Tiga

1223 Words
Keesokan harinya, Asha datang ke kafe seperti biasanya. Meski sang Manager kemarin terdengar memecatnya, Asha bersikeras ingin diberi kesempatan lagi. Tidak peduli pekerja lain memandangnya tidak tahu diri, yang pasti hari ini ia harus bertemu Manager Kafe. Asha terus berdiri di samping ruangan si Manager. Ia sudah mengirim pesan kepada Managernya bahwa ia ingin bertemu. Tidak ada balasan memang, tetapi Asha tidak menyerah. Dalam hatinya ada keyakinan hari ini Manager akan datang. Hampir 6 jam, Asha menunggu. Batang hidung Manager belum kelihatan. Friska kasihan melihat temannya. Ia tidak bisa menemani Asha karena pengunjung Kafe lumayan ramai. Namun keduanya sempat saling tatap dan Asha melempar senyum kepadanya. Meyakinkan jika dia baik-baik saja. Anggap Asha bodoh melakukan hal ini. Percayalah, Asha hanya ingin bekerja. Jika tidak, nanti keluarganya makan apa. Asha takut andai bulan ini tidak mendapat uang, sang ibu akan marah besar padanya. Ia akan lebih didiami lagi. Itu sudah pernah terjadi, Asha sendiri sebagai seorang anak tentunya merasa tidak enak. Andai usahanya kali ini tidak berhasil, Asha ingin diberi gaji walau hanya setengah. Senyum Asha terbit begitu melihat si Manager memasuki Kafe. "Ibu--" Sesil si Manager mengangkat tangan di depan wajah Asha. Isyarat agar Asha diam. Sesil membuka pintu ruangannya dan masuk ke dalam tanpa menutup pintu. Asha pun mengikutinya dari belakang. Sampai Sesil duduk di Meja kerjanya Asha baru berani berbicara. "Bu, biarkan saya bekerja," pinta Asha. "Saya masih ingin bekerja di sini, Bu. Dan tolong maafkan kecerobohan saya kemarin," lanjut Asha, wajahnya menunjukkan penyesalan. "Tidak." Jawaban singkat tersebut menohok hati Asha. "Keluarga saya makan apa jika saya tidak bekerja, Bu. Saya mohon beri saya kesempatan sekali ini saja." "Kau tuli ya, aku bilang tidak ya tidak!" Keberanian Asha runtuh mendengar bentakan Sesil. Asha menarik nafas kemudian menghembuskannya. Ia kembali mengumpulkan keberanian. "Kalau begitu, saya ingin setengah gaji saya, Bu." Asha berjingkat kaget mendengar gebrakan meja dari tangan Sesil. "Kau mau gaji?" tanya Sesil, matanya menyorot tajam ke arah Asha. "I-iya, Bu," jawab Asha, sedikit gagap. "Kemari!" Diminta mendekat oleh Sesil, Asha melakukannya tanpa berpikir buruk. "Menunduk!" Hanya hitungan detik, tangan Sesil mencengkeram wajah Asha. Asha sendiri kesakitan akibat kuku-kuku Sesil terasa menusuk kulit pipinya. "Le-lepaskan, Bu." Asha berusaha menarik tangan Sesil supaya melepasnya tetapi ia tak kunjung berhasil. "Kau tidak tahu diri," ujar Sesil dengan penekanan di setiap katanya. "Harusnya aku yang meminta uang padamu. Gajimu sebulan saja tidak cukup mengganti kerugian ku. Kau pikir perawatan kulit itu murah, hah?!" "Sa-saya tidak mengerti, Bu." "Temanku meminta ganti rugi. Kau tahu apa? Aku harus membayar perawatan luka bakar di tangannya sampai sembuh karena kecerobohan mu. Kau pikir itu murah?" Hati Asha terasa di pukul palu besar, hancur sudah. Harapannya musnah sudah. "Ma-maaf, Bu." "Maafmu tidak akan mengembalikan semua!" teriak Sesil sembari menghempas cengkeraman di wajah Asha sehingga membuat Asha sedikit oleng ke belakang. "Mempertahankan mu di sini, sama saja menambah kerugian ku." Sesil bisa saja meminta Asha tetap bekerja tanpa dibayar untuk mengganti kerugiannya. Namun, temannya sebagai korban kemarin meminta agar ia tetap memecat Asha. Jika tidak, ia akan ganti rugi dua kali lipat dari biaya perawatan kulit. "Aku tidak ingin melihat wajahmu, Asha. Keluar dari ruangan ku sekarang juga!" Asha menggelengkan kepalanya, air matanya pasti sebentar lagi akan keluar. "Keluar, Asha!" Dengan bergetar takut, Asha membungkuk lalu keluar dari ruangan Sesil setelah sebelumnya kembali mengucapkan maaf. "Sekali lagi saya minta maaf, Bu." Asha keluar dari ruangan Sesil langsung berhadapan dengan Friska. Temannya itu sangat khawatir melihatnya. "Aku pamit, Friska." Tiga kata dari Asha terasa menyayat hati. Friska prihatin akan nasib Asha. "Sha--" "Aku baik-baik saja, Sesil. Aku akan cari kerja lagi. Do'akan aku ya." "Jangan begini, Sha. K-kau tidak perlu pura-pura kuat. Aku ...." Asha memeluk Sesil, hingga membuat Sesil menghentikan perkataannya. "Jangan sia-siakan pekerjaan ini, Friska. Bekerjalah dengan baik. Terima kasih sudah berteman denganku. Lain kali, kita bisa berjumpa lagi." Asha melepaskan pelukannya, ia segera menjauhi Friska. Asha tidak mau, Friska bernasib sama seperti dirinya. Friska mempunyai banyak adik yang harus dibiayai. Tidak mungkin, 'kan, ia menularkan nasib buruk ini. Asha menutup pintu belakang Kafe. Sorot matanya masih tersimpan kesedihan. Ia belum lega jika belum menangis. "Menangis." Asha mendongak melihat suara itu. Sama seperti suara kemarin yang ia dengar. Yang mampu merobohkan pertahanannya. "Tuan!" Tidak ada basa-basi, Asha memeluk orang di depannya. "Kau baik?" Menggelengkan kepala, Asha menjawab, "saya tidak baik-baik saja, Tuan." Seakan dejavu, adegan ini terulang kembali. "Maafkan kelakuan buruk saya, Tuan. Saya membasahi pakaian anda lagi," ujar Asha. Saat ini dirinya bersama pria kemarin, berada di sebuah taman tak jauh dari Kafe. Pria itu membelikan Asha sebotol air. "Terima kasih untuk minumannya juga." "Hmm." Keduanya duduk di bangku panjang dekat air mancur buatan berukuran sedang. "Hari ini saya bernasib buruk lagi." Asha meremas botol minuman di tangannya. "Saya boleh cerita, Tuan?" tanya Friska sebelum melanjutkan ceritanya. Entah kenapa ia ingin bercerita di depan pria ini. Rasanya lancar sekali mulutnya berbicara. Mendapat anggukkan persetujuan, Asha melanjutkan ceritanya. "Setelah kemarin, hari ini saya tidak mendapat apa-apa dari pekerjaan saya. Tidak ada kesempatan dan tidak ada gaji sepeserpun. Bu Sesil terlihat sangat marah pada saya. Beliau bilang gara-gara saya beliau rugi banyak." Asha tertawa kecil, miris sekali mendengarnya. "Andai saya bisa memutar waktu. Saya tidak akan ceroboh dan fokus bekerja." "Akh, bodoh sekali ya saya, Tuan. Bisanya berandai-andai." Asha memukul sekali keningnya dengan botol minumnya. Pria di sebelah Asha memperhatikan wajah Asha dari samping. Ia melihat bekas luka di pipi Asha. Sedikit, sepasang mata pria itu melebar. "Darah." "Darah?" Asha terkejut saat jari pria di sebelahnya membelai pipinya. Wajahnya jadi memerah. "Darah, Asha." Pria itu menunjukkan jempolnya yang ada noda darah di depan Asha. "Ah, ini mungkin karena tadi, Tuan." "Dia menyakitimu." Asha melempar senyum. "Bu Sesil orang baik, Tuan." Bagi Asha, diterima kerja saja sudah menunjukkan kebaikan seseorang. Soalnya, ia sering ditolak dulunya. "Ah ya!" seru Asha tiba-tiba. "Kita belum berkenalan, Tuan. Saya hanya tahu Tuan pelanggan di Kafe. Siapa nama, Tuan?" "Yuuji." "Saya Asha. Mungkin Tuan sudah tahu dari tanda pengenal saya di baju kerja." Asha menduga, pasalnya Yuuji sempat memanggil namanya tadi. "Terima kasih sudah datang di waktu yang tepat ya, Tuan. Sepertinya saya harus pergi. Saya harus mencari kerja lagi." Asha berdiri, berniat pamit pergi. "Asisten." "Asisten?" bingung Asha. "Aku ... butuh Asisten." "Anda memberi saya pekerjaan, Tuan? Maksud anda, anda butuh asisten rumah tangga?" "Ya." Asha membungkuk dan mengucapkan terima kasih. Ia senang bukan main seakan ada angin segar masuk ke dalam ruang hatinya yang lembab. *** 02.00 Wib Seorang wanita keluar dari klub malam dengan sempoyongan, dia mabuk. Tak lama kemudian wanita tersebut didatangi oleh si pria bertopeng. "Bisa ikut denganku?" "Hah, kau siapa? Kau pria bertopeng." "Ah, aku baru saja menghadiri pesta topeng." "Ah, mana ada di negara bagian timur ini pesta topeng. Aku tidak pernah tahu." "Bisa ikut denganku sekarang?" Wanita tampak menabrakkan diri di depan si pria. "Boleh, jika kau memaksa. Kau terlihat gagah dan tampan. Aku tidak keberatan kau membawaku kemana saja," jawabnya seraya menggoda. Pria bertopeng tersenyum, ia menarik tangan wanita itu menjauh. Ia menulikan telinga mendengar rengekan si wanita karena dibawa dengan berjalan kaki. "Berhenti di sini. Aku punya kejutan untukmu. Bisa kau tutup matamu?" "Kejutan? Di sini? Kau bercanda? Gelap sekali tahu." Si wanita tidak percaya dia akan mendapat kejutan di tempat gelap. Sepi lagi. "Kejutan memang seharusnya di tempat gelap." "Baiklah-baiklah. Aku akan menutup mataku." Setelah itu dalam hitungan beberapa detik, terdengar bunyi benturan keras. "Mati."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD