Dua

1801 Words
"Sepertinya ada tamu, Bi," kata Aretha pada Bi Ati mendengar bel berbunyi. "Aku aja yang buka ya, Bi," sambungnya karena melihat Bi Ati masih kerepotan dengan adonannya. Ia bergegas ke depan, menarik handle pintu, lalu terpaku. Di hadapannya berdiri seorang laki-laki yang mengenakan kaos lusuh berwarna orange, mirip tahanan KPK, dipadukan dengan washed jeans—yang entah sudah berapa hari mangkir dari mesin cuci. Ingatannya seolah tertarik kembali ke masa lalu, lalu kembali ke foto keluarga berukuran raksasa yang sempat dilihatnya di dinding. Diakah orangnya? "Hai," sapa laki-laki itu. "Pembantu baru, ya?" "Eh? A-aku—" "Siapa namamu?" "Namamu Aretha?" "Umm ... Ari." "Kok, kayak nama laki-laki?" "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet," sahut Aretha sekenanya. "Oh, cool!" Laki-laki itu terlihat seperti keheranan. Ia berjalan melewati Aretha menuju anak tangga. "Bikinin saya s**u panas. Satu gelas besar!" Aretha berjengit. Ia melirik penampilannya sendiri melalui pantulan kaca jendela. Do I look like a maid? Ia bergegas menuju dapur. Bi Ati tengah mempersiapkan makan malam bersama dua orang asisten lainnya. "Bi," tegurnya sambil mendekat. Tangan kirinya beberapa kali menarik leher daster kedodoran yang melorot ke bahunya. Rasanya tidak nyaman. Salahnya yang datang hanya berbekal ransel kecil dan pakaian yang melekat di badan. Untungnya Bi Ati bermurah hati meminjamkan daster tersebut kepadanya. Perempuan itu berjanji menemaninya berbelanja pakaian keesokan harinya. "Ya, Non? Siapa yang datang?" "Nggak tahu, Bi. Orangnya cuma minta dibikinin s**u," sahut Aretha tak hendak berspekulasi. Ia baru datang dalam hitungan jam dan belum berkenalan dengan banyak orang. Yang penting, laki-laki itu sah penghuni rumah ini, mengacu pada foto keluarga yang dilihatnya sebelumnya. Panggilan Non yang disematkan Bi Ati masih sukses membuatnya garuk-garuk kepala. Perempuan itu ngotot memanggilnya seperti itu dengan alasan takut dimarahi majikannya. Aretha penasaran, segalak apa tuan rumah yang berbaik hati memberinya tumpangan tersebut sampai Bi Ati terlihat sungkan sekali. "Oh, Den Attar?" tebak Bi Ati lagi. "Attar?" Jadi, dia benar Mas Attar? "Orangnya ganteng?" "Uh, lumayan, Bi." Oh, yeah, somehow he's cute! Masih sama seperti dulu, laki-laki itu ... tampan. Kontur wajah dengan rahang perseginya menampakkan sisi maskulin yang membuat jantung bergemuruh riuh. Ingatannya terseret kembali pada sosok prince charming di masa kecil yang pernah membuatnya jatuh hati. Namun sayangnya, hati kecilnya harus patah berderak hanya dalam hitungan menit setelah menerima penolakan kasar. Ingatan menyebalkan! rutuknya malu. "Di rumah ini cuma Den Attar yang minum s**u, Non." "Udah gede, masih minum s**u?" ledek Aretha geli. "Katanya biar tidurnya pulas, gitu, Non. Kasihan, Den Attar sudah dua minggu nggak pulang." Perempuan yang berusia nyaris enam puluh tahun itu bergegas membuatkan satu gelas besar s**u panas dan menaruhnya di atas nampan minuman. "Memangnya dia kerja di luar kota, Bi?" "Enggak, kok." "Lalu?" "Den Attar lagi ikut PPDS, Non, spesialis bedah, sama kayak Tuan Dokter." Saking akrabnya mereka, Bi Ati seakan tahu segalanya tentang anak majikannya itu. "Oow." Aretha mengangguk-angguk paham. "Biar aku saja, Bi." Ia buru-buru meraih nampan itu dari tangan Bi Ati. "Aduh, biar Bibi saja, nanti Tuan Dokter marah. Non, kan, tamu di sini." "Nggak apa-apa, Bi, santai saja," tukas Aretha memaksa. Baru saja ia pikir, mungkin sebaiknya ia membantu-bantu di rumah itu agar tidak dicap hanya menumpang makan dan menginap tanpa bayaran. "Kamarnya yang mana, ya, Bi?" Bi Ati menunjukkan kamar majikannya. Setelah itu, ia kembali ke dapur meneruskan kegiatannya. Aretha menaiki tangga sambil menjaga agar s**u yang dibawanya tidak tumpah. Setelah sampai di depan kamar Attar, ia mengetuk pintu dengan sebelah tangan. Beberapa kali mengetuk, tak satu kali pun terdengar jawaban. Ia nekat memutar handle pintu dan menguaknya. Setibanya di dalam, ia berdecak. Kamar tersebut berantakan sekali! Terdapat belasan buku-buku tebal berserakan di lantai. Pakaian kotor menumpuk di kursi baca. Aretha harus mengernyitkan hidung saat bau apak menyapa penciumannya. Dasar jorok! Pandangannya tertuju ke atas tempat tidur. Laki-laki itu tampak tertidur pulas dengan posisi menelungkup. Sebuah laptop masih menyala terletak di sampingnya. Ia kembali ke dapur. "Dia sudah tidur, Bi," katanya seraya menaruh s**u di atas meja. "Ya ampun!" Bi Ati geleng-geleng kepala. "Biasanya sampai pagi besok nggak bangun-bangun, tuh, Non." "Aku ke kamar sebentar, ya, Bi." "Silakan, Non." Aretha kembali ke kamarnya. Ia mengeluarkan sebuah ponsel lipat dari dalam tas, kemudian mengaktifkannya. Sebuah notifikasi pesan masuk tertera di layarnya. Ia membuka pesan dari nomor tak dikenal tersebut dengan kening berkerut. "Berlarilah sejauh mungkin, Sayang. Saat kau kutemukan nanti, aku akan membunuhmu!" Ia buru-buru mematikan ponselnya kembali sebelum terduduk lemas di pinggiran tempat tidur. Tanpa perlu bertanya pun ia sudah tahu siapa pengirimnya, mantan calon suami yang ia tinggalkan di malam sebelum pernikahan mereka. Tiba-tiba, tungkainya menggigil dengan hebatnya. *** "Mangun! Mangun!" Suara teriakan dua kurcaci kecil menyapa pendengaran Attar. Mimpi indahnya wisuda dengan menyandang gelar spesialis bedah langsung buyar. Tidak lama setelah itu, salah satu dari mereka menduduki perutnya dan yang satunya lagi menepuk-nepuk mukanya dengan kasar. Attar membuka mata, lalu menggerutu kesal. Suaranya serak saat berteriak, "MAS! Anakmu, nih!" "Mangun ... mangun!" cerocos dua kurcaci itu bergantian. Kali ini sambil menjambaki rambut Attar. "Mas! Atha!" teriaknya lagi. Baru berumur belasan bulan, si kembar tersebut sudah pintar membuat dunia Attar kocar-kacir. "Ya Tuhan, kapan, sih, gue bisa tidur tenang?" Ia susah payah melepaskan diri sebelum menyelinap ke dalam selimut. Namun, kedua bayi kembar itu tak berhenti merecokinya. Salah satu dari mereka malah dengan tidak sopannya menduduki kepalanya dengan p****t montok yang terganjal diaper. "Gotcha!" Diraihnya kedua bocah kembar itu kemudian digelitikinya perutnya sambil diciuminya dengan gemas. Dihirupnya aroma wangi yang menguar dari tubuh serta mulut keduanya dengan rakus. Keduanya menjerit-jerit kegelian. Punah harapan Attar untuk bisa kembali memejamkan mata. Bau tubuh serta mulut mereka mungkin tidak lagi sewangi ketika belum tersentuh makanan pendamping ASI, tetapi tetap membuat Attar ketagihan. Mood-nya seketika berubah jadi baik setelah menciumi si kembar itu sepuasnya. Bau mulut yang enak pada bayi disebabkan oleh sel imun bernama fagosit yang terdapat pada air s**u ibu. Fagosit bertugas membunuh bakteri penyebab bau tidak sedap. Itulah sebabnya bayi yang mengonsumsi ASI berbau lebih enak daripada bayi yang sudah minum s**u formula. Dan ya, tahukah kau bahwa para bayi itu manipulatif sekali? Kelucuan mereka sanggup membangkitkan hormon dopamin dan serotonin pada orang dewasa. Tawa polos mereka membuat bibirmu yang manyun seketika merekah dengan senyuman. Tangisan mereka membuat insting ingin melindungimu segera bekerja. Tidak ada alasan untuk tidak mencintai bocah-bocah mungil tersebut, bukan? *** Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, Attar turun ke lantai satu. Biasanya, di akhir minggu, formasi keluarga mereka mendadak lengkap. Ayahnya sengaja ada di rumah agar punya waktu bersama cucu-cucunya. Pria yang kehilangan senyumannya semenjak ibunya meninggal itu tiba-tiba mendapatkan keceriaannya kembali setelah berdamai dengan Thalia, adiknya. Attar tidak bisa untuk tidak tersenyum geli melihat rona bahagia seorang Bimantara kala tertawa bersama dua kurcaci kecil yang liciknya bukan main. See? Mereka itu manipulatif sekali! Keningnya mengernyit mendapati si pembantu baru melongokkan kepala mengintip di pintu dapur. Attar tahu, di dalam sana, adik serta iparnya tengah sibuk menyiapkan sarapan. Padahal mereka punya pembantu, tetapi Thalia ngotot menyiapkan sarapan untuk mereka setiap kali pulang. Dan sang suami, Costa, biasanya setia menemani istrinya, membantu mengiris bawang, timun, merebus pasta, atau mencuci wajan. Romantis sekali! "Kalau kamu berniat jadi pelakor, aku cincang kamu," tegurnya sambil berbisik lirih. Gadis itu terperanjat. Attar menaikkan alisnya kala si gadis memelototinya dengan mata bulatnya. "What?" Kala gadis itu mengentakkan kaki sambil menjauhinya, Attar hanya mengangkat bahu. Ia menarik kursi makan dan duduk tenang di situ. "Rajin amat, Mas?" tegurnya pada Costa yang sedang membantu Thalia memotong sosis di papan talenan. Tampaknya mereka sedang memasak nasi goreng. "Kamu nggak berniat bantuin?" sahut Costa sambil lalu. "Malas." Attar berdecak. "Siapa, sih, yang punya ide masukin para kurcaci itu ke kamar saya?" sambungnya kesal. Selalu saja, setiap kali dirinya ada di rumah, Costa menghasut anak-anaknya untuk mengganggu tidurnya. "I just opened the door," sahut Costa memasang tampang polosnya, lalu menyeringai licik. Istrinya pernah berkata, hubungannya dengan Attar semacam bromance dalam drama Korea. Mereka sering bertengkar seperti bocah berebut mainan, tetapi membuat suasana kaku di rumah itu kembali hidup. Attar mendengus. Mungkin sebaiknya lain kali ia mengunci pintu dari dalam. Ia melirik dua kurcaci kesayangannya yang duduk manis di high chair, disuapi oleh pengasuhnya. Tak lama kemudian, meja makan telah dipenuhi dengan piring dan nasi goreng sebagai menu sarapan. Attar mengelus perutnya yang tiba-tiba keroncongan. Sudah lama rasanya ia tidak makan makanan yang layak. Menu makanan di rumah sakit sering membuatnya mual. "Pagi, Pa," sapanya pada ayahnya yang baru muncul dari kamarnya. "Hmm." Bima hanya menjawab dengan gumaman. "Pagi, Ta," sapanya ramah pada menantunya. "Pagi, Pa." Attar memasang tampang datar. Bila ada Costa di rumah, nasibnya sudah seperti anak tiri! "Ari, ayo duduk," lanjut Bima menyuruh Aretha duduk di kursi makan. "Terima kasih, Om." Attar melirik heran pada si pembantu baru yang hendak duduk di kursinya, tepat di samping adiknya. Kenapa pembantu baru itu diistimewakan sekali? Ia kemudian menyeletuk, "Eh, kamu, tolong bikinin saya s**u panas." Gadis itu terlonjak dan kembali berdiri. Pipinya bersemu. "Biar Bi Ati saja, Ri," kata ayahnya mencegah. "Biar dia saja, Pa, sekalian belajar." "Belajar apanya?" Bima mengernyit. "Belajar jadi pembantu." Attar meneguk air minum bertepatan saat ayahnya tiba-tiba melotot. "Dia pembantu baru, kan, Pa?" "Attaruna!" Muka Bima berubah merah. "Jaga mulutmu. Ari bukan pembantu, tapi keponakan tantemu, Tante Martha." "Ha?!" Sisa air putih di mulut Attar langsung tersembur. Ia menepuk-nepuk dadanya yang kesakitan. Sejenak kemudian wajahnya yang memerah berubah pias. "Ke–keponakan Tante Martha?" Oh, tidak! Bayangan bekerja ala romusa di Surabaya membuatnya trauma. Di samping ayahnya, Costa nyengir lebar sambil menampakkan ekspresi mengejek seolah-olah berkata, "Kasihan!" kepadanya, sedangkan Thalia terkikik. Attar mendelik jengkel. Dasar ipar nggak punya akhlak! "Duduk, Ri. Om minta maaf," kata Bima pada Aretha yang menunduk canggung. "Baik, Om." "Masa kamu nggak kenal Aretha? Bukannya sewaktu kecil dulu kalian lumayan akrab?" "Aretha?" Attar mengernyitkan dahi. Kala ingatannya kembali, matanya membulat. "Retha?" "Iya, Aretha." "Mana aku tahu?" kelit Attar. "Kemarin dia bilang namanya Ari, Pa." "Sudah, sudah, ayo makan." Bima menengahi perseteruan singkat itu. Ia sendiri baru bertemu dengan Aretha semalam, setelah sebelumnya Martha meneleponnya dengan terburu-buru saat subuh menjelang. Ketika gadis itu tiba di Jakarta, ia menyuruh Pak Imin, satpam merangkap sopirnya, menjemput ke stasiun kereta. Thalia mengulurkan piringnya pada Attar. Di pinggir piringnya teronggok beberapa potong sosis. Attar ikut menyisihkan potongan bakso, kemudian menyalin sosis di piring Thalia ke piringnya serta menyalin baksonya ke piring Thalia. Meskipun mereka lahir dari rahim yang sama dengan jarak waktu beberapa menit saja, tetap saja minat dan selera mereka terhadap makanan berbeda. "Seingatku, dulu Retha itu imut-imut, Pa." Attar menyuap nasi goreng sambil melirik gadis itu penasaran. Tak lama kemudian ia kembali menyeletuk dengan mulut penuh, "Tapi ... kenapa sekarang jadi amit-amit begini?" "Attaruna!" Attar terlonjak. "Maaf, Pa." Sementara itu, Aretha menunduk dengan wajah yang sudah bisa dikatakan kelabu, menanggung geram dan malu. Sekelebat ingatan masa kecil memalukan menari-nari riang di pelupuk matanya. Arrrghhh! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD