Drama gaji bulanan sudah usai. Biar saja ibu yang mengurus isi kulkas, beli token dan lainnya. Sampai akhir bulan atau nggak duit sejuta. Kalau kurang, biar ambil jatah ibu sendiri. Paling tidak saat ini ibu tahu jika kebutuhan rumah tangga dengan tiga orang dewasa itu tak cuma seratus dua ratus ribu dalam sebulan.
"Rin, seperti janji sebelumnya ini jatah buat kamu. Maaf kalau selama ini tak pernah memperhatikan kebutuhan pribadi kamu. Ini bisa buat beli baju atau sandal. Baju kamu warnanya sudah pudar semua. Rin ... maaf ya belum bisa buat kamu bahagia," ucap Mas Feri dengan mata berkaca-kaca.
Aku tak tahu kesambet jin mana Mas Feri bisa tiba-tiba berubah sedrastis itu. Semoga saja jinnya masih menetap di sana biar nggak kumat lagi errornya. Atau perubahan mendadak pada Mas Feri ini ada udang di balik batu? Entah lah.
Aku tak mau buruk sangka pada suamiku sendiri. Yang pasti sekarang aku cukup bersyukur melihat pengertian Mas Feri soal kebutuhan pribadi istri, meski aku juga tak ingin memakai uang itu. Biar lah kusimpan saja, barangkali suatu saat Mas Feri membutuhkannya.
Tekadku sudah bulat untuk pergi dari rumah ini dan hidup mandiri. Setidaknya agar ibu tak menghinaku lagi dan berhenti membanding-bandingkanku dengan mantan tunangan Mas Feri.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku sangat bersyukur akhirnya Allah membolak-balikkan hatimu. Berapa pun yang kamu berikan padaku, aku ikhlas menerimanya, Mas. Asalkan kamu mau menghargaiku, itu sudah lebih sari cukup buatku."
Mas Feri merengkuh tubuhku. Dia memelukku erat sembari mengusap kepalaku perlahan.
"Bersyukurnya aku memiliki istri sepertimu, Arin. Kamu yang selalu menerima berapa pun uang bulanan dariku. Kamu yang tak pernah menuntut, tak pernah minta macam-macam bahkan di saat banyak istri memaksa para suami untuk mengabulkan semua keinginannya," ucap Mas Feri lagi. Aku hanya mengangguk perlahan, sembari menyeka kedua sudut mata yang basah.
"Arin! Rin ... Arin!" Panggilan ibu membuat pelukan Mas Feri merenggang.
"Aku ke dapur dulu, Mas. Sepertinya ibu butuh bantuan," ucapku kemudian. Mas Feri tersenyum sembari mengangguk pelan. Kuselipkan amplop dari Mas Feri ke tumpukan baju di dalam lemari lalu melangkah ke luar kamar menemui ibu.
Kulihat ibu masih membuka kulkas sembari melihat isinya. Kedua tangannya berkacak pinggang.
"Ada apa, Bu?" tanyaku singkat setelah sampai di sampingnya.
"Kamu baru bangun? Sudah jam berapa ini, baru ke luar kamar," balas ibu ketus. Dia menatapku sinis, sementara dalam hati aku hanya bisa istighfar lagi dan lagi.
"Sudah bangun dari subuh, Bu. Cuma tadi memang ke kamar lagi, Mas Feri yang minta karena ada yang ingin diobrolkan," jawabku pelan. Namun tatapan ibu seolah tak percaya dengan apa yang kukatakan.
"Suami kok dijadikan alasan kemalasan."
Benar dugaanku. Aku tetap selalu salah di mata ibu. Apapun yang kuucapkan, rasanya tak pernah ada benarnya. Aku kembali geleng-gelang kepala mendengar omelan ibu pagi ini. Sudah lah, biarkan saja. Mungkin memang hobinya ngomelnya perlu tersalurkan juga daripada tumbuh menjadi bisul nantinya.
"Ambil sayur-mayur di kebun belakang, Rin. Ibu mau ke Mang Sayur sebentar beli ikan. Malas ke pasar kalau cuma bawa duit dua ratus ribu," ucap ibu kesal.
Iya, dua ratus ribu biasanya aku pakai untuk seminggu. Cukup nggak cukup ya segitu karena sebulan 800ribu, sementara sisanya buat beli token listrik. Sayur-sayuran memang aku ambil dari kebun belakang. Ke pasar hanya membeli lauk atau bumbu-bumbu yang habis saja.
"Masak tumis kangkung, tumis sawi sama goreng tempe nanti. Tempenya beli dulu," ucap ibu lagi.
"Mas Feri minta dibelikan nila, Bu. Pengen digoreng, katanya," ucapku pelan. Ibu membalikkan badan sembari melotot tajam ke arahku.
"Kenapa selalu Feri yang kamu jadikan tameng? Bilang saja kamu yang pengen pakai alasan Feri segala."
Ibu melangkah pergi meninggalkanku yang masih berdiri di samping kulkas.
"Bu, Feri beneran mau ikan nila ini, kok malah nyalahin Arin." Tiba-tiba Mas Feri ke luar dari kamarnya. Ibu terdiam sejenak lalu menoleh ke arah anak lelakinya.
"Nyalahin apa sih, Fer? Salah dengar kamu itu. Jadi beneran kamu yang minta ikan nilanya, Fer? Bukan istrimu?" tanya ibu lagi seolah tak percaya apa yang didengarnya. Mas Feri mengangguk pelan.
"Iya, Bu. Feri yang minta sama Arin tadi, kalau dia kan makan apa saja mau. Nggak pernah nuntut apa-apa," ucap Mas Feri kemudian. Ibu hanya melirikku sekilas lalu melengos kesal, meninggalkanku dan Mas Feri yang masih mematung di ruang makan.
***
|Yas, cctv harganya mahal nggak, ya? Aku pengen beli 2 saja gitu. Sekadar buat bukti ke Mas Feri bagaimana sikap ibu selama ini padaku. Mumpung dia lagi perhatian dan pengertian, jadi sekalian saja nanti kukasih bukti cctv itu padanya biar nggak kambuh lagi cueknya|
Kukirimkan pesan pada Yasmin. Dia jauh lebih tahu soal per onlinean, barang kali dia juga tahu soal cctv. Aku memang jarang sekali ke luar rumah setelah menikah pun tak terlalu paham dunia maya, jadi tak ada salahnya jika bertanya padanya.
|Murah, Rin. Di market place banyak yang jual. Kalau kamu mau aku belikan sekalian bagaimana? Misal kamu takut ketahuan ibumu, pakai alamat rumahku saja. Kalau sudah sampai kita ketemuan di pasar.|
Aku mengulum senyum membaca balasan dari Yasmin. Dia memang sangat peduli padaku dalam hal apa pun. Bersyukur sekali memiliki sahabat sepertinya, yang selalu setia dalam suka dan duka meski aku dan dia jarang sekali berjumpa. Hanya bertukar kabar dan pesan via w******p saja.
|Terima kash banyak ya, Yas. Kamu memang sahabat terbaikku. Semoga Allah senantiasa melindungi dan menjaga keluargamu. Saat ini aku lagi semangat banget promoin dagangan kamu di w******p, Yas. Pokoknya nanti kalau penghasilan dari kamu itu sudah cukup, mau kubuat usaha modal kecil-kecilan. Aku mau jualan nasi timlo|
|Bagus begitu, Rin. Jadi ibu tak bisa meremehkanmu terus-menerus. Semangat selalu, Arina sahabatku. Aku selalu mendukungmu|
Lagi-lagi aku tersenyum tipis membaca pesan dari Yasmin. Gegas kubuka jendela kamar, menghirup dinginnya angin yang menggoyangkan dedaunan perlahan.
|Gamisnya ya, Bu-Ibu. Bagus bahannya, harga juga terjangkau. Kalau minat bisa hubungi saya. Barang lain juga ada, chat saja biar mesra|
Kubuat story w******p untuk kembali menjualkan dagangan Yasmin. Selama ini banyak tetangga yang ikut membeli, Mbak Mirna juga ikut menawarkankan ke teman-temannya di pabrik. Keuntungan semakin bertambah setiap harinya meski tak banyak, tapi aku sangat bersyukur.
Ibu dan Mas Feri tak tahu jika sekarang aku memiliki penghasilan sendiri karena jualan online. Status-status whatsappku memang sengaja aku sembunyikan dari mereka termasuk dari Mbak Vina. Biar saja esok atau lusa mereka shock melihatku semandiri ini. Jadi tak kudengar penghinaan lagi dan lagi yang begitu menyesakkan hati.
|Rin, kata ibu kamu dapat jatah lebih dari Feri. Aku pinjam dulu dong buat bayar kontrakan. Kamu enak tinggal di rumah ibu, nggak pernah bayar kontrakan. Nggak banyak kok, satu juta saja|
Sebuah pesan dari Mbak Vina muncul di layar. Lagi-lagi soal duit. Dia jarang sekali menanyakan kabar, mengirimkan pesan padaku pun jarang kecuali masalah duit atau pun utang. Aku yakin ibu sengaja memberitahu Mbak Vina soal nafkah lain dari Mas Feri itu, agar aku tak ada alasan lagi untuk tak meminjaminya uang. Padahal selama ini, dia selalu saja pinjam uang tanpa pernah mikir untuk mengembalikan.
Alih-alih dibalikin, dia justru memakiku karena menikah hampir dua tahun masih saja numpang dan merepotkan orang tua, katanya.
|Aku belum tahu berapa nafkah yang diberikan Mas Feri, Mbak. Belum aku buka. Nanti aku cek dulu, ya isinya berapa.| Kukirimkan balasan itu pada Mbak Vina.
Sebenarnya aku cukup malas membahas soal duit dengannya, tapi tetap saja aku nggak tega kalau dia sampai terusir dari kontrakannya. Bukannya apa, Mbak Vina meminjam tapi serasa memaksa.
|Bohong banget kamu, Rin. Bilang aja nggak boleh minjam, pakai acara belum dibuka segala. Kamu belum pernah merasakan ngontrak susahnya kayak apa sih, ya? Jadi ya begitu, menyepelekan. Coba sekali-kali ajak Feri ngontrak biar tahu rasanya pisah dengan orang tua!|
Astaghfirullah. Ibu dan anak sama saja, membuatku pusing kepala. Selama ini aku mengalah dan diam tiap kali mereka memojokkanku, tapi kali ini mungkin memang waktunya aku sedikit melawan agar mereka tak terus-terusan semena-mena.
Bibirku tersenyum tipis. Entah dari mana ide itu muncul. Gegas kuscreenshot pesan yang dikirimkan Mbak Vina lalu kukirimkan pada Mas Feri. Biar saja dia tahu bagaimana sebenarnya perilaku kakaknya selama ini padaku. Dia yang pintar sekali cari muka di depan Mas Feri tiap kali bertemu denganku, benar-benar sama seperti ibu.
Sejak dulu, Mas Feri tak pernah mempercayai ucapanku. Dia sering kali bilang aku cukup boros, karena terkadang tambahan uang darinya selalu habis tak bersisa. Padahal uang tambahan itu selalu saja dipinjam Mbak Vina tanpa pernah kembali.
Jika aku menolak, Mbak Vina pasti akan memulai drama dan air mata palsunya. Sengaja memancing kemarahan Mas Feri padaku, hingga dia menganggap aku terlalu perhitungan pada ipar sendiri. Bod***nya aku tak pernah mengirimkan bukti-bukti u*****n Mbak Vina via w******p itu padanya. Aku hanya merasa tak enak hati jika membuat dua saudara kandung ribut hanya gara-gara uang tak seberapa.
Hampir dua tahun aku terus bersabar, namun tak ada tanda-tanda perubahan. Mungkin memang benar kata Yasmin dan mertuanya. Sesekali aku harus melawan ketidakenakan ini. Sesekali aku harus mengabaikan hatiku sendiri yang terus memintaku untuk mengalah lagi. Sesekali aku memang harus bicara, membuktikan ketidaknyamanan ini pada Mas Feri agar dia tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Detik ini aku hanya ingin tahu, apakah Mas Feri tetap tak akan percaya denganku seperti biasanya? Atau sekarang dia mulai sadar jika selama ini kakaknya juga semena-mena? Ah, entah. Kita lihat saja nanti bagaimana sikap Mas Feri melihat dan membaca pesan-pesan dari Mbak Vina.
***