Empat Belas

3168 Words
Olivia hanya mampir sebentar. Setelah kakaknya selesai dengan belanjaannya, ia pun pamit. "Oh, ya, kayaknya sekitar Natal nanti aku balik lagi ke Indonesia. Aku punya sesuatu buat kamu," ujarnya sambil mengedipkan mata. "Oh, ya?" Alis Attar terangkat. "Apaan?" "Nanti deh, simpan dulu rasa penasarannya. Mari, Attar, Aretha. Sampai ketemu lagi." "Can't wait, Liv," sambut Attar. "See you soon." Senyuman kaku tersungging di sudut bibir Aretha, lalu kepalanya tertunduk. Ia pernah mendengar teori, seorang perempuan seolah-olah punya insting terhadap perempuan lain yang merupakan saingannya. Dan Aretha merasa bersalah insting tak masuk akal tersebut menghinggapinya. Ia tidak enak hati mengingat ramah dan hangatnya sikap Olivia. Setelah Olivia pergi, Attar kembali fokus pada Aretha. "Dulu kami sama-sama pernah menjabat sebagai ketua BEM fakultas. Oliv dari FISIP, jurusan Hubungan Internasional." "Oh," Aretha mengangguk-angguk. Bisakah mereka tidak harus membicarakan Olivia?  Sepertinya harapannya tidak terkabul. "Dia salah satu orang yang berhasil memetakan masa depannya dengan baik." Attar menceritakan, "Olivia bekerja di kedutaan Indonesia di Belgia." "Bisa nggak, sih, kita nggak ngomongin Olivia?" tegas Aretha keberatan. Attar mengangkat alisnya. "Kenapa?" "Aku ... aku merasa buruk," ujar Aretha berterus terang. Rasa iri dan dengki menguasai hatinya. Bukan iri karena pencapaian Olivia, tetapi iri karena sepertinya Attar bangga sekali terhadap perempuan itu. Attar hanya tersenyum kecil. "Wajar, kok." Namun sepertinya, malah Aretha yang penasaran. "Berapa IPK-nya?"  "Magna c*m laude, aku nggak ingat angkanya berapa." Attar melipat kedua tangan di dadanya. "Begini, Re. Ada yang bilang, IPK itu penting nggak penting. Biasanya, orang yang percaya diri bilang IPK itu nggak penting, dia kaya, sudah punya bisnis, atau punya koneksi yang luas. Tapi terlepas dari IPK bukan segala-galanya, itu adalah salah satu bentuk pertanggungjawaban dan keseriusan kamu belajar kepada orang tuamu. Kalau kamu bisa all out, kenapa harus biasa-biasa saja, ya kan? Belum lagi kalau kamu berminat daftar beasiswa untuk S2, IPK itu penting banget." Aretha membuang napas panjang. Di matanya, Attar adalah manusia paling sombong dan paling tega di dunia. Sisi ruang batinnya mulai berperang sengit.  Tapi dia ganteng, gimana dong?  Makan tuh ganteng! Emosinya campur aduk. Ingin rasanya ia mengutuk kata-kata tajam Attar yang tak berhenti menghakiminya, tetapi ia juga sadar diri, bahwa dirinya memang pemalas dan tak punya motivasi seperti yang Attar katakan. Terbersit rasa bersalah telah gagal mempersembahkan sesuatu untuk ayahnya, dan itu membuat perutnya tak nyaman. "Sebagai fresh graduate, IPK adalah pintu gerbangmu untuk memasuki dunia kerja, karena tiga elemen lain kamu nggak punya. Kecuali kamu sudah mencapai posisi tertentu, mereka nggak butuh IPK lagi melainkan pengalaman kerja dan kompetensi kamu." "Nggak bisakah kamu berempati sedikit saja, Mas?" celetuk Aretha setelah lama terdiam. "Setiap orang punya latar belakang yang membentuk jati diri mereka tanpa mereka sadari." "Kamu sedang berusaha mencari excuse lagi, Re?" Attar mengangkat alisnya. "Dan siapa bilang aku nggak berempati?" "Lalu kenapa kayaknya Mas bersemangat sekali menghujatku." "Karena orang seperti kamu harus di-push biar bisa maju, Re. Kalau aku ngomongnya lembut-lembut kamu akan mikir aku ini motivator kebanyakan bacot!" seru Attar gemas. "Aku bisa rasain potensimu itu besar, katakan saja itu insting atau apalah. Kalau kamu nggak dihantam dengan kenyataan bahwa hidup itu enggak mudah, kamu nggak bakalan sadar!" Hah! Insting taik sapi! umpat Aretha dalam hati.  "Tetap saja kamu butuh berempati terhadap orang lain, Mas." "Well, sepertinya itu akan sulit," Attar tiba-tiba memasang raut datar, menyadari Aretha mulai menyerang kelemahannya. Ia lalu berkata seraya menyunggingkan senyuman kaku, "I'm a person full of judgment. Jadi, sebaiknya kamu mulai membiasakan diri. Lagipula, aku belum menemukan alasan kenapa aku harus berempati sama kamu." Ya, ia adalah sosok yang penuh dengan penghakiman. Banyak orang menyebutnya narsis, sombong, tega dan mudah marah. Itu adalah kepribadiannya dan bertarung melerai ego dengan orang yang kadar intelektualnya tidak setara dengannya, adalah kelemahan terbesarnya dan Attar berusaha keras menempatkan dirinya dengan baik. Mungkin itu pula sebabnya, hidupnya dibilang membosankan.  "I see." "Cabut, yuk." Attar berdiri dan mengeluarkan dompet dari saku celana. Ia menghampiri penjaga warung dan menyebutkan makanan yang telah mereka habiskan. "Berapa, Bu?" "Seratus empat puluh ribu, Mas." "Punya saya berapa, Bu?" celetuk Aretha ikut menghampiri dan merogoh tas kainnya. "Apaan, sih, Re?" protes Attar. "Biar aku yang bayar." "No, split the bill, go dutch," ujar Aretha mengulurkan uangnya. "Enggak! Aku yang bayar." "Bayar sendiri-sendiri saja."  "Jangan bikin aku malu, Re," Attar berbisik. Tangan kirinya memegang tangan Aretha erat-erat. Namun jujur saja, ia senang Aretha memiliki etika sosial dan respect terhadap kaum Adam maupun dirinya sendiri dengan berinisiatif membayar bill-nya sendiri. Bagi Attar yang sudah kerap berpacaran dengan banyak perempuan, sosok seperti Aretha adalah sosok yang cukup langka. Bukan berarti ia keberatan membayarkan, tetapi perempuan yang berinisiatif membayar sendiri punya nilai khusus di matanya. Aretha terpaksa mengalah dan membiarkan Attar membayarkan tagihan mereka. Ia menyimpan uangnya kembali.  "Kenapa aku nggak boleh bayar sendiri, sih?" protesnya sekeluarnya dari warung. "Etika sosial, Re. Saat kamu diajak makan sama laki-laki, berarti dia yang bayar." "Begitu, ya?" Aretha menelengkan kepalanya. "Aneh. Yang punya perut siapa, yang bayarin siapa," gumamnya lagi. "Kamu ini kenapa, sih? Kayak nggak pernah kencan aja." "Eh? Aku kan, nggak pernah punya pacar." "Ya, ya, aku lupa kamu masih polos." Attar mengibaskan tangannya. Aretha mendengus.  "Jadi setelah ini, kamu ada rencana apa?" tukas Attar seraya mengajak Aretha berjalan-jalan santai. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana jeans-nya. "Umm ... nggak tahu, Mas. Aku bingung," jawab Aretha sejujurnya. Tentu saja ia masih akan berusaha mencari pekerjaan lain. Hanya saja, penuturan Attar tentang CV-nya yang kosong melompong membuat optimismenya anjlok sampai ke dasar. "Begini aja, Re. Kira-kira lima tahun dari sekarang, kamu membayangkan dirimu ada di mana dan sebagai apa?" Aretha mendongak menatap langit. "Hmm, sebagai seorang istri ... " Aretha membatin dalam hati, istrimu, tentu saja, "lalu aku punya dua orang anak—" "Basi!" potong Attar jengkel. "Astaga! Kamu nggak punya impian lain apa? Masa nikah, sih?" "Memangnya salah?" "Udahlah, Re, emang udah nggak ada obatnya kamu mah!" jawab Attar gusar. "Madesu!" "Lho?" "Aku nggak pernah menempatkan pernikahan sebagai goal yang harus kucapai, Re. Pernikahan menurutku hanyalah salah satu siklus hidup yang harus aku lalui dan aku punya pilihan untuk itu, menikah atau tidak menikah. Simple. Masa nikah dijadiin target, sih? Banyak hal di dunia ini yang lebih menarik ketimbang nikah dan nganu secara halal!"  Ia heran mengapa masih banyak perempuan yang menjadikan pernikahan sebagai salah satu parameter kesuksesan dalam hidup. Apakah itu artinya tanpa menikah, mereka kehilangan identitasnya sebagai manusia? "Nganu itu apa, Mas?" Aretha menggaruk kepalanya. "Ck!" decak Attar gemas. "Berhubungan seksual." "Oke." Aretha mengangguk-angguk. Untung saja hari sudah malam dan penerangan jalan tidak begitu baik untuk menyembunyikan pipinya yang memerah. "Masa lajang adalah masa-masa yang paling membahagiakan, masa-masa kebebasan, jadi nikmatilah sebelum itu terenggut darimu. Isilah dengan hal-hal yang bermanfaat," Attar melanjutkan ceramahnya. "Contohnya?" Aretha kesal karena ia tidak punya tujuan hidup yang jelas seperti Attar. Orang bilang hidup itu mengalir seperti air, dan ternyata prinsip seperti itu tidak terlalu baik.  "Belajar bahasa, jalan-jalan, mengenal dunia, ikut volunteer, cari wawasan, mengejar karier, atau apalah." "Memangnya lima tahun lagi kira-kira kamu ada di mana, Mas?" "Aku punya target, lima tahun lagi aku sudah lulus subspesialis bedah onkologi." "Wow!" Aretha ternganga. Hebat! "Jadi, setelah lulus spesialis bedah, ada subspesialis lagi? Sekolah lagi?"  "Ya, dua tahun. Kamu tahu dari mana kalau aku calon dokter bedah?" tanya Attar penasaran. Seingatnya, ia belum pernah memberitahukan itu kepada Aretha. "Oh, Bi Ati yang bilang." Kepala Aretha mendadak pening mendengar penuturan Attar. Apa laki-laki itu tidak bosan sekolah melulu? "Kenapa harus onkologi?" Attar menghentikan langkahnya. Suaranya berubah pelan saat menjawab, "Mamaku meninggal karena kanker. Itu yang menjadi motivasi terbesarku." "Maaf." Aretha tertegun. Tantenya memang pernah berkata, istri Bima sudah meninggal, tetapi tidak menyebutkan penyebabnya. Ia pun tidak bertanya karena itu bukan urusannya. "Mas ambisius sekali," gumamnya pelan. "Dulu Papa pernah bilang, selagi aku masih muda, ambillah semua kesempatan yang ada semampunya aku. Aku merasa mampu, jadi begitulah."  Attar sadar hubungannya dengan ayahnya terbilang kaku dan tidak dekat. Tak jarang mereka bertengkar. Tetapi dalam beberapa hal, ia sangat mengagumi ayahnya, lebih dari yang ayahnya tahu. "I see." Seketika Aretha pun memaklumi pilihan Attar. "Ada martabak, Re!" Attar menyeret lengan Aretha mendekati penjual martabak dan memesan satu loyang martabak manis rasa jagung keju. Setelah pesanan mereka tersedia, laki-laki itu mengajaknya duduk di pinggir trotoar lalu dengan bersemangat membuka bungkusannya. Aretha terheran-heran menghitung seberapa besar lambung Attar sesungguhnya. Ia menolak kala ditawari. Perutnya sudah kenyang, meskipun satu porsi sup buntut sebelumnya tak sanggup ia habiskan. Selang beberapa menit setelah martabak itu habis, Attar lagi-lagi menyeretnya ke tukang gorengan dan membeli beberapa potong. Aretha melongo. "Lapar banget, Mas?" Attar tertawa kecil sembari berjalan dan duduk lagi di pinggir trotoar. "Beginilah kami para dokter, Re. Pelampiasan kami dari stres hanya dua, makan dan tidur." "Memangnya di rumah sakit nggak makan?" "Makan dong, seadanya, tapi kadang-kadang nggak sempat makan."  Aretha menatap Attar dari atas sampai bawah. Dengan selera makan gila-gilaan seperti itu, tubuhnya biasa-biasa saja, bahkan cenderung kurus. Attar seolah tahu isi tatapan Aretha. "Tenang saja, aku ectomorph." "Apa itu?" Attar menjelaskan, orang-orang ectomorph memiliki sistem metabolisme yang cepat sehingga berapa pun banyak makanan yang masuk ke perutnya, tidak berdampak pada penambahan berat badan atau pun massa otot. "Tapi ... yang Mas makan itu nggak sehat." "Memangnya kamu pikir dokter itu selalu makan makanan sehat? Omong kosong, Re," bantah Attar. "Jadi gimana, udah dipikirin kira-kira lima tahun lagi kamu ada di mana?" "Ada saran?" sahut Aretha bingung menebak arah pembicaraan Attar. "Misalnya gini, lima tahun lagi kamu melihat dirimu menempati posisi supervisor, atau mungkin asisten manajer, atau manajer di salah satu perusahaan, atau apalah, aku juga nggak ngerti susunan jabatannya. Kamu masih sangat muda, Re, perjalananmu masih panjang. Udahlah, nggak usah mikirin nikah. Kejar kariermu dulu. Soal cinta mah gampang. Kalau kamu sukses, banyak, kok, yang ngantri jadi pacar kamu." Termasuk kamu nggak, Mas? Aretha buru-buru menggelengkan kepala, merasa perlu membenturkannya ke dinding agar lebih waras. Sedikit demi sedikit, ia sudah tahu kriteria perempuan idaman Attar. Tentu saja bukan perempuan pengangguran madesu seperti dirinya. Sebuah ide gila tiba-tiba muncul di kepala Attar. "Ngomong-ngomong, kamu keberatan nggak kalau aku bantu memoles kepribadianmu dikit, biar lebih terarah?"  "Maksud, Mas?" "Kamu tingkatin skill kamu sembari nyari kerja. Aku bantu ngarahin kira-kira kamu butuh apa dalam prosesnya nanti. I wanna push you to your limit. Ingat, Re, ketika kamu di-interview HRD, kamu nggak bisa nyontek. Modal kamu bukan hanya skill, tapi juga mental, manners, dan rasa percaya diri. Gimana mau lolos interview kalau ngomong aja sering terbata-bata gitu?" sindirnya tajam. "Begitu ya, Mas?" Aretha tertegun. "Berhubung IPK kamu udah nggak bisa diselamatkan lagi, kita cari cara lain buat menutupi itu lalu meng-upgrade value kamu. Mau nggak?" Tanpa pikir panjang, Aretha menganggukkan kepala dengan penuh semangat. "Mau mau!" "Aku pulang dua hari sekali, atau mungkin tiga hari sekali, tergantung situasi di rumah sakit. Kita belajar bareng. Ya ampun, sate kacang!"  "Lagi?!" Aretha terpekik. Dasar lambung sapi!  Attar lagi-lagi menyeret tangan Aretha menghampiri gerobak sate dan meminta dua porsi.  Mereka duduk di deretan kursi plastik yang disediakan pedagang sate. Satu piring Attar berikan pada Aretha.  "Aku udah kenyang, Mas." "Makan yang banyak," kata Attar setengah memaksa sebelum satu tusuk sate masuk ke mulutnya. "Bon appétit."  "Merci. À vous aussi," sambut Aretha setengah hati. Attar menoleh kaget. "You speak French?" "Eh?" Suapan Aretha terhenti di udara. "Umm, itu ... nggak juga, basic aja. Dikit." "Dikit melulu!" Attar mendengus kesal. "Kamu itu dibilang bodoh juga enggak, dibilang pintar tapi dikit. Gimana, sih? Nggak jelas!" "Entahlah," Aretha mengangkat bahu. "Aku juga nggak ngerti."  Mereka diam saja menikmati isi piring masing-masing. Pikiran Aretha melayang ke mana-mana. Terlepas dari sifat sombong, minim empati, dan pemarah, Attar masih merupakan kandidat sempurna di matanya. Ia enggan mengakui bahwa dari dulu sampai sekarang, Attar masihlah prince charming yang ia puja. Kedekatan mereka saat ini membuat napasnya sesak. Aroma lembut laki-laki itu mengalahkan aroma sate kacang di piringnya. "Kedua orang tuaku bercerai," gumam Aretha mengalihkan perhatian. "Eh?" Attar menoleh secepat kilat. "Kamu serius? Kok bisa? Kapan? Kenapa?" Aretha mengangkat bahu, menutup dirinya kembali. "Urusan orang dewasa." "Maaf," sahut Attar merasa bersalah. "Aku nggak tahu." Mendengar Attar mengucapkan kata maaf disertai raut bersalah yang sialnya tampak sangat tulus, membuat aretha menyesal telah berpikir Attar manusia tersombong sejagat raya. "Saat mereka berpisah, aku down. Dan sayangnya, aku nggak mampu bangkit kembali. Aku bodoh, ya?" kata Aretha getir.  Sialnya, reaksi Attar tidak seperti harapannya.  "Ya, kamu bodoh, banget!" Attar berdecak. "Gara-gara kebodohanmu, kamu kehilangan dirimu sendiri." Aretha tidak mendengarkan. "Aku tinggal bersama Mami. Papi di Surabaya. Kami cuma ketemu dua tahun sekali, atau tiga tahun, atau empat tahun, sisanya lewat telepon." "Kenapa? Bali–Surabaya deket lho, Re." Aretha lagi-lagi mengangkat bahu, enggan membuka cerita. Nyatanya, ia tak pernah siap melucuti bobroknya rahasia masa lalu keluarganya. Attar termenung menebak-nebak karakter Aretha. Terkadang gadis itu blak-blakan menyatakan perasaannya, dan terkadang menutupinya rapat-rapat tepat setelah membuka sedikit celah. Tak salah bila ia berpikir, Aretha misterius sekali. Satu hal lagi, kapan ia pernah melihat Aretha tersenyum? "Hidup nggak berhenti walaupun orang tuamu bercerai, Re. Setiap orang pernah kehilangan seseorang atau sesuatu dalam hidup. Itu biasa, kok. Wajar." "Setelah mereka berpisah, aku merasa sebelah kakiku pincang. Ketika aku ingin bertemu Papi, aku seolah-olah melukai perasaan Mami. Saat aku memutuskan tinggal bersama Mami, seolah-olah aku mengkhianati Papi, meskipun hanya pilihan itu yang aku punya, saat itu. Rasanya nggak enak banget.  "Kamu nggak pernah kehilangan sesuatu seperti itu kan, Mas? Hidupmu lurus, bahagia. Apa yang kamu mau selalu tercapai. Orangtuamu suportif. Kamu cerdas. Otakmu pintar. Paket lengkap. Creme de la crème," terang Aretha iri. Rahang Attar seketika mengeras. Ia tahu, Aretha tengah berusaha menyerang sisi emosionalnya. Perlukah ia memberi tahu apa yang hilang dari dirinya, keluarganya, selama bertahun-tahun dan ia berusaha keras tetap fokus di jalannya? Tidak perlu.  Mengadu nasib dengan orang lain tidak akan membuat salah satu di antara mereka merasa lebih baik. Attar mengusap kepala Aretha lembut. "Hidup memang nggak mudah, Re, jadi biasakanlah." Kesedihan yang melingkupi Aretha seketika buyar. Kenapa Attar suka sekali mengusap kepalanya? Jantungnya berdetak tidak karuan. "Pulang yuk." Attar berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu Aretha berdiri. Mereka kembali berkendara di jalanan. Beberapa menit kemudian ia berhenti di depan sebuah minimarket. "Aku mau beli minuman. Kamu ikut?" Aretha melepas seat belt-nya dan ikut turun. Attar mengambil dua botol air mineral dan beberapa bungkus makanan ringan dari atas rak. "Ambil aja yang kamu mau, Re." "Nggak usah, Mas." "Yakin? Kebutuhan harian? Kosmetik? Atau apalah." Aretha menggeleng. Attar membawa belanjaannya ke kasir.  Ketika sedang menunggu giliran, antrian mereka diserobot seorang ibu yang langsung meletakkan belanjaannya di meja kasir. "Tolong saya duluan!" Attar pun naik darah. Perkara antri adalah hal yang susah diberlakukan pada masyarakat kebanyakan. "Nggak—" "Mas," Aretha sigap menahan tangan laki-laki itu dan menggelengkan kepalanya samar, enggan mencari keributan. "Udah, biarkan saja." Ajaibnya, tatapan Aretha mampu meredam emosi Attar yang sudah sampai di ubun-ubun. Iris cokelat itu menenggelamkannya dalam riaknya yang tenang.  Sangat tenang. Perlahan-lahan Attar pun terhanyut. "Aku tunggu di luar aja, Mas." "Oh," Attar mengerjapkan mata. "Oke." *** Aretha bersandar di samping mobil sambil mendekapkan kedua tangannya di perutnya. Pintu mobil Attar terkunci. Sembari membunuh waktu, ia menendang pasir-pasir halus di lantai beton dengan ujung sepatunya. Suasana di sana cukup sepi. Tiba-tiba telinganya mendengar suitan halus. "Hai, cewek." Aretha pura-pura tak mendengar. Di sekelilingnya tak ada perempuan lain, jadi ia tahu pasti suitan tersebut ditujukan kepadanya. Dari sudut matanya ia melihat segerombolan pemuda nongkrong di sudut sebelah kanan minimarket. "Cewek, sini dong. Jangan jual mahal." Terdengar suara cekikikan. Aretha mendengus. Bila dibandingkan dengan dirinya, jelas, penampilan mereka jauh lebih tak terurus.  Dasar generasi madesu! "Jangan jual mahal, kita cowok baik-baik, kok." Ia sudah tak tahan lagi. Seraya mengentakkan kaki, ia menghampiri gerombolan pemuda kurang ajar tersebut.  Tiga langkah sebelum Aretha sampai, salah satu dari mereka berdiri menyambut. "Barusan siapa yang manggil aku?" tantang Aretha. "Eh?" Mereka saling berpandangan. Tampang m***m mereka berganti dengan raut bingung sekaligus pias. "Enggak kok, tadi cuma—" "Cuma apa?!" bentak Aretha. "Eh?" "Ah eh, ah eh, ngomong yang jelas! Cuma apa?!" Salah satu dari mereka berinisiatif menghampiri Aretha. "Jangan galak-galak, kami jadi makin—" Sebelah tangannya terangkat hendak menyentuh pinggang Aretha. Rupanya itu adalah kesalahan terbesar. Dalam dua detik saja, pemuda itu terpekik kala Aretha memuntir pergelangan tangannya ke belakang punggung dan menghantam lipatan lututnya sampai ia terpaksa berlutut lalu tertelungkup di atas lantai beton. Aretha menekan pinggang pemuda itu dengan lututnya, tangannya tetap memuntir pergelangan tangannya di belakang punggungnya. Semakin lama semakin kuat. Adrenalinnya mulai berpacu. "Ampun, Mbak, sakit banget Mbak!" pekik pemuda itu sambil meraung-raung. "Sakit, Mbak!" Tak satu pun teman-temannya berani menolong. Semuanya melongo. "Sakit, Mbak!" "Kau pikir aksimu keren, ya?" tanya Aretha lagi. Sungguh, ia selalu menghindar unjuk kekuatan, tetapi terkadang manusia-manusia seperti itu wajib diberi pelajaran bahwa tak semua perempuan enggan melawan. "Kau punya ibu nggak? Punya saudara perempuan nggak?" "Punya, Mbak, ampun!" "Sekali lagi aku ketemu kau lagi lecehin perempuan, tanganmu kubikin patah tiga!" gertaknya lagi. "Ampun, Mbak!" raungnya lagi. "Sakit!" "Re?" Aretha menoleh. Tampak olehnya Attar ternganga melihatnya. Sementara beberapa pengunjung mini market lainnya mulai berkerumun. Ia segera bangkit dan melepaskan laki-laki itu. Attar mendekat. "Kamu tadi diapain?" "Disuitin gitu, Mas." "Mau kutambahin?" Attar mendekat lalu memberikan kantong belanjaannya kepada Aretha. Kedua tangannya terkepal gemas. "Masa dilepasin, sih? Masih kurang, tuh. Aku tonjok sampai bonyok, boleh, ya?" "Jangan, Mas. Udahlah, buang-buang energi." Aretha menyeret lengan Attar menjauh dari sana, sebelum keributan itu semakin merebak. Sebelum mereka sampai di mobil, Attar masih sempat mengacungkan kedua jari tengahnya pada gerombolan pemuda kurang ajar tersebut. "Keren banget, Re!" puji Attar seraya melanjukan mobilnya. "Kenapa kamu nggak buka perguruan silat aja? Lumayan kan, buat side job." "Eh?" Aretha menggeleng. "Enggaklah, nggak mau." "Kenapa?" "Aku terikat sumpah sama guru silatku, nggak akan mengajarkan silat pada orang lain, kecuali anak-anakku kelak." "Kenapa pakai sumpah segala, sih?" "Panjang ceritanya, Mas." elaknya tak ingin membahas itu. "Pasienku dulu pernah bilang, aku pendengar yang baik. Kamu bisa cerita kapan saja kalau kamu mau." Attar menyodorkan botol minuman pada Aretha. Selalu ada sisi Aretha yang membuatnya terkaget-kaget. Gadis itu sanggup menenangkannya hanya dengan tatapan mata, tetapi gadis itu juga ... gila! Menjelang pukul dua belas malam, mereka sampai di rumah. Attar mengambil dua bungkus makanan ringan dari dalam kantong dan memberikan sisanya kepada Aretha. "Buat ngemil." "Thanks, Mas." "Selamat malam, Re." Attar melangkah menuju tangga ke lantai dua. Matanya berat sekali. Baru dua langkah ia berjalan, terdengar Aretha kembali memanggilnya. "Mas!" "Ya?" Aretha mendekati Attar ragu-ragu. Jantungnya berdetak kencang. "Terima kasih untuk malam ini." "Ya, sama-sama." Tanpa sempat berpikir panjang, Aretha berjinjit dan mengecup lembut pipi Attar, kemudian berbisik lirih, "Selamat malam." Attar pun terpaku di tempatnya. Matanya berkedip lambat bak orang bodoh. Sampai Aretha hilang dari pandangannya, ia masih saja berdiri di sana. Attar memegangi pipinya yang memanas. Astaga, apa-apaan itu?  Sementara itu, Aretha buru-buru masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu. Ia melempar tas kainnya ke atas tempat tidur lalu bergegas masuk dan meringkuk di dalam lemari pakaiannya yang gelap gulita. Ia membentur-benturkan kepala ke dinding lemari sambil menyumpahi diri. Di mana harga dirimu, Ri? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD