Tiga Belas

3217 Words
"Kalian mau ke mana malam-malam begini?" tegur Bima keluar dari mobilnya saat Attar dan Aretha muncul di garasi. Ia baru saja pulang dari rumah sakit. "Mau makan, Pa. Lapar." Attar mengelus perutnya, sedangkan Aretha hanya mengangguk canggung. "Bi Ati nggak masak?" "Bosan, pingin makan di luar." "Okay. Jaga Ari baik-baik," kata Bima sambil melirik Aretha. Attar memutar bola matanya. Entah siapa–menjaga–siapa di antara mereka berdua. Yang jelas, Aretha bukan sosok yang harus dikhawatirkan. "Attaruna?" "Ya, Pa." Attar tahu, ketika ayahnya memanggilnya seperti itu, artinya ayahnya serius. "Berangkat dulu, Om." Aretha mencium tangan Bima takzim. "Hati-hati." Bima tersenyum kaku, lalu mengusap rambut Aretha. Attar hanya memperhatikan dari jauh. Bila dipikir-pikir, ayahnya adalah tipe orang yang jauh lebih menyayangi anak orang lain ketimbang anak kandungnya sendiri. Contohnya, sikapnya terhadap Costa yang sangat manis. "Papa memang begitu. Kalau sikap beliau kaku dan dingin, jangan diambil hati." Attar memasang seat belt-nya sebelum memutar kunci. "Mungkin dulu nenek salah ngidam." "Oh, ya?" Aretha mengangkat alisnya. Bila tempo hari Bima yang mempergunjingkan kelakuan anaknya, sekarang malah sebaliknya, dengan gaya yang persis sama. Mereka kompak sekali! Sedan hitam itu pun meluncur mulus di jalanan malam ibukota. Alunan lagu-lagu hits dari Prambors FM menemani mereka yang lebih banyak tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aretha menilai, Attar bukan tipe laki-laki yang mengedepankan estetika. Cat mobilnya terdapat baretan tajam di mana-mana. Penampilan Attar pun biasa-biasa saja, mengenakan kaus oblong putih, ripped jeans lusuh, dan sandal jepit. Untungnya, penampilan lusuh itu tertutupi dengan baik dengan wajah tampan yang dimilikinya. Berduaan bersama Attar nyatanya membuat Aretha berkeringat dingin. Irama jantungnya jadi tidak karuan. Aroma parfum lembut laki-laki itu menyapu indera penciumannya dan itu membuatnya nyaris gila. Jujur saja, ia jauh lebih betah mengamati Attar dari pohon mangga meski bertemankan gerombolan nyamuk lapar tak beretika. Dulu ia pernah berpikir telah melupakan Attar, anak laki-laki di masa kecilnya yang sangat ia puja. Bahkan, ayahnya pun sering meledeknya. Begitu ia menginjak usia remaja, sosok Attar perlahan tersapu badai. Gejolak hormon membuatnya menyukai satu—dua lawan jenis yang sayangnya tak satu pun berhasil ia kencani. Apes sekali! "Kenapa kamu nggak pernah punya pacar, Ri? Masa anak Papi secantik ini nggak ada yang melirik?" tanya ayahnya pada suatu hari. Aretha hanya mengangkat bahu. "Nobody's qualified." Ayahnya terbahak. "Kamu masih menunggu laki-laki dari masa kecilmu?" Pipi Aretha seketika memanas. "Apaan, sih, Pi? Enggaklah!" "Jodoh itu misteri, Nak. Kalau dia jodohmu, kalian pasti akan dipertemukan kembali. Atau, Papi perlu mengatur pertemuan kalian?" "Pi!" Aretha melotot. Sementara ayahnya tertawa nyaring. Untuk mengalihkan pikirannya, Aretha mengamati jalanan dan deretan bangunan melalui jendela kaca. Namun ia tahu, sebanyak apa pun ia berusaha mengingat apa yang telah dilewatinya, tempat-tempat tersebut tidak akan terpetakan dengan mudah di kepalanya. "Kamu bisa nyetir?" tanya Attar mencairkan suasana. "Eh?" Aretha menggeleng. "Umm ... nggak bisa." "Bisa bawa motor?" "Nggak juga." "Padahal bisa bawa kendaraan sendiri itu salah satu practical skill, Re. Nggak ada salahnya kamu belajar." Aretha diam saja. Semenjak kecil sampai tamat kuliah, ada sopir keluarga yang selalu sedia mengantar jemput. Ibunya sering melarangnya keluar rumah untuk tujuan-tujuan yang tidak jelas semata karena ia anak perempuan. Karena itulah pergaulannya sangat terbatas. Anehnya, ibunya membebaskan Danisha melakukan apa saja. Mungkinkah karena merasa tak punya hak terlalu mengekang Danisha sebab statusnya sebagai ibu tiri yang rentan berkonflik bila bicara terlalu vokal? Lama kelamaan ia pun bersikap apatis, manut dan menurut. Bertengkar hanya buang-buang energi. "Mas suka perempuan yang bisa nyetir?" Iseng Aretha bertanya. "Bukannya sekarang ada ojek atau taksi online?" "Apa iya harus mengandalkan kendaraan online melulu? Kalau kepepet gimana? Perempuan yang bisa nyetir itu seksi lho, Re. Coba besok tanya sama Pak Imin, barangkali beliau ada waktu luang buat ngajarin kamu nyetir," ujar Attar menawarkan. Menjelang mendapatkan pekerjaan baru, setidaknya Aretha mengisi waktunya dengan hal-hal yang bermanfaat. "Oke, besok aku belajar nyetir dengan Pak Imin." Aretha berkata penuh semangat. "Itu artinya, Mas juga menyukai independent woman?" "Sure, who doesn't?" "Bukannya laki-laki menyukai perempuan yang bergantung kepadanya?" "Astaga, kata siapa?" Attar terbelalak. "Orang gila mana yang punya prinsip seperti itu?" "Uhm ... anu, dulu—" "Kamu pernah bertemu laki-laki seperti itu?" "Semacam itu," sahut Aretha enggan. Jelas, ia tidak banyak berinteraksi akrab dengan kaum adam, meskipun selama kuliah, jurusan informatika didominasi oleh mereka. Kata Danisha, laki-laki lebih menyukai perempuan yang bergantung kepada mereka, sehingga ego mereka tidak tercederai. Prinsip seperti itu sering mengundang kerut keningnya, tetapi ia juga tidak berminat mencari tahu lebih jauh. "Tidak perlu susah-susah mencari kerja. Setelah menikah nanti, kau di rumah saja, jadi ratu di istana kita, jadi ibu dari anak-anakku. Aku berjanji akan membuatmu bahagia." Perut Aretha mendadak mual mengingat ucapan Darka. Seringaian lelaki itu membuat bulu kuduknya meremang. "Well, not me. Aku suka perempuan mandiri karena aku nggak punya waktu melayani tingkah perempuan manja yang bentar-bentar minta antar jemput. Ngerepotin!" "Okay." Aretha mengangguk-angguk menyimpan jawaban tersebut dalam hatinya. "Mas ...." "Ya?" "Apa Mas nggak keberatan memanggil namaku Ari saja?" "Kenapa begitu?" Aretha mengangkat bahunya. "Papi memanggilku seperti itu." "Tapi aku bukan papimu," tandas Attar tanpa basa-basi. "Oh, okay." Aretha menarik napas panjang. "Bukankah nama Ari terdengar lebih simple?" tawarnya lagi. "Tapi aku nggak suka, Tuan Putri," balas Attar sambil nyengir. "Oke." Aretha menelan ludah. Pipinya memerah. "Sudah sampai." Attar memarkir mobilnya sebelum memasuki arena kaki lima kegemarannya. Dari kejauhan tampak deretan gerobak makanan berjejer di pinggir jalan. "Kamu nggak keberatan kan, makan di tempat seperti ini?" Aretha mengangkat bahu. "Nggak masalah." "Nice. Rata-rata mantan pacarku keberatan diajak kulineran di sini." "Kenapa?" "Entahlah. Padahal makanannya enak-enak." "Oh," balas Aretha singkat. Untuk kalimat yang terakhir, ia setuju dengan Attar, tak ada yang mengalahkan nikmatnya makan di kaki lima, enak sekaligus murah. Tiba-tiba ia teringat dengan keluarga Donny. Bersama merekalah ia benar-benar menikmati hidup. Mereka turun dari mobil dan berjalan lambat dari satu gerobak ke gerobak lain. Attar kebingungan menentukan pilihan. Seluruh menu yang ia lewati tampak menarik. Aretha mengikuti Attar seperti bebek. Terkadang ia tertinggal kala berdesakan dengan pengunjung lain. "Kamu mau makan apa, Re? Aku bingung, nih." Aretha ikut celingukan. Matanya tertuju ke sebuah warung tenda. "Itu ada sop buntut. Kita ke sana, gimana?" "Boleh. Ayo!" Detik berikutnya, Attar menyeret tangan gadis itu memasuki warung tenda dan duduk di tempat yang masih kosong. "Mau minum apa?" "Jeruk peras hangat." Attar menyebutkan pesanan mereka pada pelayan, dua porsi sop buntut, jeruk peras hangat dan es kelapa muda. Ia senang, Aretha tidak menyebutkan kata 'terserah' andalan para perempuan ketika ia meminta pendapat mengenai tempat makan, tetapi menolak bila diberikan pilihan dengan berbagai alasan. Dalam hitungan menit, pesanan mereka pun terhidang di atas meja. Attar dengan tak sabar ingin menyuap makanannya. "Masih panas, Mas," tegur Aretha lembut. "Sabar sedikit. Makanan panas itu makanannya setan." "Oke." Attar mengalah, membiarkan makanannya agak dingin sejenak. "Ngomong-ngomong, kemarin job desc kamu apa aja?" "Eh?" Aretha mendongak dan mendadak gugup. Ia meneguk air putih untuk membasahi kerongkongannya. "Umm ... kemarin aku jadi ... office girl, Mas. Cleaning service." Attar ternganga. "Ha? Serius?" "Serius." "Tapi ... kok bisa?" "Ya nggak apa-apa, yang penting halal," sambung Aretha cepat-cepat. "Kamu nggak malu?" "Enggak. Biasa aja." Aretha mengangkat bahunya untuk menyembunyikan perasaannya. Ia tidak malu bekerja sebagai cleaning service, tetapi mengatakannya langsung kepada Attar adalah lain cerita. Katakanlah ia ingin tampil sebagai versi terbaiknya di hadapan Attar, dan pekerjaannya sebelumnya langsung mencoreng image tersebut. Attar menatap Aretha lekat. "Aku hargai semangatmu, Re. Tapi, percuma kamu kuliah kalau cuma jadi cleaning service." "Untuk sementara aku nggak punya pilihan, Mas. Mencari pekerjaan yang linier dengan bidang ilmu itu susah." Aretha pun menceritakan pengalamannya mengirimkan lamaran pekerjaan ke berbagai perusahaan yang sampai saat ini belum memberikan angin segar sama sekali. "Lowongannya banyak, tapi satu kali pun aku nggak pernah dipanggil interview." "Law of attraction, hukum tarik menarik. Kalau kamu berpikir mencari pekerjaan itu susah dan kamu putus asa, kamu hanya akan menarik energi negatif mendatangimu. Coba sebaliknya, berpikiran positif." "Sayangnya, itu tidak mudah, kan?" "Nggak usah banyak excuse!" Attar berdecak jengkel. "Heran, kenapa sih banyak generasi muda zaman sekarang yang level hopeless-nya kebangetan?" Aretha seketika menunduk. "Baik, Mas." Attar menyuap makanannya, begitu juga dengan Aretha. Beberapa menit berlalu dalam diam. "Boleh lihat CV kamu?" pinta Attar sebelum menyesap es kelapa muda. Aretha memandang Attar ragu-ragu. Namun tak lama kemudian, ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan salinan CV dari email-nya kepada Attar. "Cuma segini?" Dahi Attar berkerut. "Maksud, Mas?" "CV kamu standar banget. Pengalaman organisasimu mana?" "Umm ... aku nggak pernah ikut organisasi, Mas." "Oke. Pengalaman magang? Achievement?" Aretha menggeleng lagi. Lipatan di dahi Attar semakin banyak. CV Aretha bisa dikatakan kosong. Hanya ada data diri, riwayat pendidikan serta Kerja Praktik di salah satu instansi pemerintah. "Sertifikat kompetensi penunjang?" Aretha lagi-lagi menggeleng. Pipinya sudah berubah merah padam, bersiap-siap Attar menceramahinya atau pun memarahinya. Attar mengembalikan ponsel Aretha. Ekspresi datar tergambar jelas di wajahnya. Jangankan international exposure, pengalaman magang yang menurutnya krusial saja Aretha tidak punya. "Selama kuliah kamu ngapain aja, sih? Nilai pas-pasan, pengalaman organisasi nggak ada, pengalaman magang nggak punya, sertifikat kompetensi juga zonk. Astagfirullah!" "Memangnya pengalaman organisasi penting ya, Mas?" kata Aretha takut-takut. Dulu ia berpikir, berorganisasi di kampus hanya menghabiskan waktu. Lebih baik ia nongkrong di depan laptopnya atau menghabiskan waktu bersama keluarga Donny ketimbang berada di rumah yang tak pernah membuatnya betah. Keluarga Donny adalah pengecualian. Ibunya tak berani melarangnya mampir ke sana. Kedua orang tua Donny adalah teman ayahnya. "Penting nggak penting, sih. Punya banyak pengalaman organisasi pun juga nggak ada gunanya kalau itu nggak memberikan nilai jual buat masa depan kariermu. Ada perusahaan yang melihat pengalaman organisasi seseorang sebelum merekrut karyawannya, dan ada juga yang tidak. Namun terlepas dari itu, kamu tahu apa gunanya berorganisasi?" Aretha hanya diam. "Melatih soft skill, Re. Berorganisasi adalah tentang leadership, problem solving, team work, kreatifitas, inovasi, decision making dan lain-lain. Tapi tentunya, jangan sembarangan organisasi. Kalau kamu ikut organisasi massa yang sering demo ke DPR atau organisasi politik yang bentar-bentar mengkritik pemerintah, perusahaan malah takut buat rekrut kamu. Mereka nggak butuh itu." Hanya diam dan menunduk yang bisa dilakukan Aretha. "Alasan kamu masuk jurusan teknologi informasi apaan, sih?" "Eh, kecemplung gitu aja, Mas. Kebetulan lulusnya di sana waktu SNMPTN." "Seandainya waktu bisa diulang kembali, kamu maunya masuk jurusan apa?" "Manajemen bisnis." "Tapi sayangnya kamu terlanjur membuang waktu beberapa tahun karena kamu gagal memetakan masa depanmu semenjak SMA," sindir Attar pedas. Seharusnya, seseorang sudah harus bisa memetakan masa depannya dimulai dari bangku SMA. Berjuang mati-matian belajar agar bisa diterima di universitas pilihan serta jurusan yang diidamkan, lalu mulai memiliki peta perjalanan karier jauh sebelum toga melekat di kepala. Aretha mengakui ucapan Attar benar. Nilainya yang justru lebih kuat di bidang eksakta menuntunnya lulus di jurusan Teknologi Informasi. Ia tidak tahu di mana minat dan bakatnya yang sesungguhnya. Tentang manajemen bisnis, itu adalah permintaan ayahnya dan sebenarnya ia pun tidak keberatan. Ia juga tidak berkonsultasi dengan ibunya yang notabene seorang dosen. Komunikasi mereka cenderung memburuk dari hari ke hari. Ia bahkan enggan bicara dengan ibunya. Perempuan itu menyerahkan keputusan bulat-bulat kepadanya, sehingga ia menyambar apapun kesempatan yang terpampang di depan mata tanpa harus banyak bekerja keras. Ambisinya sudah lama redup. Hasilnya bisa ditebak, ia malas-malasan belajar, santai, dan lulus dengan nilai lepas makan. "Papi mau kamu masuk jurusan bisnis, Ri. Nanti S2 kamu ambil MBA di Harvard. Atau kalau dari awal pun kamu masuk Harvard juga boleh." Harvard taik kambing! maki Aretha dalam hati. "Kenapa kamu nggak magang?" "Dulu aku kepingin cepat lulus," sahut Aretha beralasan. Harapannya, bila ia cepat lulus kuliah, ibunya sudi melepasnya keluar dari Pulau Dewata dan memulai hidup baru terpisah dari keluarga. Tetapi setelah ia wisuda, malah mimpi buruk yang mendatanginya, perjodohan dengan Darka, si 'bandot tua' yang umurnya sudah nyaris empat puluh tahun. "Dengan nilai pas-pasan dan nol pengalaman?" "Juga nggak ada perusahaan tempat magang yang bagus di Bali." "Masa, sih? Kenapa nggak ke pulau Jawa?" "Umm ... nggak dibolehin Mami. Katanya anak perempuan rentan kalau jauh dari rumah." "Rentan?" Attar terbelalak. "Rentan gimana? Kamu bisa bunuh orang lho, Re." Aretha tertunduk. Sisa sop buntut yang tinggal separuh itu tak lagi membuatnya berselera. Sementara milik Attar sudah tandas. "Pasti keren kalau nanti kamu bisa kerja di McKinsey, BCG, JPMorgan ...." "Lalu kenapa sekarang Mami ngizinin kamu menyeberang ke Jakarta?" Aretha mengangkat bahu. Ia akan jujur, nanti, di saat yang tepat. "Oke, kalau pengalaman magang pun nggak punya, bagaimana dengan sertifikat kompetensi? Di bidang IT, kamu jago apa?" "Nggak tahu, Mas. Semuanya diajarin." Attar menghela napas panjang. "Namanya kuliah memang begitu, Re. Kita mahasiswa cuma dituntut menjadi generalis, bukan spesialis. Sebenarnya, dunia medis dengan dunia IT itu nggak jauh berbeda. Dalam dunia medis, kami mempunyai dokter umum sebagai generalis, dan punya dokter spesialis untuk bidang-bidang yang lebih mendalam. Bedanya, kami harus kuliah lagi sekian tahun untuk menjadi spesialis, sementara kamu bisa menjadi spesialis dengan belajar secara otodidak. Di era banjirnya informasi sekarang ini kamu bisa belajar dari mana saja, buku, internet, jurnal, Youtube, you name it! "Menjadi generalis itu bagus, kok. Tapi, kenapa nggak kamu coba mendalami salah satunya, programming, networking, multimedia, atau apalah. Salah satu kendala lulusan IT adalah minim skill ketika terjun ke lapangan kerja," ujar Attar lagi. "Kamu bisa pemrograman?" "Bisa, Mas." "Bisa bahasa apa aja?" Aretha menatap langit-langit. "Hmm ... Python dikit, Pascal dikit, Java dikit, PHP dikit, C++ dikit, Delphi dikit, Matlab dikit, Swift dikit—" "Semuanya serba sedikit?" "Mas kan tahu sendiri, dosen cuma mengajarkan kulit luarnya saja." "Mana yang lebih kamu kuasai?" potong Attar tidak sabar. "Aku menguasai beberapa bahasa pemrograman." Attar mengangkat alisnya. "Tapi, dikit?" Aretha mengangguk pelan. Kepala Attar langsung pening. Ia gemas sekali pada gadis yang terlihat acuh tak acuh di hadapannya. "Ibaratnya seorang chef, nggak salah kalau kamu bisa memasak banyak jenis makanan, tetapi harusnya kamu juga kuasai salah satu jenis makanan yang nantinya jadi signature dish kamu, sehingga itu bisa kamu jadikan sebagai personal brand kamu. "Kenapa nggak ambil sertifikasi? Bukannya banyak, tuh, bertebaran sertifikasi di bidang informatika? Ada Cisco, Oracle, CEH, atau apalah. Pastinya kamu yang lebih tahu karena itu duniamu. Jangan bilang kamu nggak punya uang ya, Re. Aku tahu kamu nggak punya kendala dengan finansial." Ia memang tidak mengetahui latar belakang keluarga Aretha secara utuh. Yang ia tahu, ibunya Aretha seorang akademisi dan ayahnya seorang pengusaha. Aretha menunduk dalam-dalam tanpa menjawab apa pun. Kepalanya mendadak pusing. Ceramah Attar menampar mukanya tak tanggung-tanggung. Ia baru sadar telah menghabiskan masa mudanya dengan bermalas-malasan. Omong-omong mengenai CEH, untung saja ia belum menekan tombol enter di laptopnya sebelum berangkat bersama Attar saking bersemangatnya diajak 'kencan'. Namun ternyata, Attar malah memberinya kuliah gratisan. "Sertifikat yang barusan Mas sebutkan biasanya diambil oleh mereka yang udah kerja, Mas." "Okay." Attar mengangkat kedua tangannya. "Lagi-lagi excuse." "Mengapa Mas tahu banyak istilah dalam dunia IT?" sambung Aretha heran. "Aku membaca, jadi ya tahulah." Attar menyeringai dengan ekspresi meledek Aretha. "Dikit." Aretha berdecak jengkel. "Jadi, bila libur kuliah kamu ngapain aja? Jangan bilang kamu kerja, karena nggak ada pengalaman kerja di CV kamu." "Enggak ada, Mas." "Terus? Rebahan? Dasar madesu!" umpat Attar gemas. Sungguh, rasanya ia ingin makan orang saat ini! Kening Aretha langsung berkerut. "Apa itu madesu?" "Masa depan suram!" "Nggak apa-apa masa depanku suram," Aretha merengut. "Yang penting masa depanmu cerah, Mas." "Lho? Apa hubungannya dengan masa depanku? Kamu mau nebeng? Mana bisa! Kalau mau masa depan cerah ya usaha, dong, jangan malas!" balas Attar dengan sengaknya. "You've got strong pair of legs. Get up and use them!" Aretha hanya bisa memendam dongkol dalam hati. "Ingat, Re, there's nothing can recreate your youth. Selagi masih muda, kebut semuanya sampai di level maksimal. Nanti kalau udah settle, kamu bisa melambatkan ritme sedikit dan menikmati hidup. Lebih baik susah di masa kuliah daripada susah di dunia kerja. Itu prinsipku. Nggak tahu ya, kalau kaum rebahan seperti kamu prinsipnya kayak apa." Pipi Aretha merah padam. Dalam hitungan detik, ia pun terpuruk menyesali hidup. "Mencari kerja itu ibarat jual diri, Re. Apa yang bisa kamu jual untuk masuk ke sana? Cuma mengandalkan IPK tiga koma nol? Atau jangan-jangan ... " Attar menegakkan punggungnya sambil menatap Aretha lekat, "target kamu setelah lulus adalah menikah? Kalau itu sih, udah nggak ada obatnya. Cari suami mapan aja sana, itu pun kalau ada. Mana ada laki-laki mapan mau sama pengangguran kayak kamu." Attar tahu ucapannya terdengar sangat kejam dan tak berperikemanusiaan. Tetapi ia gemas melihat generasi muda yang menyia-nyiakan masa mudanya dengan bermalas-malasan seperti Aretha. Bukan hanya masalah peluang yang Aretha tidak punya, gadis itu juga tidak punya bekal yang cukup untuk menghadapi kejamnya dunia. Ia sendiri sudah memetakan perjalanan kariernya sejak masuk SMA dan sejauh ini semua berjalan sesuai rencana. Tidak mudah. Semua orang tahu, kuliah kedokteran butuh passing grade tertinggi dan menjalaninya butuh perjuangan. Di sela-sela waktunya memperjuangkan nilai akademis, ia menyempatkan diri berorganisasi melatih kepemimpinan dan bergaul dengan banyak manusia karena ada beban berat yang akan dipikulnya suatu hari nanti, meneruskan legacy keluarga, sendirian. Adiknya sudah sudah lepas tangan. Buktinya, ketika ia berusaha merayu Athalia memikul sedikit beban di rumah sakit milik ayahnya, Athalia menolak mentah-mentah dan malah mempertimbangkan tawaran menjadi dosen dari universitas, sehingga melanjutkan kuliahnya ke jenjang S3. Ke depannya, ia akan menjadi lone ranger meskipun enggan, karena berurusan dengan manajemen itu sangat memusingkan kepala. Muka Aretha berubah kelabu. Kalau ia punya target menikah selepas kuliah, takkan ia lari dari pernikahannya sendiri. Ia berniat menghidupi diri sendiri, tetapi nyatanya itu pun tak semudah perkiraannya. Modal nekat saja tidak cukup. "Masih ada yang mau kok, Mas," rengutnya membela diri. "Iya, ada yang mau, tapi dalam hubungan seperti itu kamunya powerless, nggak punya kendali atas dirimu dan hidupmu sendiri." "Iya, deh, yang udah mapan," kata Aretha pada akhirnya. "Who?" "Kamu." "Aku?" Attar menunjuk dirinya sendiri, lalu mendengus, "Mapan dari mana? Kerja aja belum." Tengah asik berperang urat saraf, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan mampir di telinga. "Attaruna?" Attar seketika menoleh. "Oliv?" "Hei!" Olivia menyalami Attar erat-erat. Senyuman semringah terpampang jelas di wajahnya. "Apa kabar?" "I'm good. Kapan pulang, Liv?" Bukan hanya perempuan itu, raut wajah Attar pun berubah cerah. "Dua hari yang lalu. Boleh duduk?" "Oh, silakan." Attar menggeser bokongnya sedikit dan menyilakan Olivia duduk di sampingnya. "Sendirian?" "Enggak, bareng kakak. Ups, sorry. Aku ganggu, ya?" Tiba-tiba ia menyadari Attar tidak sendirian. "Girlfriend?" "No, she's my sister. Aretha, ini Olivia, teman kuliahku." "Hai," Olivia menyalami Aretha dengan ramah. Setelah itu, keningnya berkerut saat berpaling pada Attar. "Teman? Kayaknya dulu kita lebih sering musuhan, deh." Attar tertawa lebar. "Benar juga ya, Liv? Kita seringnya jadi musuh." "Di kampus doang." "How's Brussel?" "Sejauh ini masih bikin aku betah. Jadi nggak kepingin pulang." Olivia pun tertawa kecil. "Kayaknya nasionalismeku harus dipertanyakan, nih." Dalam sekejap saja, Aretha berubah posisi jadi kambing congek bagi dua teman lama yang baru bertemu itu. Sungguh demi apapun, ingin rasanya ia menghilang dari tempat itu, berlari pulang dan meringkuk di tempat ternyaman, kamarnya. Ditambah lagi 'hanya' disebut sebagai adik membuat perutnya kian mulas. Perempuan bernama Olivia itu sangat cantik. Rambutnya berwarna cokelat bergelombang. Kulitnya bersih. Matanya bersinar-sinar saat bicara dengan Attar. Aura percaya dirinya menguar jelas tak bercela. Dan yang lebih membuat Aretha minder lagi, pembahasan mereka berdua bukan berbasa-basi mengenang kisah lama. Terkadang mereka membahas pergerakan pasar saham, situasi politik di Timur Tengah, gonjang-ganjing kelakuan refugees di Eropa, bukan mempergunjingkan siapa yang sudah bekerja di mana, siapa yang baru menikah atau percakapan-percakapan receh tak berguna. Aretha seakan melihat sisi lain Attaruna yang hangat, ramah dan menyenangkan. Terlihat jelas laki-laki itu nyaman berbicara dengan Olivia. Untuk alasan yang tak bisa dijelaskan, ia pun cemburu, meskipun sadar diri sama sekali tidak berhak untuk itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD