuatannya sebatas azas manfaat semata. Costa terlalu takut berbuat macam-macam atau orang tuanya akan murka. Cukup sekali ia terkena karma yaitu dijebak oleh Jennifer. Untungnya perempuan itu juga gagal membawanya ke pelaminan berkat bantuan Liona. “Memangnya ponsel kemarin nggak ngaruh, ya?” “Nggak.”  “Makanya gue bilang, beliin ponsel yang biasa saja.” Costa menghela napas. Menyesal sekali ia rasanya. Niatnya mengganti ponsel Thalia dengan seri terbaru dan harga termahal, paling tidak dapat mengembalikan sedikit harga dirinya yang telanjur rusak. Ia berharap gadis itu bersikap lebih sopan dan manis terhadapnya. Namun, jangankan mengubah sikap, gadis kurang ajar itu berterima kasih pun tidak! Sesekali ia mengecek ponsel untuk melihat pesan dari Thalia yang meminta bantuan atau apa pun itu. Nyatanya tidak, ia seperti pungguk yang merindukan bulan. Costa penasaran. Biasanya para perempuan antri untuk mendapatkan nomor ponselnya. Namun, gadis itu sama sekali tidak tertarik, seakan kehadirannya hanya menyusahkan. Hal tersebut membuat harga dirinya makin tercabik-cabik. Andre mengeluarkan setumpuk kartu debit baru kepunyaan Thalia. Jangan tanyakan bagaimana cara ia mendapatkannya. Keluarga besarnya terdiri dari para bankir di berbagai bank, mudah saja baginya bersekongkol. “Kartu debitnya banyak banget, pasti duitnya juga banyak.” “Gue nggak yakin,” bantah Costa mengingat tingkah materialistis gadis itu yang berbicara tentang uang sepanjang waktu. “Lo nggak cek saldonya?” Andre mendelik. “Mana boleh?!” Costa terkekeh saat mengambil kartu tersebut. “Thanks, Ndre.” “Bonus gue bulan depan jangan lupa.” “Dasar matre!” “Jangan lupa beliin kado yang paling mahal buat anak gue,” pintanya lagi. Bayinya diperkirakan lahir dua minggu lagi. “Laki-laki atau perempuan?” “Laki-laki.” “Apa sebaiknya gue beliin boneka barbie aja, ya?” Costa menyeringai. “Sompret!” Andre memelotot. “Lo mau anak gue jadi hombreng?” Costa tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba, ia merindukan sahabatnya yang menjalani hukuman di penjara karena ulahnya, Bram. Entah bagaimana kabarnya. Sudah hitungan bulan Costa tidak berkunjung ke sana. Tidak lama setelah kepergian Andre, ibunya menelepon. Ia harus menemui Salsa. Alih-alih menggerutu seperti biasa, Costa malah menyambutnya dengan penuh suka cita. Ia ingin membuktikan, apakah pesonanya memang sudah luntur di mata para wanita. *** Costa menunggu di sebuah restoran beberapa menit lamanya. Sesekali ia melirik jam tangannya tanda tak sabar. Sekitar lima menit kemudian, terdengar suara detak sepatu menghampirinya. “Hai, Costa,” sapa seorang perempuan dengan suara manis dan lembut. Costa mengangkat kepalanya. Seketika pupilnya melebar. What the hell?! erangnya dalam hati. Dalam hitungan detik, mood–nya buyar. Firasatnya benar. Salsa yang diperkenalkan ibunya adalah perempuan yang sama dengan masa lalunya, mantan pacarnya sewaktu menempuh pendidikan di Berkeley dulu. “Apa kabarmu? Sudah lama kita tidak bertemu.” Salsa duduk dengan anggun di depan Costa. ”It's been eight or nine years, right?” Costa terpaksa menyunggingkan senyuman saat menyambut uluran tangan Salsa. Kulit Salsa masih halus seperti dahulu. “Baik. Bagaimana denganmu?” “Seperti yang kau lihat.” Salsa memperhatikan Costa sejenak. “Dunia sempit sekali, ya?” “Saking sempitnya kita harus bertemu lagi,” gumam Costa setengah menyindir. Ia menggerutu dalam hati. Di mana ibunya bertemu dengan buaya betina itu? Salsa tertawa renyah mengabaikan sindiran Costa. Ia mengamati pria yang pernah menjadi pacarnya itu. Kecuali usianya yang semakin matang, wajahnya tidak banyak berubah. “Apa kau masih sering memanjat tebing?” “Kadang-kadang.” Jika dahulu ia sempat tergila-gila dengan si seksi itu, sekarang tidak lagi. Di usianya yang semakin bertambah, yang ia cari atau lebih tepatnya yang diinginkan ibunya adalah calon istri, bukan sekadar berpacaran dengan seorang perempuan yang bertubuh indah bak gitar Spanyol dan bisa dipamerkannya ke mana-mana, seperti yang ia lakukan ketika berada di luar negeri dulu. Sementara ia sudah kehilangan minat akan pernikahan setelah Liona pergi, bahkan ketakutan untuk jatuh cinta lagi. Costa hanya memesan minuman saat Salsa menyodorkan buku menu kepadanya. “Ibumu manis sekali,” kata Salsa mengalihkan pembicaraan. “Oh, ya?” Costa mengangkat alisnya. Seingatnya, ibunya hanya bersikap manis bak gula-gula kepada Liona. Apa keistimewaan Salsa sampai ibunya mengubah sikap? Tampaknya, lagi-lagi ia harus menolak calon pemberian ibunya. Alasannya sederhana saja, Salsa bukan perempuan yang cocok untuk mendampingi hidupnya. *** Malam minggu terasa sepi. Seluruh penghuni kos yang rata-rata berstatus mahasiswi sudah pergi, entah itu untuk menghabiskan malam minggu atau pulang ke kampung halaman masing-masing. Sebelumnya, Thalia berharap Hanum mau menemaninya. Namun, gadis itu malah pulang ke Bandung, berhubung ada sepupunya yang menggelar hajatan. Sudah dua hari Thalia sibuk dengan ponsel barunya. Ia butuh waktu untuk beradaptasi dan mengenali fitur-fiturnya, serta mempelajari sistem operasi bawaan si apel tergigit yang kastanya digadang-gadang lebih tinggi dan elite. Sementara biasanya ia sudah puas dengan sistem operasi smartphone sejuta umat.  Saat tengah sibuk menginstal aplikasi pengedit foto, sebuah pesan masuk ke ponsel mahal itu. Untung saja daftar kontak di ponsel lamanya telah di–backup secara berkala ke email–nya, hingga bisa dibuka kembali saat dibutuhkan. “Selamat malam. Apakah pesanan saya sudah siap?” Thalia menghela napas berat. Ia menjanjikan sebuah produk mebel kepada kliennya dengan tenggat waktu selama dua bulan dan statusnya sedang dalam tahap finishing. Namun, kesibukan dengan pekerjaan belakangan sangat menyita perhatiannya. Hari Sabtu dan Minggu yang biasanya ia pakai untuk mengerjakannya, habis untuk tidur dan bermalas-malasan. Ditambah lagi sekarang kondisi kakinya yang masih butuh beberapa minggu lagi sebelum bisa dipakai berjalan. “Selamat malam. Mohon maaf, pesanan Bapak belum selesai.” Selang hitungan detik, ponselnya berbunyi lagi. “OK. Take your time.” Napasnya berembus lega. Sebagai pebisnis kecil-kecilan yang berdedikasi tinggi, sungguh tidak enak rasanya mengecewakan pelanggannya. Ia mengusap ponsel mencari kontak seseorang yang biasa membantunya di gudang. “Ri, ada stok kayu baru, nggak?” “Belum datang, Teh.” “Oh, ya, sudah. Kalau nanti datang, tolong simpan di rumahmu dulu, ya.” “Baik, Teh. Tapi nanti tambahin gaji Ari ya, Teh. Hitung-hitung buat biaya parkir kayunya.” Siapa bilang karma tukang palak itu tidak ada? Contohnya Thalia. Ia dengan kurang ajarnya memalak bosnya. Namun, sebagai bos, ia juga ikut dipalak oleh Ari, karyawannya yang menolak disebut sebagai karyawan dan malah ingin dipanggil sebagai asisten. Saat Thalia bertanya apa alasannya, jawaban bocah gendeng itu sederhana saja, kata asisten terdengar lebih 'wow' dan berkelas.  Pintunya diketuk dari luar. Thalia meletakkan ponsel di atas meja lalu bergegas mengambil kruknya dan membukakan pintu. Begitu melihat siapa yang datang, matanya membola. “Bayu? Ngapain kamu ke sini?” “Hai, Tha. Balikan, yuk.” “Nggak mau!” Belum sempat Thalia menutup pintu, Bayu mengganjalnya dengan kaki kiri dan memaksa masuk. Thalia mengambil langkah mundur. Tangan kirinya memegang kruknya erat-erat. Melihat roman muka Bayu membuatnya takut. Mata pria itu memerah. Dari mulutnya tercium bau alkohol yang menusuk. Tampaknya Bayu dalam kondisi setengah mabuk. “Ka–kamu mabuk, Bay? Keluar!” usirnya panik. Dalam kondisi normal, ia yakin bisa mengatasi Bayu dengan mempraktikkan jurus-jurus beladiri ringan yang diajarkan oleh Attar. Namun, rasa takutnya lebih besar. Otaknya tak mampu berpikir dengan benar. Jantungnya berdebar-debar. Bayu tidak mengindahkan perintah Thalia, malah semakin mendekat dengan seringaian kecil di sudut bibirnya. “Aku masih cinta sama kamu, Tha!” serunya lemah. “Tapi kamu selingkuh!”  “Kami sudah putus. Kita balikan, yuk.” “Aku nggak sudi!” Thalia terpojok. Bokongnya menyentuh sandaran kursi. Bayu bukannya menjauh, malah meraih bahu Thalia dan mendorongnya kasar ke samping.  Tha terjerembab ke lantai dan memekik kesakitan. “AAA!!!” Pekikannya semakin keras kala Bayu membungkuk dan menekan lututnya yang dibalut perban. Tubuh Bayu condong ke depan ingin mencium bibirnya. Thalia memalingkan muka sambil memekik panik, “TOLOOONG!!!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD