Asha yang tengah memasak di dapur dikejutkan dengan kehadiran sang ibu. Bukan kebiasaan ibunya bangun di pagi hari. Asha sedikit heran, firasatnya pun tak enak.
"Ibu tidak bisa tidur?" tanya Asha, ia khawatir sakit ibunya kambuh.
Ibu Asha bernama Desi, menarik kursi yang ada di dapur dan duduk. "Asha, ibu butuh uang."
Mendengar itu, Asha menggenggam erat spatula yang ia gunakan menggoreng. Asha merasa kecewa, Asha pikir ibunya ada di dapur untuk menemaninya, ternyata pikiran pendek Asha salah. Kebahagiaan yang sempat muncul dibenaknya, hilang seketika. Asha menutup mata sesaat kemudian mengubah mimik wajahnya.
"Akan Asha usahakan ya, Bu."
"Bukannya kemarin gajian?"
"Tidak, Bu. Asha--"
"Ya enggaklah, anakmu itu berbuat ulah di tempat kerjanya, Bu. Dipecat dia!"
Datang seorang lagi, si perusak hati dan suasana. Suka memotong ucapan orang. Suka ikut campur lagi.
"Apa yang terjadi, Asha?"
"Kecelakaan kerja, Bu," jawab Asha.
"Kau ceroboh, buat malu saja. Beruntung temanku mau menerimamu. Sekarang karena kau, dia menjauhiku. Suka buat susah orang lain saja," omel Lina, Kakak Asha. Lina langsung pergi begitu saja setelah mengeluarkan unek-uneknya.
Asha hanya menebak, ketidakadilan di Kafe mungkin ada kaitan dengan kakaknya. Manager Kafe itu dulunya teman satu kuliah sang kakak. Entah, ada atau tidak, Asha mencoba untuk tidak mau tahu. Lagipula, nasibnya di sana sudah berakhir.
"Jadi bulan ini Ibu tidak memegang uang?"
Asha menatap ibunya lalu menggeleng. "Maaf, Bu."
Desi menunjukkan raut tidak suka lalu berjalan pergi. Asha memaklumi itu, ia sudah biasa mendapat tekanan seperti ini. Andai Asha memiliki kesempatan bertanya kepada seluruh anak di dunia ini. Akan Asha tanyakan, apa kalian selalu mendapat tekanan keluarga kalian? Apa kalian diharuskan orang tua kalian memberi? Tidak bisakah memberi semampu kita, setidaknya setengah dari gaji? Apa orang tua kalian selalu menuntut?
Tak sadar, air mata Asha jatuh. Sejujurnya Asha tidak keberatan memberikan upahnya kepada sang ibu. Sangat tidak keberatan. Tapi dalam hati, Asha punya keinginan sendiri. Asha mau menabung untuk hidup ke depannya. Yang membuat Asha semakin bingung, kenapa harus dirinya. Diantara semua anaknya yang telah bekerja, kenapa dirinya yang dikejar terus? Sedangkan saudaranya yang lain tidak dimintai sama sekali. Upah tidak mencapai minimum, hanya dibagi dua hal. Kebutuhan makan dan ibu. Lalu kapan ia bisa menikmati kerja kerasnya? Susah baginya menyisipkan sedikit dari gajinya, karena Kakaknya Lina tahu gaji yang ia dapat. Kurang sedikit saja akan dipermasalahkan. Asha hanya bisa menabung dengan sisa receh uang belanja. Itu pun jika tak cukup ketika belanja, Asha akan mengambilnya sebagai tambahan.
Sakit sekali hati Asha. Di sini, di rumah ini, tidak ada yang mengerti dirinya sama sekali. Asha berjuang seorang diri menahan sakit. Ingin rasanya keluar dari rumah. Tapi hati Asha rasanya enggan. Asha menyayangi sang ibu, Asha tidak bisa meninggalkannya. Bagaimana pun ibunya, tetap ibunya orang yang telah melahirkannya.
***
Asha sudah sampai di depan pintu apartemen Yuuji. Hari ini ia mulai bekerja. Yuuji akan menjadi majikannya. Menetralisir wajahnya, Asha menekan bel. Satu yang Asha selalu terapkan setiap hari untuk dirinya sendiri yaitu tidak boleh membawa masalah di rumah ke tempat kerja.
"Tuan."
Asha sedikit membungkuk pada Yuuji saat pintu di depannya terbuka.
Yuuji menyingkir dari pintu, ia mempersilahkan Marsha masuk.
Asha menatap kagum apartemen Yuuji. Baru kali ini ia menginjakkan kaki di apartemen. Jadi begini apartemen itu. Terlihat mewah dan nyaman. Ada ruangan tanpa sekat berisi tv, sofa, meja makan beserta kursi dan dapur. Ada dua pintu berseberangan pula, Asha tebak keduanya adalah pintu kamar.
"Pekerjaan saya apa saja, Tuan?"
Yuuji berjalan menjauhi Asha menuju letak televisi berada. Yuuji mengambil sebuah map di sana lalu menyerahkan kepada Asha.
"Duduk." Yuuji meminta Asha duduk.
"Saya baca ya, Tuan," kata Asha, meminta izin. Asha membaca semua lembaran kertas di sana. Ia akan di kontrak satu tahun, tugasnya memasak, mencuci, membersihkan seluruh ruangan kecuali ruang kerja. Persis seperti pekerjaannya di rumah.
"Saya mengerti, Tuan. Saya setuju, tetapi gaji ini bukankah terlalu besar buat saya? Gaji saya sesuai upah minimum saja, Tuan."
Asha menautkan alisnya, Yuuji seakan tidak menggubrisnya sama sekali. Malah menyodorkan pena dan terus menatapnya. Agak risih di tatap seperti itu oleh laki-laki. Bukan karena takut, kepercayaan dalam hatinya membuatnya yakin jika Yuuji orang baik, bukan orang yang nantinya akan berbuat macam-macam pada dirinya. Hanya saja ia tidak biasa.
Asha dengan berat hati menerima pena dari tangan Yuuji. Kalau begini Asha harus memberikan yang terbaik dalam pekerjaannya. Ia tidak boleh mengecewakan majikannya. Apalagi ceroboh hingga menyebabkan kerugian.
"Di mana ruangan yang tidak boleh saya masuki, Tuan?"
Yuuji menunjuk satu pintu di sisi kanan.
Asha mengangguk, ia sudah paham pekerjaannya. Asha pun memaklumi sikap Yuuji. Pria itu memang terlihat tidak banyak bicara.
"Kapan saya mulai bekerja?" Asha menatap Yuuji, menantikan sebuah jawaban.
"Hari ini."
"Baik, Tuan. Apa anda sudah sarapan pagi?" Yuuji menggelengkan kepalanya. "Anda mau saya buatkan sarapan?"
Yuuji tidak mengiyakan, tidak juga mengangguk. Yuuji memilih mengambil ponselnya. Asha kira, Yuuji tidak akan menjawabnya. Jadi ia berpikir, sarapan apa yang cocok untuk Tuannya ini. Wajah Yuuji agak kebulean, tapi bahasa Indonesia nya lancar. Mungkin campuran. Apa mau dibuatkan makanan Indonesia?
Asha menggigit bibir bawahnya, wajahnya jelas terlihat kebingungan. Ia memang memaklumi sifat Tuannya, tapi ia butuh informasi lebih banyak juga. Ia harus tahu apa yang boleh ia masak dan tidak boleh ia masak. Takut-takut Tuannya ini ada alergi, 'kan?
Kebingungan Asha sirna begitu Yuuji menunjukkan layar ponselnya. Terdapat gambar roti berlapis. Lapisan bawah roti tawar, tomat, telur, keju, daging asap, terakhir roti tawar lagi. Makanan apa itu?
"Sandwich," ucap Yuuji yang seakan mengerti ketidaktahuan Asha.
"Ah, sandwich. Saya tahu, Tuan. Saya akan segera si--"
Perkataan Asha terpotong saat Yuuji menarik tangannya, memaksanya berdiri, dan membawanya menuju dapur. Yuuji membuka kulkas, lemari gantung di dinding, lemari bawah, pokoknya semua yang bisa di buka Yuuji membukanya. Sehingga Asha bisa tahu, mana letak panci, sendok, piring, mangkuk, dan sebagainya. Asha menghembuskan nafas kasar. Tuannya Yuuji, berniat baik menunjukkan di mana letak-letak peralatan dapur. Tidak dengan ucapan melainkan tindakan.
"Tuan biasa memasak sendiri?" tanya Asha, ia memeriksa isi kulkas.
"Saya beli tadi."
Ah, maksudnya baru beli tadi. Bersyukur Asha bisa memahami.
"Asha kamu menangis."
Sontak tangan Asha yang sedang asyik memilih bahan-bahan untuk membuat sandwich berhenti bergerak. Ia tidak menduga Yuuji akan berbicara seperti itu. Apa kali ini ia gagal menyembunyikan kesedihannya.
Belum habis pemikiran Asha. Asha merasa tubuhnya ditarik lalu di dekap.
"Asha baik?"
Asha tidak tahu harus mengatakan apa. Haruskah ia jujur? Asha memegang erat pakaian bagian depan Yuuji seraya menggelengkan kepalanya.
Setelah itu, tangis Asha pecah. Tidak hanya ribut kecil bersama kakak dan ibunya, pagi sebelum berangkat ke apartemen Yuuji. Seorang penagih hutang mendatangi Asha. Asha tidak tahu ibunya mengambil uang dari peminjam uang harian. Sama sekali tidak tahu. Tahu-tahu sudah di tagih. Tak hanya itu, ia dimarahi lagi karena tidak bisa membayar. Satu masalah belum selesai, datang satu lagi. Tuhan mungkin terlalu sayang padanya sehingga memberinya masalah bertubi-tubi. Asha berharap, Tuhan juga memberi kekuatan yang sepadan dari masalah itu. Agar ia bisa menghadapinya, meski Asha sendiri tahu, ia lemah. Manusia adalah makhluk Tuhan yang lemah. Tidak bisa hidup sendiri, pasti membutuhkan orang lain. Asha pun sama, butuh orang lain untuk menguatkannya.
"Saya tidak baik-baik saja, Tuan."