Arsy - 2. Sabar

1543 Words
"Jangan marah, maka bagimu surga." HR. At Thabrani. Menjelang sore hari, saat akan menghadiri perkumpulan Rohis, aku tidak langsung pergi ke masjid karena beberapa menit yang lalu ada telepon manja dari lelaki di sebelahku kini. Tadi dia berkata, "Dek, nanti berangkat ke perkumpulan Rohisnya bareng, ya. Tungguin Abang di belokan gedung fakultas kamu." Sebenarnya menyebalkan sih, melihat Bang Nail yang tiba-tiba meminta seperti itu. Tapi ya sudahlah, daripada nanti dia ngambek. Membayangkannya saja lucu, apalagi sampai melihat Abang ngambek beneran. “Abang tadi melihatmu berjalan dengan seorang laki-laki. Siapa dia?” tanya Bang Nail di sela-sela perjalanan kami. Aku sempat mengernyitkan dahi, sedikit terkejut Bang Nail langsung menembakku dengan pertanyaan demikian. Laki-laki? Aku ingat. Mungkin maksudnya lelaki tadi, yang kukira sengaja menungguku, tapi ternyata dia pergi juga setelah menerima panggilan telpon. “Ah dia, Arsy juga nggak kenal, Bang. Dia ngikutin Arsy terus sejak Arsy di perpustakaan. Tahu gak, Bang, gara-gara dia, Arsy tadi diusir dari perpustakaan. Baru kali ini nih. Kan Arsy malu, Bang,” kisahku meluapkan dongkol yang masih tersisa. Abang terkekeh sambil mencubit pipiku yang mengelembung di balik cadar. “Adek Abang kok jadi suka ngadu sih?" “Ih Abang, Arsy bukan ngadu. Arsy cerita. Kenapa malah Arsy yang dicubit!” rajukku seraya mengelus pipi bekas dicubitnya. Aku mulai heran kenapa Abi, Umi dan Bang Nail suka sekali mencubit pipiku. “Kamu lucu kalau lagi merajuk begini. Jangan dekat-dekat dengan laki-laki tadi, Abang gak suka kamu berduaan dengan yang bukan mahram. Kamu paham, kan, Arsy?” “Arsy paham, Abang. Dan bukan cuma laki-laki tadi. Sudah dijelaskan dalam Alquran tentang siapa saja yang termasuk mahram bagi Arsy,” jawabku menyakinkan Bang Nail. Aku akan dan selalu berusaha untuk tidak berduaan dengan seorang laki-laki yang bukan mahram. Laki-laki tadi saja yang kurang peka atau memang sengaja mengambil kesempatan saat Syfa kebetulan tak bisa menemaniku. Aku sudah menutup diri secara sempurna, dengan gamis lebar, cadar dan pakaianku pun bukan warna yang menarik perhatian. "Yang mana coba? Ayat tentang mahram?" tantangnya berkernyit aneh. "Mahram adalah orang yang dilarang untuk dinikahi. Arsy gak mau jelasin, Abang pasti lebih paham. Dalam Alquran surah An-Nisa: 22-24. Mahram di bagi menjadi tiga sebab..." Bang Nail menghentikan langkah, agak menunduk dengan sebelah tangan di perut. "Abang sepertinya sakit perut. Abang izin ke kamar mandi sebentar. Kamu duluan aja, nanti Abang nyusul. Assalamualaikum." Tanpa sempat aku membalas, Bang Nail langsung mengeluarkan jurus langkah seribu. "Ih. Tadi minta ditungguin, sekarang malah ninggalin. Wa'alaikumussalam." *** Aku sendirian. Saat ini tempat perkumpulan Rohis sudah dipenuhi para anggota. Bang Nail juga sudah pulang dari urusannya. Aku segera menuju tempat para mahasiswi duduk. Dalam setiap perkumpulan yang mengharuskan perempuan dan laki-laki berkumpul, kami sebisa mungkin untuk duduk terpisah. Aku pun memilih untuk duduk dekat Kak Mella dan Kak Wulan. Mereka berdua adalah kakak tingkat yang lumayan akrab denganku. Mereka tersenyum memberi tanda, mempersilakan aku duduk. Tak lama seseorang pemuda pun berdiri di depan perkumpulan kami. Seseorang yang penuh dengan wibawa, dan pembawaannya yang santun itu selalu tersenyum sebelum mengawali pembicaraan. “Assalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh.” “Waalaikumusalam warahmatullahiwabarakatuh,” jawab kami serempak. Kami sudah siap menyimak. Ketua Rohis di kampus kami, Kak Ali namanya. Ia akan segera memulai diskusi. Namun, saat bibirnya ingin mengeluarkan suara lagi, ada seseorang yang tiba-tiba datang dan memotong pembicaraan. “Maaf mengganggu, bolehkah aku ikut bergabung, Kak?” Kak Ali tersenyum ramah, “Silakan, Akhi. Kalau boleh tahu, siapa nama Akhi?” “Aku? Oh... aku Daffa, dari fakultas ekonomi.” Aku tercengang mendengar nama itu, seolah nama itu sudah tak asing lagi di telinga ini. Tapi, di mana aku pernah mendengar nama Daffa. Karena penasaran, kini aku lebih mendongakkan kepalaku. Seketika kemudian aku refleks mengucap istighfar dan langsung menundukkan kepala lagi. “Astaghfirullah!” “Ada apa, Sy?” tanya kak Mella heran. “Nggak pa pa, Kak, hanya kaget aja,” jawabku jujur. “Kaget kenapa? Hayo kenapa? Karena ada artis datang ke sini, ya?” Kak Wulan malah menggodaku. “Memangnya dia artis, ya, Kak?” Aku teringat bahan ghibah Syfa pagi tadi. Mungkinkah yang di depan sana sosoknya? "Kamu gak tau?" tanya Kak Wulan hampir melotot. “Kenapa malah mengobrol?” tanya Kak Ali dengan nada santai menegur. Kami seketika diam, untunglah cadar menutupi wajah maluku. Bagiku ini kedua kalinya aku terkena teguran hari ini, dan penyebabnya adalah lelaki yang tersenyum ke arah kami tanpa adanya rasa bersalah itu—Daffa. “Ini kita kedatangan teman baru namanya Daffa dari fakultas ekonomi. Dia ingin bergabung dengan Rohis kita ini. Semoga dengan bergabungnya Daffa, makin banyak ilmu yang bisa kita pelajari nantinya. Jadi pengalaman baru juga buat Daffa," ucap kak Ali memperkenalkan. "Kita di sini seperti keluarga, jangan ragu-ragu, Daff." "Alhamdulillah, Kak." Setelah memperkenalkan Daffa, Kak Ali mempersilakannya duduk di samping Bang Nail. Aku masih sempat melihat beliau melirikku seraya tersenyum sebelum bersalaman dengan Daffa. Entah apa maksudnya senyuman itu. “Oke, kita lanjutkan," kata Kak Ali. "Teman Rohis sekalian, hari ini kita akan membahas tentang acara dakwah yang akan kita selenggarakan di SMA-SMA di daerah Jakarta ini. Nah, kalian ada ide apa untuk tema kita nanti?” Untuk beberapa saat kami semua hening. Tak ada yang menjawab karena masih berpikir dan berimajinasi. ”Bagaimana dengan pacaran?” celetuk Daffa. Refleks kami menoleh ke arahnya. Semua pasti bertanya-tanya apa alasan dia ingin menjadikan pacaran sebagai tema dakwah, termasuk juga aku. Daffa menoleh, melihat semua orang yang melihatnya dengan tatapan heran. “Hm, yang aku tahu, kalian sangat menentang pacaran, kan? Ya, maksudku dalam agama Islam dilarang pacaran. Tapi remaja sekarang tidak ada yang tidak tahu pacaran, malah sebagian besar remaja menganggap pacaran adalah hal trendi dan sudah biasa. Ada beberapa juga yang menganggap pacaran adalah satu-satunya jalan untuk mengenal calon pasangan. Nah, mungkin kita bisa memberikan pengertian lewat dakwah ini tentang larangan berpacaran, dampaknya mungkin? Itu kalau kalian setuju, sih.” Kami semua tertegun. Beberapa juga ada yang tersenyum salut. Ternyata di balik sikapnya yang terlihat tidak terlalu sopan, dia punya pemikiran yang bagus juga. Aku saja tidak terpikir untuk ide itu saat ini. Astagfirullah! Apa aku seharian ini telah berprasangka buruk terhadap dirinya? Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. QS. Al-Hujuraat: 12. “Bagus juga idenya, menurut kalian bagaimana?” balas Kak Ali sembari memandang kami. “Tidak masalah, dengan demikian kita bisa sedikit mengurangi dampak akibat dari pacaran itu sendiri,” Bang Nail menyuarakan pendapat dan diangguki kami semua. “Walau dampaknya tidak bisa langsung terlihat, paling tidak sebagai sesama muslim, kita sudah saling mengingatkan. Istilahnya amar ma’ruf nahi munkar. Dan kalau kita pintar mengemasnya, aku yakin materi akan dengan mudah masuk dalam hati mereka,” lanjutnya bersemangat. “Bagaimana yang lain, setuju?” tanya kak Ali. “Setuju!” jawab kami serempak. “Bismillah, semoga rencana kita ini sukses, aamiin.” “Aamiin.” Kak Ali langsung menoleh ke arahku. “Arsy, aku bisa memintamu untuk membuat materinya?" “Saya, Kak?” tanyaku sedikit terkejut. Mungkin sedikit mudah baginya mengenaliku meskipun aku bercadar, karena diantara teman Rohis lain yang juga bercadar cuma aku yang suka berpakaian serba hitam tanpa corak. “Iya, Arsy mau, kan?” Tanpa berpikir dua kali, aku pun mengangguk mantap. “Iya, Kak. Nanti saya akan coba buat bersama yang lain juga, Kak. Insyaallah.” “Baiklah. Sekarang ayo kita bikin susunan panitia untuk acara kita ini!” ajak Kak Ali. Selanjutnya kami melanjutkan diskusi untuk menentukan panitia dan juga menentukan konsep agar penyampaian lebih mudah dipahami juga tidak membosankan. Tak terasa sudah waktunya salat asar. Kami segera menunaikan salat berjamaah dengan Bang Nail sebagai imamnya. Salat berjamaah ini juga mengakhiri pertemuan hari ini, dan agenda terakhir pulang ke rumah masing-masing. Di jalan pulang aku memikirkan tentang tema yang diusung : pacaran. Aku jadi teringat masa lalu. Astaghfirullah. Meski tidak seperti pacaran zaman sekarang, tapi tetap saja aku dulu pernah juga dikatakan pacaran. Makan berdua di kantin, meski ramai tapi kan, tetap berdua dalam satu meja. Pulang diantar walau tidak sampai rumah karena takut ketahuan Abi. Mengerjakan PR berdua, tapi izinnya ada tugas tambahan, kerja kelompok. Astagfirullah. Bandel juga ternyata Arsy yang dulu. Aku menggeleng, malu kepada diri sendiri. Saat ini aku sedang menunggu Bang Nail mengambil mobil, tapi tiba-tiba orang itu menghampiriku lagi. “Pulang sendiri?” Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta. HR. Bukhari-Muslim. Aku melihatnya walau sekejap. Dia sudah merusak hariku, tapi aku masih bisa bersikap sopan. "Tidak, saya pulang bersama Abang saya." “Oh begitu, ya. Aku ingin minta maaf untuk sikapku yang tadi, sepertinya kamu sangat kesal. Karena aku, kamu jadi ditegur juga,” katanya dengan sungguh-sungguh. “Iya, tidak apa-apa,” ucapku formal. Aku tak bermaksud bersikap cuek, tapi mengingatkan tentang teguran tadi masih berefek negatif untukku. “Bolehkah...” Sebelum dia menyelesaikan apa yang mau dikatakan, suara klakson mobil terdengar. Bang Nail sudah datang. “Permisi. Abang saya sudah datang. Assalamu’alaikum,” ucapku berlalu darinya. “Wa’alaikumussalam,” jawabnya yang masih bisa aku dengar. Aku mempercepat langkah, membuka pintu mobil, duduk, dan tak bicara apa-apa lagi. Aku juga tak menatap wajah Bang Nail. Padahal aku tahu, ada raut meledek yang ingin dipamerkan Bang Nail. Sudahlah, aku tak peduli. Mobil pun langsung melaju membelah jalanan kota. Sore ini jalanan sangat padat. Selain mobil-mobil yang melintas, pedagang-pedagang kaki lima yang sedang berjualan aneka makanan dan minuman untuk berbuka sudah berjejer di pinggir jalan. Ditambah para pejalan kaki yang mulai memilih-milih makanan dan minuman untuk berbuka nanti. Aku memilih untuk mengambil buku dari dalam tasku dan membaca sambil menunggu sampai rumah. Aku sengaja menyibukkan diri, daripada meladeni penyakit Bang Nail yang mungkin sedang berontak ingin meledekku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD