Bab 4

1016 Words
Handphone Aline berdering, dia baru saja istirahat setelah mendesain pesanan beberapa orang. Sembari menunggu pengumuman interview, Aline memanfaatkan waktunya untuk menjadi freelancer, dia membuka jasa desain vektor. Pembuatan novel, undangan, logo, dan segala macam desain. Bisa dibilang Aline perempuan multifungsi dan serba bisa, dia telah lama hidup mandiri, sehingga membuat semuanya belajar secara otodidak. Aline juga sangat mahir melakukan konsultasi keuangan, dia memang belum pernah bekerja di kantor keuangan, tapi dia sangat ahli dan bisa memberikan solusi kepada beberapa UMKM kecil yang memiliki masalah keuangan. Mata Aline terasa sangat panas, punggungnya terasa sangat pegal, sudah sangat lama dia duduk menatap layar laptob, bahkan Aline belum sempat makan daritadi, jam sudah menunjukkan pukul enam sore, dan dia belum memakan apapun. Hanya sebungkus Lays yang dia buka dan dia cemil, kebiasaan buruk Aline, malas memasak dan membeli diluar, menggunakan jasa ojek online untuk memesan makanan pun dia tak mau, pandangannya dari tadi hanya fokus pada desain yang dia buat. Restoran makanan padang memesan desain logo kepada Aline untuk cap di kerdus makanan dan banner di depan restaurantnya. Aline sangat menyukai pekerjaan desain, hanya saja masalahnya dia harus menatap layar laptob tanpa henti, ada rasa sedikit takut dan khawatir terhadap matanya jika dia menatap layar laptob secara terus menerus, tapi tidak ada lagi yang memperhatikan Aline selain dirinya sendiri. Dia harus menatap layar laptobnya dengan sabar menata desain yang dia buat. Lumayan, meski dia bekerja sebagai freelancer, gajinya sampai 5 juta per bulan. Pasti ayah dan ibunya menertawai jika dia hanya mendapatkan 5 juta per bulan, sedangkan ayah dan ibunya selalu mengumpulkan dollar setiap harinya. Mereka sangat berambisi mencari uang, sampai mereka tidak memperhatikan Aline. Menelpon ayah atau ibunya pun dia tidak dijawab, alasannya selalu sama. Mereka sibuk, Aline sampai bingung bagaimana dia harus menerima kenyataan dan menghadapi ini semua, sangat berat dan hatinya terluka setiap harinya, seharusnya orang tua ada dan mendampingi anaknya di setiap harinya. Kadang, Aline sangat iri kepada Jason yang selalu ditemani Delia, kalau sudah malam begini mereka akan pulang ke rumah mereka, Delia selalu menolak jika tinggal di mansion besar ini kepada Aline. Aline menyandarkan kepalanya pada meja belajarnya. Tangannya terasa pegal telah mendesain, matanya juga panas. Dia memilih mengkompres matanya dan memanjakan perutnya dengan kripik lays. Tak lama dia mendengar suara ketukan pintu, kalau sudah begini kadang Aline merasa merinding sendiri karena di rumah luas dan besar ini dia sendirian. Semua pembantunya pulang, dan mereka tak mau tinggal di sini, bahkan ada yang mengatakan taman bagian belakang berhantu dan terkadang terdengar tangisan anak kecil atau perempuan. Tak jarang juga mereka mengatakan ada bunyi derit pintu dan juga air keran yang suka mati atau menyala sendiri. Aline sendiri tidak pernah mendengar itu semua, bahkan ketika dia makan atau minum sendiri di ruang tengah, dia tidak pernah mendengarkan hal-hal seperti itu, mungkin karena Aline selalu menyalakan musik keras di kamarnya dan jarang sekali keluar kamar, biasanya hanya untuk makan atau duduk di taman belakang, tapi diatas jam enam sore dia tidak pernah membuka pintunya. Aline bergegas turun ke bawah saat mendengar ketukan yang semakin keras, entah siapa tamunya hari ini. “Hai cantik.” Julian tersenyum menatap Aline dan membawakan dua kotak nasi ayam geprek dengan burger dan kentang di tangan kirinya, tak lupa soda dan mocca float dia bawakan untuk Aline juga. “Astaga Julian!” pekik Aline dan reflek dia memeluk sahabatnya itu. Aline sangat kesepian dan dia senang sekali jika Julian datang menemaninya di rumah besar ini, Julian memberikan makanan itu kepada Aline. “Kita makan di kamar saja yuk, sekalian aku mau meminta pendapatmu terkait dengan desain yang aku buat.” “Jangan, di ruang tamu saja. Kecuali kalau kamu menginginkan aku berpikiran kotor.” Julian tertawa kecil menatap wajah Aline yang cemberut, lucu bagi Julian. Julian sebenarnya sudah lama menyukai Aline, tapi Julian tau, dari gerak-gerik Aline, gadis itu hanya menganggapnya sebagai teman. Julian sendiri sebenarnya tidak terlalu berharap kepada Aline karena gadis itu tidak sama sekali meliriknya sebagai laki-laki. Mungkin Aline lebih menganggapnya sebagai saudara atau kakaknya sendiri. Dengan lahap mereka berdua makan bersama, sesekali mereka bercanda dan saling bercerita, hingga tak terasa jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Julian harus pamit, namun Aline mencegahnya. “Julian, jangan pulang. Ayo nonton film horor terbaru denganku.” Julian menggeleng, dia paling tidak suka dengan film yang satu ini, lain halnya dengan Aline yang sangat menyukai film ini. Dengan tertawa dan senang, Aline memaksa Julian untuk tetap bersamanya. Dia menarik tangan Julian menuju kamarnya dan menyalakan film di laptobnya. Kamar Aline sangat luas, Julian memilih duduk agak jauh darinya, dia menjaga jarak agar tidak berpikiran macam-macam. Bagaimanapun Julian seorang lelaki yang menyimpan rasa kepada Aline. “Sudah siap? Here we go!” Aline begitu semangat ingin menonton film ini, sebenarnya dia ingin menonton sejak dua hari yang lalu tapi sayangnya dia juga agak takut menonton sendiri. Dia menunggu Jason atau Delia ada di rumah, tapi rupanya Delia meminta ijin seminggu untuk keluar kota, katanya ada saudaranya yang sakit dan harus dijaga di rumah sakit. Aline jadi sendiri lagi di rumah mansion besar ini. Dia masih belum mencari apartemen untuknya, kalau dia memiliki apartemen dia jadi berpisah dengan Jason sangat jauh, dan belum tentu bisa sesering ini kalau bertemu Jason. Semakin malam Aline semakin semangat, apalagi dia ada temannya, dia tidak lagi merasa kesepian, Aline lalu mematikan lampu kamar yang membuat Julian terkejut. Aline duduk kembali, kali ini dia duduk tepat di samping Julian. Mereka melihat film The Nun, dari awal adegan Julian sudah sangat tegang dan memilih menutup mata, anehnya Aline malah tertawa melihat adegan yang horor itu. “Astaga Aline, ini film horor, bukan film komedi. Bagaimana bisa kamu tertawa?” tanya Julian bingung. “Ini itu lucu, lihatlah, setannya menggunakan make up tebal. Dia ini manusia sebenarnya.” Aline menunjuk suster yang disebut voldemort itu. Eh maaf salah, valak maksudnya hehe authornya ngantuk. “Lucu apanya? Mukanya kaya gitu astaga, udah tututp laptob kamu.” Julian mencoba menutup layar laptob ALine tapi gadis itu malah menarik Julian dan menggigit tangannya. “Aduh, sakit Lin!” pekik Julian. Aline malah tertawa kecil dan menarik tangan Julian, lebih tepatnya memeluknya seperti boneka. Tangan Julian memang kekar, dia sangat rajin berolahrga dan membuat Aline jadi nyaman bersandar dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD