bc

Rinjani in Love

book_age12+
226
FOLLOW
1K
READ
comedy
twisted
sweet
humorous
like
intro-logo
Blurb

Akila menerima tantangan oleh teman-temannya untuk menaiki gunung Rinjani, dia mengikuti tantangan itu dan terjatuh saat pendakian. Beruntungnya dia bertemu dengan Nathan, anak laki-laki yang gentle dan membantunya selamat dari dinginnya hawa pegunungan.

chap-preview
Free preview
BAB 1
Akila seorang remaja SMA yang kini sedang di gunung Rinjani bersama teman-temannya untuk bersiap mendaki, mereka semua saling tersesat di Gunung Rinjani. Mereka semua mendaki karena Akila menerima tantangan sahabatnya untuk mendaki. Awalnya persahabatan Akila dengan teman-temannya baik-baik saja, sampai akhirnya Akila dikhianati karena hubungan yang toxic ini, dia ingin melepaskan persahabatannya dengan syarat menerima tantangan mereka harus mendaki gunung Rinjani ini. Akila selalu dirampas uangnya, dibully dan dicaci maki. Wajah Akila memanas, tubuh dia bergetar, tangannya mengepal erat rasa ingin meninju orang yang membuat dirinya sampai semarah ini. Awalnya orang yang benar-benar dia anggap sahabat kini benar-benar membuat dia hilang akal, Akila telah memberikan apa pun yang mereka inginkan, tapi? Mereka malah seperti ini. Akila menatap semua temannya, Jasmine, Sila dan Feby. Orang yang benar-benar dia percaya? Berkhianat seperti ini. Sungguh, Akila gadis yang malang. "Gue, enggak nyangka kalian bakal kayak gini," ujar Akila. Mereka semua saling bertatap-tatapan mendengar penuturan Akila. "Andai dari awal gue tau kalian seperti apa! Gue enggak bakal pernah berteman dengan kalian! Sedetik pun!" bentak Akila. "Terus lo sekarang mau apa?" tanya Jasmine. Akila menggeleng. "Gue enggak mau apa-apa, gue cuman marah sekaligus kecewa sama kalian." "Terus lo pikir kita peduli? Malang banget sih nasib lo," ujar Sila. Feby tersenyum miring. "Lo itu emang cuman kita manfaatin, soalnya lo terlalu lugu sekaligus terlalu kaya." "Tapi lo enggak rugi kok, berteman sama kita asik kan? Lagian selama ini kita enggak pernah nyakitin lo kok," ujar Jasmine. "Ha? Enggak pernah? Sekarang? Sekarang apa?!" bentak Akila. "Eh lo jangan ngebentak gue!" kesal Jasmine. "Terus lo maunya apa? Mau gue baikin? Setelah apa yang kalian perbuat sama gue? Setelah gue mendengar semuanya? Lo masih lau dihargai? Punya perasaan enggak sih lo?" tanya Akila. Jasmine ingin menampar Akila tapi tertahan oleh Feby. "Setidaknya ini sama rata dengan pertemanan kita dulu, lagian lo kaya enggak bakal miskin kalau belanjain kita," ujar Feby. Akila membuang mukanya. "Asal lo tau ya. Gue hidup bukan buat bahagian lo! Jadi jangan berharap terus deh," ujar Akila. Akila berusaha meredakan emosinya agar tidak membuat keributan di kampusnya. "Lo jangan sok-sok-an jadi belagu deh, apa-apa pasti perlu kami bertiga. Lo itu enggak punya teman selain dari kita, lo anak manja, egois, susah diatur." Itulah kalimat yang dilontarkan Jasmine kepada Akila. "Gue egois? Susah diatur? Terus kenapa kalian mau berteman sama gue? Oh kalian mau jadi tempat keegoisan gue? Kalian mau jadi babu gue?" tanya Akila sambil bersedekap. "Najis! Kalau bukan karena uang lo, kita bertiga enggak bakal jadi teman lo, lo harus tau itu!" bentak Feby. "Oh? Semiskin itukah kalian? Sampai mau memeras gue? Kalian enggak punya orang tua yang kaya ya? Enggak berpenghasilan kayak keluarga gue?" tanya Akila. "Jangan sombong deh lo, harta keluarga enggak usah disombongin," ujar Sila. Akila tertawa hambar. "Terus? Lo maunya gue kayak gimana? Mau berwibawa? Mau ngerendahin diri depan kalian? Ogah! Orang kaya kalian mau dihargai? No! Kalian saja tidak tau menghargai, mana bisa dihargai," cibir Akila. Jasmine mulai maju, memegang dagu Akila erat membuat Akila harus berdongak ke atas. "Jaga ucapan lo! Kalau lo mau selamat dari kami bertiga. Kami enggak akan segan-segan buat lo menderita selama di sini. Camkan itu," ujar Jasmine dengan menekan setiap katanya. Akila menepis kasar tangan Jasmine. "Selagi gue punya keluarga, kalian enggak bisa ngapa-ngapain gue! Gue bisa saja buat kalian keluar dari kampus ini," ujar Akila. Jasmine kembali bertindak, ia memegang erat tangan Akila hingga, Akila meringis kesakitan. "Lo pikir kita takut? Ancaman lo basi tau enggak, punya bukti apa lo? Enggak ada kan? Jadi mending lo diam aja kalau masih mau berteman sama kita," ujar Jasmine yang masih belum melepas cekatannya. "Iya, kalau masih mau temenen sama kita, mending ikutin aja kemauan kita. Enggak usah banyak bacot dan banyak tingkah. Kita enggak suka dibantah," ujar Sila. "Argh! Lepasin sakit!" bentak Akila terhadap Jasmine. Jasmine melepasnya dengan kasar, Akila mengelus-elus tangannya. "Lo emang kasar, jangan main keroyokan. Gue sendiri kalian bertiga mana impas," ujar Akila. Mereka bertiga saling tatap-tatapan. Lalu tertawa seolah mengejek Akila yang berdiri seperti orang gila. Menurut mereka. "Enggak ada yang lucu, jangan kayak orang gila ketawa tanpa kejelasan," ujar Akila. "Hey! Diam, ini terserah kita mau nya gimana dong, kan lo emang enggak ada temen, jadi wajar kalau lo diserbu sama kita-kita," ujar Feby. "Cuih. Dasar bocah, taunya keroyokan doang," ujar Akila. PLAK! Satu tamparan mendarat di pipi Akila. Dan pelakunya adalah Feby. "Jaga omongan lo, kita tadi masih nahan ya. Jangan sampai lo mati di sini," ujar Feby. Akila memegang pipinya yang panas karena tamparan. Akila yang tidak terima langsung mendorong tubuh Feby. "Lo jangan main fisik, kalau gue pakai mulut lo juga pakai mulut dong!" ujar Akila. Feby yang terdorong, malah mendorong balik Akila. "Oh, hebat lo jago ya sekarang?" tanya Feby sambil bersedekap. PLAK! Akila menampar balik Feby. Feby memegang pipinya yang terasa panas. "Balasan. 1 sama, bukan?" tanya Akila. "Berani-beraninya ya lo!" bentak Feby hendak memukul Akila tertahan oleh Jasmine. "Apa-apaan sih, tadi lo mau mukul, gue tahan kenapa sekarang lo balik nahan gue?" tanya Feby. Jasmine sama seperti tadi, memegang dagu Akila. "Lo maunya gimana? Masih mau ngelawan?" tanya Jasmine. Akila belum menjawab dia hanya memandang mata bulat Jasmine dengan lekat. Orang yang sempat dia percaya kini seperti ini. Akila hampir meneteskan air mata, tapi dia berusaha untuk menahannya. Akila menepis tangan Jasmine. "Kalian keterlaluan, awalnya baik ternyata kebaikan kalian punya makna tersembunyi, makna yang membuat gue benci sama kalian." "Tau enggak? Kalian itu enggak pantas disebut manusia tau enggak! Perilaku kalian seperti iblis. Enggak punya hati," ujar Akila. Mereka bertiga diam, mendengarkan penuturan Akila. "Untuk kali ini, gue enggak bakal lagi mau diperas, walau hanya sedikit. Mungkin untuk sebelum-sebelumnya gue ikhlasin buat pengemis kayak kalian," ujar Akila. Jasmine menarik Akila mendekat padanya. "Maksud lo? Lo pikir kita bakal bebasin lo begitu saja? Kita akan terus meras lo, kalau lo enggak mau? Siap-siap enggak tenang di sini," ujar Jasmine. "Lo kasar! Lo bukan cewek!" ujar Akila. "Oh ya? Lo juga kasar kok. Buktinya tadi lo nampar Feby, bunyinya lumayan keras, sakitnya mungkin lumayan juga. Apa bedanya lo dengan gue?" tanya Jasmine. "Jelas beda, kasta aja beda. Lo di mata gue kayak pengemis tau enggak! Ngemis dengan cara memeras, lo dan orang-orang di pinggir jalan sana sama aja. Bedanya dia meminta dengan muka kasihan, beda dengan kalian meminta dengan cara kasar, licik dan tak berperikemanusiaan!" ujar Akila. Sila yang sedari tadi diam kini ikut campur. "Hey! Sadar enggak? Lo itu bodoh, iya bodoh. Mau dibodoh-bodohin!" ujar Sila. Akila memutar bola matanya malas. "Ha? Gue bodoh? Iya sih. Gue bodoh bisa percaya sama orang kayak kalian, haha!" ujar Akila diikuti dengan tawa hambarnya. "Iya, lo bodoh!" ujar Jasmine. "HAHAH!" Tawa mereka bertiga pecah di depan Akila. "Basi! Bodoamat, gue bodoh atau apa. Gue cuman minta sama kalian, buat berhenti memeras gue. Kalau enggak gue bakal lapor ini semua," ujar Akila. "Lo mau lapor apa? Ha? Lo enggak ada bukti beby," ujar Jasmine. "Lo perlu bukti? Oke," ujar Akila. "Nih! Bukti!" Akila memperlihatkan rekaman yang sedari tadi ada di saku bajunya. Mereka bertiga saling tatap menatap melihat tingkah Akila yang menurut mereka sangat memuakkan. "Lo pikir, pihak kampus bakal semudah itu? Ingat! Sekarang dunia itu sangat canggih, bisa saja itu settingan?" tanya Jasmine. "Kila, kila, gue kasihan deh liat lo, lo itu bodoh banget ya. Jangan sampai deh kebodohan lo itu bisa buat lo terjatuh, gue saranin belajar yang banyak jangan cuman berfoya-foya," ujar Feby. Akila memegang erat handphonenya. Menahan semua kekesalannya, membatin kenapa dirinya bisa sampai seperti ini. Dia memang seperti orang bodoh di antara orang-orang licik ini. Akila menunduk, berusaha untuk mengumpulkan semua ucapan yang akan dia lontarkan kembali. "KALIAN PERNAH JADI ORANG YANG PALING GUE PERCAYA, ORANG YANG PERNAH GUE ANGGAP SANGAT BAIK, TERNYATA KALIAN CUMAN MANFAATIN GUE," kesal Akila dengan nada suara yang tinggi. "Kurang baik apa gue sama kalian? Sampai kalian tega giniin gue? Gue enggak pernah sekali pun jahatin kalian. Please! Berhenti! Berhenti kayak gini!" ujar Akila. "Kil, gue rasa lo penuh dengan drama deh," ujar Feby sambil berputar-putar mengelilingi Akila sambil memegang dagunya. "Hem, lo emang baik sih. Gue rasa kita semua baik. Cuman waktu dan hari ini aja yang enggak tahu kenapa, bisa jadi kayak gini, andai aja lo enggak dengar semuanya. Semuanya bakal baik-baik saja," ujar Feby. "Iya semuanya bakal aman-aman aja, enggak terjadi perdebatan yang serius apalagi tindakan k*******n seperti tadi," ujar Sila. "Haha. Gue itu punya perasaan, punya hati, kalian ngerti?" tanya Akila. "Sepertinya enggak," ujar Sila. "Iya, kalian emang susah ngertiin seseorang, kalian cuman mau dingertiin. Egois," ujar Akila. "Sadar diri," ujar Feby lalu merebut handphone milik Akila. "Gimana? Gue jago enggak?" tanya Feby lalu memberikan handphone itu pada Jasmine. Akila menggeleng keras, lalu maju di hadapan Jasmine. "Mau lo apa?" tanya Jasmine. "Gue cuman mau kalian berhenti ganggu dan meras gue," ujar Akila. "Enggak, no no, sulit. Sulit banget," ujar Jasmine sambil menggeleng-gelengkan kepalanya di depan Akila. "Sabar ya, Killa." Sila tersenyum lebar. "Siniin handphone gue!" kesal Akila. "Ambil aja nih," ujar Jasmine lalu melempar handphone milik Akila ke genangan air. Lalu dengan cepat Jasmine menginjak-injak handphone itu hingga layarnya pecah. Akila menatap Jasmine dengan tatapan yang sulit diartikan sama sekali. "Kenapa lo natap gue kayak gitu?" tanya Jasmine. "Gue benar-benar heran sama sikap lo semua," kesal Akila. Akila yang sudah tidak tahan dengan perilaku orang di depannya dengan cepat mendorong keras Jasmine hingga tersungkur di tanah. Lalu mendorong Feby sekeras mungkin. Lalu menendang Sila dengan sekuat tenaga. "Kalian semua orang jahat! Enggak punya perasaan sama sekali," ujar Akila. Jasmine berdiri lalu menarik keras rambut Akila. Hingga Akila menjerit kesakitan. "HAH! Lepasin enggak!" Akila berusaha memberontak. Akila menendang lutut Jasmine hingga dia terjatuh, Feby langsung memegang tangan Akila dan memutarnya kebelakang. Dibantu dengan Sila, hingga Akila sama sekali tidak bisa bergerak. "Lepasin enggak! Atau gue teriak!" ujar Akila. "Teriak aja, kalau bisa," ujar Sila. Akila berusaha memberontak dengan keras, namun nihil. Jasmine yang langsung memegang dagu Akila. "Lo enggak bisa apa-apain kita, selagi kita bertiga dan lo cuman seorang!" ujar Jasmine. Jasmine menatap mata Akila dalam. "Lo emang baik, Kil. Sayangnya sikap lo itu yang merubah keadaan sekitar lo! Dan satu lo itu lugu banget," ujar Jasmine. "Kalian hanya bisa memanfaatkan keluguan dan harta gue! Kalian enggak bisa memahami makna pertemanan dan persahabatan yang sejati, karena di otak kalian hanya uang! Uang dan uang!" ujar Akila masih berusaha memberontak keras. "Emang, kita itu berbeda Kil. Lo terlalu kaya untuk kita. Kita emang kaya, tapi tak sekaya kamu," ujar Jasmine. Sila dan Feby hanya sibuk memegangi Akila. "Please, kalian pernah jadi objek semangat gue. Sekarang, enggak. Kalian sadar enggak? Sikap kalian bisa berakibat fatal," ujar Akila. "Lo terlalu memberontak, Kil. Kita enggak sanggup liat lo kayak gini," ujar Sila. "Terus kalian maunya apa?!" tanya Akila dengan penuh penekanan dengan badan yang terus digerakkan agar lepas dari Sila dan Feby. "Lo cukup diam, dan nikmatin seperti biasa," ujar Jasmine. Akila menggeleng, lalu mengeluarkan air bening dari pelupuk matanya. "Kalian, cukup." Akila diam mengambil nafasnya karena terlalu capek bergerak. "Huft ...." "Gue terima apa pun, tantangan yang kalian berikan, asal satu kalian enggak usah lagi meras atau apain gue. Gue mau kita menjalani hidup sana seperti teman-teman umum. Bukan karena alasan," ujar Akila. "Please, gue terima apa pun." Akila mulai pasrah dengan keadaannya. "Kalian itu pernah jadi orang baik, hanya harta saja yang membuat kalian jadi seperti ini," ujar Akila. "Lepasin gue, kalau emang kalian masih punya hati nurani," ujar Akila. Sila mulai melepas pegangannya. Feby menatap Sila, dan mengikuti pergerakan Sila. "Banyak kata-k********r yang lo ucapin tadi. Killa, lo sadar enggak?" tanya Jasmine. "Gue manusia biasa, enggak sempurna' seperti malaikat, enggak bisa jadi seperti apa yang kalian mau, karena gue bukan robot kalian! Gue manusia," ujar Akila. Akila duduk di rumput karena terlalu lelah berdiri. Jasmine menatap Akila. "Oke, kita baikan. Asalkan lo bisa menaklukkan gunung Rinjani, gue jamin kita akan berteman seperti teman-teman pada umumnya." "Satu hal, gue enggak gila harta. Gue cuman manfaatin apa yang bisa dimanfaatkan," ujar Jasmine tersenyum miring. "Gunung Rinjani?" tanya Akila. "Iya. Lo harus bisa taklukin," ujar Jasmine. "Nah, ini salah satu tantangan seru, kita bakal nemenin lo. Sekalian jalan-jalan," ujar Sila. "Gila. Kenapa dari tadi enggak seperti ini setelah perdebatan yang membuang-buang tenaga?" tanya Akila. "Ck, biar lo sadar diri." Jasmine bersedekap. "Terserah, gue terima. Sesuai dengan tantangan itu, kalau gue berhasil, maka kalian harus bisa berteman secara profesional," ujar Akila. "Tenang, gue orangnya enggak ingkar janji. Satu hal, lo jangan manja di sana. Professional, seolah kita mendaki bukan karena tantangan, tapi mencapai tujuan," ujar Jasmine. Akila menatap Jasmine. "Oke. Gue setuju," ujar Akila. "Okey, jalan-jalan," ujar Sila. "Btw, di sana dingin banget enggak?" tanya Feby. "Kenapa emang?" tanya Jasmine. "Gue cuman nanya," ujar Feby. Terjadi keheningan dari mereka semua, tidak ada lagi yang bersuara. Kini mereka saling tatap-tatapan. "Hem. Okey, kita pergi besok." Akila menatap semuanya. Mereka semua mengangguk. Mereka berempat sepakat, Akila menerima tantangan dari ketiga temannya itu dengan persyaratan tertentu. "Gue mau balik," ujar Akila. "Iya." Akila yang setelah berantem hebat dengan teman-teman, yang hampir menjadi mantan temannya. Kini berakhir dengan sebuah tantangan. Yang seharusnya, Akila pikirkan untuk beberapa kali pemikiran. "s**l, mereka ngejebak apa gimana ya? Gue mana bisa ke gunung, orang tua gue pasti ngelarang," ujar Akila sambil berdecak kesal. "Huft, namanya juga tantangan. Gue terima, dan harus lakuin. Hitung-hitung juga ini buat diri gue," ujar Akila. Akila membereskan barang-barangnya lalu beranjak keluar dari kampusnya. Dia berjalan menuju parkiran, untuk mengambil mobilnya. Dengan langkah cepat dia sudah sampai di sana. Akila masuk dan mulai menyalakan mesin mobilnya dan melajukannya menuju rumah, tempat peristirahatan sementara dia. Di dalam mobil dia menyetel lagu kesukaannya untuk memperbaiki moodnya yang sempat hancur tadi. Tak butuh waktu lama dia sampai di rumahnya. Memarkiran mobilnya di pekarangan rumah, turun lalu beranjak masuk ke dalam rumahnya. "Udah pulang?" tanya Mamanya. Akila mengangguk lalu naik ke atas kamarnya. Mamanya hanya menggeleng dengan respon yang diberikan anaknya kepada dirinya. Akila masuk di kamarnya, membuang tasnya lalu merebahkan tubuhnya di kasur king-nya itu. "Hem. Gue harus bawa apa ya besok? Gue kan enggak punya perlengkapan lengkap soal daki mendaki," ujar Akila lalu bangkit dari tidurnya. Dia mengamati kamarnya yang luas itu melihat-lihat barang yang bisa dibawanya besok, walaupun tidak lengkap setidaknya ada persiapan. "Gue harus bawa jaket, korek, senter, sleeping bag, tas besar, sapu tangan, makanan, minuman," ujar Akila. "Tapi? Ini aja pasti enggak cukup deh. Hem gimana ya?" Akila berusaha berfikir untuk barang yang akan di bawahnya besok. Akila mondar mandir membuka lemari dan rak-rak miliknya, melihat beberapa barang yang terlintas di otaknya. Ya untuk dia bawa besok hari. Dia melirik jamnya sudah menunjukkan pukul 6 sore. Waktunya dia mandi dan bersih-bersih. Dengan cepat Akila masuk ke kamar mandinya. -oOo- "Eh, Btw. Kira-kira si Akila bisa enggak ya?" tanya Sila. "Ini udah jadi resiko dia lah, terserah mau kayak gimana dia. Gue enggak peduli," ujar Feby. "Iya sih, cuman dia kan pasti dilarang, enggak jadi deh jalan-jalannya," ujar Sila. "Hem, dia pasti bisa. Dia juga nerima tantangan itu dengan senang hati," ujar Feby. Sila mengangguk, lalu kembali membereskan barang-barang untuk kepergian dia besok bersama Feby, mereka menyiapkan barang-barang bersama. Setelah selesai berkemas, mereka berdua juga sudah mengabari orang tua mereka bahwa mereka akan berangkat ke gunung untuk mendaki. Sila dan Feby selalu bersama, kadang-kadang Jasmine ikut berkumpul, tapi kadang-kadang pula dia punya kesibukan pribadi. "Temenin gue beli makanan buat besok yok," ujar Feby. "Tapi traktriin gue ya?" tanya Sila. "Ogah, lo kan punya duit sendiri. Pakai lah uang lo, jangan minta ditraktir mulu," ujar Feby ketus. "Yaelah kayak lo enggak tau gue aja," ujar Sila. "Ish, yaudah gue sendiri aja deh." Feby hendak pergi tapi tertahan oleh Sila. "Eh, hehe. Gue cuman bercanda, lagian gue juga mau beli. Sekalian aja, yuk," ujar Sila lalu pergi berjalan meninggalkan Feby yang sedang menggelengkan kepalanya. Di perjalanan mereka hanya berbincang santai, jarak Indomaret dan rumah Feby enggak terlalu jauh. Yang membuat mereka memilih untuk berjalan kaki saja. Tak cukup waktu lama, mereka pun pulang. Menyimpan makanannya di dalam tas dan beranjak tidur di kasur empuknya. Berbeda dengan Akila dia baru saja terbangun dari tidurnya karena kecapean. Jadi dia memilih untuk membawa perlengkapan seadanya saja. Yang memenuhi dengan barang-barang yang ada di rumahnya. Untuk malam ini, tidak memungkinkan dirinya keluar mencari alat-alat pendakian. Melihat jam sudah jam 9 malam waktu untuk beristirahat. Akila menatap ransel miliknya yang sudah dipenuhi barang lalu menghela nafas lega. "Gue harus bilang apa ya besok?" tanya Akila pada dirinya sendiri. "Hem, besok gue langsung pergi aja deh, bawa mobil sendiri," ujar Akila. "Handphone gue dimatiin selama di sana, lagian jaringan enggak ada." Akila keluar dari kamarnya, rumahnya sudah sangat sepi. Ibu dan Ayahnya juga sudah tertidur di kamarnya. Akila dengan cepat mengambil makanan buat keperluan besok. Dia membuka lemari makanannya, mengambil cemilan yang sangat banyak. Terkadang dia heran kenapa ibu dan ayahnya mau membeli makanan sebanyak ini, padahal di rumah hanya ada mereka bertiga saja. Setelah mengambil makanan, Akila menutup lemarinya dan tak sengaja menyenggol vas bunga di sampingnya. Yang menimbulkan bunyi yang lumayan keras. Pecahan kaca berserakan di mana-mana, membuat Akila panik. Dia menoleh ke pintu kamar ayah dan ibunya sepertinya aman. "Mampus, untung deh." Akila membereskan pecahan itu lalu kembali naik ke kamarnya. Dengan langkah yang sangat cepat dia sampai di kamar besarnya itu. "Selamat," ujarnya ngos-ngosan. Akila memasukkan makanan di dalam tasnya. Lalu menidurkan badannya di kasur. Berusaha untuk tidur kembali, untuk memulai hari baru. Sunyi, sepi sekarang. Hanya ada detikan jam dinding saja yang mengisi malam. –oOo– Jam beker berbunyi nyaring di kamar Akila membuatnya terbangun, melirik jam sudah jam 6, dirinya harusnya bangun jam 5. Dia langsung masuk ke kamar mandi membawa handuk, Mamahnya di bawah sudah memanggil dirinya. Akila turun dengan pakaian natural saja belum memakai jaket, sapu tangan atau hal-hal yang berkaitan dengan pendakian. "Kamu kuliah hari ini?" tanya Mamanya. "Iya mah, tugas banyak banget. Oh ya aku ada praktek nih, buat penambahan point aku, jadi kemungkinan aku enggak pulang entar," ujar Akila. "Segitunya? Atau perlu papa cariin orang yang bisa bantuin kamu? Supaya enggak keluar rumah?" tanya Papanya. Akila menggeleng keras. "Enggak usah Pah, Mah, aku bisa kok. Jangan berlebihan, aku udah besar," ujarnya. Papa dan Mamanya hanya saling tatap-tatapan dengan jawaban putri tunggalnya itu. "Oh ya, mama sama papa mau pergi dulu. Kamu jaga diri," ujar Mamanya lalu mengelus pelan pucuk kepala anaknya. Begitupun dengan papanya. Akila hanya mengangguk manis. Akila menatap kepergian ayah dan ibunya sampai benar-benar keluar dari rumahnya. Sampai tak terlihat, Akila menghela nafasnya. "Yes!" Akila berlari ke kamarnya lalu mengambil tas memakai jaketnya, dan keluar rumah. Saat dia berada di ujung tangga, Mamanya masuk ke rumah, Akila yang terkejut langsung bersembunyi. "Mati gue," ujar Akila. "Handphone mama ketinggalan, Kil. Mama pergi bye baby." Mamanya langsung berjalan keluar, Akila mengintip. Dan berjalan perlahan ke pintu rumahnya. Mobil ayah dan ibunya sudah tidak ada lagi, dia mengunci rumahnya lalu masuk ke dalam mobilnya. Dengan laju yang stabil dia melaju menuju rumah Jasmine, kata Sila dan Feby, mereka berada di sana. Jadi Akila hanya perlu ke rumah Jasmine saja. Jarak rumah Akila dan Jasmine lumayan jauh, sekitaran 15–20 menit baru sampai. Akila seperti biasa menyetel lagu kesukaannya di sepanjang perjalanan. Mengulang-ulang sampai 5 kali, tanpa kejenuhan sama sekali. Dia berhenti untuk mengisi bahan bakar, setelah itu dia lanjut melaju ke rumah Jasmine. Sekitaran 17 menit dia sampai di rumah Jasmine. Sudah ada Sila, Feby dengan tas-tas yang mereka bawah. Akila turun dari mobilnya, lalu berjalan ke teman-temannya. "Lo diizinin kan?" tanya Jasmine. Sila dan Jasmin sibuk bolak-balik mencari keberadaan teman mereka, yaitu Akila dan juga Feby. "Ish! Mereka di mana sih? Kok kita bisa berpencar kayak gini?" tanya Jasmine dengan mata yang yang menatap ke sana kemari. "Gue juga enggak tau b**o, kok malah ngegas sih," celetuk Sila. "Orang kita di hutan kayak gini! Mereka malah lambat," kesal Jasmine. Sila menghela nafasnya kasar, sambil mengubah raut wajah menjadi raut yang wajah yang penuh dengan beban. Jasmine menatap ke arah Sila dengan tatapan yang sulit diartikan. "Yaudah coba kita cari ke sana," ujar Jasmine sambil menunjuk ke arah kiri. "Yakin lo? Entar kita tersesat lagi, gue enggak mau ya," ujar Sila. "Dari pada kita diam di sini! Enggak bakal ketemu mereka," ujar Jasmine. "Ish, iya-iya mana gue capek banget lagi, belum lagi ke gunungnya udah ada masalah," kesal Sila. "Lo ngeluh mulu." Jasmine mulai berjalan diikuti oleh Sila. "Dih, situ juga tadi ngeluh," cibir Sila. Jasmine tak menghiraukan perkataan Sila ia tetap berjalan. Sila yang kini diam juga ikut serius dengan keadaan mereka sekarang. "AKILAAAAAAA," teriak Jasmine. Sila juga mulai memanggil Feby berharap mereka ada di sekitar sini. Mereka masih sibuk mencari, sampai Sila mengeluh ingin istirahat sebentar. "Gue capek, lo enggak capek?" tanya Sila. "Sama sih, yaudah deh kita istirahat di bawah pohon itu aja," ujar Jasmine. Sila dan Jasmine duduk sebentar sambil meminum, minuman yang mereka bawa. "Hari udah mau gelap, lo yakin mau cari mereka?" tanya Jasmine. Sila awalnya ragu, tapi dia memikirkan satu hal. Mereka pergi berempat? Pulang juga harus berempat. "Kalau gue sih masih sanggup, sejam lagi udah jam enam nih, semoga kita bisa nemuin mereka deh," ujar Sila. Mereka pun kembali melanjutkan pencarian mereka, selama berjalan mereka terus memanggil-manggil nama Akila dan Feby berharap mereka bisa mendengar panggilan mereka. "Ya Allah, sumpah ya. Ini hutan luas banget, kita susah nemuin kalau kayak gini," ujar Sila. "Bisa enggak lo jangan ngeluh? Dari tadi yang isi suara di hutan ini cuman elo!" kesal Jasmine yang masih menatap sahabat di sampingnya ini. "Kayak lo enggak tau gue aja," ujar Sila. Jasmine memutar bola matanya malas lalu melanjutkan jalannya meninggalkan Sila. Tersadar sebentar, akhirnya Sila mengikuti Jasmine kembali. "Ih, lo kenapa ninggalin gue sih?" tanya Sila. "Gue enggak ninggalin," ujar Jasmine. "Terus tadi apa? Kalau gue juga hilang gimana? Kalau gue sendiri terus ada sesuatu gimana? Kalau misalnya gue dimakan sama mahluk yang tak kasat mata gimana?" Sila terus berceloteh sampai akhirnya Jasmine menutup mulut sahabatnya ini. "Lo bisa diam enggak? Kalau lo ngomong mulu, kita enggak bakal ketemu sama Feby dan Kila," ujar Jasmine. "Lo kenapa sih? Sensi banget dari tadi, lo lagi PMS ya?" tanya Sila. "Sila! Ini bukan waktunya bercanda, teman kita hilang, kita harus cari mereka sampai dapat lo malah habisin waktu ngobrol yang enggak jelas kayak gini," ujar Jasmine. "Ya kan gue cuman mau mengisi dengan sedikit hiburan, dari pada kita kebawa keseriusan enggak ada namanya lelucon, bisa hangus otak lo," ujar Sila. "Apaan sih enggak jelas banget jadi orang, ini lo mau lanjut apa enggak? Kalau enggak gue tinggal mau?" tanya Jasmine. "Eh enggak." Sila akhirnya pasrah, sebenarnya dia lagi capek-capeknya seharusnya dia sekarang istirahat, rebahan, makan cemilan, nonton drakor, tapi terhalang semua karena ini. Hari sudah mulai larut, hutan tambah sepi, Jasmine dan Sila belum berhenti mencari keberadaan sahabatnya itu. Sekarang hanya ada suara hewan-hewan yang biasa di hutan, membuat Sila dan Jasmine pucat seketika. "Itu apa, Min?" tanya Sila sambil memegang erat tangan Jasmine. "Positif thinking aja, Gue juga enggak tau apa itu b**o," ujar Jasmine. Suara itu semakin mendekat membuat mereka menutup mata dengan erat. Tapi sayangnya, Sila lari meninggalkan Jasmine. Jasmine yang merasa tidak dipegang lagi langsung membuka matanya melihat Sila yang sudah lari di depan sana. Jasmine dengan cepat memotong jalan. Jasmine berhasil memotong jalan, akhirnya sampai di hadapan Sila. "Lo kenapa sih? Main ninggalin aja," ujar Jasmine. "Em, enggak," jawab Sila dengan gugup. "Ck, kita harus nyari ke mana lagi nih?" tanya Jasmine sambil mengamati jalan di sekitar hutan ini. "Lah kok? Kita ada di sini? Kok kita kembali ke tempat awal?" tanya Jasmine. Sila yang sadar akhirnya ikut memperhatikan. "Ini semua gara-gara elo! Seandainya tadi elo enggak lari, mungkin kita udah jauh dari sini," kesal Jasmine. "Mana gue tau, gue tadi enggak sempet mikir mau lari ke mana," ujar Sila. "Ish, kalau kayak gini makin sulit deh nyari jejak mereka, mana kita bukan ahli pendaki lagi, malah kesesat dan berpencar," ujar Jasmine pasrah akhirnya dia duduk di tanah, Sila yang ikut berjongkok merasa bersalah akan tadi. "Maaf ya, seandainya tadi gue enggak lari mungkin kita udah jauh dari sini, mungkin udah ada tanda-tanda mereka juga," ujar Sila. Jasmine menatap Sila lekat. Lalu kembali menatap ke arah depan. "Hari udah malam, Sil. Kita juga udah capek, dan yang tadi juga bukan salah lo kok, lupain aja," jelas Jasmine. "Gue masih kuat buat nyari mereka kok, atau gue aja yang nyari? Lo istirahat aja," ujar Sila. "Eh, ini udah malam, udah gelap, mana senter cuman satu lagi yang lain di hawa sama Feby dan Akila," ujar Jasmine. Sila memanyunkan bibirnya sambil berdecak pasrah. "Terus kita mau gimana?" tanya Sila. "Gue mikir dulu," ujar Jasmine. Setelah beberapa menit akhirnya mereka memutuskan untuk kembali berjalan, mencari Feby dan Akila. "Kalau ada apa-apa lagi, jangan lari harus berani, masa lo takut sih?" tanya Jasmine. "Iya-iya gue khilaf," ujar Sila sambil memegang ranselnya dengan kedua tangannya. Kembali seperti awal, mereka berjalan sambil memanggil nama Feby dan Akila. Walau hari sudah malam, hanya kegelapan doang sama cahaya senter mereka tetap berani berjalan. "Hem, kemana lagi ya? Kayaknya makin banyak arah nih," ujar Jasmine. "Iya ada dua lagi, masa kita mau nyari satu persatu," ujar Sila. "Gimana kalau kita pencar aja?" tanya Jasmine. Sila sedikit terkejut tapi kayaknya itu ide yang bisa mereka pakai sekarang karena keadaan sudah semakin mendesak. Sila belum merespon sama sekali, Jasmine menunggu keputusan Sila. Dia mau apa enggak. "Enggak berani ya? Yaudah deh gue takut lo kenapa-kenapa lagi di jalan," ujar Jasmine. "Idih siapa yang takut coba?" tanya Sila. "Enggak usah bohong, entar nyesal diakhir gimana? Lagian gue juga enggak maksa kok," ujar Jasmine. "Pencar aja deh, gue ke kanan lo ke kiri aja, biasanya kanan itu bagus," ujar Sila. "Dih, yaudah. Senter lo aja yang bawa, mata gue jernih soalnya, kalau elu enggak cowok jelek aja dibilang ganteng, nanti kalau ada hantu lo malah naksir lagi," ujar Jasmine. Sila memasang muka datar. "Garing!" kesal Sila. "Dih, tumben humor lo dollar," ujar Jasmine. "Bacot deh, tadi gue ngebacot lo marah, sekarang gantian dong!" ujar Sila. "Marah aja, gue mah enggak baperan jadi orang, enggak kayak lo baperan," ujar Jasmine. "Serah lo deh, yaudah gue jalan ya? Take care," ujar Sila lalu mulai berjalan ke arah kanan. Jasmine menatap ke arah Sila sampai Sila benar-benar udah enggak kelihatan, baru dia memulai perjalanan. Di jalan, Jasmine ketemu dengan kalajengking, dia sempat panik dengan cepat mencari kayu dan mengusirnya ala ibu-ibu. "Hem, gimana ya keadaan Sila?" tanya Jasmine. Jasmine berjalan terus menerus sambil memanggil nama Akila dan Feby, ia sempat mendengar suara sesuatu, tapi dia mencoba untuk tenang dan terus mengingat Tuhan. Sekarang hanya ada suara langkah kaki Jasmine dan juga suara jangkrik di mana-mana. Angin juga sangat menusuk di kulit membuat Jasmine menggigil. Di sisi lain, Sila yang sibuk memukul-mukul senter karena mati, namun dia tetap berjalan berharap senter ini bisa menyala kembali. "Nyala dong, ini gelap sumpah gue takut," pinta Sila. "Ini udah jam 9 malam sih, udah waktunya istirahat tapi kalau gue enggak boleh lemah!" ujar Sila yang terus menyemangati dirinya sendiri. Dia mencari baterai senter, sepertinya senter dia sedang kehabisan baterai. Dengan cepat Sila memasang, akhirnya senter itu nyala kembali. "Nah, untung ada baterai, gue ambil dari Feby, di tasnya awalnya sih buat sesuatu sekarang udah kepake mana beda situasi lagi," kesal Sila. Sila mulai berjalan kembali, memanggil nama Feby dan Akila. Sila yang terus menatap ke depan akhirnya kesandung batu, tangannya tak lagi memegang senter. "Ihh!! s**l banget sih gue, mana lagi tuh senter malah ngilang," ujar Sila sambil mencari senter itu. "Ih, mana enggak ada cahaya lagi, sumpah ini hari tersial yang gue hadapin," ujar Sila. Dia mencari ke arah semak-semak bukan senter yang dia dapat melainkan kelinci berwarna putih. "Untung kelinci, bukan harimau," ujar Sila sambil memegang dadanya. "Mungkin takdir kali ya, gue nggak boleh pegang senter," ujar Sila. Sila menghentakkan kakinya dan berjalan pasrah. "Eh tunggu deh, gue cari aja gue takut nih, huwaaa ... Jasmine gue takut," teriak Sila. Bukan balasan dari Jasmine melainkan suara serigala mengaum. "Itu apaan? Astaga, gue kok mendadak panas dingin ya? Bukannya ini tempat asri ya? Enggak ada auuu," menolong Sila. "Sabar, Sil ... positif thinking aja siapa tau itu cuman orang iseng doang kan?" tanya Sila. Suara itu semakin besar, membuat Sila enggak tahan akhirnya dia buru-buru mencari senter itu, dia meraba-raba ke arah sekitar dia jatuh, tangannya sangat lincah saat sedang ketakutan. "Mana sih," ujar Sila dengan suara yang parau. "Ah ... mana dingin lagi, gue udah capek banget," ujar Sila. “Auuuu ....” Jasmine mengikat erat tali sepatunya yang bersiap mencari dengan kekuatan ekstra. Dia terus berjalan, walau sesekali berhenti untuk menetralkan kekuatan yang dia miliki. "Hu ...." Jasmine mengusap mukanya dengan pelan. Jasmine yang kini masih kuat berjalan tetap mencari keberadaan kedua temannya itu, Feby dan juga Akila. Walau dia sangat khawatir dengan sahabat satunya yaitu Sila. Tapi gimana? Toh, Sila juga yang memutuskan untuk berpencar. Awalnya Jasmine hanya bercanda, tapi ternyata Sila serius. Tapi benar jika mereka tidak berpencar mereka pasti butuh waktu yang sangat lama buat menemukan Feby dan Akila. Jasmine termasuk tipe yang cuek, kadang ada suara-suara yang membuat insan terusik, sayangnya Jasmine hanya terus berpikir positif saja. Ini yang membuat dia, menjadi seorang pemberani. "Kayaknya, mereka ada di luar jalur pendakian deh. Sila di mana ya sekarang? Kayaknya gue dan Sila harus cari di luar pendakian deh," monolog Jasmine sambil berjalan. "Fix, gue udah keliling tiga kali tapi enggak nemu, mereka pasti ada di luar jalur pendakian, gue enggak pasti sih, tapi feeling gue," ujar Jasmine. Jasmine yang berputar arah, untuk mencari keberadaan Sila. Dia sedikit berlari dengan langkah yang cepat, agar pencarian mereka bisa berhenti malam ini. "Lo di mana sih, Sil." Jasmine yang masih mencari Sila dengan kepala dan tatapan ke sana kemari. Jasmine berjalan ke arah Selatan, sepertinya Sila berada di sana. Seperti jalur awal yang dia jalani. –oOo– "Auuh ...." "Sumpah ya, suara itu. Jangan ganggu gue deh plis! Gue enggak punya salah sama lo kan? Pergi aja deh lo pergi!" kesal Sila terus menerus. Suara itu membuat Sila menutup matanya erat dengan posisi jongkok. Seolah sembunyi dari suara tersebut. "Sil."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.9K
bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

DENTA

read
17.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook