Kekecewaan Naswa

2182 Words
            Mereka bingung dengan apa yang ditatap Robby saat ini, hingga mereka ikut melihat ke arah yang sama. Deg!             Dia terdiam. Jantungnya tiba-tiba berpacu cepat. Rahangnya mulai mengeras. Dia beralih menatap Robby untuk mengalihkan perasaan yang saat ini tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Naswari Ayudya, dia membuka mulutnya dengan sangat susah. “Aku akan izin pulang lebih cepat. Kita jalan-jalan hari ini. Gimana?” tanya Naswa bersuara sedikit pelan.             Daniel dan Erine saling melirik satu sama lain. Mereka tidak percaya dengan apa yang mereka lihat saat ini. Baru saja mereka membicarakan perihal perselingkuhan yang dilakukan oleh Ayah Naswa dan melacak keberadaannya yang tengah dalam perjalanan. Namun kini pria itu justru berada di restauran yang sama dengan mereka.             Dan yang membuat mereka semua kaget, juga membuat Naswa sangat syok. Pria yang merupakan Ayah Naswa itu menggandeng mesra, menyematkan jemari kirinya pada jemari kanan seorang wanita yang berusia sebaya.             Yah … Ayah Naswa tengah bersama dengan selingkuhannya. Bahkan mereka tampak seperti pasangan suami dan istri yang sangat bahagia.             Daniel melihat raut wajah diam Robby yang mengisyaratkan perasaan geram. Dia beralih melihat Naswa yang masih terpukul. Dia pun mengambil alih ransel yang dibawa oleh Robby. “Ayo kita jalan-jalan. Lu hubungi teman kerja elu deh, Nas. Biar gue yang bawa mobil elu,” ucapnya sembari menyambarkan lengan kiri Naswa dengan lembut. Dia menggandengnya dan membawa Naswa keluar dari ruangan yang mereka pesan itu.             Erine turut mengikuti langkah kaki mereka. Dia membiarkan Daniel menggandeng Naswa yang masih terpaku. Dia sedikit melirik ke arah belakang, melihat Robby yang masih di tempat semula.             Naswa masih menatap lurus ke depan. Meski mereka harusnya berjalan ke arah kanan, namun mata Naswa masih saja menatap ke arah kiri. Gerakan tubuhnya yang tidak seimbang membuat Daniel dan Erine memperlambat langkah kaki mereka.             Gertakan rahangnya tak mampu menyembunyikan perasaan Naswa meski dia diam seribu bahasa. Sebab Daniel dan Erine bisa melihat betapa kecewanya Naswa terhadap sang Ayah yang sampai saat ini masih menjalin hubungan dengan selingkuhannya itu.             Daniel memahami Naswa, dia menyadarkan lamunannya dengan sedikit goyangan pada lengan kiri Naswa. “Hey! Ayo pergi dari sini,” ucapnya sontak membuat Naswa meliriknya sekilas.             Naswa tersenyum manis dan menganggukkan pelan kepalanya. “Aahh … iya-iya. Ayo!” gumamnya pelan sembari melepas gandengan tangan dari tangan Daniel, dia melangkah cepat menuju pintu keluar restauran.             Erine langsung mengejar Naswa dalam bibir terbungkam. Sedangkan Daniel, dia melihat Robby masih mengedarkan pandangannya ke arah posisi dimana Ayah Naswa dan selingkuhannya berada.             Daniel tahu jika Robby mengerti apa yang harus dia lakukan. Tidak mau membuat dua wanita itu menunggu lama, Daniel kembali melanjutkan langkah kakinya mengejar mereka. … Dalam perjalanan.,             Naswa duduk di barisan kedua. Matanya menatap ke arah luar. Sudah 15 menit berlalu, mereka terus mengitari jalanan ramai nan macat.             Erine terus saja melirik ke arah belakang, melihat sang sahabat, Naswa yang memilih untuk tak bersuara. Namun mereka pun tidak mau mengajak Naswa untuk berbicara. Sebab mereka tahu kalau Naswa membutuhkan waktu untuk berdamai dengan hatinya atas kejadian beberapa waktu yang lalu.             Sedangkan Daniel, dia masih terus fokus pada stiur dan jalanan. Namun sesekali dia juga melirik ke arah belakang, melihat Naswa dari spion depan mobil.             Dia menghela panjang nafasnya melihat Naswa terus murung. Tidak ingin salah mengambil langkah, mereka memilih untuk diam sampai Naswa yang mengajak mereka untuk berbicara.             Daniel pikir, setidaknya Naswa sudah meminta izin untuk pulang lebih awal. Sehingga mereka tidak perlu mengkhawatirkan waktu untuk dihabiskan sia-sia. Beruntungnya dia tidak membawa mobil miliknya, sehingga dia bisa membawa mobil Naswa sampai mereka membuat Naswa sedikit tenang.             Namun beberapa menit berlalu, Naswa mulai tersadar dari lamunannya. Seakan melupakan sesuatu, dia melihat di sekitarnya dan melihat ke arah depan. “Rine? Mana Robby?”             Naswa melihat Daniel tengah menyetir disana. “Niel? Robby pergi lain arah?” tanyanya penasaran dengan kening berkerut. Sebab seingatnya, Robby juga bersama dengan mereka.             Erine melirik Daniel yang juga menatapnya. Akhirnya Daniel membuka suaranya. “Robby ada urusan sebentar, Nas. Ini kita mau kemana? Ada tujuan lain? Atau rekomen tempat cantik disini? Haahhh …” Daniel mencoba untuk mencairkan suasana. Dia masih terus melanjutkan kalimatnya. “Gue dah lama gak balik ke tanah kelahiran gue sendiri. Jadi gue da amnesia,” sambungnya lagi dengan sengaja supaya membuat Naswa ikut terbawa suasana.             Erine yang tidak mau memutuskan suasana, dia ikut membuka suaranya. “Gimana kalau kita ke Cambridge aja? Sekalian aku juga mau belanja. Ada yang mau aku beli … kita bisa pesan kamar pribadi, geesss … biar bisa renang bareng juga. Gimana?” Erine memberi saran, berharap Naswa setuju dengan sarannya.             Naswa tampak berpikir. Daniel melirik ke arah belakang. “Gimana, Nas? Boleh juga saran Erine. Kalian belanja bentar. Biar gue pesan kamar. Ntar gue duluan renang,” ucapnya meyakinkan Naswa.             Naswa pikir, tidak ada salahnya dia menghabiskan waktu mereka dengan renang bersama. Lagi pula, dia juga tidak memiliki jadwal lain atau kepentingan lain. Sebab pekerjaannya sudah selesai beberapa hari yang lalu, pikirnya. “Okelah kalau gitu. Kita kesana aja. Aku juga pengen banget renang. Sekalian beli coklat,” ucapnya sembari menarik kedua tangannya ke atas. “Haaahhh …” Dia menghela panjang nafasnya sembari merelakskan tubuhnya.             Daniel segera mempercepat laju mobilnya ke tempat yang mereka tuju. Tidak ada hal yang lebih penting hari ini selain membuat mood Naswa kembali membaik. Sebab dia dan Robby sudah diberi Amanah oleh Pai sebelumnya. *** Mutia Garden Restaurant, Medan, Indonesia., VIP Lunch Room.,             Robby melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan makan siang khusus para tamu istimewa. Dia melihat pria itu berjalan menuju toilet.             Ketika dia hendak berjalan menuju toilet yang ada di ujung sana, seorang pelayan menghentikan langkah kakinya. “Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu? Apa Anda sudah memesan meja sebelumnya?” tanya pelayan laki-laki itu sopan terhadapnya.             Robby menghela pelan nafasnya, sembari menggeleng pelan. “Tidak, terima kasih. Saya sudah memesan meja bar di ruangan sebelah,” jawabnya dengan pandangan masih lurus ke arah toilet yang ada di ujung sana.             Pelayan itu mengangguk pelan. “Maaf, Pak. Silahkan masuk,” ucapnya lagi mempersilahkan Robby untuk melanjutkan langkah kakinya.             Robby merapikan kemeja putih berliris biru yang tengah dia pakai saat ini. Kakinya berjalan ke arah ujung, namun matanya beralih menatap meja yang ada di sudut sana. Meja yang diisi oleh seorang wanita yang tampak berdandan. … Toilet.,             Dia berjalan menuju wastaple dan melihat ruangan toilet ini tampak sepi. Terdengar suara air mengalir dari salah satu pintu closet yang ada disana.             Kedua tangannya bergerak ke depan, hingga air muncul dari kran otomatis di wastaple dengan desain elegan itu. Perlahan dia membersihkan kedua tangannya disana. Ceklek…             Pintu terbuka dan keluarlah seorang pria yang sangat dia kenali. Yah … pria itu adalah Ayah Naswa.             Pria itu berjalan ke arah yang sama, namun berjarak beberapa kran darinya.             Melihatnya tak sadar dan tak mengenalinya, Robby menyambar tissue kering yang ada disana untuk mengeringkan kedua tangannya. Dia sedikit menghadap ke arah pria itu. “Om Panji?” sapa Robby dengan suara biasa saja.             Pria berusia 51 tahun itu, Panji Baskoro. Dia melirik ke arah kiri, melihat Robby yang sudah tersenyum ramah padanya. Keningnya berkerut. “Maaf, Anda siapa?” tanyanya sembari terus membersihkan kedua tangannya disana. Robby tersenyum dan mendekatinya. Dia mengulurkan tangan kanannya. “Saya, Robby. Saya kenal saya Om. Om … Papanya Naswa, bukan?” tanya Robby semakin sok akrab dengan pria yang akrab disapa Panji itu.             Panji masih terlihat bingung. Dia segera mengambil tissue dan membersihkan kedua tangannya, tanpa berniat mengeringkannya di alat pengering yang tersedia disana. “Iya, benar. Kamu kenal dengan anak saya?” tanya Panji lagi penasaran. Jantungnya mulai bergedup kencang. Dia merasa seperti tengah diikuti oleh seseorang sekarang.             Melihat uluran tangan pria yang dia pikir merupakan teman dari putrinya, Naswa. Dia pun membalas uluran tangannya, dan menjabatnya dengan goyangan pelan.             Robby semakin mengembangkan senyumannya. “Saya, Robby ... Om. Saya teman SMA Naswa,” ucapnya dengan nada ringan.             Panji tampak menyelidiki anak laki-laki yang dia pikir sebaya dengan putrinya. “Saya, Panji. Papanya Naswa. Senang berjumpa denganmu.” Balasnya tanpa basa-basi dan langsung melepas jabatan tangannya. Dia pikir, dia tidak perlu berlama-lama disini. Dia takut jika putrinya melihatnya berada disini. Atau jangan-jangan, putrinya juga berada di restauran yang sama dengannya. “Kamu kesini sama siapa, Nak? Sama pacar kamu?” tanya Panji beralih menatap ke depan. Dia mengeluarkan sisir dari saku kanannya, dan merapikan rambutnya.             Mendengar pertanyaan pria tua ini, Robby sedikit paham dengan gerak-geriknya. “Saya sendiri, Om. Kebetulan ingin melamar kerjaan disini,” jawabnya masih memperhatikan Panji menyisir rambutnya.             Panji meliriknya sekilas dan tersenyum tipis. “Oh … kamu pernah datang ke rumah? Sepertinya kamu akrab sekali dengan Naswa yah?” tanya Panji seraya ingin memastikan jika pria bernama Robby ini bukanlah pria suruhan putrinya. Sebab dia tahu jika putrinya bisa melakukan apapun, bahkan sampai mengetahui perselingkuhannya dengan temannya saat SMP dulu. Robby mengambil ponsel dari balik saku celananya. “Saya tidak terlalu akrab dengan Naswa, Om. Karena Naswa orangnya cuek dan pendiam banget,” jawabnya berdalih. “Oh ya, Om sama siapa disini?” tanya Robby kembali melanjutkan kalimatnya. Glek!             Panji meliriknya sekilas. “Saya sendirian dan sedang menunggu teman kerja. Kebetulan kami membuat janji disini,” jawabnya singkat dengan nada tak bersahabat. Robby mengangguk pelan dengan senyuman masih terlihat ramah. “Oh … iya, Om …”             Dia pikir, dia sudah puas berkenalan langsung dengan wajah pria pengkhianat. Jika saja dia tidak memiliki kekasih, dia sudah membuat pelajaran dengan Ayah Naswa dan selingkuhannya itu, pikirnya. “Om, saya duluan yah. Takut telat,” ucapnya seraya membuat alasan lain. Dan melangkahkan kakinya keluar dari sana.             Panji meliriknya dan mengangguk pelan. “Oh ya. Silahkan, Nak.” Dia tersenyum tipis dan berpura-pura merapikan rambutnya yang sejak tadi memang sudah rapi. Dia melihat bayangan pria muda itu sudah hilang dari sana. “Haahh … ganggu orang aja!” geramnya sembari memasukkan kembali sisirnya ke dalam saku celana panjang hitamnya.             Dia keluar dari toilet dengan terus memantau ke setiap sudut ruangan. Mewaspadai dirinya dari bayangan teman putrinya.             Setelah dia meyakinkan dirinya bahwa pria bernama Robby itu tidak ada disana, dengan leluasa dia berjalan kembali menuju meja yang ada disana. “Sayang, da pesan makanan?” …             Robby keluar dari toilet itu dengan senyuman tipisnya. Dia tidak menyangka jika pria itu benar-benar bermuka dua.             Bagaimana dia tidak semakin kasihan terhadap Naswa, sebab Ayahnya saja masih mau bermain panas dengan perempuan lain diluar rumah. Tidak peduli, dia melangkahkan kakinya keluar dari restauran itu.             Tidak ingin mengintip dan penasaran dengan tingkah laku pria tua itu. Sebab pria itu sudah pasti pernah melakukan hal gila dengan selingkuhannya.             Saat dia hendak melangkah menuju parkiran mobil, ponselnya berdering. Dddrrrtttt…             Dia langsung melihat layar ponselnya. Bg Pai is calling…             Keningnya berkerut dan langsung menggeser warna hijau yang ada disana. “Hallo … ada apa, Bang?” “…” “Sekarang?” “…” “Oke, aku kesana.” “…” “Iya, ini aku hubungi mereka.” “…” “Siipp!” Tutt… Tutt… Tutt…             Setelah panggilan telepon terputus, Robby melebarkan langkah kakinya menuju mobilnya. *** Beberapa jam kemudian., Cambridge Hotel, Medan, Indonesia., VIP Room., Sore hari.,             Dia sudah selesai berenang, dan memilih untuk pergi ke kamar. Dia mengatakan pada Daniel dan Erine jika dirinya mau membersihkan diri lebih awal.             Beginilah jika dia liburan singkat dengan teman-temannya. Dia pasti akan membeli barang-barang secara mendadak, sebab dia tidak suka membawa barang lebih di mobilnya sebagai pengganti.             Tidak menampik hatinya, dia masih memikirkan kejadian tadi siang dan juga percakapan langsung antara Ayahnya dengan wanita selingkuhannya. Dia tidak menyangka jika Ayahnya tetap bersih keras untuk menjalin hubungan terlarang itu dibelakang sang Mama. … Beberapa menit kemudian.,             Setelah dia selesai membersihkan diri, dia duduk termenung di sudut ruangan, diatas sofa kecil berwarna coklat muda. Dengan pandangannya melihat ke arah luar.             Tidak terasa, air matanya kembali menetes disana. Walau tak berekspresi, wajah tersirat kekecewaan yang sangat mendalam. Dddrrrtttt…             Ponsel yang tengah dia pegang berdering. Dia langsung melihat ke layar ponselnya. Bg Rangga is calling…             Tanpa berpikir dan berniat untuk menyapa panggilan yang masuk, dia langsung menonaktifkan ponselnya. Melempar ponselnya ke sofa yang ada disebelahnya.             Dia kembali memeluk kedua lututnya yang tertekuk. Melemaskan kepalanya disana.             Kedipan kedua matanya berulang kali membawa syarat kelemahan dari dalam diri seorang Naswari Ayudya. Wanita yang dianggap cerdas dan kuat, bahkan tak takut apapun.             Namun, pada kenyataannya dia akan lemah jika sudah berurusan dengan masalah keluarga. …             Daniel dan Erine curiga kenapa Naswa tak kunjung menghampiri mereka lagi di kolam renang. Saat mereka masuk ke dalam kamar Naswa, mereka melihat Naswa tampak termenung disana.             Mereka ingin sekali menghiburnya, namun saat Daniel mendapat pesan masuk dari Robby. Mereka berdua langsung pergi menuju pintu utama. … Ceklek…             Suara pintu terbuka bahkan tidak membuat Naswa tersadar dari lamunannya. Pria itu langsung berjalan mendekati wanita yang masih tampak meringkuk dan menikmati lamunannya.             Dia berjongkok di sisi kanannya, dan menyapu helaian rambut yang menutupi keningnya. “Kenapa melamun, hmm?” tanyanya dengan suara sangat lembut.             Naswa tersentak dan langsung menegakkan kepalanya. Dia melihat ke arah kanannya. Deg!             Spontan kedua matanya memerah. Dia tertegun. “Abang??” sapanya lirih.             Pria itu tersenyum manis dan sedikit meninggikan tubuhnya untuk menerima pelukan mendadak dari Naswa. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD