Dua Belas

1718 Words
"Mas Attar nggak apa-apa?" selidik Aretha mendekati Attar dengan raut cemas. Ia tak menyangka kakinya menyasar orang yang tak bersalah. Terbayang olehnya bila diusir dari rumah itu. Di mana lagi ia akan bernaung? Attar diam saja, duduk di atas rumput dengan ekspresi tak terjelaskan dengan kata-kata. Sebelah pipinya memerah. Apelnya sudah terbang entah ke mana. Kepalanya masih terasa pengar. Perlahan-lahan ia menggerakkan rahangnya. Sepertinya tidak ada yang serius. Dislokasi sendi, misalnya. Jelas, ia bukan seorang olahragawan. Tinggi badannya 185 cm. Posturnya tubuhnya biasa-biasa saja, bukan postur ala iklan s**u berprotein tinggi. Ia tidak memiliki perut six pack seperti Costa yang menggemari olahraga ekstrim. Lengannya berotot—sedikit—standar laki-laki kebanyakan yang tidak punya waktu berolahraga. Waktu luangnya lebih banyak digunakan untuk membalaskan dendam tugas jaga dengan tidur seharian. Jadi, bukan salahnya kalau ia terpelanting kala Aretha menyepak rahangnya dengan tendangan mautnya. Ia tidak sedang menghibur diri. Itu ... hal yang wajar, bukan? Normal. Ya, normal. Namun tetap saja, untuk beberapa detik, ia merasa nasibnya tengah dipecundangi seorang perempuan. Harga dirinya dipertaruhkan. Apakah sudah saatnya ia mulai menyambangi pusat kebugaran? Aretha membalikkan badan, setengah berlari ke rumah dan kembali dalam hitungan menit dengan dua mangkok di tangan. Satu mangkok berisikan air hangat dan satu lagi berisikan es batu. Sehelai handuk kecil bersih tersampir di bahunya. "Maaf, Mas." Aretha kebingungan memilih es batu atau air hangat untuk mengompres pipi laki-laki itu. "Es batu!" kata Attar ketus. "Aku nggak sengaja." Aretha menempelkan handuk berisikan es batu ke pipi Attaruna. Kedua bola mata laki-laki itu langsung menyipit. "Nggak sengaja kamu bilang?" Aretha mengangguk. "Sumpah, Mas. Nggak sengaja." "Nggak sengaja aja bikin aku jatuh, gimana kalau sengaja? Jangan-jangan aku diopname!" Attar mendengus masam. "Nggak akan separah itu, kok." Aretha membela diri. "Cuma gerak reflek." "Kok, bisa?" Attar terheran-heran. Gerak reflek macam apa yang menyebabkan orang lain celaka? "Anu ... " Aretha kelihatan ragu-ragu, "... aku menguasai silat, Mas, dikit." "Dikit kamu bilang?" Attar terbelalak. "Iya, Mas, dikit." "Dikit aja cukup buat bikin aku terpelanting, ya?" Aretha diam saja seraya menekan-nekan pipi Attar dengan handuk. Untuk saat ini ia bisa bernapas lega, tampaknya Attar baik-baik saja. Gerak reflek bagi pesilat adalah hasil tempaan dalam waktu yang tidak sebentar. Ia sendiri sudah belajar silat semenjak usia sepuluh tahun atas permintaan ayahnya, agar ia mampu menjaga dirinya sendiri saat ayahnya tak ada. "Kamu ngapain tidur di sini?" kata Attar mengalihkan pembicaraan. "Ketiduran, Mas." Attar mengamati wajah Aretha. Mata gadis itu terlihat sembab. Ada jejak air mata yang sudah mengering di pipinya. "Kamu habis nangis?" "Enggak." "Jangan bohong." Aretha membuang muka. Kemudian, jantungnya seakan melompat kala Attar meraih dagunya dan mengamatinya dengan lekat. Pipinya bersemu dalam keremangan. Duh, Tuhan, bolehkah aku jatuh cinta lagi? "Kenapa? Kangen Mami?" "Ka–kangen Papi, Mas." "Oh. Udah ditelepon?" Nada suara Attar berubah lembut. Aretha menggeleng malu. "Pulsanya habis." "Kamu kan bisa pakai telepon rumah, Re," kata Attar menambahkan. Itu artinya, suara tangisan yang ia dengar sebelumnya berkemungkinan suara tangisan Aretha, bukan suara kuntilanak. "Lagian, kangen Papi aja nangis. Kayak anak SD aja kamu." Aretha menunduk mendengar sindiran Attar. Mungkin laki-laki itu benar, ia terlalu berlebihan merindukan ayahnya yang jarang sekali bisa ia temui. Buncahan rasa rindu mengentak menghunjam jantungnya. "Beneran kamu nangis cuma gara-gara kangen Papi?" Attar memandang gadis itu curiga. "Kok, aku nggak yakin?" "A–aku dipecat, Mas." Mau tidak mau Aretha terpaksa berterus terang. Ekspresi putus asa tergambar jelas di wajahnya. Ia baru bekerja sepuluh hari lamanya. Perusahaan memecatnya lewat telepon usai ia bermasalah dengan manajernya. Hidup memang tidak adil bagi orang susah! "Kenapa, kok, bisa dipecat? Kamu melakukan kesalahan apa?" "Aku ... aku berantem sama manajer yang kuceritain kemarin. Terus ... tulang rusuknya patah." "Wow?!" Attar terbelalak. "Kok, bisa?" "Bukannya kemarin Mas bilang, kalau dia kurang ajar sebaiknya aku tonjok mukanya sampai giginya rontok?" "Iya, sih." Attar menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Dia mau ngelecehin aku. Terus aku sikut dan ... tulang rusuknya patah." Untuk beberapa detik, Attar melongo seperti orang t***l. Disikut saja bisa patah? Namun terlepas dari itu, terbersit rasa kagum bahwa Aretha bukanlah ranting rapuh seperti perkiraannya. Beberapa detik kemudian, ia kembali bersuara, "Kenapa nggak kamu bunuh aja sekalian?" Giliran Aretha yang melotot. "Mas mau aku masuk penjara?" Attar tiba-tiba merasa familier dengan kasus patah tulang rusuk tersebut. "Tunggu! Siapa nama manajermu?" "Seno." "Oh!" Ia mengingat-ingat sebentar. "Kayaknya dia pasienku tadi siang, deh." "Masa? Gimana keadaan dia, Mas?" sambut Aretha khawatir. "Buat apa kamu peduli?" Attar tiba-tiba menyesal menekan perut pasiennya itu dengan penuh kelembutan. Kalaulah ia tahu laki-laki itu telah berusaha melecehkan Aretha, mungkin ia akan menekan perut Seno sekuat tenaga. Kalau perlu, sampai ruas tulang rusuk yang retak itu ia patahkan saja sekalian! "Aku belajar silat bukan untuk menganiaya orang, Mas." "Jadi, itu hanya refleks?" "Iya." "I see." Attar mangut-mangut. "Dan kamu nangis gara-gara dipecat?" Aretha mengangguk. "Mereka juga menolak membayar gajiku." "Alasannya?" "Katanya karena aku bikin malu." "Ck!" Attar berdecak jengkel. "Berapa gajimu?" "Tiga juta per bulan." Uang tunai dalam dompet Aretha sudah hampir habis. Ia tidak berani mengambil isi tabungannya dari mesin ATM karena takut posisinya ketahuan. Bukan tidak mungkin ibunya atau ayah tirinya berkongkalingkong dengan pihak bank untuk mengetahui di mana transaksi terakhirnya dilakukan. "Kamu butuh uang banget, ya?" kata Attar terheran-heran. Tidak mungkin Aretha kekurangan uang. Apa yang terjadi kepadanya? Padahal setahunya, keluarga tantenya, Martha, adalah keluarga yang sangat berkecukupan. "Buat apa?" "Ditabung, Mas, buat ngekos." "Kamu nggak mau tinggal di sini lagi? Ada yang rese?" "Nggak enak numpang melulu." "Numpang kamu bilang?" sahut Attar jengkel. "Maaf." Aretha menunduk dan terisak. "Faktanya memang begitu." Air mata gadis itu membuat Attar iba. Ia berdiri, lalu berkata, "Tunggu di sini." Ia kembali ke kamarnya dan mengambil entah berapa lembar uang tunai, lalu memasukkan ke dalam saku celana jeans selutut yang ia kenakan. Setibanya di gazebo, ia mengulurkan uang itu kepada Aretha. "Nih." Aretha mendongak. "Apa ini, Mas?" "Kamu nggak bisa lihat, ini duit bukan daun?" "Buat apa?" "Buat mengganti gajimu." Attar senang, Aretha mampu membela dirinya sendiri. Tetapi ia juga merasa bersalah—sedikit—telah memprovokasi Aretha tempo hari sehingga rela membayar gaji Aretha sebagai kompensasi. Kesedihan semakin menguasai Aretha. Air matanya kembali menetes. Jangankan membuat Attar jatuh cinta, laki-laki itu bahkan juga tidak menginginkan keberadaannya. Jangan mimpi, dasar keset kaki! Attar menjejalkan uang itu ke tangan Aretha. "Terima kasih, Mas. Kalau aku dapat pekerjaan lagi, aku ganti uangnya Mas." "Nggak usah." Attar tersentak melihat Air mata Aretha membanjir. "Kenapa kamu nangis lagi?" Gadis itu mengusap pipinya. "Nggak apa-apa. Mas tenang saja, aku akan keluar dari rumah ini secepatnya." "Lho? Kenapa?" "Mas ngasih aku uang agar aku bisa pindah, kan?" "Astaga, Re, bukan gitu. Aku ngasih kamu uang biar kamu nggak nangis lagi, bukan buat ngusir kamu." "Tapi gelagatnya kayak gitu." "Jangan berspekulasi. Kalau ada yang nggak jelas, tanya baik-baik!" "Ma–maaf, Mas." Namun biar bagaimanapun, ia akan mengganti uang Attar suatu hari nanti. "Coba aja kalau kamu berani keluar dari rumah ini tanpa permisi, aku cincang kamu!" Aretha tertawa kecil. Entah kenapa, ancaman itu terdengar cute di telinganya. Ia tidak takut kepada attar. Hanya saja aura lelaki itu membuatnya segan, sungkan dan menaruh hormat. Bila ditilik dalam istilah kepemimpinan, Attar adalah seorang alpha, meskipun tabiatnya suka marah-marah. "Coba kalau gajiku tetap dibayarkan ya, Mas, pastinya uangku jadi lebih banyak." Attar berdecak jengkel, "Kalau gajimu tetap dibayarkan, aku nggak bakal ngasih kamu uang. Dasar perempuan!" Aretha nyengir tertahan. Dan jantungnya seakan-akan kembali melompat kala Attar mengacak-acak rambutnya sambil tersenyum lembut. Lelaki itu pun berubah berkali-kali lipat lebih tampan hanya dalam hitungan detik. *** Setelah obrolan singkat di halaman belakang rumah itu, keduanya masuk ke dalam kamar masing-masing. Aretha menyimpan uang pemberian Attar di dalam tasnya, lalu bergegas menyalakan laptop. Ia menyambungkan harddisk lamanya ke laptop tersebut kemudian membuka beberapa program yang bisa menunjang pekerjaannya dalam rangka membalaskan dendam. Terkadang di saat sakit hati, seseorang bisa bertingkah kekanak-kanakan. Dalam kesehariannya, ia bukan orang yang banyak bicara. Attar pernah menyebutnya nerd, dan mungkin itu benar. Ia lebih senang mengamati dan menyimpan informasi yang sekiranya ia butuhkan nanti di dalam otaknya. Sewaktu masih bekerja, ia beberapa kali melihat para satpam membuka akun media sosial mereka melalui seperangkat komputer yang disediakan perusahaan di pos penjagaan, katakanlah saat ia mengambil sampah, mengantarkan minuman, dan lain sebagainya. Saat memakai komputer Seno pun, ia menyempatkan diri memindai jaringan dan mengingat-ingat beberapa informasi penting. Sebenarnya ia bisa saja melakukan DDoS atau nuking untuk membebani kinerja modem internet di perusahaan itu, bahkan sampai benda itu overheat dan tumbang. Tetapi setelah ia pikir-pikir lagi, troubleshooting dari permasalahan yang ia timbulkan rasanya terlalu mudah. Aretha akhirnya memutuskan untuk menanam malware jahat yang mampu menutup seluruh port access komputer yang berada di dalam satu jaringan lokal di perusahaan tersebut, melalui sebuah script yang diselipkan dengan cerdik ke sebuah link dengan preview gambar perempuan seksi untuk mengelabui target. Suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu kelemahan pengguna media sosial level awam, apalagi yang berjenis kelamin laki-laki biasanya memiliki kecenderungan untuk penasaran dengan hal-hal yang berbau seksualitas. Tentu saja ini dapat menjadi salah satu alternatif yang menarik untuk dijadikan sebagai umpan. Meskipun tidak eksis di media sosial, ia mengerti bagaimana caranya membuat akun f*******:. Ia memajang foto perempuan cantik yang ia ambil dari mesin pencari, menambahkan beberapa teman, lalu meminta pertemanan kepada para satpam yang dimaksud. Dan semoga saja, para satpam malang tersebut mengakses akun media sosialnya melalui komputer di pos jaga seperti biasanya, bukan melalui smartphone-nya. Jujur saja, ia seperti berjudi dengan faktor keberuntungan. Dalam hitungan menit, salah seorang satpam menerima permintaan pertemanannya dan seingatnya, malam itu adalah jadwal piket orang yang dimaksud. Aretha pun tersenyum puas. Dasar bodoh! Langkah berikutnya adalah berbasa-basi sedikit sebelum mengirimkan link yang ia punya. Bila perusahaan itu bisa semena-mena memecatnya semata karena ia membela harga dirinya lalu tidak membayar gajinya, maka rasanya itu tidak menjadi masalah. Setidaknya dalam dua hari ke depan sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, seluruh komputer yang terhubung dalam jaringan tersebut akan lumpuh dan mereka harus memanggil teknisi untuk memperbaikinya. Tentunya dengan tarif yang tidak murah mengingat massive-nya gangguan yang diakibatkan oleh perbuatannya. Baru saja ia hendak menekan tombol enter, terdengar ketukan di pintu kamarnya. Aretha buru-buru bangkit dari duduknya dan membuka pintu. "Mas Attar? Ada apa?" "Cuci muka, gih, kita jalan-jalan keluar," kata Attar sebelum berlalu pergi. "Nggak pakai lama. Aku tunggu." Aretha melirik jam dinding. Hampir pukul sembilan malam. Jalan-jalan? Apakah Attar mengajaknya kencan? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD