Luka yang Sulit untuk Disembuhkan

1214 Words
"Lisa." Gedoran dan teriakan di pintu kamar Lisa, sukses membuat gadis berperawakan cantik itu terbangun dari mimpi indah. Gadis itu kaget bukan main saat mendengar teriakan sang penguasa rumah alias Mommy-nya. Menurut Lisa, perempuan paruh baya kesayangan keluarganya itu kalau sudah berteriak sudah dipastikan akan menimbulkan bencana jika tak segera dituruti. Lisa langsung bangun dengan wajah kaget. Meski masih linglung, ia langsung turun dari tempat tidur kemudian berlari menuju kamar mandi. Gadis itu tak melirik jam di meja. Ia juga tak menyadari keadaan di luar jendela yang masih gelap. Belum sampai di kamar mandi, gadis itu jatuh tersandung oleh kakinya sendiri. Jidatnya sukses menjadi korban dari pinggiran meja untuk pagi ini. Tak memedulikan rasa sakit, Lisa segera bergegas bangun dan masuk ke kamar mandi lalu mandi secepat mungkin. "Oke, perfect," ujar Lisa memuji diri sendiri. Setelah memastikan tak ada satupun yang salah pada penampilannya, Lisa bergegas turun ke lantai bawah. Gadis itu berjalan dengan hati-hati karena ia menggunakan sepatu heels. Ia masih belum terbiasa dengan sepatu itu. Saat ia turun ke ruang makan, tak ada satupun dari keluarganya di meja makan. "Loh, pada kemana ini? Apa mereka meninggalkanku dan sarapan duluan?" Lisa menatap bingung ruang makan yang tampak sepi. "Tapi kok secepat itu sih. Aku kan cuma bersiap selama 15 menit." Lisa bersungut-sungut kesal. Tak menyangka jika dirinya ditinggal sarapan. "Aneh sekali. Apa si mbok sudah beres-beres? Tapi biasanya kan dia pasti nunggu aku makan dulu, baru semua disimpan kembali." "Loh, Non. Kok udah di sini aja? Ini masih jam 05.00 loh, udah rapi aja. Non udah shalat subuh? Apa jangan-jangan Non udah nggak sabar ya mau masuk di hari pertama kerja? Makanya sudah bersiap pagi buta begini." Lisa menoleh ke arah si mbok yang sudah menjadi pengurus rumah tangga semenjak ayah dan mommy menikah. Perempuan berumur lebih dari setengah abad itu tampak menjinjing mukena yang biasa digunakan untuk shalat di masjid komplek perumahan tempat keluarga Lisa tinggal. "Mbok bilang apa tadi? Jam berapa?" Lisa bertanya sekali lagi hanya untuk memastikan bahwa telinganya tak salah dengar. "Baru jam 05.00 subuh, Non. Ini mbok barusan selesai shalat. Non udah shalat?" Lisa menepuk jidat dengan wajah tak percaya lalu kemudian berteriak nyaring; "Mommy." Mommy dan Ayah Lisa yang tengah berada di kamar kaget mendengat teriakan anak bungsunya itu. "Kenapa sih tu anakmu, Mom? Subuh-subuh bukannya shalat, malah teriak-teriak kayak lagi di hutan aja." Ayah Lisa memandang heran pada istrinya. Sementara istrinya hanya tertawa penuh kemenangan. Kali ini dia berhasil mengerjai putri bungsunya itu. Salahnya sendiri, jadi anak gadis kok susah sekali bangun pagi. Dia tak mau jika putrinya itu melakukan hal konyol, terlambat misalnya di hari pertama dia bekerja sebagai pramugari di maskapai yang menjadi salah satu bagian dari perusahaan suaminya. "Mommy duluan ke bawah ya, Yah. Sebelum putri Ayah itu menghancurkan pintu kamar kita." Suaminya hanya tertawa, paham betul jika yang menjadi penyebab kemarahan putrinya subuh ini adalah istrinya sendiri. "Pasti dia mengerjai Lisa lagi." *** "Udah rapi aja nih, anaknya Mommy." Lisa memandang dengan raut kesal pada Mommy. Wajahnya terlihat tak merasa berdosa sama sekali. Bahkan seperti orang yang baru saja mendapatkan hadiah. Terlihat bahagia seolah tidak melihat jika Lisa tengah marah. Lisa hanya mencebik kesal, tak mau menjawab. Gadis itu mengomel dalam hati. "Mana belum shalat subuh lagi." Lisa tambah kesal mengingat fakta tersebut. Ia juga tak mungkin membersihkan lagi semua make-upnya dan shalat. "Ya sudahlah, aku bolos shalat hari ini," putus gadis itu pada akhirnya. "Sana kamu duduk di ruang tamu. Nanti bau cabe lagi kalau duduk di dapur kayak gini," tegur Mommy. Tak menjawab, Lisa berlalu meninggalkan Mommy dan si Mbok yang tengah masak. Gadis itu menghentakkan kakinya dengan kesal. Perempuan berumur hampir setengah abad itu menggeleng-geleng kepala melihat kelakuan putri semata wayangnya. "Abang jadi mau berangkat ke Jerman?" Lisa berhenti memainkan ponsel dan fokus menatap Angga yang baru saja duduk di sebelahnya. "Ia, Na." "Nggak bisa dibatalin gitu?" "Ya nggak, Na. Kamu kan tahu sendiri, itu impian abang dari dulu. Pastinya abang nggak bakalan menyia-nyiakan kesempatan ini. Belum tentu di masa mendatang abang akan mendapatkan kesempatan yang sama nanti." "Tapi nanti aku bakalan susah ketemu sama abang dong. Kalau aku kangen gimana?" "Kan kamu bisa sering-sering ambil penerbangan ke Jerman nanti. Kamu kan bisa mengajukan penerbangan internasional setelah beberapa bulan. Kamu bisa tinggal di apartemen abang kalau flight ke sana nanti." "Masih lama itu, Bang. Nggak mungkin aku anak yang baru masuk penerbangan domestik langsung tiba-tiba pindah ke penerbangan internasional." "Kamu harus sabar, Na. Semua butuh proses. Kamu biasanya waktu di Singapura juga dak ketemu sama abang, kan?" "Itu kan beda, Bang. Waktu itu aku bisa bolak balik Singapura-Indonesia dengan sesuka hati. Kalau sekarang kan nggak mungkin. Aku kan kerja." "Ada aja jawabannya. Kamu pasti bisa. Kamu harus percaya." "Tapi kalau aku nanti lagi sedih gimana? Siapa lagi yang bakalan dengerin cerita aku. Kalau aku mau makan pecel lele tengah malam bagaimana? Siapa lagi yang bakalan aku repotin buat nganterin ke warung tenda. Kalau aku mau dipeluk bagaimana? Siapa lagi yang mau meluk. Gimana?" Lisa memberondong Angga dengan pertanyaan absurd yang melintas begitu saja dibenaknya. "Kan kamu bisa telpon kalau mau curhat. Abang janji deh bakalan nelpon setiap ada waktu luang. Kalau mau makan tengah malam nanti minta Rama saja mengantarmu. Atau kamu juga bisa suruh dia buat meluk sekalian." Angga menggoda gadis itu. Ia tahu betul bagaimana hubungan adik bungsu dan adik tengahnya itu. Mereka tak pernah akur semenjak kejadian itu. Meskipun sebenarnya Rama masih sangat perhatian pada Lisa tanpa sepengetahuan gadis itu. Hanya saja ia tak pernah memperlihatkannya. Dan Lisa juga bukan tipikal orang yang peka. Sehingga setiap kali mereka berinteraksi hanya akan berakhir dengan pertengkaran. "Ah, Abang macam nggak tahu saja sama adik Abang yang satu itu. Mana mau dia nganterin aku, tengah malam lagi. Apalagi memelukku. Kiamat yang ada dunia kalau dia sampai beneran mau meluk." Lisa kembali memanyunkan bibirnya sembari bersidekap dan melepaskan pelukan Angga. "Kenapa bawa-bawa namaku segala." Rama menatap Lisa dengan wajah tak terima. Entah sejak kapan laki-laki itu berada di ruang tamu, Lisa juga tak sadar. Tak hanya Rama, Ayahnya juga entah sejak kapan sudah berada di ruang tamu. "Pede sekali ya anda. Siapa juga yang bawa-bawa nama anda? Anda salah dengar kali. Sana dikorek dulu kupingnya," kilah Lisa sinis. "Ngomong yang sopan kalau sama abangmu," tegur ayahnya. Ia tak habis pikir dengan putri semata wayangnya itu. Sikap Lisa terhadapa Angga dan Rama bagaikan langit dan bumi. Gadis itu sangat manja dan lembut terhadap Angga. Tapi terhadap Rama ucapan yang keluar dari mulutnya sangat sinis. "Itu udah yang paling sopan Ayah." "Gadis tak tahu aturan seperti itu siapa nanti laki-laki yang mau," komentar Rama. Lisa langsung menghadiahkan tatapan dingin pada Rama. "Laki-laki yang hanya tau cinta bahkan sampai kehilangan logika hanya akan terjebak dalam penderitaan yang berulang," jawab Lisa tak kalah sinis. "Kau ngomong apa barusan?" Rama menatap Lisa dengan tatapan yang lebih menusuk. Wajahnya memerah karena amarah. Angga yang menyadari kedua adiknya itu akan meledak kapan saja langsung memotong ucapan Rama. "Mona nanti abang antar ya." Lisa yang mendengar ucapan Angga langsung tersenyum. Wajahnya saat menghadapi Rama dan Angga sangat berubah drastis. Tak ada kemarahan ataupun benci saat melihat Angga. Tapi terhadap Rama, hanya ada kebencian, sikap dingin dan sinis. Luka yang diakibatkan oleh Rama di masa lalu sangat sulit untuk sembuh. Lisa bagaimana pun tak bisa memaafkan Rama. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD