Bocil

1351 Words
Sudah berapa wanita yang dia tiduri sebelum menikah denganku? Apakah suamiku melakukannya menggunakan pengaman? Argh …. Pikiran buruk itu terus saja berputar dalam benak. Otakku benar-benar tercemar oleh berbagai macam prasangka tak baik pada lelaki yang malam ini berbaring di sampingku. Membayangkan masa lalu Mas Andre yang gemar clubbing dan suka main perempuan membuatku mual dan serasa ingin muntah. Sungguh, geli rasanya jika mengingat satu buah es krim dinikmati oleh banyak orang secara bergantian. Loh, kenapa pikiranku jadi lari ke es krim? Aku bergidik ngeri saat membayangkan bakal melewati malam mengerikan bersamanya besok. Ya Allah kenapa aku yang masih ting-ting ini harus menerima barang bekas? Ini sungguh tak adil bagiku, ya Rabb. Hati kecilku memprotes nasib yang rasanya tak berpihak padaku. Aku menghela napas panjang—mencoba memberi kelonggaran dalam d**a. Lantas mengembuskannya perlahan untuk menetralkan perasaan. Ingin rasanya aku lari dari kenyataan ini andai memungkinkan. Akan tetapi, bagaimana caranya? Bagaimana bisa? Mama mertua sudah menumpukan harapan yang begitu besar padaku. Ah, aku benar-benar terjebak dalam situasi sulit ini. Entah pukul berapa aku baru bisa memejamkan mata. Ya … untuk malam ini aku jelas lolos dari jerat malam pertama. Besok? Ah, aku tidak tahu. *** "Mas, kamu juga keramas, ya," pintaku pagi ini. Keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut basah dengan handuk, aku mendapati suamiku masih bermalas-malasan di atas tempat tidurnya. Mas Andre mengernyitkan dahi. "Biar apa? Kita, 'kan nggak ngelakuin apa-apa?" tanyanya santai tapi sukses membuatku geram. Bagaimana aku tidak geram? Bertanya ringan seperti itu saja matanya menatap nakal saat melihatku yang sudah memakai pakaian lengkap dari kamar mandi. Apa pakaianku yang tertutup ini tetap membuatnya tergoda? Ish, dasar otak m***m. Aku mencebik bibir saat menatapnya. "Ya … biar Mama nggak curiga, lah." Aku menegaskan sembari mengambil hair dryer di atas nakas samping ranjang. "Dasar, kecil-kecil tukang kibul!" umpatnya lantas berdecak sebal. Aku hanya geleng kepala mendengar umpatan suamiku. Terserah dia mau bilang apa. Aku tak peduli. Mas Andre lantas bangkit dari ranjang dan mendekatiku yang sibuk dengan pengering rambut di tangan. "Kecil." Mas Andre berucap lirih saat dua matanya dia fokuskan ke arah dadaku yang kali ini terbalut t-shirt warna putih yang cukup ketat. Aku mendecih geram mendengar ejekannya yang terdengar menyebalkan. "Aku juga nggak lagi nawarin!" ketusku sambil menatapnya dengan mata melotot. Dasar laki-laki omes! Melihatku kesal, bukannya memaki, Mas Andre justru terpekik. Apa ada yang salah? "Nggak nyangka aja kalau kamu adeknya Sandra." Mas Andre menatapku sinis seraya menyilangkan tangan di depan d**a. "Kenapa emangnya?" protesku geram sembari menghentikan kegiatan mengeringkan rambut untuk kemudian salat. "Kamu tuh super bawel, kalau mbakmu itu kalem." Mas Andre terdengar memuji istri sahabatnya yang tak lain adalah kakakku sendiri. Aku mencebik bibir dengan perasaan masygul. Ternyata dibanding-bandingkan dengan orang lain, terlebih dengan kakakku sendiri, itu cukup menyakitkan. "Bodo amat! EGP," sahutku ketus seraya menahan gemuruh dalam d**a. "Tapi aku suka yang bawel-bawel, sih. Biasanya lebih hot." Mas Andre menarik tanganku dan membuatku terjatuh ke dalam pelukannya. Dasar omes! "Aku udah wudhu, Mas ...!" Aku mendelik saat menyadari sentuhan tangannya telah membuat wudhuku batal. "Emang, jadi batal?" tanyanya dengan ekspresi heran. "Makanya ngaji! Jangan clubbing terus yang dipikirin!" Aku kembali berucap dengan nada ketus saat menatapnya. "Ntar, deh, ngaji kalo udah mau punya anak," jawabnya ringan sambil menaikkan sebelah alisnya. Memuakkan. "Hah anak? Dariku?" Aku menunjuk wajah sendiri dengan gaya t***l. "Iya lah. Dari siapa lagi?" balasnya santai sambil berkacak pinggang. Ya ampun makin ngelantur kemana-mana saja ini ucapannya. Aku bergidik ngeri. Membayangkan bakal memiliki banyak badboy junior. Astaghfirullah. Aku mengusap perut sambil menutup mata dan beristighfar berulang kali. "Lu kenapa, Cil?" Mas Andre terpekik saat mungkin menyadari aku mengusap perut sambil komat-kamit. Mataku terbelalak sempurna saat menyadari Mas Andre memberikan panggilan baru untukku. "Apa? Cil?" "Iya, Bocil bawel," jawabnya sambil tergelak. "Dasar, Badboy!" balasku geram yang justru memancing tawanya yang membahana. Selesai salat subuh, aku berjalan ke dapur untuk membantu memasak ART di rumah Mas Andre. Sebagai menantu ganti rugi, sudah selayaknya aku menunjukkan perilaku terpuji di hadapan mertuaku yang kaya ini. Tunggu, menantu ganti rugi? Maksudnya apa? Ah, sudahlah. Kepalaku pusing saat mengingat awal mula diriku yang seorang gadis kampung dan perawan ting-ting harus terjerat pernikahan tanpa cinta dengan seorang badboy. "Masak apa, Bi?" "Eh, Mbak Indri. Ini masak sop sayur sama iga pedes kesukaan Mas Andre, kalau buat Nyonya capcay." Bi Mirah menoleh, lantas menjawab ramah pertanyaanku. "Ok, biar saya bantu, ya, Bi." Aku mengambil pisau dapur untuk menyiangi apa-apa yang perlu. Rasanya malu jika harus berpangku tangan di rumah mertua. "Nggak usah, Mbak Indri. Mbak Indri kan pengantin baru, pasti capek." Terlihat Bi Mirah menahan tawa sambil menutup mulut. Membuatku jengah. "Bi Mirah boleh pergi, ya." Tiba-tiba dari belakang terdengar suara Mas Andre memecah keheningan. Bi Mirah menoleh ke belakang dengan tatapan heran. "Maksud, Mas Andre?" "Biar istri saya yang masak. Katanya dia pengen jadi istri yang berbakti dengan cara masakin masakan spesial buat suami tercinta," balas Mas Andre ringan. Sungguh, ucapannya terlalu mengada-ada. "Ta-tapi, Mas Andre." Tampak wajah sungkan di wajah Bi Mirah saat menatapku. "Nggak apa-apa, Bibi bisa ngerjain tugas lain." Mas Andre mengulas senyum ramah. Tak kusangka bisa sopan juga dia dengan orang tua. Bi Mirah tampak ragu untuk beranjak. Namun, langkahnya tetap terayun meninggalkanku dan Mas Andre yang terjebak dalam suasana kaku. "Cuz!" Melalui isyarat matanya, Mas Andre memintaku memulai aktivitas memasak. Tak mengapa kalau dia meninggalkanku sendiri di dapur, yang jadi persoalan, dia mengawasi kerjaku layaknya mandor yang tengah mengawasi kuli yang sedang melakukan kerja proyek. Huft! Tanganku yang tengah sibuk beradu dengan sutil dibuat tersentak saat tiba-tiba menyadari Mas Andre memeluk dari belakang. "Masak yang enak, ya, Cil," bisiknya di telingaku—membuat bulu romaku sontak berdiri. "Cil lagi!" Aku menggerutu kesal. "Iya lah, itunya kecil." Mas Andre tergelak tanpa melepas pelukan. "Apanya yang kecil, Ndre?" Tanpa kusangka mertuaku tiba-tiba muncul dan membuat perubahan suasana. Mas Andre melepas pelukannya dengan kaku. "Perut Indri, Ma." Mas Andre terkekeh sambil melirik padaku dengan tatapan mengejek. Membuatku benar-benar mati gaya di hadapan mama mertua. "Ya udah, gas pol, Ndre, Mama dukung." Mama mertua terkikik geli mendengar ocehan putranya. "Ya … memang itu tugas Andre buat bikin perut Indri membesar, Ma." Tawa Mas Andre terdengar menggelikan. Ah tidak, lebih tepatnya menjijikan. Pada momen sarapan kali ini, mama mertua berkali-kali melayangkan pujian akan hasil masakanku. Entahlah, mungkin beliau cuma sedang berusaha menyenangkan hatiku. Rasanya begitu. "Enak, kok, Ndri. Mama nggak lagi becanda." Seperti mengerti isi hatiku, Gerald, adik bungsu suamiku yang pagi ini duduk berdepan-depanan dengan Mas Andre turut memberikan penilaiannya tentang masakanku. Aku hanya mengulas senyum tipis menanggapi pujian Gerald. "Ekhm. Panggil kakak, kayaknya lebih bagus." Mas Andre tampak menyindir adiknya yang tetap memanggilku nama. "Ah, iya, Kak Indri maksudnya." Terdengar Gerald tertawa sumbang setelahnya. Memancing senyum sinis di wajah suamiku. *** Pukul sembilan malam, aku masih mondar-mandir di dalam kamar mandi dengan perasaan tak menentu. Ya ampun! Sampai jam segini aku belum menemukan alasan yang tepat? Alasan tepat untuk menghindari sentuhan sang badboy? Harus bagaimana ini? Haruskah kuserahkan mahkotaku padanya malam ini? Kepalaku tiba-tiba berdenyut nyeri. Merutuk dalam diri. Lagian, kenapa juga aku bisa telat datang bulan. Apa menikah dengannya membuat hormonku terganggu? "Ndri … kamu di dalam, kan?" Terdengar Mas Andre mengetuk pintu. Membuat hatiku mencelos dan jantungku berdegup semakin kencang. "I-iya, Mas." Aku membalas gugup pertanyaan suamiku. "Kalau udahan, buruan keluar! Pengen dapat pahala sekaligus surga dunia nggak? Kamu gak mau dikutuk sama malaikat sampai pagi, 'kan?" Kali ini, suamiku terdengar membicarakan pasal agama. Membuatku benar-benar terjebak perasaan dilema. Tanganku memutar kenop pintu kamar mandi dengan kaku. "Nah, gitu, dong, Manis!" Tampak suamiku bersedekap sambil menatapku dengan tatapan mautnya. "Are you ready for our new adventure, My Honey?" Mas Andre menaikkan sebelah alisnya saat menggodaku. Membuatku semakin muak. "Mas, bisa nggak, kita ngelakuinnya besok lagi? Aku sakit perut." Aku menunjukkan wajah memelas sambil memegangi perutku. "Tolong jangan mengada-ada, ya, Indri!" desis Mas Andre tajam. Raut mukanya yang semula cerah mendadak berubah suram. "Kemaren alasan capek, hari ini sakit perut. Besok mau alasan apa lagi, ha?" bentak suamiku dengan menunjukkan wajah garang. Membuat ritme jantungku berirama lebih cepat. "Ya … ya, besok aku pikirkan lagi," balasku masih dengan nada gugup. "Maksud kamu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD