Pasrah

795 Words
Tanpa banyak bicara, Mas Andre menarik tanganku dengan kasar ke arah ranjang berukuran king size yang malam ini terlihat begitu menyeramkan di mataku. "Buka sekarang!" titahnya seraya memberiku tatapan intimidasi. Membuat jantungku bekerja lebih cepat dari biasanya. "Hah?" Otakku mendadak blank. Tak tahu harus berbuat apa. "Bajumu!" tegasnya dengan tatapan ganas dan suara lantang. Membuat hatiku mencelos dan seluruh persendian serasa tak menyatu. Dalam seketika, kedua tanganku tiba-tiba terasa dingin dan kaku, bahkan untuk menggerakkannya pun terasa sulit. Membuat suamiku mendecak kesal. "Argh … lama! Sini!" Mas Andre yang gemas dan geram membuka pakaianku dengan tidak sabar. Membuat dadaku berdebar hebat dan rasa gugup dalam hati semakin tak terkendali. Ya ampun, tidak bisakah dia memperlakukan istrinya ini sedikit lebih lembut? Apa cara seperti ini yang dia lakukan saat melakukan dengan wanita-wanitanya terdahulu? "Mas … aku mohon, jangan sekarang, ya." Aku meratap dengan tatapan mengiba. Mengharap belas kasihannya. Dengan gaya angkuhnya, Mas Andre menggeleng penuh ketegasan. Posisiku saat ini tak ubahnya tahanan yang mengharapkan remisi tapi ditolak mentah-mentah. Ya … aku merasa sudah seperti pecundang malam ini. Aku ibarat tawanan perang yang tak punya lagi digdaya bahkan atas nasib sendiri. "Kamu mau aku nunggu sampai kapan, hah?" desisnya sambil menatapku dengan sorot mata tajam bak sembilu yang siap menebasku dalam sekali waktu. "Be … besok, Mas. Aku janji. Please," balasku terbata-bata. "Halah, nggak ada istilah besok-besok lagi. Lagian, kamu diajak senang-senang saja, susah. Dasar cewek aneh!" Mas Andre terdengar memaki. Sesaat kemudian, mataku sontak terbuka lebar saat melihat sebuah penampakan roti sobek di hadapan. Benarkah? Benarkah aku dan dia akan menjadi kami malam ini? Masih dengan perasaan berkecamuk, aku menutup mata dengan jantung yang seperti siap melompat dari tempatnya, saat tangan kekar Mas Andre membetulkan anak rambutku ke belakang telinga. "Kamu cantik." Bisikan Mas Andre di telingaku sukses membuatku serasa melayang ke awang-awang kali ini. Haruskah aku melupakan status badboy yang melekat dalam dirinya? Lantas memulai sesuatu yang baru bersamanya malam ini? Menjalankan tugasku sebagai seorang istri? Memberikan hak yang memang pantas ia dapatkan dariku? Sebuah kecupan yang ia layangkan sukses membuatku terjebak dalam suasana baru. Suasana yang entah seperti apa, sangat susah untuk aku menggambarkannya. Bismillah. Bismillah …. Kuniatkan melakukan ini semua sebagai bentuk pengabdianku sebagai seorang istri padanya, ya Rabb. Aku mencoba meyakinkan diri kalau semua akan baik-baik saja. Bayangan tentang tertular virus menular coba kutepis jauh-jauh. Bukankah seyogyanya dia sudah melakukan tes HIV sebelum pernikahan kami dilaksanakan? Akhirnya, aku memilih pasrah. Aku merasa tak akan mungkin bisa selamanya menghindar dari kejaran malam pertama. Sekarang atau nanti pasti bakal terjadi juga. Ya … mungkin inilah saatnya. Aku kembali meyakinkan diri. Mencoba berdamai dengan pikiran sendiri. Aku memejamkan mata dengan perasaan tak menentu saat Mas Andre semakin mendekat. Pipiku memanas dalam seketika. Inikah muara dari penjagaan kesucian seorang Indria Safira Rahmawati? Seorang gadis desa yang bahkan hanya pernah sekali merasakan cinta monyet saat SMA. "Mas … tolong pelan-pelan, ya." Aku menggigit bawah bibir saat berpesan. Mas Andre mengulas senyum tipis menanggapi permintaanku yang mungkin bisa disamakan dengan rambu-rambu kuning lalu lintas. Kenapa kuning? Kuning, 'kan hati-hati. "Tentu saja, Honey. Aku tahu bagaimana harus memperlakukan seorang perawan. Tenang saja, aku sudah sangat berpengalaman." Balasan ringan Mas Andre justru membuat napasku terasa berat. Kembali menyadarkanku kalau aku bukan merupakan yang pertama baginya. Ya Allah benarkah kesucian yang kujaga selama 19 tahun bakal terenggut malam ini? Diambil oleh seorang pemain cinta yang sayangnya adalah suamiku sendiri? Allah …. Permudahkanlah segalanya. Jauhkan hamba dari segala macam penyakit, ya Allah. Aku terus merapalkan doa dalam hati saat Mas Andre mulai melancarkan aksi pertamanya. "Andre … Ndre ….!" Belum sempat bertindak lebih jauh, terdengar mama mertua berteriak panik sambil menggedor-gedor pintu kamar kami. "s**t!" Mas Andre tampak geram karena teriakan sang mama seperti memaksanya menghentikan aksi. Tampak suamiku mengusap wajahnya dengan kasar. "Iya, Ma?" balasnya setengah berteriak sambil menyambar kaos oblong yang sebelumnya tergeletak di atas lantai. "Gerald, Ndre …. Gerald kecelakaan." Suara mama mertua terdengar parau. "Ya ampun! Anak itu." Bukannya menunjukkan gurat kekhawatiran, Mas Andre justru menunjukkan raut wajah geram saat mendengar kabar adiknya mengalami kecelakaan. "Ambil lagi bajumu!" titah Mas Andre dengan nada tegas. "I-iya." Segera, dengan degup jantung yang masih tak beraturan, aku mengambil atasan piyama yang tadi sempat terserak di atas lantai. Benarkah malam pertamaku dengannya gagal lagi? Alhamdulillah …. Bolehkah aku menyebut kecelakaan yang menimpa adik iparku sebagai berkah karena telah membuatku lolos dari malam pertama dengan kakaknya? Astaghfirullah. Pikiran macam apa ini? "Kali ini kamu masih bisa lolos, besok, jangan harap!" desis Mas Andre saat mengancingkan jaket kulitnya sebelum bertolak menuju rumah sakit. "I-iya, Mas." Aku menelan ludah pahit mendengar gertakannya. Adakah di belahan dunia lain yang seperti diriku? Seorang wanita yang begitu takut dengan kata malam pertama? Katanya, malam pertama itu mendebarkan dan penuh gairah, tapi kenapa itu tidak berlaku untuk seorang Indri?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD