Tak akan Pernah Kumaafkan

1200 Words
"Ved, bagaimana dengan misi yang kamu lakukan?" ujar Yudan, salah satu sahabatnya. "Aku belum menemukannya." "Bukannya katanya dia berada di Singapura?" sahut Michel. "Ia, aku dengar terakhir kali. Ia bersekolah di Singapura. Tapi aku sudah mendatangi kampusnya, bahkan mencari ke seluruh pelosok Singapura, tetap saja aku tak bisa menemukannya." "Apa dia menggunakan nama lain?" gumam Yudan. "Bisa jadi. Tapi aku sudah memperlihatkan foto-fotonya ke seluruh kampus. Hanya saja tidak ada yang mengenalnya," desah Vedro frustasi. "Atau mungkin dia menyamar saat di Singapura?" sahut Michel sembarangan. "Aku kadang heran dengan ide gila yang ada di otakmu itu," sindir Yudan. "Aku hanya berbicara kemungkinan yang ada. Siapa yang bisa tahu tentang pikiran putri semata wayang keluarga Dirgantara itu. Kamu kan tahu sendiri bagaimana ketatnya mereka menjaga putrinya selama ini. Jauh dari pandangan publik." "Apa yang dikatakan oleh Yudan memang benar. Mereka tampak berhati-hati sekali selama ini dengan keberadaan putrinya. Tak ada satupun yang mengetahuinya. Bahkan media sekalipun tak bisa mengendus keberadaannya. Aku juga tak akan tahu jika saja saat malam itu aku tak melihat dia juga berada di hotel itu." "Ya, kau benar. Tapi apa kau yakin? Kau yakin untuk menjadikan dia sebagai korban?" "Aku tak peduli. Entah dia ataupun Rama. Semua harus hancur. Aku tak akan pernah memaafkan b******n itu," putus Vedro. "Mau sampai kapan kau akan mencarinya terus seperti ini?" ujar Yudan. "Tenang saja. Aku ke Singapura hanya untuk memastikan saja. Kalau dia tidak ada di Singapura, berarti kecurigaanku benar." "Maksudmu apa?" "Berarti gadis yang baru bergabung menjadi pramugari di Lan Air itu adalah dia." *** "Monalisa. Panggil saja aku dengan nama Lisa," ujar Lisa memperkenalkan diri pagi itu di ruangan kantor maskapai Lan Air di bandara Soekarno Hatta. Perjalanan dari Jakarta Barat ke Tanggerang cukup memakan waktu. Ia diantar oleh Angga yang katanya sekalian ingin mengucapkan salam perpisahan sebelum ia berangkat ke Jerman. Lisa akan melakukan penerbangan pada pukul 11.00 ke Makassar. Sementara Angga akan berangkat ke Jerman nanti malam. Lisa tak sempat untuk bertemu dan mengantar Angga ke bandara karena sore Lisa juga harus berangkat ke Palu langsung dari Makassar. "Kamu semangat kerja ya. Ingat! Jangan bikin keributan di hari pertama kerja. Hati-hati di jalan ya," ujar Angga mewanti-wanti Lisa. Ia paham betul adik bungsunya itu sangat ceroboh dan juga sedikit susah untuk diatur. Sebenarnya ia juga enggan untuk melepaskan Lisa bekerja secara mandiri tanpa membawa nama keluarganya. Ia masih ingin memantau gadis itu secara langsung. Tapi ia percaya gadis itu akan dijaga oleh Rama nantinya selama ia berada di Jerman. "Abang juga, hati-hati ya. Jangan ganjen di negeri orang tapi kalau bawain Lisa kakak ipar yang baik sih nggak apa-apa. Hahaha." Tawa gadis itu lepas setelah mengejek Angga. Ia sebenarnya ingin menangis tapi ia juga tak mau membuat Angga kepikiran. Setelah berpelukan ria, Lisa langsung bergegas meninggalkan Angga karena sebentar lagi ia harus masuk kerja. "Selamat datang di tim perjalanan domestik Lan Air, Lisa," ujar Kapten pesawat bernama Dimas Agung menyambut perkenalan gadis cantik itu. Lisa tersenyum ramah. Hanya ada tujuh orang di ruangan itu termasuk dia. Tim lain sepertinya ada jadwal penerbangan. Setelah saling berkenalan singkat, mereka bersiap untuk menuju pesawat. Lisa berjalan mengikuti timnya sembari menarik koper. "Mbak, tolong bantu ambilkan air hangat apa bisa? Anak saya perutnya tidak enak." Salah satu penumpang mengamit Lisa yang tengah berkeliling mengecek penumpang. Pesawat yang ia tumpangi tengah berada di ketinggian jelajah 35.000 kaki. "Baik bu, tolong ditunggu sebentar ya. Apa ada yang lain yang mau dibawakan sekalian?" "Tidak usah mbak. Terimakasih ya," ujarnya tulus. Lisa mengangguk ramah kemudian berjalan ke belakang pesawat. "Kenapa, Lis?" Mbak Yani bertanya pada Lisa. "Ada penumpang yang meminta air hangat. Anaknya sakit perut." "Oh ya sudah. Coba sekalian dibawakan P3K. Siapa tahu, beliau butuh balsem atau salonpas juga." Lisa mengangguk kemudian membawakan minum dan P3K ke kursi penumpang. *** "Han, lo denger gosip nggak kalau Kapten Riadi ternyata main di belakang sama si Rasti." Siska, salah seorang pramugari yang berbeda tim dengan Lisa mulai bergosip. Dia memang ratu gosip di sini. Banyak gosip yang dia sebarkan memang benar adanya. Entah dari mana saja dia tahu, Lisa juga tidak tahu. "Gila. Lu serius? Pantesan makin gemuk aja tu kantong dia. Lu tau kemaren dia habis belanja tas Hermes edisi Musim Gugur. Gila kan? Gua heran dia dapat duit dari mana buat beli. Meskipun dia juga terkadang ikut penerbangan internasional tapi kan nggak segitu banyaknya juga duit buat ganti2 tas bermerek terus," sahut Yola. "Benar banget. Tapi gua juga heran, Kapten Riadi dapet duit segitu banyak buat jajanin dia darimana ya? Keknya gajinya nggak nyampe deh segitu kalau kudu menghidupi dua kepala yang tukang belanja." Memang benar, yang suka belanja barang bermerek seperti itu tak hanya Rasti, tapi istri Kapten Riadi juga. Hal itu mereka ketahui dari postingan-postingannya di media sosial. Memang, untuk menghidupi gaya hidup istrinya saja mungkin bisa. Tapi kalau untuk menghidupi gaya hidup dua orang sepertinya agak sedikit mencurigakan. Bukannya meragukan atau menuduh sembarangan. Hampir satu maskapai juga tahu jika Kapten Riadi terkenal dengan gaya hidup glamornya. Dia juga membiayai sekolah pilot adiknya dan anaknya. Belum lagi istrinya yang hampir setiap minggu posting beli ini beli itu. Jika Lisa akumulasikan sendiri total gajinya setahun sebagai pilot senior tak akan cukup. Untuk mencukupi hidup selama 4 bulan saja ia meragukannya. Apalagi ia tahu jika usaha Caffe yang dia rintis sudah nyaris bangkrut. Berarti tak ada pemasukan sama sekali dari Caffe itu. "Nah iya kan? Kok lama-lama gua curiga ya. Pasti ada apa-apa nya gitu. Nggak mungkin kan Kapten Riadi nyambil jadi Gigolo." Tawa mereka berdua meledak usai berkata begitu. Lisa menggeleng-geleng sendiri mendengarnya. Ia harus catat ini dipikiran. Kapten Riadi patut dimasukkan ke dalam daftar orang mencurigakan. "Eh, Lis. Gue dengar lu lulusan sekolah pramugari di Singapura ya?" Vina, salah seorang pramugari yang lumayan sombong tiba-tiba menghampiri Lisa. "Iya, memangnya kenapa, Mbak?" "Nggak. Gue dengar lu satu almamater sama si Rasti. Kali aja lu tau cerita tentang dia atau gimana dia dulu pas masih pendidikan." "Nggak ada mbak, saya nggak pernah ketemu dia. Lagi pula bukannya dia angkatan 2018? Berarti saya nggak ketemu sama dia." "Wah, emangnya lu angkatan berapa?" "2020 mbak." "Gila. Angkatan 2020 lu udah bisa masuk di sini. Lu nyogok pakai apa?" Tawa Vina meledak dan terdengar sinis serta menyindir di telinga Lisa. Lisa hanya diam. Sementara anak-anak lain mulai menyibukkan diri tak ingin ikut campur. Ia paham betul bagaimana kelakuan Vina. Melibatkan diri dengan Vina adalah satu kesalahan besar. Ia suka berbuat onar dan menyulut perang. Selain untuk mendengar berita gosip terbaru darinya, mereka enggan untuk berurusan hal lainnya. Lisa pun beranjak hendak ke toilet. Tak ada gunanya juga meladeni Vina. Lebih baik ia bersiap untuk penerbangan selanjutnya. "Eh, mau kemana lu? Lu belum jawab pertanyaan gue." Dia mencekal tangan Lisa. Gadis itu sedikit kesal namun berusaha sabar sembari mengingat tujuannya ke sini. Ia tak mau memancing keributan apalagi menarik perhatian. Akan menyusahkan nanti jika orang-orang mengenalnya. "Saya mau ke toilet dulu, Mbak. Sebentar lagi jadwal saya flight." "Alah, alasan aja lu. Bilang aja apa yang gua omongin benar. Berarti nggak ada yang salah dengan gosip tentang lu." Dia tersenyum sinis pada Lisa, tapi gadis itu tak peduli. Usai melepaskan cekalannya. Lisa segera berbalik menuju toilet. Menunaikan hajatnya lebih penting daripada meladeni omong kosong wanita seperti Vina. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD