Dua

1276 Words
Bandara Eropa, 2013. "Anda akan baik-baik saja, Tuan Arcel?" tanya seseorang kepada laki-laki berusia 27 tahun. Laki-laki yang biasa memakai jas dan berwibawa di depan semua bawahannya kini berpenampilan biasa. Sukses dalam memimpin dan memerintah sesuka hati dengan gagah. Si pencetus ide demi sebuah kemenangan untuk memenangkan pekerjaan yang bernilai fantastis. Dan manusia tanpa hati yang bisa hilang kendali kapanpun ia mau termasuk orang yang ditakuti para organisasi gelap di bawahnya. Dia adalah pemimpin Organisasi gelap yang akan meninggalkan organisasinya agar bisa merasakan hidup normal tanpa senjata dan darah setelah berhasil menguatkan organisasinya sebagai organisasi gelap yang tak terkalahkan dengan banyaknya anggota setia juga kuat tentunya. "Panggil aku Yuuji." "Baik, Tuan Yuuji." "Pimpin organisasi sampai aku kembali," kata Yuuji secara tegas. Perkataannya terdengar tidak terbantahkan, seolah ada kekuatan sendiri sehingga orang yang diperintah menuruti tanpa bisa menolak. "Baik, Tuan Yuuji." "Aku pergi." Apartemen, 2015 Kini sudah hampir dua tahun berlalu sejak hari itu. Hari di mana Yuuji memutuskan pergi meninggalkan kegelapannya, entah sampai kapan. Mungkin sampai Yuuji merasa puas. Sekarang Yuuji sudah biasa hidup normal sebagai pemimpin di sebuah perusahaan. Terdengar suara bel apartemen berbunyi ketika Yuuji hendak memakai jas hitamnya. Langkah kaki tegap nan lebar, membawa Yuuji sampai ke depan pintu apartemen, hanya beberapa langkah saja. Lebih sedikit daripada langkah kaki normal manusia biasa. "Ada apa?" Seseorang di depan Yuuji melempar sebuah amplop coklat berukuran sedang. "Semua bukti kecurangan karyawan mu. Mau kau laporkan?" Yuuji membuka amplop tersebut, membaca secara rinci dan cepat. Berurusan dengan manusia haus kekayaan memang sangat merepotkan. Beruntung ia cepat mengetahui dan pastinya akan segera ia tuntaskan. "Lakukan." Yuuji melemparkan amplop itu kembali. "Perintahkan aku dengan sopan. Sesekali sebut namaku. Apa namaku begitu menjijikkan untuk lidahmu?" Pria di depan Yuuji menyeringai, ia memicing ke arah Yuuji kemudian berkata, "hukum dia, Kee. Ucapkan seperti itu lebih baik. Namaku cukup keren, kau tahu? Keegan, Kee, keren bukan?" "Pergilah." Dan berakhirlah Keegan melihat wajah Yuuji hari ini. Sosok Yuuji telah hilang di balik pintu. Parahnya, ia tidak dipersilahkan masuk. "Dia benar-benar, kalau bukan teman, sudah ku habisi dia." Keegan pun pergi setelah mengomel dengan membawa perintah yang harus ia kerjakan. Perintah Yuuji adalah mutlak baginya, sulit bagi Keegan untuk menolak. Ya, selama Yuuji membayarnya, Keegan tidak merasa keberatan akan hal itu meski tugasnya berat. Beginilah nasib sebagai pengacara pribadi Yuuji, semua harus ia selesaikan sendiri dan wajib menang. *** Yuuji mendatangi Kafe langganannya, dalam satu Minggu Yuuji bisa datang tiga kali untuk menikmati kopi dan bersantai. Yuuji duduk di tempat biasa di pojok ruangan. Tak lama kemudian seorang pelayan wanita datang menghampirinya. "Mau pesan apa, Tuan?" "Kopi hitam." "Hanya itu, Tuan?" "Hmm." "Baik, Tuan bisa menunggu sebentar lagi. Nikmati waktu bersantai anda, Tuan." Yuuji memandang kepergian pelayan tersebut. Apabila ada orang yang sadar, ada senyum tipis terukir di wajah Yuuji saat melepas kepergian si pelayan dari hadapannya. Yuuji lalu mengeluarkan laptop dan mulai bekerja. Seseorang yang mengenalnya pasti aneh melihat dirinya berada di Kafe biasa ini. Yuuji tahu tetapi tidak peduli. Bagi Yuuji, bukan seperti apa tempatnya melainkan rasa yang disajikan dalam setiap hidangan, baik minuman maupun makanan. Pelayan yang sama menghampiri Yuuji kembali, kali ini dengan membawa pesanan Yuuji. "Ini pesanan anda, Tuan. Selamat menikmati." "Ya." Dari banyaknya pelayan yang melayaninya. Yuuji merasa paling nyaman dengan pelayan tersebut. Profesional melakukan pekerjaan tanpa basa-basi yang tak berarti. Apa adanya dan tidak terlalu banyak riasan. Mungkin karena hal itu juga, bisa membuat Yuuji tertarik memilih Kafe ini dibanding Kafe lainnya yang jaraknya justru lebih dekat dari tempatnya bekerja. "Asha!" Yuuji mendengar teriakan itu. Ia melihat pelayan tadi berjalan menghampiri meja yang terdapat tiga orang wanita di sana. Diam-diam dari ujung mata, Yuuji memperhatikan. Yuuji bisa menebak alur drama yang dibuat wanita itu untuk si pelayan bernama Asha melalui gaya bicara yang sengaja menjelekkan. Cara terlalu murahan untuk menindas orang lain. Yuuji mencengkeram secangkir kopi di tangannya, ia tidak tahan melihat kelakuan si wanita yang seenaknya menyiram kopi ke tubuh si pelayan. Satu kata Yuuji gumamkan, "musuh." Pandangan Yuuji beralih ke si pelayan. Tatapan keduanya bertemu. Melihat sepasang mata nanar itu, membuat hati Yuuji bergetar. Darahnya pula berdesir tanpa sebab. Ada emosi juga dalam dirinya. Getaran ponsel di meja memutus tatapan tersebut. Yuuji membaca sekilas pesan masuk dari ponselnya kemudian ia membereskan barang-barangnya. Ia harus segera pergi. Keluar dari Kafe, Yuuji tidak sengaja melihat pelayan bernama Asha tadi. Perempuan itu berjalan dengan tatapan kosong. Diam-diam Yuuji mengikutinya. Yuuji tidak mengerti dirinya, ia hanya mengikuti langkah kaki membawanya. Yuuji mengambil langkah cepat begitu melihat si pelayan hampir menabrak troli bayi di pinggir jalan. "Hei, kau buta ya!" seruan berupa makian itu terdengar, Yuuji tidak peduli. Ia menarik si pelayan menjauhi jalan raya menuju jalan kecil di antara dua bangunan. "Ma-maaf." Si pelayan meminta maaf, mungkin menyadari kesalahannya. Yuuji tidak menjawab. Cukup lama, ia memperhatikan si pelayan sampai akhirnya ia berkata, "menangis." Perempuan itu menggelengkan kepalanya. "Sa-saya tidak menangis." "Menangis!" Bentakan dari Yuuji membuat si pelayan memeluk dirinya sendiri. Yuuji melihat getaran di tubuh si pelayan. Yuuji tahu, pelayan itu ketakutan. "Bi-biarkan saya menangis, Tuan." "Hmm." Yuuji tidak pergi, kakinya terasa berat untuk sekedar melangkah pergi. Rasanya menjauh satu langkah saja dari si pelayan tidak bisa. Yuuji seolah tidak keberatan jarak terlalu dekat antara ia dan si pelayan. Tangisan tanpa suara cukup menyayat hati Yuuji. Yuuji menutup kedua matanya sesaat, sejenak memikirkan keputusan yang akan ia ambil. Memantapkan diri, kedua tangan Yuuji terangkat. Dalam sekali tarikan, Yuuji berhasil membawa si pelayan dalam pelukannya. "Tuan, lepas. Saya bisa membasahi pakaian anda." "Terserah." "A-anda tidak keberatan?" "Diam." Yuuji memeluk Asha erat, bibirnya menyunggingkan senyum saat dirasa si pelayan cantik dalam pelukannya membalas memeluk dirinya. Yuuji pikir, ini tidak terlalu buruk untuk dilakukan. Wangi buah-buahan terhirup oleh Indra penciuman Yuuji. Wangi yang segar dan menenangkan. Cukup lama keduanya saling memeluk. Keduanya tidak terlihat ingin melepaskan pelukan satu sama lain. Beruntung di jalan sempit ini sepi, setidaknya tidak akan membuat malu. "Tuan, sa-saya tidak baik-baik saja," ujar si pelayan tiba-tiba. "Hati saya hancur." Isak tangis kali ini terdengar walau teredam. "Saya tidak tahu mau kemana?" "Saya takut, Tuan." "Menangis saja," balas Yuuji. "Terima kasih, Tuan." Yuuji tahu dirinya tidak terlalu banyak membantu. Jujur ia tidak pernah berada di posisi ini. Dekat dengan perempuan saja tidak. Baru kali ini ia melihat perempuan menangis. Tindakannya tadi, sesuai inisiatif saja. Ia tidak tahu benar atau salah. Yuuji merasa pelukannya di lepas. Si pelayan menghapus air matanya dengan tangan kemudian melempar senyum. "Saya tidak akan lagi melayani anda, Tuan." "Saya sudah di pecat." Terdengar pernyataan miris di telinga Yuuji. Yuuji menarik sesuatu dari kantong jasnya. Ia memberikan si pelayan sebuah kartu. "Apa ini, Tuan?" "Terima." Yuuji berjalan menjauh begitu kartu namanya berpindah tangan. Baru empat langkah berjalan, Yuuji mendengar teriakan si pelayan, "Tuan, terima kasih!" *** "Aa, jadi begitu Mama bertemu Papa," gumam Bintang selesai sang Mama menceritakan sedikit masa lalunya. "Iya, Sayang. Tidak menarik ya?" tanya Asha, ia merasa anaknya bosan mendengar ceritanya. "Tidak kok, Ma." Bulan menggelengkan kepalanya. "Tapi Mama cengeng seperti Bulan," lanjut anak itu seraya tertawa cekikikan yang kemudian dilanjutkan lari menjauhi Mamanya karena takut dimarahi. "Iya, Mama cengeng." Bintang putra sulung Asha pun ikut mengejek. Lalu mengikuti adiknya pergi dari hadapan Asha. "Ah, kedua anak itu. Gemas sekali." Bukannya marah, Asha malah senang melihat kelakuan anak-anaknya. Ia merasa terhibur. "Tuan, lihat mereka sekarang. Mereka berdua sudah besar. Sudah bisa mengejek Mamanya," ujar Asha dengan raut sedih. "Nak, sejujurnya tidak hanya itu cerita kedua orang tua kalian. Setidaknya untuk saat ini, kalian hanya perlu tahu itu," lanjut Asha, ia mulai menerawang ke masa lalu. Mengingat kembali kisah hidup yang tidak akan ia lupakan bersama seseorang yang berarti dalam hidupnya, ayah dari anak-anaknya. Kilas balik jalan cerita Asha di masa lalu, akan dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD