02 | Mimpi Buruk

1033 Words
MENUNGGU itu membosankan. Aku tidak suka menunggu, tapi bukan berarti aku tidak mau menunggu. Entahlah, aku memang aneh. Kulirik jam di ponsel. Tiga puluh menit sebelum kelas selanjutnya dimulai, tapi Fisha belum menunjukan dirinya lagi. Fisha tadi izin pergi, tapi ia berkata akan kembali dan memintaku untuk menunggu. Namun, sampai sekarang ia belum juga kemari. Fisha—teman sekelas sekaligus salah satu sahabat baikku di kampus. Aku tidak punya banyak teman, tidak juga berusaha mencari teman. Karena bagiku, Rasya dan Fisha sudah lebih dari cukup. Mereka berdua sudah seperti saudara, bukan hanya sahabat saja. Beberapa menit kemudian, Fisha menunjukkan dirinya. Gadis tinggi dengan kulit putih dan rambut gelombang dicat pirang. Perempuan cantik yang jauh berbeda denganku yang lebih mirip mayat hidup. Kulitku putih, terlalu putih, sudah seperti zombie, sedangkan tinggiku biasa saja cenderung pendek. Tidak ada istimewa-istimewanya sama sekali. Fisha masih di pintu masuk kantin. Ia tengah menarik-narik sesuatu dari balik tembok. Dari jauh, aku bisa melihatnya mengentakkan kaki berulang kali dan terlihat berdebat dengan seseorang—sepertinya sesuatu yang ia tarik sedari tadi adalah manusia. Hingga suara kerasnya terdengar di telingaku. “Gue bilang cuma kenalan, bukan nyomblangin lo sama dia! Idih, siapa juga yang mau lo jadian sama dia? Gue nggak rela kalau kalian sampai jadian tahu nggak!” Tak ada suara balasan, sebagai gantinya, Fisha tersenyum cerah dengan sosok laki-laki berkacamata putih berdiri di sampingnya. Laki-laki itu dia ... mimpi burukku. Orang yang tidak ingin kujumpai lagi untuk selamanya, kenapa bisa di sini? Bersama sahabatku? Apa ini yang dinamakan takdir? Atau memang aku sudah sial sejak bertemu dengannya waktu itu? Mataku membelalak lebar melihatnya. Sedangkan dia mengernyitkan dahi, lantas tersenyum penuh arti saat melihatku, terlebih saat Fisha membawanya padaku. “Nungguin lama, Cia? Maaf, ya, ini orang diajak jalan lelet banget kayak semut, jadi bikin sebal.” Fisha menatapku dengan raut bersalah. Aku mengangguk dan mengalihkan tatapanku padanya. Dia langsung mengulurkan tangan diiringi senyuman manis, tapi bagiku senyuman itu sangat mengerikan. Aku menangkap uluran tangannya dengan cemberut. Aku tahu, doaku waktu itu tidak terkabul, karena dia kembali muncul. Mimpi buruk yang harusnya kuhindari, tapi mau bagaimana lagi? “Leo.” Sebenci-bencinya aku dengannya—karena sukses membuatku insomnia—aku tidak bisa menolak uluran jabat tangannya, karena akan sangat tidak sopan jika aku melakukannya. “Cia.” Aku membalas dengan cepat dan melepaskan tanganku, tapi ia tidak mau melepaskan tanganku. “Bisa tolong dilepasin?” Leo tidak mengindahkan permintaanku. Tangan besarnya masih melingkupi tanganku, membuatnya terlihat mungil dalam genggaman tangan kokoh milik laki-laki itu. Leo tersenyum manis, matanya menyiratkan sesuatu yang tak kumengerti apa maksudnya. “Itu tangan cewek, ya, Bang. Tolong dilepasin. Lo juga jangan flirting di depan banyak orang. Nggak sadar apa kalau yang lainnya udah mulai mimisan?” “Masa? Yang diajak flirting aja nggak sampai mimisan, Sha.” Aku menatapnya dengan tatapan menilai. Wajahnya memang sedap dipandang, mata hitam tajam, rambut hitam legam panjang dibiarkan melewati telinga. Dia terlihat sempurna. Jika tanpa kacamata bulat berwarna putih transparan itu, dia sudah pasti mirip dengan model-model cowok di majalah. Fisha berdiri. Dia menarik tangan Leo agar melepaskanku, lalu berujar, “Lo mau flirting sama Cia sampai mati juga nggak bakalan ditanggepin, Leo!” Leo menatap Fisha sekilas sebelum duduk berseberangan denganku. “Jaga sopan santun kalau ngomong sama kakak sendiri.” Ka—kakak? Jadi ... mereka saudara? “Gue nggak perlu sopan sama orang kayak lo.” Fisha kembali duduk, tatapannya beralih padaku. “Tolong maafin kakak gue dan maklumi sifat genitnya itu. Dia jarang lihat cewek cantik soalnya.” “Cewek cantik ada di mana-mana, tapi cewek cantik dan menarik cuma ada satu di dunia.” Leo terus memandangiku saat berkata seperti itu. Aku memutar bola mata bosan. “Sayangnya, tukang gombal juga ada di mana-mana. Sebanyak jejeran pedagang kaki lima di pinggir pasar.” Fisha tertawa, sedangkan Leo mengumpat, “Sialan!” Aku mengabaikan Leo dan beralih menatap Fisha. “Jadi, kalian bersaudara?” Fisha mengangguk. “Kandung atau ...?” “Kandung.” Fisha mendesah panjang. “Lo mungkin kaget karena gue nggak pernah cerita sebelumnya, tapi dia emang kakak kandung gue.” Aku memperhatikan mereka berdua. Mencari kesamaan, tapi tidak ada kesamaan apa pun secara fisik di antara keduanya, kecuali sama-sama sedap dipandang. Afishalea Geralda dan Leonidas Anggeralda, nama belakang mereka hampir sama, apakah nama keluarga? Aku mengangguk. “Awalnya sih kaget, tapi sekarang udah nggak. Lagian kalian punya nama yang mirip.” Tiba-tiba Fisha berwajah murung yang membuatku tidak enak. Apakah ada yang salah dengan kata-kataku? Aku memalingkan muka menatap Leo saat Fisha berkata, “Lo nggak marah sama gue, kan?” “Marah kenapa?” Aku kembali menatapnya. “Kita udah sahabatan dua tahun dan lo sama sekali nggak tahu apa-apa soal gue. Soal Leo aja lo baru tahu hari ini. Lo nggak marah?” Aku menggeleng. “Nggak ada alasan apa pun buat gue marah ke lo.” “Tapi, gue udah nyembunyiin sesuatu yang penting dari lo.” Penting? Aku menggeleng. “Semua orang punya privasi. Nggak hanya gue, elo, atau mereka, tapi semua orang. Buat apa gue marah, kalau bukan hanya gue yang nggak tahu status hubungan kalian berdua?” “Tapi—” “Apa Rasya tahu ini? Enggak, kan? Jadi jangan ngerasa bersalah gitu.” “Lo nggak penasaran, alasan kami menyembunyikan status ini?” Pertanyaan itu datang dari Leo. Aku memamerkan satu senyuman terbaikku padanya. “Penasaran, tapi gue juga harus ngehargai privasi kalian. Kalau nggak mau cerita, ya udah, gue juga nggak masalah.” “Cia!” Aku menatap Fisha yang kini meneteskan satu air mata di pipinya. “Maaf!” Aku memalingkan muka dengan cepat. “Nggak perlu minta maaf. Oh ya, lo mau pesan apa? Gue mau ngantre pesan makanan sekarang.” “Kenapa tiba-tiba—” “Lo juga mau pesan apa, gue pesenin. Mumpung gue lagi baik hati.” Aku tak mengizinkan Leo menyelesaikan kalimatnya Laki-laki itu mengernyitkan dahi. Sedangkan aku hanya ingin pergi. Mencari pengalihan dengan melarikan diri. Karena saat ini, aku ingin menangis. Entah mengapa, ketika melihat seseorang yang dekat denganku menangis, aku akan melakukan hal yang sama. Dan sebelum air mata itu jatuh, aku harus pergi dari hadapan mereka; agar tidak seorang pun tahu aku ikut terluka oleh luka yang bahkan tidak pernah kuterima.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD