Selama beberapa saat, Attar hanya diam membisu. Pertanyaan Aretha sungguh di luar dugaan. Matanya terpaku memandang Aretha lekat. Sayangnya, ia tidak melihat keraguan setitik pun dalam tenangnya binar mata gadis itu, malah dirinya yang tenggelam di dalamnya. Aretha yang dulu dikenalnya dan sempat menghilang, kini telah kembali, menjelma jadi sosok tak tahu malu yang kadar memalukannya meningkat dua kali lipat. Gadis yang biasanya bicara dengan terbata-bata itu menantangnya dengan tekad sekuat baja.
"Are you in love with me?" bisik Attar tak percaya. Sebuah gelenyar aneh mengaduk-aduk perutnya. "Kamu bercanda, kan?"
Aretha menggeleng. "Aku serius."
"Tapi, kenapa? Sejak kapan? Bagaimana bisa?"
"Ehem ... " Aretha berdehem. Apakah sebelum menerima atau menolak pernyataan cinta, seseorang harus bertanya ala 5W+1H terlebih dahulu? "Percaya atau tidak, aku sudah jatuh cinta kepadamu sejak aku berumur enam tahun, Mas."
"Oh damn, you're freaking creepy!" maki Attar tiba-tiba merinding. Lama kelamaan Aretha seperti sosok boneka Annabelle di matanya. "Ya ampun, Re. Itu nggak benar, kan?"
Sekelebat ingatan masa kecil melintas di pelupuk mata. Gadis centil itu memberinya setangkai bunga Dahlia yang dicurinya dari kebun tetangga.
"Setelah besar nanti, aku mau jadi istrinya Mas Attar," katanya tersipu malu.
"Sayangnya itu benar." sahut Aretha dengan santainya. Padahal lututnya menggigil sedemikian rupa.
Attar menggaruk puncak kepalanya yang tak gatal. Detak jantungnya bak genderang perang. Entah ia harus menyebutnya anugerah atau musibah, tetapi sejak pertama kali punya pacar, para gadislah yang menyatakan perasaan mereka terlebih dahulu. Terus terang saja, ia merasa bangga. Itu artinya, kualitas dirinya dari segi penampilan dan self value berada di atas rata-rata. Apakah keberuntungan itu diwariskan secara genetik, berhubung ayahnya juga bernasib sama?
"Aku nggak tahu ada fenomena apa belakangan ini, tapi, kok, aku selalu 'ditembak' sama perempuan, ya? Kalian punya semacam perkumpulan di media sosial atau apalah?"
"Aku nggak punya media sosial," sangkal Aretha.
"Jadi, kenapa kamu berani sekali?"
"Umm ... " Aretha menatap langit-langit kamar, pura-pura tegar menghadapi risiko dari tingkah tidak tahu malunya. Ini adalah percobaan yang kedua, dan ia harap tidak perlu mencoba untuk yang ketiga kalinya. "Aku menyesali banyak hal dalam hidup, Mas. Dan aku nggak mau menambah daftar penyesalan lagi di masa depan bila nggak bilang cinta dari sekarang. Apa pun jawaban Mas nanti, setidaknya aku nggak kehilangan kesempatan."
Dahulunya, ia adalah orang yang lantang menyuarakan pendapatnya, keinginannya juga isi kepalanya. Ketika ibunya menikah lagi, ia harus lebih sering mengalah pada Danisha. Perempuan itu dianggap ibunya lebih penurut, sedangkan dirinya yang kritis disebut pembangkang. Lama kelamaan ia berpikir, menarik diri jauh lebih menentramkan bagi semua orang.
Kini sudah tidak ada gunanya menahan diri. Ia bertekad kembali ke sifat aslinya, si spontan yang mengungkapkan isi benaknya tanpa banyak berpikir. Toh, takkan ada yang mengekangnya di sini. Tak ada ibunya atau pun Danisha.
"Jangan-jangan kamu ke Jakarta juga karena aku?"
"Salah satunya ... ya." Or you're the biggest reason I'm here, batin Aretha dalam hati.
"Tapi ... seandainya jawabanku nanti mengecewakan, kamu nggak bakal bikin aku diopname kan, Re?" sambut Attar memastikan.
"Wah, aku tersinggung nih," gerutu Aretha sambil mendelik. "Memangnya aku punya tampang kayak tukang jagal?"
"Enggak, sih." Attar mangut-mangut mengusap dagunya. "Aku salut lho, Re, dengan keberanianmu. Dapat wangsit dari mana, sih?"
"Bukankah berusaha jauh lebih baik ketimbang sekadar menunggu dan berharap? Apakah menyatakan cinta menjadi masalah hanya karena perempuan yang memulainya?"
"Perempuan juga berhak, kok," sahut Attar. Ia bukan penganut patriarki, malah salut pada perempuan yang berani mendobrak tatanan yang berakar kuat hitungan abad lamanya, di mana mereka dianggap sebagai pihak yang menunggu dan malu menyatakan rasa terlebih dahulu. Zaman telah berubah. "Sebaiknya kita bahas satu persatu ya, Re. Pertama, aku orangnya pemarah—"
"I can deal with that," potong Aretha tidak keberatan.
"Kalau kamu jadi pacarku, memangnya kamu betah diomelin melulu?"
"Betah. Selama omelannya demi kebaikan, aku nggak apa-apa."
"Aku bukan laki-laki romantis dan lebih menyukai kesendirian," tambah Attar lagi.
Ia membutuhkan effort berlebih bila ingin tampil sebagai laki-laki romantis, dan terkadang itu melelahkan baginya. Ia hanya ingin tampil sebagai dirinya sendiri. Kerap kali bagi perempuan, ketidakromantisan serta minim perhatian adalah masalah besar.
"Aku bermasalah dengan emosi. Jadi kalau kita berpacaran dan kamu berharap aku memelukmu atau mengatakan cinta dan sayang setiap waktu, atau mengirim pesan menanyakan apakah kamu sudah makan siang atau belum demi memenuhi kebutuhan emosimu, maka buang harapan itu jauh-jauh."
"Aku nggak ada masalah dengan itu."
"Aku juga mungkin nggak akan ingat tanggal ulang tahunmu."
"Aku juga sering melupakannya. Birthday is just another day."
Attar menyumpah dalam hati. Sepertinya ia harus mencari alasan lain agar Aretha mengambil langkah mundur.
"Aku suka ngomong pedas, nggak mikirin perasaan orang lain, karena memang itulah aku."
"Nggak masalah."
"Ok, sepertinya kamu nggak akan berhenti ya, Re?" selidik Attar penasaran.
Aretha menelan ludah. Sudah telanjur malu, lebih baik babak belur saja sekalian. "Ada sebuah pepatah Singapura yang mengatakan, aku tak akan pernah bilang 'mati' sampai aku meninggal. Artinya, aku tak akan pernah mengakui kekalahan."
"Okay, begini?" Attar lagi-lagi garuk-garuk kepala. "Bila diibaratkan dalam karya fiksi, jelas aku bukan karakter favorit semua orang. Di mata orang aku si pendiam yang arogan, judgmental, nggak peduli perasaan orang lain, jujur, dan bermulut pedas. Aku bukan pria berhati lembut, tampan, rupawan, baik, penakluk wanita dan jago di ranjang."
Muka Aretha berubah merah. "Bukan kamu yang menilai dirimu sendiri, Mas, tapi orang lain."
"Tapi aku paham dengan diriku sendiri, Re. Aku independent dan percaya diri. Aku melakukan tes kepribadian berulang kali dan hasilnya tak pernah berubah. Si arogan yang dingin dan suka menghakimi orang lain."
Kening Aretha berkerut. "Kalau Mas menganggap diri Mas tidak disukai, kenapa Mas punya banyak mantan pacar?"
"Entahlah," Attar mengangkat bahu. "Mungkin mereka nggak punya pilihan lain, or simply 'cause they're stupid."
"I think you're the best man I've ever met."
"Memangnya sudah berapa laki-laki yang kamu temui? Kencan aja nggak pernah," sindir Attar pedas. "Kamu tahu ada berapa mantan yang aku punya?"
"Enggak." Nggak apa-apa mantanmu banyak, yang penting tetap aku yang kamu nikahi.
"Aku punya belasan."
"Kenapa kalian putus?" selidik Aretha.
"Karena waktu mereka denganku sudah selesai. Simple."
Move on bagi Attar adalah perkara gampang, a piece of cake. Atau mungkin sedari awal, ia tidak pernah benar-benar merasakan cinta pada orang-orang yang dipacarinya. Tujuannya berpacaran dengan mereka pun tidak ada yang spesifik. Mungkin karena kasihan, atau tidak ingin dikatakan jomlo menahun. Kebetulan saja yang menyatakan perasaan kepadanya masuk dalam daftar orang-orang yang qualified di matanya, entah itu dari sisi pekerjaan, prestasi akademik dan sebagainya. Ia dengan mudahnya melupakan para mantan agar kapasitas otaknya bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih penting.
"Mungkin dari sekian banyak gadis yang pernah dekat denganmu, aku hanyalah gadis yang biasa-biasa saja, Mas, atau mungkin underrated. Tapi, kalau kamu butuh teman ngobrol, aku pastikan aku selalu ada untukmu," kata Aretha menyerang sisi emosional Attaruna.
Jawaban itu membuat Attar mati kutu. Godaan untuk berpacaran dengan Aretha kini menguat beberapa persen.
"Kamu tahu, Re, ada berapa fase dalam hubungan asmara?"
Aretha menggeleng. "Enggak."
Attar memasang tampang serius. "Okay, let's talk about science. Menurut para ahli, hubungan cinta dimulai dengan fase l**t atau nafsu. Pada fase ini kamu merasakan ketertarikan fisik akan wajah cantik atau rupawan, yang dipicu oleh hormon estrogen pada perempuan dan testoteron pada laki-laki. Dorongan purba. All about s****l hormones."
"Kedua, attraction atau fase mabuk kepayang. Hipotalamus-mu memproduksi hormon dopamin dan norepinephrin serta menekan hadirnya hormon serotonin. Dua jenis hormon itu membuat kita euforia, energik, berbunga-bunga, susah tidur, dan susah makan. Kamu bersedia begadang sampai pagi telpon-telponan sama si dia tanpa merasa ngantuk. Kamu mau melakukan apa saja entah itu mendaki gunung tertinggi atau menyeberangi lautan demi pasanganmu.
"Sialnya, hormon dopamin ini hanya bertahan selama satu tahun. Itu sebabnya para ahli tidak menyarankan seseorang menikah di masa mabuk asmara ini karena kamu berada pada fase sebego-begonya manusia. Apa pun yang dilakukan pasanganmu terlihat baik di matamu. Kamu dikekang, diposesifin, dimanipulasi mah kamu manut aja. Wong, namanya cinta, ya kan?"
Aretha mangut-mangut sok paham.
"Ketiga, attachment alias cinta sejati. Fase ini hadir karena hormon oksitosin, vasopressin dan serotonin. Pada fase ini kamu siap untuk berkomitmen. Kamu tidak lagi diperbudak oleh cinta. Pada stage ini cintamu lebih rasional dan logis. Jadi menurutmu, kira-kira kamu berada di fase yang mana, Re?"
Aretha termenung-menung seperti orang bodoh mendengar penjelasan dari Attaruna. Kepalanya mendadak pusing. Untuk apa mereka membahas hormon mulai dari dopamin sampai serotonin segala? Apakah memang itu resikonya membicarakan cinta dengan seorang dokter, sehingga segala hal harus dikaji landasan ilmiahnya?
Oh Tuhan, dia gila! Tapi aku suka dengan kegilaannya.
"Memangnya selama ini kamu ada di tahap mana, Mas?" Aretha balik bertanya.
"Mungkin l**t atau pre-relationship phase. Insting purba laki-laki selalu tertarik pada perempuan dari segi visualnya. Kami menyukai perempuan cantik," aku Attar sejujurnya.
"Hanya karena cantik?" Lutut Aretha tiba-tiba lemas. Bila dibandingkan dengan Olivia, jelas ia bukan termasuk dalam kriteria cantik menurut Attar.
"Cantik atau menarik itu gerbang awalnya, Re. Tapi untuk hubungan jangka panjang, ya, nanti dulu. Aku nggak akan menikahi seseorang berdasarkan fisiknya saja."
"Apakah aku kurang cantik?"
"Cantik kok, siapa bilang kamu nggak cantik—"
"Tapi?"
"Tapi ... dikit." Attar menyeringai lebar. Melihat pipi Aretha memerah, ia lekas-lekas menukas, "Maaf, cuma bercanda. Kamu cantik, kok, beneran."
Baru kali ini Attar benar-benar menganalisa sebelum memberikan jawaban ya atau tidak. Pada hubungan-hubungan yang sebelumnya, ia tidak pernah berpikir panjang. Katakan saja itu semacam dorongan impulsif semata.
Bila dikaji untung ruginya berpacaran dengan Aretha, sepertinya lebih banyak ruginya. Aretha bisa menjadi batu sandungan besar dalam hidupnya.
Satu. Bila ayahnya tahu mereka berpacaran, akan ada kemungkinan mereka dipisahkan, atau mungkin salah satu dari mereka harus menyingkir dari rumah agar tidak berbuat yang bukan-bukan.
Dua. Bila ayahnya dan tantenya, Martha, juga tahu, ada kemungkinan mereka berdua akan disuruh menikah saja daripada sering berdua-duaan, sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Terkadang, alasan seseorang disuruh menikah bisa seklise itu.
Tiga. Ia belum mengetahui latar belakang Aretha secara lengkap meskipun baginya itu bukan hal yang begitu penting untuk saat ini. Mereka masih akan berpacaran, bukan?
Empat. Aretha tidak atau belum memiliki sesuatu yang ditawarkan dan menurutnya itu cukup mengganggu. Masa depan Aretha belum terlihat dan ia jelas tidak menyukai itu. Ia lebih menyukai perempuan yang punya mimpi besar dan tekad ingin berkembang di masa depan, bukan perempuan yang selalu punya excuse bila diberi arahan.
Tekadnya membantu dan mengarahkan Aretha jauh lebih penting. Bilapun nanti ada rasa yang tercipta di antara mereka, itu urusan belakangan.
Terlebih lagi, ia hanya ingin fokus pada pendidikannya. Perkara cinta sudah menyingkir dari dalam daftar prioritasnya. Kegiatannya sehari-hari sudah sangat menyita waktu dan tenaga.
Demi keselamatan mereka berdua, sebaiknya ia menolak saja. Perkara perasaan Aretha bukanlah urusannya. Hal itu berada di luar kendalinya. Ia tidak bertanggung jawab terhadap perasaan orang lain, bukan?
"Jadi gimana, Mas, kamu mau nggak jadi pacarku?" todong Aretha tak sabar.
Attar menyunggingkan senyuman, seraya berharap jawabannya tidak terdengar menyakitkan. "Maafin aku ya, Re. Mungkin sebaiknya kita berteman saja, atau berhubungan layaknya kakak-adik juga nggak masalah. Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik, karena hidupku terlalu membosankan untuk kamu bersamai."
"Oke."
"Oke? Just that?" Attar ternganga.
Aretha mengangkat alisnya. "Then what? Kalau Mas menolak, ya sudah, mau diapain lagi. Masa aku harus pidato dulu?"
"Oh." Giliran Attar yang bengong tak karuan. Melihat respons Aretha yang terlalu santai tanpa beban itu membuatnya berpikir, jangan-jangan Aretha hanya mengerjainya. Tadinya ia berharap gadis itu memandangnya dengan mata berkaca-kaca, atau turut mendoakan agar hubungan mereka baik-baik saja, atau yang paling penting mendoakan agar ia menemukan pasangan yang jauh lebih baik. Tetapi gadis itu hanya mengatakan "oke" lalu menatapnya dengan sorot yang sama, tenang setegar batu karang.
Oh, s****n! Sungguh, situasi yang membagongkan!
Attar frustrasi sendiri. Egonya tersentil.
Ia dengan konyolnya berharap Aretha akan merengek sekali lagi meminta kesempatan dan ia akan cepat-cepat mengatakan 'ya' karena kasihan. Tetapi tidak, gadis itu dengan tenang memasukkan buah catur ke dalam kotaknya dan menutup kotak itu dengan sama tenangnya. Tidak terlihat luka di matanya, atau mungkin Aretha sangat piawai menyembunyikannya.
Attar hanya tidak tahu, jauh di dalam hati, Aretha merasa amat remuk. Di saat-saat seperti ini ia sangat merindukan kehadiran ayahnya. Pi, aku ditolak lagi, rintihnya pedih.
"Kayaknya udah malam, Mas." Aretha melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. "Aku turun dulu, ya. Ngantuk."
"Ya," sahut Attar setengah termenung. Di dalam sana, batinnya masih berperang sengit. Beberapa menit kemudian, ia baru sadar Aretha tak lagi di hadapannya.
Sementara itu, Aretha bergegas menuruni dahan pohon mangga. Bias remang-remang dari lampu balkon kamar Attar menerangi kakinya yang mengayun gamang.
Setelah mengunci pintu belakang, ia kembali ke dalam kamarnya, lalu meringkuk dalam lemari keramatnya sembari mengusap air mata yang berlelehan di pipinya.
Patah hati itu menyakitkan!
Ya Allah, bila Mas Attar bukanlah jodohku, coba Kaulihat lagi dalam catatan takdirku, siapa tahu Engkau salah tulis ....
***