bc

Ramadhan Terindah

book_age16+
745
FOLLOW
3.6K
READ
others
drama
comedy
sweet
campus
first love
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Arsyila Farzana merupakan seorang perempuan shaliha. Penampilannya selalu sederhana, dengan cadar dan gamis longgar. Biasanya Arsy dengan pakaiannya saja sudah bisa mendepak godaan laki-laki, tapi di hari pertama puasa cobaan baru datang menghampirinya.

Tiba-tiba muncul seorang laki-laki lancang. Arsy sudah coba menapik kesalahan-kesalahan Daffa, mulai dari caranya menyapa, mengganggu dan membuntuti Arsy

tapi ternyata pemuda itu memang mengincarnya. Sampai suatu hari, secara terbuka Daffa menyatakan perasaan suka kepadanya.

Awalnya Arsy menganggap itu hanya keisengan semata, tapi Daffa kembali datang membawa sebuah proposal taaruf sebagai bukti keseriusannya.

"Setiap sesuatu punya saatnya"

Mungkin inikah saat yang Allah hadirkan bagi Arsy untuk menyempurnakan iman seseorang? Akankah Daffa membuat Ramadhan kali ini menjadi yang terindah bagi Arsy?

Cover by : Miyak Seya (Canva)

chap-preview
Free preview
Arsy - 1. Sahur
             “Bersahurlah kalian karena dalam sahur ada keberkahan.” HR. Bukhari dan Muslim. Aku suka bulan Ramadhan, karena di dalamnya begitu istimewa. Mulai saat sahur sampai berbuka, bahkan tarawih dan kembali ke waktu sahurnya. Ini hari puasa pertama di tahun ini. Sahur, hadis menyebutkan kalau dalam sahur ada keberkahan. Tanpa perlu berpikir lebih jauh, aku sudah merasakan berkahnya saat kami sekeluarga seperti biasa sahur bersama. Umum sekali kalau sahur pertama banyak suara terdengar membangunkan orang tidur. Umum juga tampak wajah setengah mengantuk di meja makan, tapi bukan dalam keluargaku. Karena kami sekeluarga sangat bersemangat. Yah, kalau kita paham keutamaannya, tentu kita lebih semangat meraih janji-janji yang Allah letakkan disana. Kami tidak pernah meninggalkan sahur, meski kadang terlambat, tetap sahur minimal dengan air putih saja. Waktu sahur itu sendiri dikatakan lebih baik di akhir waktu. Seperti dijelaskan dalam hadis jawaban Zaid bin Tsabit ketika Anas bin Malik bertanya bahwa jarak azan dan sahur seperti lama membaca 50 ayat Al-Quran. Azan subuh di hari pertama Ramadhan berkumadang merdu memanggil seluruh umat Islam untuk bertemu Sang Penguasa Alam Semesta. Panggilan dari Allah untuk seluruh manusia di muka bumi ini, tapi hanya para kekasih-Nya yang akan menjawab. Setelah selesai membereskan sisa sahur, segera aku menuju kamar mandi untuk berwudhu dan menyusul Umi yang kini berada di mushola kecil rumah kami. Sedangkan Abi dan Abangku selalu melakukan shalat berjamaah di masjid dekat rumah. Benar, lazimnya perempuan sholat di rumah tapi sedikit yang mempraktikkan sholat berjamaah sesama perempuan. Padahal keutamaan berjamaah tetap bisa didapatkan perempuan seperti umumnya laki-laki sholat di masjid.  Aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara, namaku Arsyila Farzana. Mungkin di dunia barat sana mereka mengatakan apalah arti sebuah nama, tapi Islam meletakkan kelebihan tersendiri dalam nama. Nama merupakan doa, dengan nama inilah nanti kita akan dipanggil ketika dihisab. Aku biasanya dipanggil Arsy, yang berarti anak perempuan yang memiliki kecantikan surgawi, yang bijak, pandai dan beruntung, memiliki jalan penghidupan yang tentram, merdeka, bahagia, dan sempurna. Sedangkan Abangku, Abbad Nailun. Kami biasanya memanggilnya Bang Nail. Dulu waktu Arsy kecil, Abi Umi juga memanggil beliau Abang untuk melatihku. Akhirnya sampai saat ini panggilan tersebut selalu melekat padanya. Doa yang Umi Abi selipkan dalam nama beliau adalah laki-laki yang tekun beribadah dan mendapatkan kemuliaan. Selesai melaksanakan ibadah shalat subuh, seperti biasa, Abi yang baru pulang shalat subuh berjamaah memintaku untuk melakukan setor hafalan Alquran. Abi sendiri bagi kami adalah sosok imam keluarga yang sangat tegas apalagi masalah agama. Pantasnya memang begitu, karena seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Sekarang aku masih gadis, kelak aku ingin laki-laki yang shalih sebagai imamku. Aku sadar, kalau menginginkan sesuatu, aku perlu pantas lebih dulu untuk memilikinya. Jadi kuputuskan aku akan menjelma jadi perempuan shaliha, semoga Allah mudahkan. Tak terasa subuh pun sudah berganti fajar. Mentari juga sudah tersenyum dari ufuk timur. Pagi yang indah untuk mengawali Ramadhan tahun ini. Tak ada alasan bagi kami untuk bermalas-malasan di bulan Ramadhan. Karena segala amal ibadah yang dikerjakan saat bulan Ramadhan pasti akan diganjar pahala berkali-kali lipat. Termasuk ibadah dalam menuntut ilmu.  Aku dan Bang Nail sudah bersiap untuk pergi ke kampus dengan semangat yang begitu membara. Bibir kami penuh senyum untuk memulai kegiatan hari ini. Kata orangtua kami, pendidikan itu penting apalagi pendidikan agama, supaya kelak kami berhasil sebagai calon orangtua yang dapat membimbing anak-anaknya dengan baik dan sesuai syariat Islam. "Arsy mau berangkat bareng Abang atau mau bawa mobil sendiri?" tanya Bang Nail yang sedang duduk di sofa ruang keluarga. "Arsy ikut Abang aja. Hari ini nggak ada kuliah tambahan kok, Bang. Nanti Abang ikut perkumpulan dengan anak-anak Rohis, kan? Untuk membahas acara Amal dan Dakwah?" "Iya, Abang nanti ikut kok. Yaudah, ayo berangkat." Aku mengangguk, mengiyakan ajakannya. Setelah mengambil tas ranselku, aku pun mengikuti Abang untuk pamit kepada Abi dan Umi.  Sesampainya di kampus, kami langsung menuju fakultas masing-masing. Abang dan aku memang satu kampus tapi berbeda jurusan. Abang mengambil jurusan ekonomi sedangkan aku sendiri mengambil jurusan sastra, itulah kenapa gedung fakultas kami berbeda meski tidak terlalu jauh. Aku melanjutkan perjalanan menuju fakultasku dengan melewati taman kampus. Bunga mawar, bunga melati, dan beberapa bunga anggrek sedang bermekaran di sana. Pagi yang sungguh indah. ‘Maka nikmat Rabbmu yang manakah yang engkau dustakan?’ Meski tak terlalu tercium wanginya sampai di tempatku berdiri, namun keindahan bunga-bunga itu tetap terasa menyejukkan hati. Aku berhenti sejenak, mengamati bunga-bunga itu dari kejauhan. Entah kenapa pikiranku melayang menuju suatu hal. "Bukankah mawar dan melati yang merekah itu akan layu pada waktunya? Lantas apa gunanya mereka mekar kalau akhirnya layu? Oh, mungkin ini adalah salah satu skema kehidupan yang sudah diatur. Bukankah kita bisa mencontoh bunga-bunga yang sedang merekah itu. Sebelum mereka layu dan mati, mereka harus bisa memberi keharuman bagi taman yang menjadi tempat hidupnya. Mereka harus bisa memberikan keindahan bagi setiap mata yang melihatnya. Bukankah itu juga yang seharusnya kita lakukan sebagai manusia di dunia ini? Sebelum usia habis, selayaknya mawar yang memberi keharuman dan keindahan. Kita juga harus bisa memberi manfaat yang berguna bagi lingkungan di sekitar dan juga mencari bekal untuk akhirat kelak."  Aku terperanjat, seolah kalimat lamunan tadi menampar diriku sendiri. Sudah berbuat apakah aku ini?  Arsyila Farzana, aku hanya seorang perempuan biasa yang hidup di akhir zaman, yang sedang belajar menjadi anak yang salihah untuk Umi dan Abi, belajar menjadi wanita yang pantas untuk suamiku kelak, dan jadi ibu yang baik sebagai madrasah pertama untuk anak-anakku. Kembali aku melirik bunga-bunga yang sedang bermekaran itu. Mawar, melati, anggrek, kamboja dan bunga lainnya bergabung menjadi satu. Mereka seolah bekerjasama untuk menciptakan keindahan pada taman itu. Aku kembali disadarkan. Dalam upaya untuk mengharumkan taman dan memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar, mawar tidak hidup sendiri. Mereka didampingi oleh melati, anggrek dan berbagai macam bunga lainnya. Ini sama persis seperti hidup, kita pasti butuh orang-orang yang membantu mencapai tujuan. Seperti keluarga, ataupun sahabat-sahabat yang siap mendukung kita. Pantaslah kalau Rasulullah katakan keluarga atau teman yang taat dan shalihah-shalih itu juga termasuk rezeki. "Arsy!" panggil seseorang dari belakangku.  Walaupun aku tak menoleh, dari suaranya aku tahu dia sedang berlari.  "Assalamualaikum warahamatullahiwabarakatuh, Arsy," ucapnya saat sudah ada di sampingku. "Waalaikumussalam warahmatullahiwabarakatuh," jawabku tersenyum ke arah datangnya suara. Ternyata dugaanku benar, itu adalah suara sahabatku, Earlyta Arsyfa. Bagian namanya ada yang mirip denganku tapi kami memanggilnya Syfa. Aku sangat mengenal suara khasnya yang seperti mencicit. "Iya, Syfa, ada apa? Kenapa kamu berlari?" Syfa terengah-engah sedang mencoba menormalkan napas. "Apakah kamu tahu Arsy, Daffa katanya mau diskors?"  Padahal pertanyaanku saja belum dijawab, tapi melihat reaksi buru-buru sahabatku, mungkin pembahasan ini lebih penting. "Daffa? Daffa siapa?"  Syfa menunjukkan wajah gemasnya, "Astaghfirullah, Arsy. Itu lho, Daffa Ibnu Hafidz, artis yang baru naik daun itu, masa nggak tahu?" Aku mengerutkan dahi, "Oh artis toh. Kan aku nggak tahu, Syfa. Lagian sejak kapan kamu jadi suka gosip?" kilahku apa adanya. "Nggak ngegosip kok, kan berita ini benar jadi bukan gosip, Arsy," kilahnya cengengesan. Aku menghela napas, melirik bunga yang ada di taman tadi, lalu berjalan pelan. "Tahukah kalian apa itu ghibah (menggunjing)? Para sahabat menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Kemudian beliau bersabda: ghibah adalah engkau membicarakan tentang saudaramu sesuatu yang dia benci. Ada yang bertanya. Wahai Rasulullah, bagaimana kalau yang kami katakan itu betul-betul ada pada dirinya? Beliau menjawab: jika yang kalian katakan itu betul, berarti kalian telah berbuat ghibah. Dan jika apa yang kalian katakan tidak betul, berarti kalian telah memfitnah (mengucapkan suatu kedustaan).”  Syfa membuntutiku. "Jadi, walaupun yang kamu katakan itu benar, tetaplah itu namanya gosip atau ghibah. Sudah dijelaskan juga dalam Alquran surah Al-Hujurat ayat 12 : Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." Syfa langsung mempercepat langkahnya dan menyamai langkahku. "Astaghfirullah, maaf Arsy, aku lupa." "Dan apa sudah ada buktinya? Kalau itu kebenaran, semua yang tadi kamu sampaikan?" "Aku juga belum tahu pasti kebenarannya," jawabnya sambil menyengir. "Ayo kita ke kelas. Sebentar lagi masuk," ajakku pada Syfa.  Ia mengangguk. Kami pun lanjut melangkah dan mengobrol sampai depan ruang kelas tanpa membicarakan lagi tentang seseorang itu. Siapa tadi namanya?  *** Kelasku baru saja usai. Aku pun menepikan diri ke salah satu tempat favorit di kampus ini—perpustakaan. Ya, aku memang punya beberapa tempat favorit di sini. Antara lain, perpustakaan, masjid, dan bangku taman. Aku suka tempat-tempat itu karena di sana aku seperti menemukan ketenangan. Seringkali inspirasi juga datang yang membuat tanganku gatal untuk menuliskan sesuatu pada selembar kertas. Entah itu puisi, syair, sajak, prosa, atau apa pun. Itulah kenapa aku masuk jurusan sastra. Seperti saat ini, aku sedang berjibaku dengan pena dan kertas, mengukir kata menjadi salah satu curahan hati yang aku sukai. Dan setelah tulisan itu selesai, aku membacakannya dengan suara pelan.   Kala senja menampakkan dirinya. Memberikan warna jingga pada sang langit. Kicau suara burung dan ombak yang bersautan. Hembusan semilir angin sore memberikan kesejukan. Kulihat matahari mulai menghilang keperaduannya. Meninggalkan jejak-jejak sisa sinarnya. Berganti dengan gelapnya malam. "Sajak yang bagus." Tiba-tiba terdengar seseorang dari belakangku menegur.  "Astagfirullah!" Refleks aku menoleh ke sumber suara dan melihat siapa yang mengagetkanku tadi.  Seorang pria sedang berdiri santai di belakangku. Ia pun tersenyum padaku. Bagaimana bisa dia mendengar suaraku? Kurasa aku sudah membacanya dengan suara yang teramat pelan. "Apa Anda tidak bisa memberi salam dulu? Itu membuat saya kaget!"  "Maaf aku tidak bermaksud mengagetkanmu tadi. Bolehkah aku duduk?" tanyanya sembari menunjukkan dua jarinya sebagai ungkapan damai. "Silakan, ini tempat umum," kataku seraya melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Aku kembali fokus pada sajak yang kutulis.  "Naaaa... naa... nananana..."  Belum juga aku sempat fokus pada tulisanku, lagi-lagi telingaku terganggu dengan nyanyian yang muncul dari mulutnya. Aku melirik lelaki di depanku ini. Emosiku seperti tersulut. Aku terus berusaha beristighfar dalam hati. Tapi, ia tetap bernyanyi tanpa peduli isyarat gestur tak nyaman yang kubuat. "Bisakah Anda tenang? Ini perpustakaan. Bila Anda ingin menyanyi, saya sarankan Anda ke ruang musik saja?" tegurku sopan. "Maaf, aku hanya bosan berada di sini," jawabnya santai sambil menyandarkan badan pada tempat duduknya.  Lalu kenapa dia kesini kalau bosan?!  "Lalu..."  Belum sempat kalimatku keluar, seorang petugas perpustakaan datang menegur kami. "Ini perpustakaan, bukan tempat mengobrol. Silakan kalian keluar!" Aku menghela napas dan menggangguk. Lantas segera mengambil buku di depanku dan berjalan keluar setelah mengucapkan salam pada petugas perpustakaan. Ini pertama kalinya aku mendapat teguran di tempat favoritku. Yaa Allah, cobaan hari pertama puasa. Sabar, Arsy! 'Kalau kalian marah maka duduklah, kalau tidak hilang juga maka bertiduranlah.'  HR. Abu Dawud. "Astaghfirullahaladzim, ampuni hamba, Yaa Allah."  Aku langsung menuju masjid kampus, karena mungkin di sana adalah tempat yang tepat untuk menyejukkan hati.  'Kemarahan itu dari setan, sedangkan setan tercipta dari api, api hanya bisa padam dengan air, maka kalau kalian marah berwudhulah.'  HR. Abu Dawud.  Sebelumnya aku sudah duduk, tapi entah mengapa kesalku belum sirna. Jadi, aku berniat untuk mengambil wudhu di masjid kampus. "Hey, tunggu! Bolehkah aku ikut?" tanya laki-laki tadi yang ternyata mengikutiku. "Saya ingin ke masjid dan masjid bukan tempat untuk bernyanyi!" kataku tegas dan meneruskan langkah. "Oh, kalau begitu aku akan menunggu di luar masjid sampai kamu selesai melakukan kegiatan di sana," jawabnya enteng. "Tidak adakah pekerjaan lain selain mengikuti saya? Bahkan saya tidak mengenal Anda," kilahku risih. "Kalau begitu kita berkenalan dulu." Dia tiba-tiba berdiri di depanku, mencegat langkahku dan mengulurkan tangannya. Aku hanya melihat tangannya yang bersih terulur menunggu sambutanku. "Namaku Daffa. Kamu?" "Nama saya Arsy. Dan maaf, saya tidak bersentuhan dengan yang bukan mahram saya," ucapku seraya menangkupkan tangan di depan d**a.  Dia langsung menarik tangannya dan melakukan hal yang sama denganku. "Bisa Anda menyingkir dari jalan saya?" pintaku sopan. "Silakan!" jawabnya pasrah dan menepi. Aku kembali berjalan menuju masjid. Andai Syfa tidak tiba-tiba pulang, aku tentu tidak akan berjalan sendirian dan mengalami situasi ini. Kini aku sudah cukup tenang, tapi segera kembali terkejut saat keluar masjid. Dia, sosok laki-laki tadi masih menunggu di luar. Aku mau tak mau harus melewatinya lagi. Sabar, Arsy! Innallahamaashobirin.  Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Om Bule Suamiku

read
8.8M
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Loving The Pain

read
3.0M
bc

MANTAN TERINDAH

read
7.0K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.3K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
91.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook