Obrolan Kosong

1328 Words
Leo terduduk di kursi, seraya mengatur napas yang masih berantakan. Ia tidak pernah menyangka akan merogoh kocek sangat dalam malam ini. Jika ia jadi seorang Felix, maka lebih baik menikahi wanita baik-baik yang sempurna. Namun semua berbanding terbalik dengan tuan muda yang tampaknya tidak ingin terikat dengan satu cinta dan rumah tangga. "Haaah ... sudahlah! Akhirnya aku mendapatkannya," gumam Leo tidak berdaya. Sepertinya, tulang punggung miliknya menghilang, gara-gara perang harga malam ini. Namun ia berusaha untuk menepis segala pikiran gila. Baginya, yang penting saat ini, Felix dapat menikmati santapan istimewa, berupa daging muda segar yang spesial. Empat puluh menit setelah tawar-menawar harga. Langkah manis dan manja, terdengar memasuki kamar mewah yang sudah dipersiapkan bagi pembeli kemolekan sang penari. Gadis itu mengenakan perhiasan yang berkilauan dan busana transparan, sehingga dapat memperlihatkan lekuk tubuh moleknya dengan jelas dan semakin membuat penampilan sang penggoda tampak luar biasa. "Apa kamu wanitanya?" tanya Felix sambil menatap perempuan malam miliknya yang sangat menggiurkan. "Iya, Tuan," sahutnya sembari menundukkan kepala. Perempuan yang satu ini terlihat malu-malu dan tidak nyaman dengan pakaiannya. Sangat berbeda dengan perempuan murahan pada umumnya, yang merasa percaya diri jika tampil seksi. Tapi sikap gadis itu, malah mampu menarik perhatian Felix. Felix mengangkat kaki kanan di atas kaki kirinya. Lalu ia menatap dalam-dalam perempuan miliknya. "Apa benar ini pengalaman pertama bagimu? Aku tidak suka dibohongi!" "Iya, Tuan," sahutnya dengan wajah yang masih tertunduk. Ia seperti tidak menginginkan malam ini, namun tidak bisa mengelaknya. "Aku paham kecemasanmu dan itu membuatku menjadi lebih suka." Felix berdiri dan mendekati gadis miliknya. Kemudian ia mengangkat dagu gadis muda tersebut hingga ia dapat menikmati paras cantik sang perawan yang sebenarnya lebih memesona, tanpa pewarna dunia. Gadis itu mengangkat bulu mata asli miliknya yang tebal dan lentik serta hanya dipoles dengan maskara natural. Pupil matanya hitam, bulat, besar, dan tampak berkilauan. Saat Felix menatap gadisnya dari jarak yang sangat dekat, tiba-tiba saja hatinya bergetar. 'Apa? Ada apa denganku? Kenapa bisa seperti ini?' Tanya Felix yang masih terus saja menikmati setiap bagian dari wajah gadisnya. "Kamu benar-benar cantik, wanita yang luar biasa," pujinya dalam kagum. Kemudian Felix memutuskan untuk segera menikmati bibir bagian bawah gadisnya, dengan lumatan yang ringan, namun terasa hangat. Seperti semut yang sudah menemukan tumpukan gula impiannya. Felix tidak kuasa menghentikan laju permainan bibirnya, hingga terdengar suara kecapan berkali-kali, diiringi dengan suara napas yang tersengal. "Siapa kamu?" tanya Felix yang heran karena dia adalah satu-satunya wanita yang mampu membuat jiwa tuan muda bergetar. "Saya Luna, Tuan," jawabnya kaku dan dari kedua bola matanya, tampak sekali kecemasan dan ketakutan. "Jangan takut! Aku tidak akan menyakitimu." Felix memeluk pinggang gadisnya dengan lembut agar dia nyaman. "Luna? Itu nama malam, bukan? Aku ingin yang asli!" Gadis cantik bertubuh proposional itu, tampak berpikir keras. "Maaf, Tuan. Aku tidak tahu," bisiknya dengan mata yang berkaca-kaca. Bukan ingin berbohong, sejak kecelakaan satu tahun yang lalu, Luna sama sekali tidak mengingat apa pun dan tidak mengenal siapa pun. Namun, bayangan masa lalu kerap kali muncul, ketika ia mengenakan pakaian yang indah dan terlihat memesona. "Tersenyumlah!" bisik Felix yang tiba-tiba saja perduli dengan mangsa buruannya. "Jangan takut!" pintanya sekali lagi. Luna memaksakan senyumnya. Ia merasa begitu canggung di hadapan laki-laki asing yang baru saja ia lihat kurang dari 15 menit yang lalu. "Siap untuk bercinta?" tanya Felix dengan lembut tepat di telinga kiri Luna dan itu berhasil membuat gadis itu bergetar. "Ya ... ." "Tapi sepertinya tidak?" timpal Felix yang melihat bahwa Luna masih sangat gugup. "Tuan muda, Anda begitu baik," puji Luna sambil menghela napas panjang. "Apa yang kamu pikirkan?" "Mereka bilang, Anda akan menyiksa, memukul dan menyisakan memar di sepanjang tubuhku. Setelah itu, Anda baru akan melakukan apa pun yang Anda inginkan, kemudian membuangku begitu saja," ujarnya dengan suara yang pelan dan cepat. Saat mengatakannya, kira-kira hanya satu tarikan napas saja. "Berarti mereka tidak pernah berjumpa dengan seorang Felix," jawabnya dalam senyum yang menawan. "Aku tidak suka menyakiti wanita dengan cara seperti itu. Hanya saja, aku juga belum bisa menjadi laki-laki yang baik dan memilih satu wanita untuk hidupku." "Kenapa?" "Entahlah, mungkin memang belum ada bunga yang benar-benar mampu mengisi pot yang hanya memiliki tanah kering dan gersang di dalamnya." "Anda tidak seperti itu, Tuan. Aku dapat merasakannya. Tangan dan bibir Anda begitu hangat dan mampu menenangkan." Felix tersenyum, ia mulai merasa nyaman dan suka bercakap-cakap dengan gadis asing yang dibeli dengan harga fantastik. "Kemarilah!" ajaknya sambil menarik tangan kanan Luna. "Ayo berbaring! Sepertinya kita hanya akan menghabiskan malam dengan mengobrol saja." Mendengar ucapan santai dari laki-laki yang telah membeli kesuciannya, Luna merasa tidak percaya. Bahkan ia terus menatap Felix karena merasa aneh. Bagaimana mungkin laki-laki yang satu ini tidak merasa rugi kehilangan kesempatan untuk menikmati tubuhnya, sementara dia sudah mengeluarkan uang satu milyar malam ini. "Apa Anda tidak merasa rugi jika tak melakukannya, Tuan? Satu milyar bukanlah nilai yang kecil." "Ha ha ha ha ha. Uang bisa dicari, tapi teman yang nyaman tidak mudah untuk didapatkan," jawabnya sambil meletakkan punggung di atas tempat tidur. Melihat Felix berbaring tanpa menanggalkan pakaiannya, Luna pun ikut berbaring. Keduanya menatap langit-langit kamar yang sama dan tersenyum. Setelah 20 menit, Luna memutuskan untuk melakukan sesuatu. Ia mengangkat tubuh bagian atas dan melihat wajah Felix dengan tatapan yang lebih ceria. "Tuan, apa Anda ingin dipijat? Tangan ini cukup ahli." Luna menawarkannya dengan senyuman. Felix menatap Luna dan tersenyum simpul. "Benarkah?" "Anda harus mencobanya!?" "Baiklah." Luna membantu Felix membuka pakaiannya. Saat itu, Felix merasa bahagia, meskipun belum mendapatkan wanitanya. "Saya akan mulai dengan punggung Anda. Silakan berbalik!" pinta Luna dan wajahnya tampak bercahaya. Saat itu, Felix seperti boneka yang patuh dan bersedia mengikuti ucapan gadis yang seharusnya jadi santapannya malam ini. Luna memulai pijatannya dengan tekanan yang lembut sebagai pemanasan. Kemudian ia melanjutkannya dengan tekanan jari yang terasa kuat, tetapi nyaman. Felix terbuai dalam sentuhan jari-jari tangan Luna yang gemulai. Hingga ia melupakan keinginan untuk bercinta. "Dari mana kamu mempelajarinya?" "Aku tidak tahu, Tuan." "Benar-benar tidak tahu?" "Iya," jawab Luna sambil tersenyum dan suara tawa sedikit keluar dari bibirnya. "Sepertinya Anda berpikir bahwa aku adalah gadis pembohong." "Hemh, sebab semuanya terdengar aneh bagiku." "Apalagi bagiku, Tuan." Luna mengatakannya tanpa beban. Seolah-olah takdirnya saat ini adalah hidup yang sebenarnya. "Lalu, apa yang kamu sukai?" tanya Felix kembali. "Tidak tahu," sahut Luna, lalu ia kembali tertawa. Sebenarnya, ia berusaha menyembunyikan perasaannya yang tengah bingung dan gundah. "Untuk saat ini, aku menyukai Anda, Tuan. Anda begitu baik." "Ha ha ha ha ha." Felix tertawa keras. "Asal kamu tahu saja, Luna. Hanya kamu satu-satunya yang mengatakan bahwa aku ini adalah laki-laki yang baik." "Benarkah? Tidak percaya." "Perempuan-perempuan itu mengatakan bahwa aku ini sangat jahat. Tapi ketika aku meninggalkan mereka tanpa uang ataupun barang yang mewah. Dasar perempuan sialan." "Ada-ada saja." Lalu keduanya melanjutkan obrolan kosong sambil terus memijat dan dipijat. "Enak sekali. Lehernya juga, Dayang-Dayang!" goda Felix. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Padahal, sebenarnya ia adalah orang yang kaku dan memiliki pandangan sinis. "Baiklah, Baginda," sahut Luna yang melanjutkan permainan kata dari Felix. Setelah puas, Luna melemaskan otot-otot perkasaa milik Felix dengan membunyikannya. Laki-laki berpostur tubuh bak binaragawan itu pun merasa lega. "Depan lagi, Baginda!" "Siap, Dayang-Dayang. Ha ha ha ha ha, ini benar-benar enak. Seperti menikmati pijatan seorang ibu." "Ibu?" "Iya, ibu." "Aku juga ingin menjadi ibu. Tapi, kasihan putra-putriku nanti, jika memiliki ibu seorang pelacuur. Mungkin sebaiknya, aku melupakan mimpi itu!" "Luna, siapa pun itu, dia berhak menjadi seorang ibu. Percayalah!" Luna menarik kedua sisi bibirnya sama rata. "Ternyata Anda adalah motivator yang baik, Tuan." "Baginda!" timpal Felix. "Oh iya, Baginda," sahut Luna memperbaiki panggilannya. Luna masih fokus memijat dadaa Felix. Bulir-bulir keringat milik Luna, mulai menetes di atas otot perut laki-laki kaya tersebut. Saat itu, mata Felix teralihkan pada bagian dadaa Luna yang tampak kencang dan bulat. Itu adalah bentuk dadaa kesukaan Felix yang sulit sekali ia temukan pada wanita umumnya. Rata-rata, wanita yang ia temui, memiliki bentuk serta ukuran dadda yang sama adalah hasil dari operasi plastik. Namun Luna memiliki yang alami. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, tampak sekali keindahannya dalam bentuk yang sintal. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD