Siang berlalu begitu cepat, sedangkan Kirana menunggu Agni bangun dengan mengerjakan sesuatu di laptopnya. Tak ingin mengganggu Agni tidur, Kirana memilih kerja di sofa yang sedikit jauh dari Agni tidur.
“Jam berapa ini?” suara serak milik Agni membuat Kirana kaget.
“Jam setengah delapan malam pak,:” jawab Kirana sambil menutup laptop di depannya.
“Kenapa kamu tidak pulang?” tanya Agni merapikan bajunya.
“Saya masih ada kerjaan pak,” jawab Kirana beralasan.
“Kerjakan besok saja, sekarang ayo pulang. Aku lapar sekali,” Agni mengajak Kirana pulang.
“Tadi saya sudah membelikan bapak makanan, tapi susah sekali di bangunkan. Jadi ya sudah dingin,” jawab Kirana menunjukkan makanan yang ada di meja.
“Ya sudah saya makan itu saja,” Agni duduk di sofa tepat di depan nasi yang masih terbungkus kotakan.
“Tapi itu sudah dingin pak,” Kirana mencoba menghalangi Agni yang hendak memakan makanan yang di bawanya tadi.
“Jangan membuang-buang makanan,” Agni langsung menyantap makanannya dengan lahapnya.
Melihat Agni makan sangat lahap, Kirana hanya bisa tersenyum canggung.
Tak butuh waktu lama untuk menghabiskan sekotak nasi yang di beli oleh Kirana. Agni menyudahi dengan mengelap tangannya dengan cara mengemut jari-jari tangannya. “Sunah Rosul.” ucapnya karena Kirana memandang sedikit jijik.
“Sunah rosul?” tanya Kirana mengulangi perkataan Agni.
“Iya, emang kamu pikir cuma ML di malam jumat saja yang di sebut Sunah Rosul? Jangan salah, memakan nasi tiga jumput sebelum makan juga termasuk sunah rosul, termasuk membersihkan jari seperti yang saya lakukan tadi itu juga sunah rosul,” terang Agni yang menjelaskan pada Kirana..
“Sudahlah, pembicaraan kita sudah tidak pada tempatnya. Sekarang bapak mau pulang ke apartemen apa mau ke rumah besar?” Tanya Kirana menyudahi omongan unfaedah dari Agni.
“Ke rumah besar saja. Mama mau aku pulang,” Agni membereskan tempat makannya sebelum mencuci tangan.
Kirana dan Agni berjalan berdampingan menuju lantai dasar. Ternyata masih ada beberapa karyawan yang lembur di ruangannya. Tentu saja Kirana menjadi sorotan para rekan kerjanya karena berjalan di samping Agni dengan mulut yang tak berhenti mengomel.
Bukan tanpa alasan Kirana mengomel pada atasannya yang melupakan berkas penting di dalam meja meeting. Kirana sendiri tak habis pikir dengan apa yang ada di kepala bos sempurna nya itu, belakangan sering sekali melakukan kesalahan dan terkesan ceroboh.
“Bagaimana bisa berkas sepenting itu tertinggal di meja meeting!” omel Kirana pada bosnya yang hanya diam saja.
“Bapak bukan lagi anak kecil yang harus di ingatkan setiap saat ‘kan?” sambungnya lagi.
“Maaf Ran, aku tadi benar-benar lupa dengan berkas itu. Jadi mau ya mengambil untukku?” mohon Agni dengan menunjukkan wajah memelas nya.
“Hmm! Tunggu di mobil,” jawab Kirana malas.
“Ih Kirana cantik deh,” rayu Agni dengan mencubit pipi Kirana.
“Bapak sudah menggunakan handsenitizer sebelum mencubit pipi saya?” tanya Kirana terkesan serius.
“Jangan bercanda, aku hanya memegang mu saja! Tidak pernah memegang wanita lain, jadi tak ada virus yang menempel padaku!” jawab Agni membalas guyonan Kirana.
“Siapa yang tau bapak memang tak mau memegang wanita namun mau memegang…” Kirana menggantung ucapannya sebentar. “Ehm lelaki juga!” lanjut Kirana dengan sedikit merendahkan nada suaranya.
“KIRANAAA!!!” teriak Agni pada Kirana yang sudah berlari menuju ruang meeting.
Kirana berjalan dengan cepat menuju mobil Agni, bukan karena takut hantu. Tetapi Kirana melihat sesuatu yang menurutnya tak patut untuk di lihat.
Datang dengan napas yang terengah, Kirana membuat Agni kaget.
“Kau kenapa?” Tanya Agni.
“Itu…. itu…” Kirana tak bisa berbicara karena melihat sesuatu di ruang meeting, bahkan Kirana juga tidak membawa berkas yang di tinggalkan oleh Agni.
“Minum dulu, tenangin diri. Baru kamu bicara sama aku,” Agni menyerahkan sebotol air mineral yang baru saja di minumnya.
Setelah sudah sedikit tenang, Kirana menceritakan apa yang di lihat nya. Mendengar apa yang di ceritakan Kirana, Agni terlihat sangat meradang. Ingin rasanya saat itu juga langsung ke ruang meeting dan melihat langsung apa yang sudah di lihat oleh Kirana. Namun Kirana menahan Agni untuk tidak bertindak gegabah.
“Tapi, dia itu Om aku Ran. Dia sudah memiliki anak dan usianya tak jauh berbeda denganku!” ucap Agni yang tak terima Kirana menahannya.
“Tenang lah dulu. Kalau seperti ini hanya akan mempermalukan pak Darma di depan sekretarisnya,” ucap Kirana mencoba menenangkan Agni yang tengah di bakar amarah.
“Tapi ini kantor yang susah payah dibangun oleh almarhum papa…” belum selesai Agni ngomong, Kirana langsung menjejali mulut lelaki itu dengan air mineral yang tadi di minumnya.
“Sttt, aku sudah capek pak. Dari Bali langsung kerja, kasih aku sekretaris mu ini istirahat sebelum besok kembali bekerja.” Kirana langsung mengambil alih kemudi dan menyuruh bos nya duduk di bangku penumpang.
“Kau lah bos nya di sini!” gerutu Agni mengalah pada Kirana.
“Bagus!” Kirana melaju kan mobil nya ke arah rumah Galuh Ajeng, orang tua tunggal Agni.
Jalanan yang macet membuat perjalanan menjadi sangat lama. Perjalanan yang seharusnya di tempuh hanya dengan tiga puluh menit saja, karena macet harus di tempuh selama satu setengah jam lamanya.
“Sekarang malam apa sih? Kenapa malam ini macetnya gak ketulungan!” gerutu Agni yang merasa sangat bosan saat di jalan tadi.
“Baru hari selasa pak, memangnya ada hubungannya ya macet sama hari?” Tanya Kirana membukakan pintu mobil untuk Agni.
“Gak ada, hanya saja kalau malam minggu itu memang suka macet gak jelas,” jawab Agni dengan nada jengkel.
“Sudah sih ngomelnya. Ini sudah sampai di rumah juga,” ucap Kirana. “Tadi itu ada kecelakaan beruntun, makanya macet,” jelas Kirana.
“Kau nginep saja di sini. Ini sudah malam,” Agni tak membiarkan Kirana yang hendak masuk kembali ke dalam mobil nya untuk pulang ke rumahnya.
“Bapak menghawatirkan saya, apa tak mau pusing milih baju untuk besok?” tebak Kirana.
Dengan cengiran seperti kuda yang sok imut, Agni pun tak bisa menyembunyikan alasan utama menahan wanita yang sudah ikut dengannya selama satu tahun lebih itu. “Kau paling tau,”
“Lagi-lagi kau mencolek dagu ku pak, apa mau kau ku mandikan dengan handsanitaizer?” Kirana mengusap kasar dagu yang sudah di colek oleh Agni.
“Kau ini sombong sekali, jangankan cuma mencoleknya., merasakan pun sudah. Apa kau lupa?” goda Agni.
“Ku mohon lupakan itu pak, kalau bapak tak mau biar saya yang pura-pura gila!” Kirana meninggalkan Agni masuk ke dalam rumah besar bernuansa jawa kental itu.
“pura-pura gila?” Agni masih terpaku dengan ucapan Kirana. “Pura-pura lupa woi!!” teriak Agni setelah menyadari kesalahan Kirana dan berlari menyusul sekretarisnya.
“Selamat malam Nyonya,” sapa Kirana saat masuk ke dalam rumah mewah dan di sambut oleh sang tuan rumah, Galuh Ajeng.
“Oh nak Kirana, sini masuk. Mana Agni?” Tanya Galuh Ajeng yang menyambut Kirana dengan senyuman ramah.
“Ada di belakang, sepertinya sedang berpikir.” jawab Kirana santai mengikuti wanita cantik namun sudah tak muda lagi.
“Berpikir? Mikir apa dia?” Tanya Galuh bingung.
“Mikir, siapa aku? Di mana aku? Apa aku? Hahahaha.” jawab Kirana yang dibarengi dengan gelak tawa keduanya.