Menjelang jam makan siang, IGD kedatangan seorang pasien yang didorong dengan kursi roda. Laki-laki itu ditemani oleh seorang pria parlente berpenampilan apik. Tak lama kemudian, datang dua mobil ambulan meraung-raung silih berganti. Kabarnya ada korban kecelakaan lalu lintas yang butuh pertolongan medis. Tempat yang tadinya sepi itu mendadak berubah ramai dan gaduh.
"Makanya, jangan bilang sepi," celetuk seorang perawat kepada mahasiswa koas. Sudah menjadi mitos tak tertulis bahwa kata 'sepi' menjadi pantangan bagi para petugas jaga di IGD. Biasanya, tidak lama setelah mengucapkan kata keramat tersebut, tempat itu terisi penuh oleh pasien sampai-sampai mereka kewalahan.
"Sakit sekali, Dok!" rintih laki-laki itu saat Attar meraba perutnya. Bagian sebelah kanan atas perutnya tampak bengkak dan memar. Dari hasil pemeriksaan sementara, ia curiga pasiennya mengalami patah tulang iga.
Laki-laki itu menitikkan air mata. Padahal, Attar hanya menyentuhnya sedikit saja. Jauh lebih baik daripada kebanyakan orang yang lebih memilih pergi ke tukang pijat bila mengalami patah tulang. Attar tak bisa membayangkan jerit kesakitan pasien saat dipijat. Ia sendiri belum pernah mengalami patah tulang, tetapi dari pengakuan pasiennya, mereka merasakan nyeri yang tajam pada daerah fraktur. Ada juga yang tidak merasakan sakit, meski kondisi tersebut boleh dihitung dengan jari.
"Coba Bapak tarik napas panjang, sakit tidak?"
Laki-laki itu menuruti perintah Attar, tetapi kemudian mengaduh nyaring. Napasnya pendek-pendek. Rasa nyeri yang hebat itu sangat menyiksa.
"Sepertinya ada fraktur pada tulang rusuk. Bapak terjatuh? Atau kecelakaan?" Attar berusaha mengajak laki-laki itu bicara sambil memberi kode pada perawat untuk kembali menyiapkan kursi roda.
"Dianiaya, Dok. Ada perempuan bar-bar di kantor saya."
"Oh, ya? Wah, kasihan sekali. Pasti sakit banget, ya, Pak?" Attar geleng-geleng kepala dalam hati, membayangkan sekuat apa perempuan itu menghajar pasiennya. Padahal postur tubuh laki-laki itu lumayan padat dan gempal.
"Banget, Dok." Laki-laki itu lagi-lagi merintih, lantas berbisik-bisik pada rekannya. Tak lama setelah itu, rekannya pun pergi, mungkin untuk mengurus administrasi atau ada keperluan lain.
Attar tersenyum tipis. berusaha untuk tidak memandang tangisan laki-laki itu secara seksis karena terlepas dari apa pun jenis kelaminnya, setiap orang berhak menangis. Meskipun nanti, ada saja kelakukan pasien yang ia bahas bersama rekan-rekannya setelah tugas jaga berakhir, hitung-hitung sebagai hiburan di balik layar.
"Untuk lebih memastikan hasilnya, kita rontgen dulu, ya, Pak." Attar meminta perawat mendorong kursi roda pasien tersebut menuju bagian radiologi.
"Kira-kira butuh waktu berapa lama untuk sembuh, Dok?"
"Nggak lama, kok, Pak. Sekitar satu sampai dua bulan."
"Nggak harus dioperasi, kan, Dok?"
"Tergantung derajat keparahannya, Pak." Fraktur tulang iga adalah kasus yang lumayan umum, disebabkan oleh pukulan, benturan, jatuh, kecelakaan, cidera saat berolahraga dan biasanya bisa sembuh sendiri. Namun, fraktur tulang iga dapat menyebabkan kondisi yang serius bila ujung patahan mengancam pembuluh darah maupun organ-organ yang dilindunginya, seperti paru-paru, jantung, hati, ginjal dan limpa. Bila kondisi yang diderita pasien serius dan membahayakan, maka dokter akan melakukan operasi.
Selang setengah jam kemudian, spesialis radiologi menjelaskan, pasien tersebut mengalami patah tulang iga di ruas depan paling bawah, sedangkan satu ruas di atasnya retak.
***
"Tumben lo pulang?" tegur Ronald ketika tugas jaga mereka sama-sama berakhir. Ronald ikut dengan mobil Attar karena searah dengan apartemennya.
"Memangnya gue nggak boleh pulang ke rumah sendiri?"
"Biasanya lo cuma pindah markas ke sebelah."
"Ada makhluk baru di rumah gue," kata Attar sambil tersenyum kecil. Sejujurnya, ia tidak memikirkan Aretha. Namun, katakan saja ia penasaran bagaimana perkembangan terakhir gadis itu menghadapi masalah di kantornya. Apakah Aretha benar-benar menonjok si manajer mesumnya sampai giginya rontok?
Ah, tidak mungkin. Gadis itu tampak seperti ranting rapuh yang lebih memilih lari tunggang langgang ketimbang menunjukkan taringnya. Sayang sekali ia juga tidak memiliki nomor ponsel Aretha. Ingatkan dirinya untuk memintanya nanti.
"Wow!" Ronald terkesima, tak percaya Attar cepat sekali move on setelah putus dari pacarnya, "cantik?" lanjutnya kemudian.
"Tunggu! Kenapa lo nebaknya ke perempuan?"
"Kalau dia makhluk berbatang, lo nggak bakal tertarik. Lo masih straight, kan?"
"Anjir!"
"Jadi gimana? Cantik nggak? Buat gue kalau lo nggak mau."
"Lo pikir dia barang?"
"Kok, ngegas? Cantik nggak?" tuntut Ronald tidak mau kalah.
Attar mengangkat bahu, tidak tahu bagaimana mendeskripsikan Aretha di matanya. Tak lama kemudian, ia kembali menyeletuk. "Sidang cerai lo aja belum beres udah mikirin cewek baru."
"Move on, Bro. Hidup ini untuk dinikmati."
"Jangan-jangan, lo cuma menghibur diri? Gue tahu gimana cintanya lo pada Raya."
"Terkadang hidup menuntut kita untuk berhenti, Tar. Dan gue berhenti. Apa gue salah?"
Attar terdiam.
"Lo juga cepat banget move on dari Ringga."
Attar tertawa kering. "Kalau udah putus ya udahlah. Move on, tapi kayaknya gue nggak ada niat punya pacar lagi."
"Mati rasa?"
"Bukan." Attar menggeleng. "Kayaknya tujuan gue pacaran selama ini nggak ada yang spesifik, cuma buat hura-hura aja, biar nggak dikatain jomlo atau apalah. Lagian, kasihan anak orang. Mereka minta dinikahi melulu. Gue belum qualified buat jadi suami. Mau gue kasih makan apa coba? Kerjaan aja nggak punya."
"Lo mah nggak kerja tapi duit lo banyak."
"Ya, beda dong. Itu kan hasil dari profit usaha bokap gue, terus keuntungan investasi. Kayaknya lebih berkah kalau gue ngidupin anak orang dari hasil keringat gue sendiri. Malu, kalau cuma nunggu jatah dari orang tua."
"Lo nyindir gue?" Ronald menyipitkan matanya.
"Bukan. Baper amat, sih?"
Ronald mendengus.
"Terkadang nggak punya pacar itu juga bikin kesepian, sih. Nggak ada teman buat discuss about something. Apalagi semenjak adik gue nikah."
Attar berharap, kehadiran Aretha di rumahnya menjadi angin segar di tengah rasa bosan yang melandanya. Gadis itu sangat polos. Ingin ia mengerjai Aretha agar dunianya lebih berwarna.
"Lo luangin waktu dong buat hangout bareng adik lo."
"Atha udah punya anak, Ron. Dia juga kuliah lagi. Pastinya susah banget membagi waktu."
Ronald mendesah sambil mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi. "Adik lo udah jadi calon Doktor, kita lulus spesialis saja belum. Ck! Cape deh!"
***
Attar tahu, percaya kepada hantu di abad 21 terdengar konyol dan mengada-ada. Umurnya tak lagi belia. Tetapi setelah ia dewasa, sosok seram tak kasat mata itu masih membuat nyalinya ciut. Semua itu berbekal dari trauma masa kecilnya bersama pengasuhnya.
Balkon tempat favoritnya melamun tak lagi senyaman biasanya. Lagi-lagi ia mendengar suara aneh samar-samar saat berdiri sana. Kali ini, suara itu tidak memanggil namanya seperti tempo hari, melainkan menangis lirih menyayat hati. Bulu kuduk Attar seketika berdiri.
Ia pun buru-buru beranjak. Sebelum ia menutup pintu balkon, terdengar ketukan di pintu kamarnya.
"Masuk!"
Pintu itu terbuka. Tampak Bi Ati membawakan nampan berisikan segelas besar s**u panas. "Diminum, Den, mumpung masih hangat."
Attar menyambut nampan dari Bi Ati dan meletakkannya di atas meja. "Bibi percaya hantu nggak?"
"Aduh, Den, jangan ngadi-ngadi, deh! Mana ada hantu zaman sekarang? Hantunya takut nongol, Den, alih-alih nakutin malah hantunya yang kena prank," cerocos Bi Ati tak putus-putus menceritakan video nasib kuntilanak dan pocong di media sosial yang kena bully oleh netizen.
"Bibi sini, deh," Attar menyeret Bi Ati ke balkon kamarnya. "Tadi ada suara perempuan nangis."
"Ah, masa?" Bi Ati mengangkat alisnya tak percaya. "Kunti?"
"Mungkin."
"Mana kuntinya, mana?" Bi Ati berkacak pinggang dengan tampang jemawa, sekaligus menatap heran pada anak majikannya. Dasar sableng!
"Tadi ada, Bi, kuntinya nangis," sahut Attar tak mau kalah. Ia yakin tidak berhalusinasi.
"Lha, mana ada kuntilanak hari gini, Den. Kalaupun ada, kuntinya malah takut dekat-dekat sama Den Attar."
"Lho, kok, gitu?"
"Ya takut kena bentak. Den Attar mah nggak asik, marah melulu. Heran, kalau ada perempuan yang mau sama Aden, barangkali ada yang salah sama otaknya."
"Apaan sih, Bi!" Attar berdecak kesal mendengar gerutuan tak beradab dari asisten rumah tangganya itu. Andaikan masakan Bi Ati tidak enak, mungkin sudah sejak lama Attar menyuruhnya mencari majikan baru.
Tiba-tiba telinganya mendengar tangisan lagi, sayup-sayup seperti merintih.
Attar terbelalak dan saling berpandangan dengan Bi Ati. "Tuh, kan? Apa kubilang?"
Tanpa disangka, wajah perempuan itu berangsur pucat pasi seperti kertas putih.
Lagi-lagi kuntilanak itu menangis.
"KU–KUNTI!!!" jerit Bi Ati sambil berlari terbirit-b***t. "Audzubillah, bismillah, astagfirullah!"
"Bi! Kok kabur, sih?" Dalam hitungan detik perempuan itu sudah menghilang dari kamar, meninggalkan Attar yang buru-buru menutup pintu balkon sekaligus tirai jendelanya.
Bahunya bergidik.
Sepertinya ia harus mempertimbangkan pindah rumah saja. Menyewa apartemen, misalnya.
***
Pukul delapan malam, Attar tak jua bisa memejamkan mata. Ia hanya berguling ke kanan dan ke kiri. Dan sudah menjadi aturan tak tertulis bagi tubuhnya, tak bisa tidur artinya perutnya kembali berbunyi.
Ia menyibak selimut dan turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar dan turun ke dapur. Setibanya di dapur, ia mengambil sebutir apel dan mencucinya.
Sambil mencari angin, ia mengunyah apel tersebut dan berjalan ke belakang rumah. Langit malam pekat nyaris tak berbintang.
Tiba-tiba matanya menyipit menangkap sebuah sosok berbaju putih dan berambut panjang sedang meringkuk di lantai gazebo.
Ingin rasanya Attar berlari, tetapi rasa penasaran membawa kakinya perlahan-lahan mendekat. Padahal, dalam kebanyakan adegan film horor, justru rasa penasaran itulah yang membunuh para korbannya.
Jantungnya berdetak kencang bak genderang perang.
Beberapa detik setelah itu, napasnya berembus lega saat mengenali sosok yang dari kejauhan nyaris seperti kuntilanak tersebut.
"Re?" tegurnya sambil menggoyang-goyang kaki Aretha. "Kenapa kamu tidur di sini? Banyak nyamuk. Hey, bangun!"
Attar tidak tahu dan tidak sempat bertanya, tiba-tiba saja ia sudah terbaring miring di samping pot bunga dengan rahang berdenyut dan kepala pening luar biasa. Ujung pucuk rumput jepang menusuk-nusuk pipinya.
Ketika ia membuka mata, tampak olehnya Aretha telah berdiri di samping gazebo. Gadis itu membelalakkan mata seraya menutup mulutnya.
Attar seketika memasang tampang murka. "RETHA!!!"
***