01 | Kode

1386 Words
KEJADIAN hari itu menjadi bunga tidur setiap malam. Adegannya sedikit berbeda, bukan wanita yang kulihat kemarin, melainkan diriku sendiri yang menjadi pemerannya. Jujur saja, aku tidak mengenal mereka. Ada ribuan mahasiswa di kampus ini dan aku bukan salah satu mahasiswa aktif yang memiliki banyak koneksi. Jadi, aku sama sekali tidak tahu siapa dia. Kami asing, tentu saja, tidak ada yang mengenalku, aku bukan mahasiswa sepopuler itu. Lantas, mengapa aku bisa memimpikan sedang ... em ... berciuman dengannya? Apa salahku? Aku bukan cewek m***m, lalu kenapa aku bisa memimpikan hal itu bersamanya? “Astaga!” pekikku ketika merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipi. “Ngelamunin apaan lo?” Aku menoleh, sosok laki-laki tinggi dengan kulit kecokelatan sedang menenggak minuman dari kaleng di tangan kirinya, sebelum kembali menatapku. “Lagi mikir yang enggak-enggak, ya?” “Apaan, sih!” Dia Rasya, orang terdekatku. Sahabat baik yang rumahnya berada tepat di samping rumahku. Sosok yang beberapa tahun lalu pernah mengisi hati, sayangnya, cinta itu harus pupus lantaran dia mencintai perempuan lain. “Terus, lo dari tadi ngapain kalau nggak ngelamun?” Rasya menghela napasnya kasar. “Fisha mana, tumben nggak ngintilin lo ke sini?” “Dia lagi ngerjain tugas di perpus, gue udah kemarin.” Rasya duduk di sebelahku, tatapannya terjatuh ke arah anak-anak klub basket yang sedang berlatih di lapangan. Kami memang sering bertemu di dekat gedung fakultas kedokteran tempat Rasya kuliah, karena tempat ini dekat dengan kafetaria, juga tempat yang paling strategis untuk melihat anak-anak klub basket yang sedang latihan. “Nggak mau ikut main?” tanyaku, sedikit menggodanya. “Males.” “Dih, apaan lo malas mulu alasannya!” Rasya mendengkus, dia memalingkan muka, menatap pohon besar yang menaungi kursi tempat kami duduk sekarang. Aku yakin, dia tengah mengingat kembali kenangan semasa SMA-nya dulu. Walau kami bersekolah di tempat yang berbeda, tapi aku tahu sepak terjangnya di dunia basket. Dia pernah mendapatkan gelar MVP (Most Valuable Player) sewaktu kelas sebelas. Gelar yang sukses membuat namanya meroket diiringi predikat buruknya—tukang berantem, berandalan, anak nakal, dan lain-lainnya. Aku tidak akan menyangkal, karena memang seperti itulah Rasya. Walaupun dia berandalan, tapi aku yakin, dia tetap laki-laki terbaik yang pernah kukenal. Bahkan ayahku kalah baik darinya. “Lo kenal mereka, Ras?” Rasya menghela napas kasar. “Sebagian kenal karena anak kedokteran, cuma beda tingkat. Mungkin cuma si T-Rex yang paling gue kenal, dia temen sekelas gue soalnya.” “T-Rex? Namanya keren amat.” “Nama aslinya Rex, cuma gue tambahin biar pas dikit.” Rasya tertawa tanpa dosa, sedang aku mencari-cari di mana si T-Rex berada. Aku kesulitan menemukan yang mana T-Rex sampai netra hitam itu mengunci tatapanku. Tatapannya yang tajam membuatku terus memandang ke arahnya. Aku memalingkan muka ke arah Rasya dan sesekali kembali meliriknya. Namun, dia tetap di sana. Tatapannya masih tertuju padaku. Mata hitam yang membius sekaligus mengerikan yang mengingatkanku pada tatapan laki-laki yang kutemui di perpustakaan tempo hari. Dia nggak munkin dia, kan? “Mau ngapain dia di sana?” Dengkusan tidak senang dari Rasya membuatku memandanginya. “Siapa?” “Cowok itu.” “Yang mana?” “Yang pakai kacamata putih.” “Deskripsi lo jelek banget.” Aku mencari sosok yang dimaksud Rasya, tapi sosok itu sama persis dengan laki-laki yang sejak tadi mengawasiku dari jauh sana. “Dia anak klub basket juga?” “Udah enggak, udah ketuaan.” “Dih, nggak sopan!” “Beneran, dia udah tua, tinggal nunggu lulus skripsi doang. Basket buat dia nggak ada arti lebihnya—” Rasya menoleh padaku dan aku balas menatapnya. “Kayak elo, ya?” “Tapi, dia lebih parah.” “Kalian sama aja.” Aku memandangi laki-laki itu yang kini sedang berbicara dengan salah satu pemain basket yang mendekatinya. “Namanya siapa, Ras?” “Leonidas Anggeralda.” “Kayak pernah baca di mana gitu?” Rasya melirikku sinis. “Top scorer sewaktu SMA gue dulu, masa lo nggak ingat?” Aku mengayun-ayunkan kakiku agar bisa sedikit rileks. Aku ingin menjawab, tapi aku tidak bisa menjawabnya. Mana mungkin aku bilang pada Rasya, kalau aku cuma tahu tentang gelar MVP-nya gara-gara dia yang memperolehnya dan bukannya orang lain? Kalau orang lain yang mendapatkannya, buat apa aku harus tahu? Tidak penting. “Eh, kenapa lo tiba-tiba nanya nama dia?” “Gue kira dia si T-Rex.” “T-Rex yang badannya segede gaban—” “Mirip elo, dong?” candaku yang berhadiah delikan. “Lo nggak naksir sama dia, kan?” Aku melotot. “Mana mungkin, dih!” “Bagus, jangan naksir sama dia. Apa pun yang terjadi, pokoknya jauh-jauh dari dia. Dia nggak baik buat lo.” Dahiku mengernyit, kenapa dia tidak baik untukku? Apa alasannya? Kenapa Rasya terlihat begitu tidak menyukainya? Kalau dia memang laki-laki yang pernah kulihat minggu lalu, si Cowok m***m di perpustakaan, maka jelas dia bukan laki-laki yang baik. Tidak ada laki-laki baik yang berbuat m***m di tempat umum begitu. Namun, aku penasaran, kenapa Rasya terlihat seperti sangat tidak menyukainya? Rasya yang kukenal, dia takkan membenci seseorang tanpa alasan yang kuat. Sebagai orang yang sering bergonta-ganti sekolah, Rasya cukup supel dalam bergaul, dia pandai bersosialisasi, teman-temannya banyak, koneksinya di kampus ini jangan ditanya. Aku bahkan tidak ada seujung kuku jarinya sama sekali. Aku baru saja membuka mulut hendak bertanya, tapi Rasya sudah berdiri. Dia melempar kaleng minuman dinginnya yang telah tandas tepat ke tong sampah terdekat. “Gue ngelas dulu, salamin buat Fisha, jangan malas-malas jadi mahasiswa.” “Dih, kayak elo nggak pemalas aja! Gue mau nanya sesuatu Rasya!” jeritku saat Rasya telah berjalan menjauh. “Entar aja di rumah!” balasan itu membuat bibirku cemberut. Padahal, aku sedang penasaran tentang laki-laki bernama Leonidas itu. Bukannya naksir, hanya saja, informasi tentang dia dan masalah 'aku yang tak boleh dekat-dekat dengannya' membuatku penasaran setengah mati. Aku mendesah kasar. Tatapanku kembali terarah ke lapangan. Latihan mereka kembali dilanjut dan aku tak mendapati Leonidas di sekitar sana. Syukurlah, walau wajahnya cukup sedap dipandang, tapi tatapannya membuatku sesak napas. “Ikut gue,” bisikan di atas telinga, disusul tarikan di pergelangan tangan membuatku kaget. “Eh?” Aku lebih terkejut lagi saat melihat wajahnya. Dia ... bukannya laki-laki yang tadi? Si Leonidas Anggeralda? “Jangan banyak tanya.” Leonidas menariku memasuki gedung fakultas kedokteran, ia terus membawaku pergi, dan berhenti di salah satu koridor yang terlihat sepi. Tidak ada seorang mahasiswa pun yang berlalu-lalang di sekitar sini. “Anu—” ucapanku terhenti, kala ia mendorong tubuhku hingga membentur tembok, sedangkan dia mengurung tubuhku dengan kedua lengannya. “Perpustakaan.” Aku terdiam, tidak mengerti apa yang ia katakan. “Lo cewek yang waktu itu, kan?” Wajahku langsung pucat pasi menyadari jika aku berada dalam bahaya kali ini. Posisi kami sama persis seperti di mimpiku setiap malam. Lebih parahnya lagi, di adalah laki-laki itu! Si Cowok m***m di perpustakaan minggu lalu! Astaga! Aku harus bagaimana lagi sekarang? “Maksudnya gimana, ya, Kak? Maaf, tapi tolong lepasin gue dulu kalau mau—” Mulutku terbungkam rapat. Dia mendekatkan wajahnya dengan gerakan cepat, embusan napasnya bahkan terasa hangat. Aku mendorong tubuhnya, tapi ia semakin menghimpitku ke dinding dengan tubuhnya yang tinggi dan besar untuk perempuan pendek sepertiku. Tatapannya yang tajam menyiratkan ancaman. Aku menelan ludah susah payah. “Siapa nama lo?” “Emangnya perlu?” “Iya.” “Laticia Armelia.” “Lo nggak lagi bohong, kan?” “Apa perlu gue ngasih kartu mahasiswa gue ke lo?” Dia menggeleng. “Nggak perlu, gue percaya sama lo.” Aku mengangguk mengerti. “Kalau gitu lepasin gue. Gue mau pergi.” Dahinya mengernyit. “Ke mana?” “Ngelas.” “Sayangnya nggak bisa. Lo harus tanggung jawab ke gue.” “Ha? Tanggung jawab apaan!” Sontak aku berteriak padanya. Ia kembali menunjukkan senyumannya. Kali ini senyuman itu terlihat menyeramkan. “Ciuman gue yang waktu itu.” Tangannya meraih pipiku yang langsung kutepis dengan cepat, tapi ia malah meraih daguku. Kali ini ia mencengkeramnya dengan kuat dan aku tak bisa melepaskannya. Tidak mau menyerah, aku kembali mendorong dadanya, tapi ia sama sekali tak terganggu akan hal itu. Aku menatap wajahnya. Memang tampan, tapi sayang ... wajah baby face semacam itu bukan tipeku. Aku menginjak kakinya dan menendang tulang keringnya dengan keras. Ia mengumpat kesakitan sambil memegangi kakinya. Aku terlepas. Kesempatan itu kugunakan untuk pergi menjauh. Sejauh-jauhnya darinya dan berdoa ... semoga kami takkan bertemu lagi untuk selamanya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD