"Aretha kabur dari rumah."
"Apa?" Leo menyipitkan matanya. "Kenapa dia kabur? Di mana dia sekarang?"
"Kalau aku tahu di mana dia, aku tidak perlu repot-repot datang kemari," jawab Dayu masam. "Apakah dia menemuimu?"
Ia dan suaminya beserta Darka sudah mengerahkan beberapa orang untuk mencari Aretha. Pencarian itu sama sekali belum membuahkan hasil. Dua hari yang lalu mereka bersepakat menghentikan pencarian tersebut daripada buang-buang uang saja.
Bukan hanya itu, ia juga harus mengeluarkan banyak uang untuk membungkam pers yang bisa mengancam nama baik suaminya. Alasan sementara yang bisa ia ungkapkan ke publik adalah Aretha sakit, sehingga pernikahannya dengan Darka terpaksa diundur. Untungnya Aretha jarang sekali terekspos ke publik. Untungnya yang kedua, pernikahan yang 'tertunda' tersebut tidak mempengaruhi perolehan suara suaminya secara signifikan.
"Kalau dia menemuiku, aku tidak akan memasang tampang terkejut, Dayu."
"Bisa saja kau berpura-pura untuk menyembunyikan keberadaannya, bukan?" Dayu menghela napas panjang. Namun, meskipun cenderung bodoh, ia cukup yakin Aretha tidak mungkin mendatangi ayahnya karena ayahnya tidak lagi punya kuasa seperti dulu. "Aku menjodohkannya dengan seseorang—"
"Kau gila! Umurnya baru dua puluh dua tahun dan kau menjodohkannya dengan seseorang?" Mata laki-laki itu kini membelalak. Mukanya merah padam menahan marah. "Ibu macam apa kau, Dayu?!"
"Apa salahnya? Anak itu tidak punya masa depan, Leo. Nilainya pas-pasan, tidak punya motivasi hidup, dan cuma menambah beban. Lebih baik dinikahkan agar masa depannya lebih terjamin. Tenang saja, aku tidak sembarangan memilih laki-laki untuknya dan aku jamin hidupnya bahagia—"
"Oh Tuhanku! Aku punya sejumlah rencana untuk masa depannya, Dayu!" Leo mengerang antara marah dan putus asa. Segudang rencana yang ia persiapkan untuk putri semata wayangnya kini mulai berantakan. Padahal ia hanya butuh menunggu sedikit lagi sebelum bisa tinggal bersama Aretha seperti dulu. "Aku ingin dia mewarisi usaha keluargaku!"
"Hah!" Dayu berdecak sini. "Dia sudah gagal. Apa yang kau harapkan? Lagipula, dia jadi seperti itu akibat dari kesalahanmu sendiri."
"Salahku?" Leo merendahkan nada suaranya. "Salahku? Sedari awal semua orang bahkan Aretha pun tahu siapa yang patut dipersalahkan di antara kita."
"Tetapi dia tidak tahu penyebabnya, bukan?"
"Aku sudah melakukan segalanya untukmu, Dayu, aku memberikan segalanya. Aku memaksa diriku meredup untuk memberi makan egomu, tapi kau tak pernah puas!"
Raut wajah perempuan itu mengeras saat diingatkan akan sifat rakusnya. Tak ada gunanya ia berlama-lama menghadapi mantan suaminya. Toh, Leo juga tidak tahu di mana Aretha. Ia bangkit dari duduknya. "Semoga harimu menyenangkan."
"Hey, mau ke mana kau? Aku belum selesai!"
Dayu terus berjalan, peduli di belakang sana suara sumpah serapah sang mantan suami mencacinya.
"Kau b******k, Dayu!"
***
"Kay, kamu bisa mendengar saya?" bisik Attar agak keras di telinga pasiennya.
Anak perempuan bernama Kayla itu susah payah membuka matanya, lalu balas berbisik, "Y-ya."
"Bagus." Attar tersenyum lega. "Bagaimana kabarmu hari ini?"
"Sa-sakit ...."
Attar mengelus lembut rambut panjang gadis kecil itu. "Tetap semangat ya, Kay. Kamu akan sembuh."
"Kira-kira kapan Kayla bisa dioperasi, Dok? Kondisinya semakin lemah." Seorang perempuan berwajah sendu menghampiri Attar, ibu Kayla. Lingkaran hitam di bawah matanya menandakan ia kurang tidur.
"Sabar, ya, Bu. Tim kami selalu siap kapan pun Kayla siap. Kita sama-sama berdoa agar Kayla cepat membaik."
Attar terenyuh melihat aneka selang penunjang kehidupan berseliweran di sekitar tubuh Kayla. Bahkan di kedua kakinya juga menancap jarum infus. Ia melirik ke samping bed, kantong penampung air seni Kayla sudah berubah warna menjadi cokelat tua.
Usus Kayla yang bocor perlu dipotong beberapa sentimeter akibat komplikasi tifus. Mereka seperti berpacu dengan waktu sebelum cairan yang keluar dari usus tersebut merembes mengenai organ vital lainnya. Namun, hasil tes dari lab menyatakan kondisi gadis kecil itu masih jauh dari kata siap untuk dibawa ke kamar operasi.
Kadar hemoglobin Kayla belum stabil, meskipun sudah menerima transfusi berkantong-kantong darah. Kadar kalium dan natriumnya jauh di bawah ambang batas normal dan kadar gula darahnya juga rendah.
Memaksa melakukan operasi saat cairan tubuhnya defisit hanya akan mengantarkan gadis kecil itu lebih cepat menuju ajalnya. Bak makan buah simalakama, itulah kondisi yang lebih tepatnya.
Melihat kondisi Kayla yang kian memburuk, harapan Attar semakin lama semakin amblas. Tidak ada yang bisa mereka lakukan, melainkan berharap Tuhan berbaik hati memainkan peranan.
Perempuan itu mengangguk-angguk. "Baik, Dok."
Ponsel di dalam saku Attar bergetar. Ia melihat identitas penelepon, lalu buru-buru mengangkatnya sambil memberi isyarat permisi pada ibu Kayla. "Ya, Dok?"
"Pasien atas nama Kayla, bagaimana kondisinya? Apakah sudah bisa dibawa ke OK?"
"Negatif, Dok."
Tersengar embusan napas dari seberang sana. "Awasi terus."
"Baik, Dok."
Sejujurnya, mendapat tugas jaga di stase anak, terlebih lagi di ruang HCU khusus anak adalah patah hati terbesar yang terjadi berulang kali bagi Attar. Semenjak pagi, sudah dua orang anak meregang nyawa di sana. Terkadang ia berpikir Tuhan tidak adil memberikan aneka cobaan berat pada malaikat-malaikat kecil tanpa dosa tersebut, entah itu pneumonia, meningitis, leukimia, sirosis hati, atresia bilier, dan seperti Kayla, komplikasi tifus.
Tiap sebentar ia mendengarkan rintihan kesakitan, rengekan balita, tangis lelah para orang tua, derap langkah panik para dokter saat kondisi pasien menurun, serta bunyi bedside monitor yang bersahut-sahutan.
Tepat pukul sembilan, suasana tiba-tiba berubah dengan cepat.
"Pasien henti napas, Dok!"
Attar berlari menuju bed Kayla. Perawat merapikan selang-selang lalu memberi ruang untuk para dokter melakukan resusitasi. Attar bergegas naik memposisikan diri. Salah seorang dari perawat memanggil dokter penanggung jawab.
"Ayo, Kay, bangun!" seru Attar melakukan CPR sambil sesekali melirik ke arah monitor yang beberapa saat setelah itu tak jua menampakkan hasilnya. "Kay, bukannya kamu mau jadi dokter?"
Menit demi menit berlalu dalam ketegangan. Attar seakan-akan tak mendengar apa pun. Baginya hanya ada dirinya dan Kayla.
"Aku mau jadi dokter," kata gadis itu pagi tadi, saat kondisinya sudah mulai melemah.
"Oh, ya?" Attar tersenyum kecil. "Nilai matematika dan IPA mu bagus?"
"Aku ... aku juara satu, Dok."
"Wow! Kamu bisa jadi dokter kalau begitu," tukas Attar memberi semangat.
Dan mata gadis kecil itu pun berbinar antusias.
"Attar sudahlah," tegur sang konsulen menepuk bahu Attar. "Sudah setengah jam."
Attar pun terseret kembali ke dunianya. Keringatnya bercucuran. Layar monitor tetap tidak menunjukkan apa-apa.
Dengan lutut lemas dan napas terengah-engah ia turun dari bed pasiennya. Ia melirik pada konsulennya dan saat laki-laki itu menjawab dengan anggukan, Attar melirik jam tangan dan berkata dengan suara serak nyaris menggigil, menyatakan kematian pasien secara resmi.
Tangisan ibu Kayla pun pecah. Seorang perawat menopang tubuhnya. Sementara tenggorokan Attar kering kerontang, rasanya seperti tercekik.
Setelah proses serah terima jenazah selesai, Attar menepuk bahu Ronald. "Gue keluar sebentar."
Ia keluar dari ruangan HCU dan menyusuri lorong kecil yang menuju bagian belakang rumah sakit.
Attar terduduk di lorong yang sepi tersebut sambil menjepit kepalanya di antara kedua lututnya. Ingatannya melayang pada dua keponakan kecilnya, Gala dan Lista. Mendadak rasa rindu pada dua kurcaci itu membuncah dalam d**a.
Ia tidak tahu bagaimana dengan rekan-rekannya, atau bahkan dengan dirinya sendiri yang terkadang masih bisa menertawakan hal-hal konyol setelah kehilangan pasiennya. Tetapi dalam kesendirian, Attar merasa seperti mereka mengambil sebagian kecil hatinya dan tak mudah menghadapi itu.
Ayahnya selalu berkata agar memisahkan antara kehidupan pribadi dari kehidupan sebagai dokter, tetapi ia seringkali tak sabar dalam segala aspek kehidupan. Ia masih harus banyak belajar, bahwa kehidupan dan kematian adalah sebuah ketetapan. Ia pikir ia sudah terbiasa, tetapi nyatanya tidak. Kematian pasien tetap menimbulkan syok dan rasa berduka.
Terdengar langkah kaki mendekat, lalu langkah itu terhenti dan seseorang duduk di sampingnya.
"You okay?" tegur Ronald.
"Ya," Attar menjawab dengan suara serak.
Ronald tak lagi bicara. Ia menemani Attar duduk di sana sekitar dua atau tiga menit, menepuk lembut bahu Attar lalu pergi.
Lima menit kemudian, Attar kembali ke unit jaganya. Ia berkeliling sebentar mengecek anak-anak yang sudah tertidur dan ada satu atau dua yang masih terjaga.
Setelah pekerjaannya selesai, ia kembali ke mejanya, mencoret-coret jurnalnya dengan bosan, memeriksa rekam medis dan sebagainya.
Attar mengeluarkan ponsel dari sakunya. Jam kerjanya lumayan senggang. Jemarinya bergegas mengusap daftar kontak mencari nama Athalia. Ia mengetikkan pesan, lalu menghapusnya kembali. Adiknya mungkin sudah tidur pulas.
Ia menggulir kembali dan menemukan nama Aretha. Masih teringat olehnya kecupan ringan malam itu, juga raut muka bingung Aretha saat membuka pintu kamar dengan wajah bantal dan rambut kusut, subuh sebelum Attar berangkat. Ia langsung meminta ponsel Aretha lalu menyalin nomornya.
Gadis itu, apa kabarnya?
"Selamat tidur, Tuan Putri," tulisnya.
Tak lama kemudian, ia tersadar. Mengapa ia harus menghubungi Aretha? Attar buru-buru ingin menghapus pesannya, tetapi urung saat melihat centang dua abu-abu itu sudah berubah warna.
Shit!
"Belum tidur, Re?" Sudah telanjur basah, lebih baik berenang sekalian!
"Belum, Mas."
"Lagi apa?"
"Belajar coding."
"Nice! Tadi siang kamu ngapain aja?"
"Belajar nyetir dengan Pak Imin."
"Sudah bisa?"
"Sudah."
"Keren!"
"Ingatanku seperti gajah."
"Masa? Kok, aku nggak yakin, ya?" Attar mengangkat alisnya.
"Entahlah. Aku juga nggak harus membuktikannya, kan?"
"Tapi sayangnya kamu pemalas."
"Ya."
Attar tersenyum kecil membayangkan raut pasrah Aretha saat ini.
"Mas nggak tidur?"
"Jaga malam, Re."
"Pasti capek banget, ya?"
"Capek, tapi aku suka."
Attar sering berkata, bicara ngalor ngidul hanya membuang-buang waktu. Namun, berbasa-basi tanpa ujung dengan Areta dalam beberapa menit cukup membuat suasana hatinya membaik.
Ia harus mengakhiri sesi chat tersebut dan berkonsentrasi dengan rancangan karya ilmiahnya sembari melakukan tugas jaga.
"Selamat malam, Tuan Putri. Sleep well." Attar pun menyimpan ponselnya.
***
Keesokan sorenya, dengan langkah letih Attar menghampiri mobilnya di tempat parkir. Setelah masuk, ia menghidupkan ponsel dan mencari nomor seseorang, lalu mengangkat benda pipih itu ke telinganya.
"Maaf, Om, lagi di klinik?"
...
"Saya ke sana ya, Om."
...
Attar memacu mobilnya ke tempat praktik dokter Irwan, psikiater teman sejawat ayahnya. Tidak ada seorang pun yang tahu, bahkan ayahnya sendiri, bahwa ia telah menjadi pasien—off the record—dokter Irwan semenjak adiknya keluar dari rumah, dua tahun setelah sang ayah menikah untuk yang kedua kalinya. Dari luar ia terlihat biasa-biasa saja, kecuali sisi emosionalnya yang cenderung tidak stabil. Namun jauh di dalam dirinya ia tahu dirinya tertekan dan kepada dokter Irwan lah ia berani mencari pertolongan.
Tekanan itu melonggar dan nyaris pudar semenjak ayahnya bercerai. Namun ketika memulai residensi, tekanan lain menghampiri. Ia seringkali mengalami burnout. Hidupnya tidak seimbang, jam kerja yang panjang, kurang tidur, pola makan yang terganggu, stress serta tekanan dari senior. Hal-hal itu menimbulkan gejala depresi. Untungnya ia sadar, melarikan diri bukanlah solusi.
***
Tiga hari lamanya Aretha menunggu di rumah. Siang harinya, ia belajar menyetir dengan Pak Imin. Ia tak sabar menunjukkan kemampuannya kepada Attar. Mungkin laki-laki itu akan mengatakan ia seksi dan penilaian buruknya berkurang.
Namun, semenjak pulang malam kemarin, Attar tak satu kali pun keluar dari kamar. Makanannya pun diantarkan oleh Bi Ati. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi kepada Attar.
Aretha menunggu dengan sabar di tempat keramatnya, dahan pohon mangga. Lampu kamar laki-laki itu menyala, tetapi ia tak bisa mengintip. Tirai jendelanya tertutup.
Tepat ketika ia mulai putus asa, Tuhan mendengarkan harapannya. Pintu balkon kamar Attar membuka. Ia tersenyum tipis. Nada suaranya sangat ceria kala memanggil lirih, "Mas Attar!"
Laki-laki itu termenung sejenak, kemudian mengusap tengkuknya sebelum kembali masuk ke dalam kamar. Aretha terkulai lemas.
Tiba-tiba saja, sebuah sinar sangat terang menyilaukan matanya. Aretha reflek menutupi matanya dengan kedua punggung tangan. Akibatnya, keseimbangannya terganggu.
"Aaa!" Ia terpekik kala sebelah kakinya terpeleset dari dahan. Tangannya secepat kilat meraih dahan terdekat. Namun sayangnya, kepalanya terantuk ke dahan pohon. Untuk beberapa detik kepalanya terasa pening.
"Siapa di situ?" Terdengar suara Attar bertanya.
Aretha membuka mata. Cahaya senter itu masih menyilaukan matanya.
"Ini a–aku, Mas," Aretha mencicit seperti tikus.
"Kamu, Re?"
Aretha mengangkat tangannya. "I–iya."
"Ya ampun!" terdengar Attar berdecak. "Kamu nggak apa-apa?"
"Ya."
"Ngapain di situ?"
"Nyari angin."
"Nyari angin atau belajar jadi kunti?" Terdengar Attar tergelak.
Aretha nyengir lebar. Entah bagaimana ia mendeskripsikan perasaannya saat ini. Yang jelas, pipinya memanas karena malu. Rasanya cukup panas untuk merebus telur puyuh sampai matang. Belum lagi kala terkenang perbuatan tak senonohnya mengecup pipi Attar.
"Kamu bisa ke sini?"
"Eh ... anu ...." Aretha tertegun. Apakah itu sebuah undangan?
Ia melirik dahan pohon mangga yang menjuntai ke balkon kamar Attaruna. Sepertinya dahan itu cukup kuat menahan bobot tubuhnya. Pelan-pelan ia merangkak ke sana, lalu saat posisinya sudah pas, ia melompat ke balkon dan mendarat dengan sempurna.
"Jadi selama ini kuntinya itu kamu? Yang suka manggil aku dan nangis-nangis itu kamu?"
"Kok kunti sih, Mas." Aretha merengut.
"Kalau bukan kunti, terus apa dong?" Attar geleng-geleng kepala. Tingkah Aretha ajaib sekali. Ia teringat tingkah konyolnya yang ketakutan mendengar suara-suara aneh dari balkon kamarnya. Sepertinya ia harus bersiap-siap menerima kejutan lain dari Aretha setelah ini.
Attar mengajak Aretha duduk di kursi kayu yang terletak di balkonya. Ia menyingkirkan daun-daun mangga beberapa helai yang mengering terlebih dahulu. Matanya melihat kening Aretha berdarah. "Dahimu terluka, Re. Tunggu sebentar."
Beberapa detik kemudian ia kembali dengan sebuah kotak P3K. Attar membasahi kapas dengan cairan antiseptik, lalu membersihkan luka Aretha. "Kayaknya ada serpihan kayu masuk ke dalam kulitmu." Attar mengambil pinset dan menarik ujung serpihan kayu itu keluar. "Beres."
Aretha menghela napas lega. Berada sangat dekat dengan Attar nyaris membuatnya berhenti bernapas. "Makasih, Mas."
"Udah lama jadi kunti?"
"Udah, Mas," jawab Aretha sejujurnya. "Aku penggemar rahasiamu."
"Ya ampun!" Attar tertawa lebar, kemudian berdiri. "Mau masuk?" ajaknya. Seharian ia hanya tidur-tiduran dan malam ini ia hampir mati kebosanan. Ia butuh teman mengobrol.
"Eh?"
"Tenang aja, nggak bakal diapa-apain, kok. Serem soalnya."
Aretha mendengus, lalu mengekori langkah Attar dari belakang.
Berbeda dengan kesan pertamanya saat memasuki kamar Attar, kini tempat itu bersih dan rapi. Luasnya dua kali luas kamarnya. Dindingnya dicat dengan warna putih serta minim aksesoris.
"Aku nggak punya rahasia. What you see is what you get," kata Attar lagi. "Kamu bisa main catur?"
"Bisa."
"Mau main?"
"Boleh." Pandangan Aretha tertumbuk pada meja belajar Attaruna. Ia menghampiri meja belajar tersebut. Sebuah pigura foto berdiri di antara dua tumpukan buku. Tampak seorang perempuan mengenakan seragam medis serba hijau tengah tersenyum lebar. Wajahnya sangat mirip dengan Athalia.
"Itu almarhumah Mama."
"Cantik sekali."
"Kamu benar, beliau perempuan tercantik di dunia." Terdengar jelas Attar sangat memuja ibunya.
"Siapa yang nomor dua?" Iseng Aretha bertanya.
"Athalia." Attar tersenyum kecil. "Dia nyebelin, sih."
Aretha balas tersenyum. Tadinya ia berharap, Attar akan menjawab bahwa pacarnya yang paling cantik. Mungkin saja laki-laki itu sedang jomlo. Atau, kecantikan pacarnya sama sekali tidak masuk hitungan. "Mas ke mana saja? Seharian nggak keluar kamar."
"Kenapa memangnya? Kamu kangen?"
Aretha mengangguk. "Iya."
Attar tertegun sebentar. "s**t, Re!" umpatnya kemudian. "Kok, lama-lama kamu itu makin nyeremin, ya?"
"Eh?" Aretha mengangkat alisnya.
Attar mengangkat sebuah meja kayu kecil dari samping meje balajarnya dan membawanya ke lantai di tepi tempat tidurnya yang beralaskan karpet. Kemudian mengambil papan caturnya dari dalam laci meja belajarnya. "Aku udah lama nggak main. Nggak ada lawan."
"Oh, ya?" Dasar sombong! maki Aretha dalam hati.
"Kamu biasanya main catur dengan siapa, Re?"
"Angku Rajo Sati, guru silatku." Ketika melihat raut wajah Attar seperti tengah berpikir, ia melanjutkan, "Beliau berasal dari Sumatera Barat."
"Ah, pantasan saja namanya terdengar berbeda. Begini peraturannya, Re. Siapa yang menang, berhak mengajukan satu pertanyaan. Setuju?"
"Oke."
Mereka duduk saling berhadapan dibatasi meja kayu di tengah-tengah. Attar menyusun buah caturnya dan mempersilakan giliran pertama untuk Aretha. "Ladies first."
Aretha memindahkan pion E2 untuk menguasai petak E4.
"Sisilia?" Attar menggerakkan pion hitamnya, C7 ke C5. "Kamu sudah mahir nyetirnya?"
"Sudah, Mas."
Attar mengangguk-angguk sembari menggerakkan buah catur berikutnya. "Keren juga."
"Ingatanku seperti gajah," sahut Aretha. Ia tidak punya masalah dengan daya ingat, tetapi ia adalah si pemalas yang suka menunda-nunda. Satu hal lagi, kontradiktif dengan daya ingatnya, ia susah sekali mengingat jalan dan peta. Apakah karena ia terpenjara dalam sangka emas ibunya dan jarang keluar rumah? Entahlah, mungkin saja.
Permainan berlangsung sengit. Buah catur mereka saling memakan. Di menit kedua puluh, Aretha mulai lengah. Berduaan dengan Attar membuat konsentrasinya terpecah belah. Sesekali ia melirik Attar yang sedang berpikir keras. Kumis tipis dan janggut yang baru tumbuh di dagu laki-laki itu dan belum dicukur, terlihat seksi dan jantan.
"Checkmate," kata Attar pelan. Senyuman puas tersungging di bibirnya.
Aretha tersentak. Dengan gusar ia membuang napas. Di babak pertama, ia harus merelakan rajanya dibantai oleh Attar.
"Jadi, kenapa orang tuamu bercerai?" Attar melempar pertanyaan pertamanya. Katakanlah ia tak ubahnya netizen julid, tetapi sungguh ia penasaran dengan kisah keluarga Aretha. Gadis itu mencari pekerjaan di Jakarta dan menangis karena tak punya uang. Apakah ayahnya bangkrut?
Aretha diam sebentar sebelum menjawab dengan suara bergetar, "Mami berselingkuh."
"Oh!" Attar yang sedang menyusun buah caturnya seketika berhenti. Ia kehilangan kata-kata. Sekarang ia baru mengerti beban abstrak yang dipikul oleh Aretha selain dari perceraian orang tuanya. "Maaf, Re."
"Mas nggak perlu minta maaf. You were right, I've lost myself ever since."
"Kapan mereka bercerai?"
"Setelah ulang tahunku yang kedelapan."
Attar tidak enak hati, tetapi masih penasaran. "Mami menikah lagi?"
"Yep."
"Dengan selingkuhannya?"
"Nggak, dengan orang lain."
"Mengapa tidak dengan selingkuhannya?"
"Orang itu ... meninggal." Aretha menelan ludah kasar.
"Bagaimana dengan Papi? Apa beliau baik-baik saja?"
"Ya dan tidak."
"Papi menikah lagi?"
Aretha menggeleng samar. Ia akan sangat bahagia bila itu terjadi. "Papi nggak punya kesempatan menikah lagi."
"Kenapa?"
"Well," Aretha tersenyum getir membentengi diri. "Itu udah lebih dari satu pertanyaan, kan?"
"Okay, sorry." Attar mengangkat kedua tangannya. "Main lagi?"
"Sure."
Attar memutar papan caturnya dan memainkan si putih. Ia membuka permainan dengan memindahkan pion C2 ke C4.
"Pembukaan Inggris?" Aretha tersenyum kecil. Kali ini, takkan ia biarkan Attar menang, atau resikonya ia harus membuka rahasianya lebih banyak lagi.
"Kamu jago juga."
"Ah, enggak, cuma dikit," elak Aretha merendah. "Buktinya tadi aku kalah."
"Dikit melulu!" Dengus Attar setengah jengkel. Ia mengamati Aretha melalui lirikan matanya. Gadis itu polos, misterius, tetapi tidak bodoh.
"Mas ...."
Attar tersentak. "Ya?"
"Umm ... apakah sifat peselingkuh diturunkan secara genetik?" Aretha menggaruk ujung alisnya ragu-ragu. "Maksudku, apakah itu ada dalam gen mereka?"
Attar yang sedang memegang perdana mentrinya langsung mendongak. "Kamu mau jawaban jujur atau jawaban yang membuatmu tenang, Re?"
"Aku mau jawaban jujur."
"Oke." Attar menatap Aretha lekat, dan gadis itu balas memandangnya dengan tatapan tenang setegar karang. "Hasil beberapa riset menyatakan bakat selingkuh bisa jadi karena faktor genetik. Artinya, bila orang tua kita dulunya berselingkuh, maka ada potensi kita akan melakukan hal yang sama pada pasangan kita."
Tenggorokan Aretha langsung tersekat. Jawaban jujur tersebut terdengar kejam dan sangat menyakitkan di telinganya. Ia tidak bisa menyalahkan Attar. Toh, dirinya yang meminta kebenaran. Dan Attar hanya menjawabnya dengan landasan ilmiah.
"Itu artinya ... ada kemungkinan nanti aku menjadi peselingkuh seperti Mami?" Aretha berbisik lirih. Rasa takut dan insecure perlahan menguasainya, membuat perutnya melilit.
Sungguh, ia tidak ingin seperti ibunya. Derita yang disebabkan perempuan itu pada dirinya dan ayahnya sudah cukup membuat hati pedih.
"Enggak gitu juga, Re," sahut Attar lagi. "Pada dasarnya, karakter manusia terbentuk secara nature dan nurture, faktor genetik dan faktor lingkungan. Belum tentu ibumu berselingkuh karena bawaan nature–nya, melainkan nurture–nya. Ada sesuatu yang memicu perilaku tersebut, meskipun dilihat dari sudut pandang manapun, selingkuh tetap saja salah.
"Selingkuh adalah sebuah keputusan, pilihan yang diambil secara sadar dan mandiri. Nah, lain kali, kalau ada orang yang bilang berselingkuh karena khilaf, percayalah itu semua bullshit!"
Aretha diam saja. Genangan air mulai mengambang di pelupuk mata.
"Dan ada satu lagi yang harus kamu ketahui, kamu nggak akan bisa mengubah nature–mu, tapi kamu bisa mengubah nurture–mu menjadi versi terbaik dari dirimu sendiri. Kamu nggak bisa mengubah susunan otakmu, tapi kamu bisa mengubah value–mu menjadi lebih baik."
Jawaban panjang lebar bak kuliah satu SKS itu membuat Aretha sedikit terhibur. Perasaannya perlahan-lahan berubah lebih baik. "Jadi, bilapun orang tua berselingkuh, belum tentu anaknya juga berselingkuh?"
"Precisely. Ada banyak bukti yang menguatkan itu. Tidak semua anak juga berselingkuh karena orang tuanya berselingkuh. Saat seorang anak terguncang karena perselingkuhan orang tuanya ...," Attar menjeda ucapannya sejenak, merasa bersalah pernah menuduh ayahnya memulai pernikahan keduanya dengan berselingkuh terlebih dahulu, "... setelah dewasa akan mati-matian menjaga komitmen dengan pasangannya karena tidak ingin keturunannya merasakan guncangan yang sama. Atau bisa juga memilih yang sebaliknya, menganggap selingkuh adalah hal yang biasa. Kembali lagi, selingkuh atau tidak adalah perkara pilihan."
"Aku mengerti." Aretha mangut-mangut lalu tertunduk.
"Jangan khawatir, Tuan Putri" Attar mengusap-usap kepala Aretha seraya tersenyum lembut. "Pilihan mutlak berada di tanganmu."
"Oke." Ya Tuhan, bisakah dia berhenti melakukan itu sebelum aku terkena serangan jantung? keluh Aretha dalam hati.
Pertarungan di babak kedua pun berlanjut. Keduanya kembali berkonsentrasi. Sayangnya, pada langkah yang kedua puluh, Attar harus merelakan rajanya tumbang.
"Your turn," kata Attar pasrah.
"Oke, sebutkan alasan kenapa seorang gadis tidak boleh memilihmu sebagai pacar."
Attar tertawa. "Bukannya kamu sudah lihat sendiri? Aku pemarah, emosiku gampang tersulut. Atha menyebutku temperamen, tapi tenang saja, aku nggak berminat memukul perempuan."
"Kayaknya sejak tadi Mas belum ada marah."
"Entahlah. Mungkin karena ada kamu," sahut Attar sekenanya, "aku merasa lebih baik."
"Eh?" Aretha tergagap. Bukannya kemarin-kemarin kamu juga marah-marah? "Umm ... ada alasan lain?"
"Nah, itu pertanyaan yang lain, kan?" Attar mengerlingkan matanya.
"Mas curang!" gerutu Aretha.
"Lho, kok curang?"
"Tadi Mas nanyanya banyak."
"Salah sendiri, ngapain dijawab," kata Attar seenaknya. "Lagi?"
"Ya."
Permainan babak tiga pun berlangsung. Kali ini Attar terpaksa harus mengakui kemampuan Aretha. Gadis itu bermain cepat dan luwes, nyaris seperti tak berpikir sama sekali, seperti cara Elizabeth Harmon bermain dalam serial TV The Queen's Gambit. Awalnya Attar selalu mampu menyelamatkan diri. Namun Aretha tak berhenti memberikan serangan, bak membalaskan dendam kesumat. Ia pun terpojok. Hanya dalam hitungan menit, Attar pun menyerahkan rajanya.
"Kamu menang lagi, Re," katanya pasrah dan terkagum-kagum pada Aretha. Bila mereka bermain lagi, mungkin ia akan kalah lebih telak. "Another question?"
Aretha tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan nekat dan spontan ia bertanya, "Apakah Mas mau jadi pacar aku?"
"Ha?" Attar pun terpana. Lagi-lagi ia harus menghadapi perempuan yang gagah berani menyatakan cinta.