Enam

1303 Words
"Tuan." Asha menarik lengan Yuuji. Ia menatap wajah Tuannya dengan tatapan memohon. "Sa-saya memang baru bekerja beberapa jam lalu. Tuan, bolehkah saya bekerja setengah hari. Sa-saya harus pulang sekarang." "Pulang?" "Ti-tidak, maksud saya, saya harus pergi ke rumah duka mantan manager saya, Tuan." "Untuk apa?" "Maksudnya, Tuan?" pertanyaan ambigu dari Yuuji membuat Asha sedikit bingung. Asha merasa alasannya sudah jelas bahwa ia akan melayat ke rumah duka mantan managernya. "Dia sudah menyakiti mu." Diingatkan akan kejadian kemarin, memunculkan raut sendu di wajah Asha. Hari itu sungguh memalukan baginya. Ia dipermalukan tidak hanya di depan para pekerja tetapi juga di depan para pengunjung kafe. Meski Asha tidak mengenal semua pengunjung kafe, tetap saja kejadian itu sangat memalukan dan cukup membekas. Walau begitu, sayangnya Asha bukan tipe pendendam. Ia masih memiliki hati, dalam dirinya masih ada rasa kemanusiaan. Asha telah disakiti tidak hanya saat itu saja. Hati dan jiwanya terluka atas perbuatan orang-orang terdekatnya. Jujur lebih menyakitkan disakiti orang terdekat daripada orang yang hanya sehari, satu Minggu, satu bulan, satu tahun baru dikenal. "Saya datang karena saya masih manusia, Tuan," gumam Asha sembari menunduk, sudah Asha lepaskan pegangannya pada lengan Yuuji. "Seberapa pun saya disakiti, sudah tugas saya memanusiakan manusia. Dan selama saya menempuh pendidikan, saya tidak pernah diajarkan menjadi orang pendendam oleh guru saya." Asha menangkupkan kedua tangannya di depan d**a. "Saya mohon, Tuan. Izinkan saya untuk pergi." Ada sekitar tiga menit Yuuji dalam kebungkamannya sementara Asha harap-harap cemas. "Saya akan mengantarmu." Tiga kata dari Yuuji, menghilangkan rasa cemas Asha. Asha tersenyum senang sekaligus haru. Inilah saat terakhirnya melihat mantan managernya dulu. Sejahat apapun Sesil padanya, bagi Asha, Sesil telah memberinya jalan untuk melanjutkan hidup. Menerima dirinya sebagai pekerja dan bisa hidup serta menghidupi keluarga dengan layak. Untuk orang yang telah tiada, tidak perlu diingat kejelekannya. Mengingat kebaikannya jauh lebih berharga. Bisa menyelamatkan diri sendiri dan orang tersebut. Menjalani hidup dengan tenang tanpa adanya dendam. "Terima kasih, Tuan!" Asha datang terlambat di rumah duka. Tadi ia sempat bersikeras menolak Yuuji. Asha merasa dirinya tidak perlu diantar. Ia tidak mau lebih merepotkan Yuuji lagi. Sayangnya, debat yang berlangsung lama itu memberi kemenangan pada Yuuji. Ya, daripada tidak boleh pergi lebih baik ikut saja. Parahnya lagi, Yuuji terlihat seperti cenayang. Asha bisa mengetahui dirinya terlambat ke rumah duka saat Yuuji tidak menjalankan kendaraannya ke sana melainkan langsung ke pemakaman. Asha tidak bisa protes karena sebelum melakukan itu kebenarannya sudah ada di depan mata. Jenazah Sesil sudah siap dikebumikan. Asha hanya bisa memandang nanar, sesekali air matanya jatuh hingga proses pemakaman itu selesai pun Asha masih belum bisa berkata-kata. "Apa yang kau tangisi, Asha?" "Saya mengingat kenangan saya bersama Bu Sesil, Tuan," jawab Asha, fokusnya masih ke arah sama. Ia menjawab pertanyaan Yuuji tanpa melihat Yuuji. "Kenapa kau memilih menjadi orang baik?" Asha mengukir senyum setelah terdiam sesaat, kali ini ia menatap Yuuji yang juga menatapnya juga. "Saya tidak pernah berpikir menjadi orang baik, Tuan. Tetapi hati saya lah yang menuntut saya untuk tidak menjadi orang jahat. Saya hanya mengikuti kata hati saya saja, Tuan. Apa itu salah?" Yuuji tertegun, mengikuti kata hati? Yuuji tersenyum miris membandingkan dirinya, senyuman kecil yang tidak bisa dilihat orang biasa. Dalam hati Yuuji berujar, "hatiku telah buruk. Aku seorang penjahat." "Tuan," panggil Asha begitu Yuuji tidak menjawabnya. "A-apa saya salah, Tuan?" tambah Asha, ia menanyakan pertanyaan yang sama. "Tidak, ikuti saja kata hatimu," balas Yuuji. "Baik, Tuan!" Cukup aku saja, tidak dirimu. Kau tidak pantas menjadi orang jahat. Berbahagialah Asha, kebahagiaan akan menanti orang baik sepertimu. "Asha." Asha mengalihkan pandangannya dari Yuuji. Asha sudah melihat Friska berdiri di depannya dengan mata sembab. Tidak ada aba-aba keduanya pun berpelukan. Saling menguatkan atas kabar duka yang mengejutkan. "Aku sama sekali tidak menyangka Bu Sesil bisa pergi secepat itu, Asha." "Tenanglah, Friska." "Ya." Friska menghapus air matanya. "Kau sendiri baik-baik saja?" Asha melempar senyum. "Ya, aku baik-baik saja. Kau menghubungiku di saat aku sedang bekerja, bersyukur aku bisa mendapat izin untuk datang ke sini." "Kau sudah dapat pekerjaan?" tanya Friska dengan raut wajah terkejut. "Ya." "Cepat sekali." "Bersyukur aku mempunyai kenalan yang bisa membantu. Itu dia," tunjuk Asha pada Yuuji. "Dia yang memberiku pekerjaan. Aku bekerja sebagai asisten rumah tangga di apartemennya." Friska memperhatikan Yuuji, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Yuuji sendiri tidak peduli diperhatikan, ia bahkan tidak melihat balik pada Friska. "Kau tidak mencurigainya? Dia terlalu misterius dan mencurigakan, Asha. Kau tidak takut diapa-apakan?" bisik Friska. Asha menggelengkan kepalanya atas tuduhan Friska pada Yuuji. "Dia baik, Friska. Dia pelanggan kafe kita. Dia sudah banyak membantuku." Friska kali ini memperhatikan ekspresi temannya. Asha terlihat bahagia dan senang bekerja bekerja di tempat pria itu. Tetapi Friska merasa ada yang perlu diwaspadai dari sosok atasan Asha. Entah apa itu, Friska sendiri tidak tahu. "Aku tahu kau orang baik, Asha. Jangan sampai kebaikanmu mengecewakanmu nanti." Asha tersenyum kecil. Asha heran sebegitu mudahnya orang-orang menilainya baik. Dia tidak baik, Asha tahu dosanya banyak. Dia juga bukan hamba Tuhan yang beriman. Hanya saja, Tuhan yang sangat baik padanya. Mau menutup aibnya rapat-rapat. "Aku harus kembali ke kafe. Pemilik kafe datang, sepertinya ada yang perlu dibicarakan sepeninggal Bu Sesil." "Pergilah, Friska. Aku mau berdo'a di depan makam beliau." "Sebelum itu, aku berharap kau selalu berhati-hati di mana pun dirimu berada, Asha," nasehat Friska. "Ya, aku akan selalu berhati-hati." Seperginya Friska, Asha menatap gundukan di depannya. "Bu Sesil," batin Asha. "Wah, si pembawa masalah datang. Kau tidak punya malu ya? datang ke pemakaman orang yang selalu kau repotkan ditambah dengan semua masalah yang terus kau perbuat. Malu, sadar diri." Asha terkejut mendapati kakaknya Lina, ada di sini juga. Asha sesaat lupa bahwa kakaknya teman mantan manager tempatnya bekerja dulu. "Atau jangan-jangan kau yang membuat Sesil jadi seperti ini?" Sontak sepasang mata Asha membeliak. Karena dirinya? itu tidak mungkin. "Bu Sesil meninggal karena kecelakaan, Kak. Asha mohon jangan menuduh Asha yang tidak-tidak di sini. Asha tidak melakukan apa pun." "Tidak usah mengaturku!" Lina mendorong Asha. "Mulut-mulut ku, mau apa kau? Terserah aku mau bicara apa. Lebih baik kau cari pekerjaan, urusi hiudupmu sendiri. Kau tahu, kau hidup saja sudah menyusahkan, tidak perlu tambah menyusahkan lagi. Aku tidak mau membiayai hidupmu!" Sakit, kata-kata tersebut menusuk d**a Asha hingga sampai ke hati. Sakit sekali rasanya, seorang kakak yang harusnya melindungi adiknya, kenapa berbalik menjadi seperti ini? Asha selalu melihat kebencian di mata sang kakak untuk dirinya yang Asha sendiri tidak tahu alasan dibalik kebencian itu. "Pergi." Asha menoleh pada sumber suara. Majikannya, Tuan Yuuji. "Kau sia--" "Kak, cukup!" seru Asha memotong ucapan Kakaknya. "Asha sudah bekerja, dia majikan Asha. Asha tidak mau di pecat. Asha juga tidak mau menyusahkan Kakak. Kakak bisa marahi Asha nanti di rumah. Ti--" "Lepas! jangan menyentuhku!" Lina menampik tangan Asha. "Kau itu kotor! tahu diri." "Ma-maaf, Kak." "Tuan, sebelum anda menyesal. Saya ingatkan untuk memecatnya." Lina tersenyum miring ke arah sang Adik. Lina mendorong Asha agar menjauh darinya sehingga Lina bisa berbicara leluasa dengan Yuuji. Melihat Yuuji, Lina cukup terpesona. Ditambah setelan pakaian Yuuji yang terlihat mahal. "Dengarkan saya, Tuan." Lina menyentuh lengan atas Yuuji dan tubuh bagian Yuuji lalu berjinjit. "Dibanding dia, saya lebih baik. Saya bisa melakukan segalanya untuk anda, Tuan." Lina kembali mendaratkan kakinya walaupun tangannya tidak berhenti bergerak mengelus bagian tubuh pria di depannya yang ia sentuh. "Anda bisa menghubungi saya kapan pun, Tuan," ujar Lina sembari mengedipkan satu matanya. Lina bersyukur, tadi ia tidak sempat marah-marah kepada pria itu. Ia merasa punya kesempatan memiliki pria kaya. Setelahnya, Lina pergi dengan menabrakkan diri ke bagian samping tubuh Asha seraya berbisik, "kau akan habis di tanganku." "Asha." Asha yang tadinya berdiam kaku akibat bisikan sang Kakak tersadar karena panggilan Yuuji. "Y-ya, Tuan?" "Aku kotor." Usai berkata seperti itu, Yuuji melepas kemejanya dan memberikannya pada Asha. "Buang, Asha. Barang kotor harus di buang." Walau kebingungan, Asha tidak bisa menolak, aura Yuuji terlihat berbeda. Perintahnya kali ini seakan-akan sesuatu yang harus dituruti tidak boleh ditolak. "Baik, Tuan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD