Tiga

1598 Words
"Attar, tolong temani Aretha main sebentar, ya." "Baik, Tante," sahut Attar sopan.  Diperhatikannya anak perempuan itu. Rambutnya dipotong sebahu, bergelombang seperti ombak. Pipinya putih dan montok sekali. Ingin Attar mencubitnya, tetapi ia takut anak itu menangis.  Anak itu menatap Attar penasaran dengan mata bulatnya. Dalam dekapannya, terdapat selimut merah muda yang sudah kumal. Pernah Attar bertanya kepada ibunya, mengapa ada anak yang suka membawa barang-barang tidak penting seperti itu. Apakah mereka tidak malu? Ibunya berkata, barang-barang tersebut mendatangkan rasa nyaman.  "Berapa umurmu?" tanya Attar buka suara. Anak itu menggosok ujung hidungnya. "Enam tahun."  "Oh. Ayo, duduk di sini." Attar menepuk-nepuk bangku kayu di sebelahnya. "Namamu Aretha?" Aretha mengangguk. Attar tidak lagi bertanya, malah sibuk dengan buku di tangannya. Ia tidak punya adik seumuran dengan Aretha. Jadi, sulit baginya berbasa-basi dengan anak sekecil itu. "Mas ganteng sekali." "Ha?" Attar terperangah. Ia balas menatap Aretha dengan alis terangkat, sedangkan Aretha menatapnya dengan sorot kagum cenderung genit. Mata bulat itu bersinar-sinar. "Tentu saja. Papaku juga ganteng," sahut Attar sekenanya. "Kenapa?" "Kenapa apanya?" "Kenapa Mas ganteng?" Attar menutup bukunya kesal. Tidak biasa-biasanya ada anak kecil yang memperhatikannya, lalu mengatakan dirinya tampan. Dasar genit!  "Kamu tahu kenapa aku disebut ganteng dan kamu disebut cantik?" Aretha menggeleng. "Aku disebut ganteng karena aku laki-laki dan punya p***s. Kamu disebut cantik karena kamu perempuan dan punya v****a. Mengerti?" Aretha memiringkan kepalanya. "Apa itu p***s?" Attar ternganga. "Memangnya ibumu tidak mengajarimu alat kelaminmu sendiri?" "Alat kelamin itu apa?" Respons Aretha membuat Attar garuk-garuk kepala. Sejak kecil kedua orang tuanya sudah mengajarinya anatomi tubuhnya mulai dari kaki hingga kepala. Kenapa Aretha malah bertanya? "Alat kelamin itu—" "Kalian ngomongin apa, sih?" Terdengar suara sang tante menyela percakapan itu. "Serius amat?" "Tante, apa itu p***s?" sambar Aretha menggoyang tangan tantenya. Raut wajah Martha seketika syok. "Attar! Kamu ngomongin apa dengan Retha?" Attar menampakkan raut polosnya. "I've just told her, perbedaan laki-laki dan perempuan terletak pada p***s dan v****a. Apa aku salah?" "Ng-nggak salah, tapi ... " Martha pun ragu-ragu memilih kata-katanya, "mungkin Retha tidak mengenal kata-kata seperti itu." "Memangnya kedua organ itu punya nama lain?" "Ya, beberapa orang menamainya dengan nama lain." "Kenapa?" "Karena ... ayolah, itu nggak sopan, Nak." "Kenapa nggak sopan? Biasa aja, kok." Belum sempat Martha menjawab, keponakannya kembali menggoyang tangannya menuntut penjelasan. "Tante, p***s itu a—" "Should I show her?" sambar Attar polos sekaligus gemas. "Apa?" Martha melongo dengan muka memerah. "Apa menurutmu sopan memperlihatkan itu pada orang lain?" "Enggak, sih." Attar mengangkat bahunya. "Memangnya Retha nggak diajarin itu?" "Tante nggak tahu, Attar," kata Martha menyerah. Dirinya bukanlah ibu Aretha, sehingga tidak tahu seluk beluk pendidikan s*****l keponakannya itu. Dan ia cukup syok mendengar Attar menyebutkan dua kata yang sering disebut tabu itu secara gamblang. Beberapa detik kemudian ia baru sadar, kedua orang tua Attar adalah dokter. Lelaki yang baru menikahinya kemarin, adik dari ayah Attar, pun seorang dokter. Tentu saja mereka mengajari Attar anatomi tubuhnya sendiri secara eksplisit. Attar mengambil bukunya kembali. "Hati-hati, Tante, nanti dia diajarin sama orang jahat. Itu hanya bagian dari anatomi tubuh, kan? Papa dan Mama menyebutnya seperti itu." "Tapi Retha tidak diajarkan seperti itu, Attar." "Lalu itu jadi salahku?" "Ah sudahlah!" Martha mengibaskan tangannya. "Sana masuk!" Sementara Aretha menarik-narik ujung baju tantenya sambil berbisik penasaran. "Tante, p***s itu apa?" Muka Martha pun lagi-lagi memerah. Mungkin sebaiknya ia menuntut penjelasan pada kakak dan juga kakak iparnya.  *** Setelah sarapan pagi, Thalia mengajak Aretha pergi berbelanja. Tadinya ia ingin pergi bersama Bi Ati saja, tetapi Thalia bersikeras menemaninya setelah mendapat telepon dari Tante Martha.  Di dalam kendaraan yang membawa mereka pergi, Aretha hanya diam. Rasanya canggung berada di dekat orang yang tidak ia kenal sama sekali. Maksudnya, di masa kecilnya dulu ia memang mengenal si kembar itu. Namun, sekarang tentu saja berbeda. Mereka sudah dewasa. Perhatiannya malah tertuju pada Calista, batita perempuan yang sedang duduk manis di car seat. Rambut Lista bergelombang persis seperti ayahnya. Bocah itu balas memandanginya. Sesekali Lista tersenyum atau tertawa memperlihatkan gigi geligi mungilnya. Lucu sekali! Aretha pun ikut tersenyum. "Apa kabar Mami, Ri?" Thalia tiba-tiba bertanya. "Masih ngajar?" "Masih, Mbak." Aretha menggosok ujung hidungnya. "Beliau sehat?" "Sehat." Mengingat sang ibu, ia merasakan sensasi tidak nyaman. Sewaktu ia meninggalkan rumah, ibunya masih sehat. Entahlah kalau sekarang, mungkin ibunya sudah terkena serangan jantung. Ia berusaha menyingkirkan perempuan itu dari benaknya. Who knows? Who cares? "Mami tahu kamu di Jakarta?" "Eh?" Aretha tergagap. Pertanyaan itu terdengar berbahaya dan ia sama sekali tidak siap. "A-anu—" Tanpa disangka, Thalia malah menatap Aretha curiga. "Jangan-jangan, kamu kabur dari rumah?" Melihat Aretha tiba-tiba terdiam, Thalia nyengir lebar. "Santai aja, aku ngerti kok. Sesama para alumni perkaburan, kita senasib. Tos!" Thalia mengulurkan tangannya, mengajak Aretha tos bersama. Dasar aneh! gumam Aretha dalam hati. Belum sempat ia bertanya, Thalia malah menceritakan pengalamannya kabur dari rumah dan hidup sendirian beberapa tahun lamanya. Yang membuat Aretha kagum, ekspresi perempuan itu seperti tanpa beban. Thalia seolah-olah menganggap kabur dari rumah hanyalah pelarian ke arena bermain semata.  "Kita ini perempuan tangguh. So, cheer up!" pungkasnya. *** Terdengar ketukan di pintu kamar. Attar malas-malasan membuka mata, lalu beranjak ke pintu. "Mas, bisa minta tolong?" pinta pengasuh keponakannya. "Kenapa, Mbak?" "Bisa tolong gendong Gala sebentar? Saya mau menghangatkan susunya." "Papa mana?" tanya Attar lagi. Biasanya, hanya sang ayah yang betah sekali menghabiskan waktu bersama cucu-cucunya. "Ke rumah sakit, Mas." "Papanya Gala ke mana?" "Ketiduran, Mas." Attar geleng-geleng kepala. Ia bergegas mengambil Gala dari gendongan pengasuhnya. Setelah itu, perempuan itu pergi ke dapur untuk menghangatkan s**u. Sudah jadi kebiasaan, kedua orang tua sableng itu berbagi peran mengasuh kedua buah hati mereka di saat libur. Thalia lebih sering membawa Lista, sedangkan Costa mendapat tugas menjaga Gala. Dan sudah menjadi kebiasaan pula, Costa lebih sering tertidur ketika sedang bersama anaknya. Anehnya, Costa bisa tidur di mana saja, bahkan di antara tumpukan mainan! "Tutam!" pekik Gala tiba-tiba. Matanya berbinar-binar antusias. "Tutam? Apa itu?" Kening Attar langsung berkerut.  "Tutam." Gala menunjuk-nunjuk ke arah dapur, lalu merengek saat Attar tak jua bergerak. "Tutam itu apa, sih?" Attar tiba-tiba kagum pada Thalia. Perempuan memang translator paling hebat sedunia. Thalia mengerti maksud perkataan kedua anaknya, padahal mereka bicara dengan bahasa planet yang tidak jelas artikulasinya. "Tutam!" pekik Gala lagi sambil menunjuk ke keranjang buah di meja makan. Sesekali ia menepuk pipi Attar. "Apel?" Attar mengangkat sebuah apel, lalu meletakkannya kembali melihat Gala menggelengkan kepala. "Tutam!" "Pir? Jeruk? Anggur?" Attar mengangkat buah satu persatu. Tepat ketika ia menunjuk buah pisang, bocah kecil itu melonjak kegirangan. "Oh, pisang?" "Tutam." Gala antusias memegang buah pisang dan bergegas memasukkannya ke mulutnya. Untung saja Attar buru-buru mengambil buah pisang tersebut lalu mengupas kulitnya. "Ini namanya pisang, Gala, bukan tutam." "Tutam." "Pisang." "Tutam!" "Pisang." "Tutam! AAA!" bocah itu memekik. Belum sempat Attar bicara, pisang yang berada di tangan Gala itu telah melayang ke mukanya. "Aduh!" Attar meringis. Sedangkan Gala menangis meraung-raung.  *** Aretha tahu, mencari lowongan pekerjaan pada setumpuk koran tidak lagi menjadi tren belakangan ini. Orang-orang lebih suka memanfaatkan media digital, bahkan lamaran pekerjaan pun bisa dikirim melalui surel. Sebagai fresh graduate yang belum berpengalaman, ia terpaksa memulainya dengan cara tradisional. Ia hanya sempat menyelamatkan hardisk laptopnya sebelum kabur. Smartphone-nya pun lupa ia bawa. Ponsel lipat usang miliknya terpaksa ia buang di jalanan ketika berbelanja bersama Thalia, setelah mematahkan kartu SIM-nya terlebih dahulu. Dengan cara itu ia berharap keberadaannya tidak terlacak, meskipun itu sedikit terlambat. "Hai, Re." Aretha terperanjat. Ia langsung mendongak dan mendapati Attar sedang menatapnya dengan melipat kedua tangan di perutnya. Sensasi gugup menggelitik perutnya. "Kamu lagi ngapain?" Attar mengambil tempat duduk di sofa tepat di hadapan Aretha. "Umm ... mencari lowongan pekerjaan," sahut Aretha sambil menggosok ujung hidungnya. Keberadaan Attar membuat jantungnya berdebar-debar. "Hari gini nyari lowongan kerja di koran?" Attar mengangkat alisnya. "Kamu hidup di tahun berapa, sih?" Aretha hanya diam. Ia melingkari beberapa iklan dengan pensil. Kebanyakan iklan yang muncul di sana sebagai cleaning service. Ia mengeluh dalam hati. "Kamu lulusan universitas mana?" Aretha menyebutkan salah satu universitas negeri di Bali serta jurusannya, Teknologi Informasi. "Kamu bisa bekerja di rumah sakit," kata Attar menawarkan. "Bilang saja sama Papa." "Nggak usah, Mas. Aku nggak mau ada nepotisme." "Jangan terlalu idealis." Attar melirik sekilas nilai Aretha yang menunjukkan angka tiga koma nol sambil meledek, "Dengan nilai segitu, kamu nggak bisa berharap banyak." Muka Aretha merah padam. "Memangnya IPK Mas berapa?" tantangnya sebal. "Nyaris sempurna. Tiga koma sembilan sekian," sahut Attar menyombongkan diri. "Congratulations." Aretha diam-diam menghela napas panjang. Pertanyaan barusan adalah sebuah kesalahan besar. Dasar sombong! "Kamu nggak punya smartphone?" "Enggak." "Ada laptop?" Aretha lagi-lagi menggeleng. Ia kembali sibuk dengan korannya saat Attar tiba-tiba menjauh tanpa permisi. Beberapa menit kemudian, laki-laki itu kembali dan mengulurkan sebuah laptop lengkap dengan charger-nya, serta sebuah smartphone. "Bekas pakai, tapi nggak rusak." "Buat aku, Mas?" Attar mengangguk. Sangat tidak wajar hari ini masih ada anak muda yang tidak memiliki smartphone. Raut wajah gadis itu misterius sekali, seperti menyimpan banyak rahasia. Ia menebak banyak hal yang disembunyikan oleh Aretha. Sulit dipercaya, gadis yang ada di hadapannya saat ini berbeda 180 derajat dibandingkan dulu. "Ma-makasih, Mas. Nanti aku balikin lagi." "Nggak usah, pakai aja." Attar menyebutkan beberapa website yang biasanya menyediakan lowongan pekerjaan. "Kamu juga bisa bikin profile di LinkedIn. Pajang CV dan info portofoliomu di sana." Aretha mangut-mangut sambil menyalakan laptop tersebut. Benda dengan body aluminium berwarna perak itu masih mulus tanda si pemiliknya merawatnya dengan baik. Sementara itu, Attar menatap gadis di depannya lekat. Ingatannya tiba-tiba melayang ke belasan tahun silam. Sebuah peristiwa konyol membuatnya menyunggingkan senyuman simpul. "Jadi gimana, Re," panggil Attar kemudian berdehem. Tepat ketika Aretha mengangkat kepala, ia bertopang dagu, lalu berkata, "Kamu masih mau nikah sama aku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD